Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

OLEH:
I Dewa Ayu Nanda Arisma Putri
1914201008

PRODI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2022
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

I. Kasus/Masalah Utama
Masalah utama dalam laporan pendahuluan ini adalah perilaku
kekerasan.
II. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Marah tidak memiliki tujuan khusus, tapi lebih merujuk pada suatu
perangkat perasaan – perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan
perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
definisi ini maka perilaku kekerasan dapat di lakukan secara verbal, di
arahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan
dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku
kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan dapat disebabkan karena frustasi, takut,
manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik
emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga
menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan
ketergantungan pada orang lain(Carolina,2010). 
2. Etiologi
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
presipitasi sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor psikologis
a) Rasa frustasi. Rasa frustasi akan terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat.
Keadaan tersebut dapat mendorong individu berprilaku
agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
b) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau
lingkungan.
c) Teori psikoanalitik. Teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku
tindak kekerasan.
d) Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang
dalam lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya
contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau
lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku
tersebut.
e) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu
terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana
respon ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati
bagaimana respon ibu saat marah.
2) Faktor sosial budaya
Sesorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Faktor
ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin
sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. Kontrol masyarakat yang rendah dan
kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor
predisposisi perilaku kekerasan.
3) Faktor biologis
a) Biochemistry factor
Faktor biokimia tubuh seperti neurotrasmiter di otak
(epineprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi
melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Adanya stimulus
dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau
membahayakan akan dihantar melalui impuls
neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut
efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin
serta penurunan serotonin GABA pada cairan serebrospinal
dapat menajdi faktor predisposisi yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
b) Brain area disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom
otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensefalitis,
epilepsi (epilepsy lobus temporal) ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Terdapat beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan
gangguan perilaku kekerasan. Faktor-faktor tersebut, antara lain
sebagai berikut:
1) Klien: Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,
kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2) Interaksi: Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri
klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3) Kesulitan kondisi sosial ekonomi
4) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah,
dan cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik.
5) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa.
6) Klien mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
7) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.
3. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala klien dengan perilaku kekerasan yaitu
sebagai berikut:
a. Fisik
Muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata
kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus, suara tinggi, serta
membentak atau berteriak.
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungan, jalan
mondar mandir, serta amuk atau agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, suka berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran.
h. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan sosial.
4. Rentang Respons Marah
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalan bentuk fisik. Kemarahan tersebut
merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari
individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin
menyampaikan pesan bahwa ia “tidak setuju, tersinggung, merasa tidak
dianggap, merasa tidak diturut atau diremehkan”. Rentang respons
kemarahan individu dimulai dari respons normal (asertif) sampai pada
respons sangat tidak normal (maladaptif).

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Klien mampu Klien gagal Klien Klien Perasaan
mengungkapkan mencapai merasa mengekspre marah dan
marah tanpa tujuan tidak dapat sikan secara bermusuhan
menyalahkan kepuasan/saat mengungk fisik, tapi yang kuat
orang lain dan marah dan apkan masih dan hilang
memberikan tidak dapat perasaanny terkontrol, kontrol,
kelegaan menemukan a, tidak mendorong disertai
alternatif berdaya orang lain amuk,
dan dengan merusak
menyerah ancaman lingkungan

5. Akibat
Akibat dari perilaku kekerasan yaitu adanya mencederai diri, orang
lain dan merusak lingkungan. Keadaan ini membuat seorang individu
mengalami perilaku yang dapat membahayakan secara fisik baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungannya. Kondisi ini biasanya
akibat ketidakmampuan mengendalikan marah secara konstruktif .

III. Pohon Masalah dan Data Yang Perlu Dikaji


1. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Resiko tinggi Efek


mencederai diri dan
oran lain.

