OLEH:
I Dewa Ayu Nanda Arisma Putri
1914201008
I. Kasus/Masalah Utama
Masalah utama dalam laporan pendahuluan ini adalah perilaku
kekerasan.
II. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Marah tidak memiliki tujuan khusus, tapi lebih merujuk pada suatu
perangkat perasaan – perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan
perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
definisi ini maka perilaku kekerasan dapat di lakukan secara verbal, di
arahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan
dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku
kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan dapat disebabkan karena frustasi, takut,
manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik
emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga
menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan
ketergantungan pada orang lain(Carolina,2010).
2. Etiologi
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
presipitasi sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor psikologis
a) Rasa frustasi. Rasa frustasi akan terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat.
Keadaan tersebut dapat mendorong individu berprilaku
agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
b) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau
lingkungan.
c) Teori psikoanalitik. Teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku
tindak kekerasan.
d) Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang
dalam lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya
contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau
lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku
tersebut.
e) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu
terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana
respon ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati
bagaimana respon ibu saat marah.
2) Faktor sosial budaya
Sesorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Faktor
ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin
sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. Kontrol masyarakat yang rendah dan
kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor
predisposisi perilaku kekerasan.
3) Faktor biologis
a) Biochemistry factor
Faktor biokimia tubuh seperti neurotrasmiter di otak
(epineprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi
melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Adanya stimulus
dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau
membahayakan akan dihantar melalui impuls
neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut
efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin
serta penurunan serotonin GABA pada cairan serebrospinal
dapat menajdi faktor predisposisi yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
b) Brain area disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom
otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensefalitis,
epilepsi (epilepsy lobus temporal) ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Terdapat beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan
gangguan perilaku kekerasan. Faktor-faktor tersebut, antara lain
sebagai berikut:
1) Klien: Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,
kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2) Interaksi: Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri
klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3) Kesulitan kondisi sosial ekonomi
4) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah,
dan cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik.
5) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa.
6) Klien mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
7) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.
3. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala klien dengan perilaku kekerasan yaitu
sebagai berikut:
a. Fisik
Muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata
kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus, suara tinggi, serta
membentak atau berteriak.
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungan, jalan
mondar mandir, serta amuk atau agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, suka berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran.
h. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan sosial.
4. Rentang Respons Marah
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalan bentuk fisik. Kemarahan tersebut
merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari
individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin
menyampaikan pesan bahwa ia “tidak setuju, tersinggung, merasa tidak
dianggap, merasa tidak diturut atau diremehkan”. Rentang respons
kemarahan individu dimulai dari respons normal (asertif) sampai pada
respons sangat tidak normal (maladaptif).
5. Akibat
Akibat dari perilaku kekerasan yaitu adanya mencederai diri, orang
lain dan merusak lingkungan. Keadaan ini membuat seorang individu
mengalami perilaku yang dapat membahayakan secara fisik baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungannya. Kondisi ini biasanya
akibat ketidakmampuan mengendalikan marah secara konstruktif .
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga membuat
harian klien jadwal aktifitas di rumah
2. Melatih klien mengontrol termasuk minum obat
perilaku kekerasan dengan cara (discharge planning).
sosial/ verbal 2. Menjelasakan follow up klien
3. Menganjurkan klien memasukan setelah pulang.
ke dalam kegiatan harian.
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien.
2. Melatih klien mengontrol
perilaku kekerasan dengan cara
spiritual.
3. Menganjurkan klien memasukan
ke dalam kegiatan harian.
SP5P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien.
2. Melatih klien mengontrol
perilaku kekerasan dengan
minum obat.
3. Menganjurkan klien memasukan
kedalam kegiatan harian.
2. Etiologi Skizofrenia
a. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubungan dengan sering timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium
dan waktu klimakterium, tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
b. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak pucat, tidak
sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan
berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik
konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian
dengan pemberian obat halusinogenik.
c. Teori Adolf Meyer
Menurut Meyer, skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah,
suatu maladaptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan
lama kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan
(otisme).
d. Teori Eugen Bleuler
Penggunaan istilah skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit
ini yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
ketidakharmonisan antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan.
Bleuler membagi gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala
primer (gangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan
kemauan dan otisme), gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
3. Klasifikasi Skizofrenia
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis
ini timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adanya
depersonalisasi atau double personality.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh
gelisah katatonik atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang
teliti umumnya ada gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi
dan kemauan.
4. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Terapi somatik (medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada skizofrenia. Pasien mungkin
dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan
obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi
pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan
merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati
Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu:
1) Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius.
Contoh obat antipsikotik konvensional yaitu: Haldol
(haloperidol), stelazine (trifluoperazine), mellaril (thioridazine),
thorazine (chlopromazine), trilafon (perphenazine), dan prolixin
(flufenazine)
2) Newer atypical antipsycotics
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena
prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek
samping dibandingkan dengan antipsikotik konvensional.
Contoh newer atypical antipsycotics yang tersedia yaitu:
Risperdal (risperidone), seroquel (quetiapine), dan zyprexa
(olanzopine).
3) Clozaril (Clozapine).
Clozaril memiliki efek samping yang jarang tetapi sangat serius.
Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna
untuk melawan infeksi. Ini artinya pasien yang mendapat
crozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara
reguler. Para ahli merekomendasikan penggunaan crozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak
berhasil.
b. Terapi Psikososial
1) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus
untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang
seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan
postur tubuh aneh dapat diturunkan.
2) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, pasien skizofrenia
kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali anggota keluarga dengan jelas
mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur. Ahli terapi harus membantu
keluarga dan pasien mengerti tentang skizofrenia. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga efektif dalam
menurunkan relaps.
3) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi
secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi
pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif sangat baik dilakukan untuk memulihkan kondisi
pasien.
DAFTARA PUSTAKA