Perilaku Kekerasan Core Problem

Harga Diri Rendah


Causa

2. Data Yang Perlu Dikaji


Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan:
a. Identitas
Pada identitas mencakup inisial, umur, jenis kelamin, alamat, pekerja
an, dan hubungan dengan penanggung jawab.
b. Alasan dirawat
Alasan dirawat meliputi: keluhan utama dan riwayat penyakit,
keluhan utama berisi tentang sebab klien atau keluarga datang
kerumah sakit dan keluhan klien saat pengkajian. Pada riwayat
penyakit terdapat faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Pada
faktor predisposisi dikaji tentang faktor-faktor pendukung klien
untuk melalukan perilaku kekerasan. Faktor presipitasi dikaji tentang
faktor pencetus yang membuat klien melakukan perilaku kekerasan.
c. Psikososial
1) Genogram
Menggambarkan 3 generasi.
2) Konsep diri
a) Citra diri
Yaitu sikap, persepsi masa lalu atau saat ini tentang ukuran,
penampilan, fungsi dan potensi tubuh, serta pengetahuan
individu secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya.
Ini merupakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian
tubuhnya yang paling disukai dan tidak disukai.
b) Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku
sesuai dengan standar personal. Ideal diri dapat berupa
gambaran individu yang disukai, tujuan atau nilai yang
diinginkan. Ini merupakan bagaimana harapan klien
terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas atau peran dan
harapan klien terhadap lingkungan.
c) Harga diri
Penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa sejauh mana perilaku mencapai ideal diri.
Pencapain cita-cita yang gagal akan menimbulkan HDR
(harga diri rendah) yaitu perasaan negatif terhadap diri
sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri.
d) Peran diri
Yaitu pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan
dari seseorang berdasarkan posisisnya dalam keluarga,
kelompok, dimasyarakat dan bagaimana kemampuan klien
dalam melaksnakan tugas/perannya tersebut.
e) Identitas diri
Merupakan kesadaran klien untuk menjadi diri sendiri yang
tidak ada duanya dengan mensintesa semua gambaran diri
sebagai satu kesatuan utuh dan perasaan berbeda dengan
orang lain. Ini merupakan bagaimana persepsi tentang status
dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap
status/posisi tersebut (sekolah, pekerjaan, kelompok,
keluarga, lingkungan masyarakat sekitarnya), dan kepuasan
klien sebagai laki-laki atau perempuan (gender)
3) Hubungan sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan
orang lain. Klien sering kali menyalurkan kemarahan dengan
mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa
sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan
disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan
individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, dan menolak
mengikuti aturan.
4) Spiritual
Kepercayaan, nilai, dan moral memengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
d. Status Mental
1) Penampilan
Pada klien dengan perilaku kekerasan kemungkinan penampilan
yang ditunjukkan adalah mata melotot/pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta
postur tubuh kaku.
2) Pembicaraan
Pada klien dengan perilaku kekerasan kemungkinan akan
berbicara dengan mengancam, mengumpat dengan kata-kata
kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, dan ketus.
3) Aktifitas motorik
Aktivitas motorik yang mungkin dilakukan klien dengan
perilaku kekerasan adalah menyerang orang lain, melukai diri
sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
4) Interaksi selama wawancara
Keadaan yang ditampilkan klien saat wawancara seperti
bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung, kontak mata
kurang (tidak mau menatap lawan bicara), defensif (selalu
berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya) atau
curiga (menunjukan sikap/perasaan tidak percaya pada orang
lain).
5) Persepsi
Gangguan pada persepsi sensorik diantaranya halusinasi, ilusi,
derealisasi, depersonalisasi, agnosia, gangguan somatosensorik.
Gangguan persepsi juga dapat memicu klien untuk melakukan
perilaku kekerasan.
6) Proses pikir
Gangguan pada arus dan bentuk pikir dapat dijelaskan dan
dibedakan yaitu sirkumtansila (pikiran berputar-putar),
tangensial yaitu pembicaraan yang berbelit-belit dan tidak
sampai pada tujuan/maksud yang dibeikan, asosiasi longgar
(asosiasi bebas/kehilangan asosiasi) yaitu tidak ada hubungan
yang dikatakan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain.
Flight of idea (pikiran melayang) yaitu pembicaraan pada
beberapa ide-ide yang melompat-lompat. Blocking (benturan)
yaitu pembicaraan yang berhenti secara tiba-tiba tanpa adanya
gangguan secara eksternal. Perseverasi yaitu pembicaraan yang
berulang-ulang pada suatu ide, pikiran dan tema secara
berlebihan. Inkoheren (irrelevansi) yaitu pembicaraan dimana
satu kalimat pun sulit dipahami maksudnya, pembicaraan tidak
ada hubungannya dengan stimulus/pertanyaan atau hal-hal yang
sedang dibicarakan, Logorhoe yaitu banyak bicara yang bertubi-
tubi tanpa adnya kontrol yang jelas bisa koheren atau inkoheren.
7) Tingkat kesadaran
Mengobservasi tingkat kesadaran klien, kesadaran dapat
digambarkan sebagai berikut: Apatis (mengacuhkan
rangsangan/lingkungan sekitarnya), Somnolensia (mengantuk
dan tidak ada perhatian sama sekali), sedasi: (kacau, merasa
melayang antara sadar dan tidak sadar), sopor (ingatan,
orientasi, pertimbangan hilang, hanya berespon terhadap
rangsangan yang keras dan kuat.
8) Memori
Daya ingat klien atau kemampuan mengingat hal-hal yang telah
terjadi, daya ingat jangka panjang (memori masa lalu,
lama/lebih dari 1 tahun), daya ingat jangka menengah, memori
yang diingat dalam 1 minggu terakhir sampai 24 jam terakhir,
Daya ingat jangka pendek memori yang sangat baru, tidak dapat
mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
9) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Data yang perlu dikaji melalui wawancara antara lain apakah
perhatian klien mudah berganti dari satu objek ke objek lain,
tidak mampu berkonsentrasi, dan tidak mampu berhitung.
10) Kemampuan penilaian
Data yang perlu dikaji melalui wawancara antara lain:
Gangguan ringan yaitu jika gangguan ini terjadi klien tetap
dapat mengambil keputusan secara sederhana dengan bantuan
orang lain, seperti ia dapat memilih akan mandi sebelum makan
atau sebaliknya. Gangguan bermakna jika gangguan ini terjadi,
klien tetap tidak dapat/tidak mampu mengambil suatu keputusan
meskipun secara sederhana dan mendapatkan bantuan orang
lain.
11) Daya tilik
Gangguan pada daya tilik diri adalah: Mengingkari penyakit
yang diderita, dimana ia tidak menyadari gejala gangguan
jiwa/penyakitnya, perubahan fisik, dan emosi dirinya.
Menyalahkan hal-hal yang diluar dirinya, cenderung
menyalahkan orang lain/lingkungan dan ia merasa orang
lain/lingkungan diluar dirinya yang menyebabkan ia seperti
ini/kondisi saat ini.

IV. Diagnosa Keperawatan Pada Pasien Perilaku Kekerasan


Dari pengkajian yang dilakukan pada klien dengan perilaku kekerasan
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu:
1. Perilaku kekerasan
2. Resiko mencederai diri dan orang lain
3. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

V. Perencanaan Keperawatan Pada Pasien Perilaku Kekerasan


Adapun rencana keperawatan yang diberikan pada klien dengan perilaku
kekerasan dalam bentuk strategi pelaksanaan yaitu sebagai berikut:
Pasien Keluarga
SPIP SPIK
1. Mengidentifikasi penyebab 1. Mendiskusikan masalah yang
perilaku kekerasan. dirasakan keluarga dalam
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala merawat klien .
perilaku kekerasan. 2. Menjelaskan pengertian perilaku
3. Mengidentifikasi perilaku kekerasan, tanda dan gejala
kekerasan yang dilakukan. perilaku kekerasan, serta proses
4. Mengidentifikasi akibat perilaku terjadinya perilaku kekerasan.
kekerasan.
5. Menyebutkan cara mengontrol
perilaku kekerasan.
6. Membantu klien mempraktikan
latihan cara mengontrol perilaku
kekerasan secara fisik 1: latihan
nafas dalam.
7. Menganjurkan klien memasukkan
kedalam kegiatan harian
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga mempraktikan
harian klien cara merawat klien dengan
2. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan.
perilaku kekerasan dengan cara 2. Melatih keluarga melakukan
fisik 2: pukul kasur dan bantal . cara merawat langsung kepada
3. Menganjurkan klien memasukan klien perilaku kekerasan.
ke dalam kegiatan harian

SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga membuat
harian klien jadwal aktifitas di rumah
2. Melatih klien mengontrol termasuk minum obat
perilaku kekerasan dengan cara (discharge planning).
sosial/ verbal 2. Menjelasakan follow up klien
3. Menganjurkan klien memasukan setelah pulang.
ke dalam kegiatan harian.
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien.
2. Melatih klien mengontrol
perilaku kekerasan dengan cara
spiritual.
3. Menganjurkan klien memasukan
ke dalam kegiatan harian.
SP5P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien.
2. Melatih klien mengontrol
perilaku kekerasan dengan
minum obat.
3. Menganjurkan klien memasukan
kedalam kegiatan harian.

VI. Diagnosa Medis


1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir.
Kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan
kekuatan dari luar. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi
pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak
serasi atau tumpul.
Skizofrenia juga dapat diartikan sebagai sindrom heterogen kronis
yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi,
perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi
psikososial. Gangguan pemikiran tidak saling berhubungan secara logis,
persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai, dan
berbagai gangguan aktivitas motorik yang aneh. OSD (orang dengan
skizofrenia) menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali
masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.

2. Etiologi Skizofrenia
a. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubungan dengan sering timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium
dan waktu klimakterium, tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
b. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak pucat, tidak
sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan
berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik
konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian
dengan pemberian obat halusinogenik.
c. Teori Adolf Meyer
Menurut Meyer, skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah,
suatu maladaptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan
lama kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan
(otisme).
d. Teori Eugen Bleuler
Penggunaan istilah skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit
ini yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
ketidakharmonisan antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan.
Bleuler membagi gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala
primer (gangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan
kemauan dan otisme), gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
3. Klasifikasi Skizofrenia
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis
ini timbulnya perlahan-lahan.

b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adanya
depersonalisasi atau double personality.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh
gelisah katatonik atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang
teliti umumnya ada gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi
dan kemauan.
4. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Terapi somatik (medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada skizofrenia. Pasien mungkin
dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan
obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi
pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan
merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati
Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu:
1) Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius.
Contoh obat antipsikotik konvensional yaitu: Haldol
(haloperidol), stelazine (trifluoperazine), mellaril (thioridazine),
thorazine (chlopromazine), trilafon (perphenazine), dan prolixin
(flufenazine)
2) Newer atypical antipsycotics
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena
prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek
samping dibandingkan dengan antipsikotik konvensional.
Contoh newer atypical antipsycotics yang tersedia yaitu:
Risperdal (risperidone), seroquel (quetiapine), dan zyprexa
(olanzopine).
3) Clozaril (Clozapine).
Clozaril memiliki efek samping yang jarang tetapi sangat serius.
Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna
untuk melawan infeksi. Ini artinya pasien yang mendapat
crozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara
reguler. Para ahli merekomendasikan penggunaan crozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak
berhasil.
b. Terapi Psikososial
1) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus
untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang
seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan
postur tubuh aneh dapat diturunkan.
2) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, pasien skizofrenia
kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali anggota keluarga dengan jelas
mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur. Ahli terapi harus membantu
keluarga dan pasien mengerti tentang skizofrenia. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga efektif dalam
menurunkan relaps.
3) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi
secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi
pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif sangat baik dilakukan untuk memulihkan kondisi
pasien.
DAFTARA PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta:


EGC
Damaiyanti, Mukhripah & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: Refika Aditama
Dermawan, Deden & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan
Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen
Publising
Herdman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta. Nuha Medika
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC, 2010
Kusumawati, F & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
Prabowo, Eko. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika
Stuart GW, Sundeen. 2009Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5
th ed.). St.Louis Mosby Year Book
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1,
Bandung, RSJP Bandung, 2010
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
Townsend, M.C. 2011. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada
Keoerawatan Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai