Anda di halaman 1dari 156

LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA RISIKO PERILAKU KEKERASAN

KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:

YEMIMA ANGEL LORENCE (G1B222036)

CI KLINIK:

Ns. DERMANTO, S.Kep

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. YULIANA, S.Kep

Ns. RISKA AMALYA NASUTION, S.Kep., Sp.Kep.J

Ns. RETTY OCTISYAFRINI, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022/2023
Konsep Dasar Risiko Perilaku Kekerasan

1 Definisi

Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk


melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diiarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua
bentuk yaitu saat sedang berlangsung kekerasaan atau riwayat perilaku
kekerasan. Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan ditujukan
pada diri sendiri/orang lain secara verbal maupun non verbal dan pada
lingkungan. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah
tidak memiliki tujuan khusus, tapi lebih merujuk pada suatu perangkat
perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah
(Depkes RI, 2006, Berkowitz, 1993 dalam Dermawan dan Rusdi, 2013)

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk tindakan yang bertujuan untuk


metukai dirinza dan seseorang secara fisik, verbal, maupun paikologis
(Malfasari et al, 2020). Perilala kekerasan in dapat dilakulan secara verbal
untuk mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya, disertai dengan
amul dan gaduh gelissh yang tidak terkontrol (Dermawan, 2018). Pada pasien
dengan perilalos kelcerasan mengunglaplan rasa bemarahan secara fluktuasi
sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan emosi yang
memiliki ciri-ciri altivitas sistem saraf parasimpatil: yang cinggi dan adamya
perasaan tidak suka yang sangat kuat. Pada saat marsh ada perasaan ingin
menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesvatu dan biasanya
timbul pikiran yang bejam. Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi perilala
agrestf (Siauta. Tuastical & Embuai, 2020)
2 Etiologi

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi risiko perilaku kekerasan adalah


sebagai berikut :

a. Faktor Predisposisi meliputi :

1) Psikologis menjadi salah satu faktor penyebab karena kegagalan yang


dialami dapat menimbulkan seseorang menjadi frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau perilaku kekerasan.

2) Perilaku juga mempengaruhi salah satunya adalah perilaku kekerasan,


kekerasan yang didapat pada saat setiap melakukan sesuatu maka
perilaku tersebut diterima sehingga secara tidak langsung hal tersebut
akan diadopsi dan dijadikan perilaku yang wajar.

3) Sosial budaya dapat mempengaruhi karena budaya yang pasif-agresif


dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakan seolaholah kekerasan adalah hal yang wajar.

4) Bioneurologis beberapa pendapat bahwa kerusakan pada sistem


limbik, lobus frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan
neurotransmitter ikut menyumbang terjadi perilaku kekerasan.

b. Faktor presipitasi yang meliputi :

1) Ekspresi diri dimana ingin menunjukan eksistensi diri atau symbol


solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sninilah, perkelahian masal dan sebagainya.

2) Ekspesi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi social


nininomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan


ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.

5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan


alkohlisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.

6) Kematiaan anggota keluaraga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,


perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

3 Rentang Respon Marah

Respon marah berfluktuasi sepanjang respon adaptif dan maladaptive

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berprilaku pasif, asertif, dan
agresif/ perilaku kekerasan (Stuart dan Laraia, 2005 dalam Dermawan dan
Rusdi 2013).

1) Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan


atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan
kelegaan pada individu.
2) Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapakn perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan
tujuan menghindari suatu ancaman nyata.

3) Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat


tinggi atau ketakutan (panik)
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan
kemarahan yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa
marah bisa diekspresikan secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun
internal (depresi dan penyakit fisik). Mengekspresikan marah dengan
perilaku konstruktif, menggunakan kata-kata yang dapat di mengerti dan
diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan perasaan lega,
menurunkan ketegangan sehingga perasan marah dapat teratasi.
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tidak
menyelesaikan masalah, bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang
berkepanjangan dan perilaku destruktif. Perilaku yang tidak asertif seperti
menekan rasa marah dilakukan individu seperti pura-pura tidak marah atau
melarikan diri dari perasaan marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap.
Kemarahan demikian akan menimbulakn rasa bermusuhan yang lama dan
suatu saat akan menimbulkan perasaaan destruktif yang ditunjukan kepada
diri sendiri. (Dermawan dan Rusdi 2013).
4 Pohon Masalah

Risiko perilaku kekerasan (Pada diri sendiri,


orang lain, lingkungan dan verbal)
Effect

Perilaku Kekerasan
Core

Harga diri rendah kronis


Causa

(Sumber: Damayanti, 2014)

5 Etiologi
Menurut Stuart dan Laria (2001): Damayanti & Iskandar (2012) faktor resiko
perilalu kekerasan yaitu:
A. Faktor predisposisi
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena adanya kegiatan di sistem
saraf otonom yang bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga
tekanan darah meningkat, takikardi, muka merah pupul melebar,
pengeluaran urn meningkat. Gejalanya sama dengan kecemasan
seperti meningkatnya bewaspadaan ketegangan otot (rahang terkatup,
tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleis cepat). Hal ini disebabkan
oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.]
b. Aspek Emosional
Individu yang marah merasa tidak myaman, merasa tidal
berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain,
mengamuk. bermusuhan, dan sakit hati, menvalahkan dan menuntut
c. Aspek intelektual
Pengalaman individu sebagian besar didapatian melalui proses
intelektual, peran pasca indra sangat penting untul: beradaptasi
dengan lingkungan yang selanjutaya diolat dalam proses inteltual
sebagai salah satu pengalaman. Contohnya ketika ia mengamati
bagaimana respon ibu saat marah.
d. Aspek sosial
Aspek sosial meliputi interalsi sosial, budaya, konsep rasa
percaya, dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang
kemarahan orang lain. Pasien sering kali menyalurkan kemarahan
dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa
sakit bati dengati mengucapkan kata- kata kasar yang berlebihan
disertai suara keras. Proses tersebut dapat memyebabican
mengasingkan individu sendiri dan menjaublan dir dari orang lain
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai can moral mempergarubi buburgan individa
dengan lingkunganya. Hal yang bertentangar dengan norma yang
dimiliat dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral (tidak perduli) dan rasa tidal berdosa.
B. Faktor presipitasi
a. Ekspresi diri, ingin menunjulcan ekatensi dir atau solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak: bola, geng sninilah,
pernakalan massal dan sebagaiya.
b. Ekcapresi dari tidak: terpenuhinva kebutuhan dasar dan kondisi sosial
nininomi
c. Kesulitan dalam mengkonsumsi sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik
d. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalah gunsan obat
dan alkohol dan tidak mampu mengontrol emosinya saat menghadapi
rasa frutasi
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting. kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan keluarga.
f. Stresor
Adanya stresor melibatkan makna dan pemahaman dampak dari
situasi stres individu, itu mencangkup kognitif, afektif, fisiologis.
perilals dan respon sosial. Stresor mengansumsikan makna,
intensitas, dan pentinguva sebagi konseluensi dari interpretasi yang
unik dan maina yang diberikcan kepada orang yang beresiko.
g. Sumber koping dapat berupa aset nininomi, kemampuan dan
ketrampilan, teknik defensif, dukungan sosial, dan motivasi.
Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
sangat berperan penting pada saat ini. Sumber koping lainya
termasuk kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif,
ketrampilan menyelesaikan masalah dan sosial, sumber daya sosial
dan material, dar kesejahteraan fisik.

6 Tanda dan Gejala


A. Mayor
a. Subjektif
1) Mengatakan benci/kesal dengan orang lain.
2) Mengatakan ingin memukul orang lain.
3) Mengatakan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan.
4) Mengungkapkan keinginan menyakiti diri sendiri, orang lain, dan
merusak lingkungan
b. Objektif
1) Melotot
2) Pandangan tajam
3) Tangan mengepal, rahang mengatup
4) Gelisah dan mondar-mandir
5) Tekanan darah meningkat
6) Nadi meningkat
7) Pernapasan meningkat
8) Mudah tersinggung
9) Nada suara tinggi dan bicara kasar
10) Mendominasi pembicaraan
11) Sarkasme
12) Merusak lingkungan
13) Memukul Orang lain
B. Minor
a. Subjektif
1) Mengatakan tidak senang
2) Menyalahkan orang lain
3) Mengatakan diri berkuasa
4) Merasa gagal mencapai tujuan
5) Mengungkapkan keinginan yang tidak realistis dan minta dipenuh
b. Objektif
1) Disorientasi
2) Wajah merah
3) Postur tubuh kaku
4) Sinis
5) Bermusuhan
6) Menarik diri
7 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa: agitasi,
ansietas, ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan
gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia,
mania depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa
masa kecil.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-6
mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat.
Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping
nya sering mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
c. Antikolinergik
Indikasi dan kontraindikasi obat antikolinergik adalah obat
yang mempengaruhi fungsi persarafan. Di dalam tubuh manusia terdiri
dari beribu-ribu sel saraf. Sel saraf satu dengan yang lainnya
berkomunikasi melalui zat yang disebut sebagai neurotransmitter.
Terdapat berbagai jenis neurotransmitter tergantung pada jenis sel
sarafnya. Salah satu neurotransmitter utama di tubuh kita adalah
asetilkolin.
d. ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmal
secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode
yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan
pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral
atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

2. Penatalaksanaan Non Medis


a. Terapi Individu
1) Latih klien untuk melakukan relaksasi: Tarik napas dalam, pukul
bantal dan kasur, senam, dan jalan-jalan.

2) Latih klien untuk bicara dengan baik: Mengungkapkan perasaan,


meminta dengan baik dan menolak dengan baik.

3) Latih deeskalasi secara verbal maupun tertulis.

4) Latih klien untuk melakukan kegiatan ibadah sesuai dengan agama


dan kepercayaan yang dianut (sholat, berdoa, dan kegiatan ibadah
yang lainnya).

5) Latih klien patuh minum obat dengan cara 8 benar (benar nama
klien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, benar
manfaat, benar tanggal kedaluwarsa dan benar dokumentasi).

6) Bantu klien dalam mengendalikan risiko perilaku kekerasan jika


klien mengalami kesulitan.

7) Diskusikan manfaat yang didapatkan setelah mempraktikkan


latihan mengendalikan risiko perilaku kekerasan.

8) Berikan pujian pada klien saat mampu mempraktikkan latihan


mengendalikan risiko perilaku kekerasan.

b. Terapi Keluarga

1) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.


2) Menjelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta proses
terjadinya risiko perilaku kekerasan yang dialami klien.

3) Mendiskusikan cara merawat risiko perilaku kekerasan dan


memutuskan cara merawat yang sesuai dengan kondisi klien.

4) Melatih keluarga cara merawat risiko perilaku kekerasan klien:

a) Menghindari penyebab terjadinya risiko perilaku kekerasan.

b) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan


perilaku kekerasan sesuai dengan yang dilatih perawat ke klien.

c) Memberi pujian atas keberhasilan klien.

5) Melibatkan seluruh anggota keluarga untuk menciptakan suasana


keluarga yang nyaman: Mengurangi stres di dalam keluarga dan
memberi motivasi pada klien.

6) Menjelaskan tanda dan gejala perilaku kekerasan yang


memerlukan rujukan segera serta melakukan follow up ke
pelayanan kesehatan secara teratur.

c. Terapi Kelompok

Stimulasi persepsi

1) Sesi 1: Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

2) Sesi 2: Mencegah perilaku kekerasan secara fisik.

3) Sesi 3: Mencegah perilaku kekerasan dengan cara verbal.


4) Sesi 4: Mencegah perilaku kekerasan dengan cara spiritual.

5) Sesi 5: Mencegah perilaku kekerasan dengan patuh mengonsumsi


obat.

8 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Menurut Keliat (2015) data perilaku kekerasan dapat diperolah melalui


observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini:

a. Muka merah dan tegang

b. Pandangan tajam

c. Mengarupkan rahang dengan kuat

d. Mengepalkan tangan

e. Jalan mondar-mandir

f. Bicara kasar

g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak

h. Mengancam secara verbal atau fisik

i. Melempar atau memukul benda /orang lain

j. Merusak barang atau benda

k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol


perilaku kekerasan.
B. Pohon Masalah

Risiko Perilaku Kekerasan (pada diri


sendiri, orang lain, lingkungan, dan
verbal)
Effect

Perilaku Kekerasan
Core

(Sumber : Damaiyanti, 2014)


Harga Diri Rendah Kronik

Causa

C. Diagnosa Keperawatan

Risiko perilaku kekerasan.

D. Tindakan Keperawatan

Tindakan pada klien:


1) TIdakan Keperawatan Ners

a) Pengkajian: Kaji tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan,


penyebab, kemampuan mengatasi dan akibatnya

b) Diagnosis : Jelaskan proses terjadinya risiko perilaku kekerasan

c) Tindakan keperawatan:

- Latih klien untuk melakukan relaksasi: Tarik nafas dalam,


pukul bantal dan kasur, senam dan jalan-jalan.

- Latih klien untuk bicara dengan baik : Mengungkapkan


perasaan, meminta dengan baik dan menolak dengan baik.

- Latihan deeskalasi secara verbal maupun tertulis

- Latih klien untuk melakukan kegiatan ibadah sesuai dengan


agama dan kepercayaan yang di anut (Sholat, berdoa, dan
kegiatan ibadah yang lainnya)

- Latih klien patuh minum obat dengan cara 8 benar (Benar nama
klien, benar dosis, benar obat, benar cara, benar waktu, benar
manfaat, benar tanggal kadaluwarsa dan benar dokumentasi).

- Bantu klien dalam mengendalikan risiko perilaku kekerasan


jika klien mengalami kesulitan

- Diskusikan manfaat yang didapatkan setelah mempraktikkan


latihan mengendalikan risiko perilaku kekerasan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Biyan Tazqiyatus Sudia, dkk


(2021) menunjukkan bahwa ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam
terhadap pengontrolan marah pada orang gangguan jiwa dengan risiko
perilaku kekerasan yang dilakukan selama 3 kali kunjungan. Dan juga
menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Desak Made Ari Dwi
Jayanti, dkk (2022) mendapatkan hasil analisis didapatkan nilai
p=0,000 (p<0,05) yang berarti ada pengaruh teknik relaksasi
pernafasan dalam terhadap perilaku marah pasien Skizofrenia. Teknik
relaksasi pernafasan dalam yang diberikan dengan intensitas dan irama
yang tepat sangat baik untuk membantu proses pengendalian perilaku
kekerasan.

2) Tindakan Keperawatan ners Spesialis

- Terapi Kognitif

a. Sesi 1 : Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan


dan menimbulkan pikiran otomatis negative

b. Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negative

c. Sesi 3: Memanfaatkan system pendukung

d. Sesi 4: Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negative

- Terapi perilaku

a. Sesi 1: Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan


dan meninmbulkan perilaku negative

b. Sesi 2: mengubah perilaku negative menjadi positif

c. Sesi 3: Memanfaatkan system pendukung

d. Sesi 4: Mengevaluasi manfaat melawan perilaku negatif

- Terapi kognitif perilaku


a. Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman yang tidka
menyenangkan yang menimbulkan pikiran otomatis negative
dan perilaku negative

b. Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negative

c. Sesi 3: Mengubah perilaku negative menjadi positif

d. Sesi 4: Memanfaatkan system pendukung

e. Sesi 5: Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negative dan


mengubah perilaku negative

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Reny Tjahja Hidayati (2018)


menunjukkan adanya peningkatan self care pada kelompok kognitif
dan behavioral secara signifikan (p=0,05). Berdasarkan hasil analisis
dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif dan perilaku dapat
meningkatkan kemampuan perawatan diri pada klien dengan defisit
perawatan diri. Dan menurut penelitian Nur Cahyo Saspngko dan Eni
Hidayati (2020) hasil menunjukan adanya penurunan nilai ambang marah
sebelum dan sesudah terapi yaitu nilai ambang marah sebelum terapi adalah 8
untuk kasus I dan 10 untuk kasus II, sesudah terapi ambang marah turun
menjadi 2 pada kasus I dan 3 pada kasus II. Semakin rendah ambang marah
maka semakin bagus pasien dalam mengontrol marah. Terapi musik, dzikir
dan rational emotive cognitive behaviour terbukti menurunkan ambang
marah, memberikan ketenangan dan meningkatkan berfikir positif klien.

- Terapi Asertif

a. Sesi 1: Mengidentidikasi peristiwa yang menyebabkan marah


dan sikap saat marah (Asertif, pasif, agresif)

b. Sesi 2: Mengungkapkan keinginan dan kebutuhan secara asertif


c. Sesi 3: Mengatakn tidak untuk permintaan yang irrasional

d. Sesi 4: Menerima dan mengungkapkan perbedaan pendapat


secara asertif

e. Sesi 5: Mengevaluasi manfaat latihan asertif

- Terapi penerimaan komitmen (acceptance commitment therapy)

a. Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman/kejadian yang tidak


menyenagkan

b. Sesi 2: Mengenali keadaan saat ini dan menemukan nilai-nilai


terkait pengalaman yang tidak menyenangkan

c. Sesi 3: berlatih menerima pengalaman/kejadian tidak


menyenangkan menggunakan nilai-nilai yang dipilih klien

d. Sesi 4: Berkomitmen menggunakan nilai-nilai yang dipilih


klien untuk mencegah kekambuhan

- Latihan relaksasi otot progresif (Progressive muscle relaxation)

a. Sesi 1: Identifikasi ketegangan otot dan latihan mengencangkan


dan mengendorkan otot

b. Sesi 2: Evaluasi manfaat mengencangkan dan mengendurkan


otot
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Salfiana (2022)
didapatkan hasil n ialah terdapat penurunan tanda dan gejala
perilaku kekerasan. selain itu, pasien mengatakan setelah
melakukan terapi wudhu dan relaksasi otot progresif tidak lagi
merasa marah dan mudah untuk mengungkapkan rasa marahnya
secara baik. Dan menurut penelitian yang dilakukan oleh Agestina,
dkk (2022). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah bahwa
sebelum dilakukan penerapan tindakan relaksasi otot progresif
pada Tn. P pasien terlebih dahulu diukur menggunakan alat ukur
HARS (Halminton Axiety Rating Scale) yang diketahui hasil
kecemasan pada pasien yaitu pasien mengalami kecemasan sedang
dengan skor 23, sedangkan setelah dilakukan tindakan relaksasi
otot progresif selama 4 hari kecemasan pasien menurun dengan
skor 10 yang berarti pasien tidak mengalami kecemasan.

- Rational Behavior Therapy (REBT)

1) Fase 1: Persiapan Kognitif

a. Sesi 1: Saling percaya dan harapan

b. Sesi 2: Termometer perasaan

c. Sesi 3: Fakta vs Opini

2) Fase 2: Belajar Model Kognitif ACBs

a. Sesi 4: Belajar model kognitif ACBs

3) Fase 3: Latihan model kognitif ACBs

a. Sesi 5: Latihan model kognitif ACBs

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jek Amidos Pardede,dkk


(2020) didapatkan hasil bahwa ada pengaruh Behaviour Therapy
Terhadap Perubahan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan sebelum dan
setelah dilakukannya Behaviour Therapy Peneliti menyimpulkan
bahwa Behaviour Therapy memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perubahan gejala risiko perilaku kekerasan di RSJ
Prof.Dr.Muhammad Ildrem Provsu Medan yang ditandai dengan
Pvalue = 0,000 < p = 0,05.

Tindakan pada Keluarga:

1) Tindakan Keperawatan Ners

a. Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien

b. Menjelaskan pengertian, penyebbab, tanda dan gejala serta proses


terjadinya risiko perilaku kekerasan yang dialami klien

c. Mendiskusikan cara merawat risiko perilaku kekerasan dan


memutuskan cara merawat yang sesuai dengan kondisi klien.

 Menghindari penyebab terjadi risiko perilaku kekerasan

 Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan


perilaku kekerasan sesuai dengan yang dilatih perawat ke
klien.

 Memberi pujian atas keberhasilan klien

d. Melatih keluarga cara merawat klien dengan risiko perilaku


kekerasan:

e. Melibatkan seluruh anggota keluarga untuk menciptkana suasana


keluarga yang nyaman: Mengurangi stress didalam keluarga dan
memberi motivasi pada klien

2) Tindakan Keperawatan Spesialis: Psikoedukasi Keluarga


a. Sesi 1 : Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami klien
dan masalah keluarga (Care Giver) dalam merawat klien.
b. Sesi 2 : Merawat masalah kesehatan klien
c. Sesi 3 : Melatih manajemen stress untuk keluarga
d. Sesi 4 : Melatih manajemen beban untuk keluarga
e. Sesi 5 : Memanfaatkan system pendukung
f. Sesi 6 : Mengevaluasi manfaat Psikoedukasi keluarga
Tindakan pada Kelompok Klien
1. Tindakan keperawatan ners
Terapi aktivitas kelompok : Stimulasi Persepsi
a. Sesi 1: Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
b. Sesi 2 : Mencegah perilaku kekerasan secara fisik
c. Sesi 3 : Mencegah perilaku kekerasan dengan cara verbal
d. Sesi 4 : Mencegah perilaku kekerasan dengan cara spiritual
e. Sesi 5 : Mencegah perilaku kekerasan dengan patuh minum obat
Tindakan keperawatan spesialis : Terapi supportif
a. Sesi 1 : Identidikasi masalah dan sumber pendukung di dalam dan di
luar keluarga
b. Sesi 2 : Latihan menggunakan sistem pendukung dalam keluarga
c. Sesi 3 : Latihan menggunakan system pendukung diluar keluarga
d. Sesi 4 : Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber pendukung
Menurut penelitian yang dilakukan oleh I Komang Kariana (2022)
didapatkan hasil menunjukan ada Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Sensori Terhadap Kemampuan Pasien Mengontrol Perilaku
Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di RSJ Provinsi Bali. Dan menurut
penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2022) didapatkan hasil bahwa
ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan mengontrol emosi pada
klien dengan perilaku kekerasan pretest dan postest.
Tindakan Kolaborasi
1. Melakukan kolaborrasi dengan dokter menggunakan ISBAR dan
TBaK
2. Memberikan program terapi dokter (Obat) : Edukasi 8 benar
pemberian obat dan memeriksakan sesuai dengan konsep safety
pemberian obat
3. Mengobservasi manfaat dan efek samping obat

Discharge Planning
1. Menjelaskan rencana persiapan pasca-rawat dirumah untuk
memandirikan klien
2. Menjelaskan rencana tindak lanjut perawatan dan pengobatan
3. Melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan

E. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi perawatan merupakan tindakan dari
rencana keperawatan yang disusun sebelumnya berdasarkan prioritas yang
telah dibuat dimana tindakan yang diberikan mencakup tindakan mandiri
dan kolaboratif. Pada situasi nyata sering impelmentasi jauh berbeda
dengan rencana, hal ini terjadi karena perawat belum terbiasa
menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan, tindakan
keperawatan yang biasa adalah rencana tidak tertulis yaitu apa yang
dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal ini sangat
membahayakan pasien dan perawat jika berakibat fatal dan juga tidak
memenuhi aspek legal. Sebelum melakukan tindakan yang sudah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana
perawatan yang akan dilakukan masih sesuai dan dibutuhkan pasien sesuai
kondisi yang dialaminya saat ini. Setelah semua proses validasi tidak ada
hambatan maka tindakan keperawatan sudah boleh dilaksanakan. Pada
saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan pasien
dilaksanakan. Dokumentasikan semua tidakan yang telah dilaksanakan
beserta respon pasien (Keliat, 2015).
F. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
klien terhadap tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan
setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif
dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.
Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan perilaku
kekerasan antara lain:
a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku kekerasan.
b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang
dilakukakannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah
dilakukan.
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkap-
kan kemarahan.

h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku


kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrolperilaku
kekerasan.
j. Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan. (Fitria,
2010).
G. Strategi Pelaksanaan
Pertemuan ke-1 Klien
1. Orientasi
1.1 Salam
“Selamat pagi, saya Tira, perawat dari Puskesmas Mulya” “Siapa
namanya?” “Senang dipanggil apa?” "Saya panggil Eko ya.” “Tanggal
lahirnya?”
1.2 Evaluasi
“Apa yang Eko rasakan?” “Jadi Eko sering kesal atau marah.” “Sudah
berapa lama?”
1.3 Validasi
“Apa yang sudah dilakukan untuk mengatasinya?” “Apakah berhasil?”
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan “Bagaimana kalau saya periksa dulu
tentang marah dan belajar cara mengendalikannya?”
1.4.2 Waktu “Waktu 30 menit, apakah Eko setuju?”
1.4.3 Tempat “Kita lakukan di sini saja ya?”

2. Kerja
2.1 Pengkajian
2.1.1 Penyebab
“Apa yang menyebabkan Eko marah?” “Apakah disertai rasa
kesal atau kecewa dan ingin memukul?”
2.1.2 Tanda/gejala
"Apakah yang dirasakan saat marah, apakah merasa tegang,
tangan terkepal, mengatupkan rahang dengan kuat?” “Apakah
bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak?” “Apakah
berjalan mondar mandir dengan marah dan melemparkan
barang-barang atau memukul orang?”
2.1.3 Akibat
2.1.4 "Apakah akibat dengan cara marah demikian?” “Apakah
dengan cara seperti itu marahnya bisa hilang?”
2.2 Diagnosis
“Eko sering kesal dengan berteriak, melempar barang sampai
memukul orang lain.” “Jadi Eko masih sulit mengendalikan marah
sehingga bisa terjadi perilaku kekerasan.” Apakah Eko ingin belajar
mengendalikannya?”
2.3 Tindakan
“Baiklah, saya akan bantu Eko untuk mengatasi marah dengan
beberapa cara.”
2.3.1 Latihan relaksasi napas dalam, pukul bantal kasur, olahraga,
bersihkan rumah dan pekarangan
- Contohkan: “Tarik napas panjang secara perlahan dari
hidung, tahan sebentar dan keluarkan secara perlahan dari
mulut seperti mengembuskan kekesalan Eko” “Pukul bantal
kasur saat kesal.” “Olahraga lari, pukul samsak atau latihan
tinju, push up, bermain bola, berguna untuk menyalurkan
energi marah.” “Jangan lupa, bersihbersih juga bisa
mengurangi marah dan membuat rumah menjadi bersih”

- Dampingi: “Nah sekarang ayo kita coba bersama-sama,”


“Ya, benar seperti itu”
- Mandiri: “Sekarang coba lakukan sendiri” “Bagus, sudah
benar.’
- Cara lain dapat dilatih dengan cara yang sama.
2.3.2 Latihan de-enskalasi (curhat) .
- Contohkan: “Ceritakan rasa kesal Eko dan alasannya, serta
minta pendapat orang lain.” “Tuliskan perasaan marah ke
dalam buku.”
- Dampingi: “Nah sekarang ayo kita coba bersama-sama.”
“Ya, benar seperti itu.”
- Mandiri: “Sekarang coba lakukan sendiri” “Bagus, sudah
benar.”
- Cara kedua adalah curhat dengan sahabat yang dipercaya.
2.3.3 Latihan bicara yang baik.
- Contohkan: ”Eko dapat berlatih cara meminta dengan santun,
cara menolak dengan tepat, dan cara mengatakan rasa tidak
senang.”
- Dampingi: “Nah sekarang ayo kita coba bersama sama.” “Ya,
benar seperti itu.”
- Mandiri: “Sekarang coba lakukan sendiri. “Bagus sudah
benar.”
2.3.4 Latihan spiritual
“Apa saja kegiatan ibadah yang Eko lakukan setiap hari?”
“Apa yang Eko rasakan setelah melakukan ibadah?”
“Jadi, melakukan ibadah dapat mengurangi marah”
Baiklah, minimal lakukan dua kegiatan ibadah Eko.
C. Terminasi
3.1 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan Eko setelah latihan tadi?”
3.2 Evaluasi objektif
“Apa saja latihannya, coba sebutkan.” “Sudah benar Eko.”
3.3 Rencana tindak lanjut klien
“Selanjutnya mari kita buat jadwal latihannya. Latihan relaksasi
berapa kali sehari? Latihan curhat dengan siapa? Atau mau menulis
saja? Bagaimana dengan latihan bicara yang baik terhadap orang yang
menimbulkan rasa marah. Jangan lupa melakukan kegiatan ibadah”

3.4 Rencana tindak lanjut perawat


“Baiklah, hari Kamis pagi datang ke Puskesmas, kita periksa lagi
kondisi dan latihannya serta diperiksa dokter. Jika dapat obat, nanti
akan dijelaskan cara minum obat yang benar.’

3.5 Salam
“Semoga cepat sembuh!”
DAFTAR PUSTAKA

Moomina Siauta, Hani Tuasikal, Selpina Embuai. 2020. Upaya Mengontrol Perilaku
Agresif Pada Perilaku Kekerasan Dengan Pemberian Rational Emotive
Behavior Therapy. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat
Nasional Indonesia. Maluku
Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing
Damayanti, & Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Keliat, B. A. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC.
Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Reny Tjahja Hidayati. 2018. Pengaruh Terapi Kognitif Dan Perilaku Terhadap
Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Pada Klien Skizofrenia Dengan
Defisit Perawatan Diri Di Rsjd Dr. Amino Gondohutomo. Surabaya.
Universitas Airlangga
Desak Made Ari Dwi Jayanti, dkk. 2022. Pengaruh Teknik Relaksasi Pernafasan
Dalam terhadap Perilaku Marah Pasien Skizofrenia di UPTD RSJ
Provinsi Bali. Bali. Journal of Health (JoH) - Vol. 9 No. 1 (2022), 1-8
Biyan Tazqiyatus Sudia, dkk. 2021. Aplikasi Terapi Relaksasi Nafas Dalam terhadap
Pengontrolan Marah dengan Pasien Gangguan Jiwa Resiko Perilaku
Kekerasan di Wilayah Desa Maleber Kabupaten Cianjur. Sukabumi.
Jurnal Lentera Volume 4, Nomor 1, Juli 2021
Salfiana, dkk. 2022. PENERAPAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF DAN
TERAPI WUDHU PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN: SUATU
STUDI KASUS. Aceh. JIM Fkep Volume 1 Nomor 2 Tahun 2022
Jek Amidos Pardede, Efendi Putra Hulu. 2020. Pengaruh Behaviour Therapy
Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah
Sakit Jiwa Prof.Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan. Lampung. Konas
Jiwa XVI Lampung
Nur Cahyo Sasongko, Eni Hidayati. 2020. Penerapan Terapi Musik, Dzikir dan
Rational Emotive Cognitive Behavior Therapy pada Pasien dengan
Resiko Perilaku Kekerasan. Semarang. Ners Muda, Vol 1 No 2, Agustus
2020/ page 93-99
I Komang Kariana. 2022. Pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
terhadap kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di rsj provinsi bali. Bali. Vol. 9 No. 1 (2022): Bali Medika
Jurnal Vol 9 No 1 Juli 2022
Susilawati, Panzilion. 2022. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap
Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Di
Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu. Bengkulu. Jurnal
Keperawatan Mandira Cendikia Vol.1 No. 1 Agustus 2022
LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA ISOLASI SOSIAL

KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:

YEMIMA ANGEL LORENCE (G1B222036)

CI KLINIK:

Ns. DERMANTO, S.Kep

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. YULIANA, S.Kep

Ns. RISKA AMALYA NASUTION, S.Kep., Sp.Kep.J

Ns. RETTY OCTISYAFRINI, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya (Sutejo, 2019). Isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk
membina hubungan yang erat, hangat, terbuka dan interdependen dengan orang
lain (SDKI,2017). Isolasi sosial adalah seperangkat pola atau sifat yang
menghambat kemampuan seseorang untuk mempertahankan hubungan yang
bermakna, perasaan puas dan menikmati hidup (Stuart, 2016).

B. PENYEBAB
Penyebab isolasi sosial yaitu:

1. Sulit berhubungan/berinteraksi dengan orang lain


2. Tidak mampu berhubungan/berinteraksi yang memuaskan
3. Perasaan malu
4. Perasaan tidak berharga
5. Pengalaman ditolak, dikucilkan, dan dihina
6. Keterlambatan perkembangan
7. Perubahan penampilan fisik
8. Perubahan status mental
9. Ketidaksesuaian dengan nilai-nilai dan norma
Berbagai faktor yang menyebabkan isolasi sosial antara lain sebagai berikut
(Suliswati, et.al, 2015):
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah aspek biologis, psikologis, genetik, sosial dan
biokimia. Penyebab isolasi sosial berdasarkan faktor predisposisi antara lain
sebagai berikut:

1. Faktor perkembangan.
Dalam pencapaian tugas perkembangan dapat mempengaruhi respon
sosial maladaptif pada setiap individu.

2. Faktor biologis.
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif,
keterlibatanneurotransmitter dalam perkembangan gangguan ini.

3. Faktor sosiokultural.
Norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak
menghargai anggota masyarakat yang kurang produktif, seperti lanjut
usia, orang cacat, dan penderita penyakit kronis dapat menyebabkan
terjadinya isolasi sosial.

4. Faktor keluarga.
Komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan
berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang
negatif akan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.

b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi adalah faktor pencetus terjadinya suatu masalah. Penyebab
isolasi sosial berdasarkan faktor presipitasi antara lain sebagai berikut:

1. Stres sosiokultural. Stres dapat ditimbulkan oleh karena menurunnya


stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti, misalnya
karena dirawat di rumah sakit.
2. Stressor psikologis. Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatas
C. TANDA DAN GEJALA
a) Mayor
Subjektif:

1 Ingin sendiri

2 Merasa tidak nyaman di tempat umum

3 Merasa berbeda dengan orang lain.

Objektif

1. Menarik diri
2. Menolak melakukan interaksi
3. Afek datar
4. Afek sedih
5. Afek tumpul
6. Tidak ada kontak mata
7. Tidak bergairah atau lesu
b) Minor
Subjektif:

1. Menolak berinteraksi denganorang lain


2. Merasa sendirian
3. Merasa tidak diterima
4. Tidak mempunyai sahabat
Objektif:

1. Menunjukkan permusuhan
2. Tindakan berulang
3. Tindakan tidak berarti

D. RENTANG RESPON
Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentang respon
yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum
berlaku. Sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan
individu untuk menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma
sosial dalam budaya setempat (Stuart, 2016).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri kesendirian Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

bekerjasama Ketergantungan Narcisissme


a. Respons adaptif
Saling tergantung
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan suatu hal dengan

keadaan
cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat (Sutejo, 2019).

1. Solitude (menyendiri)
Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan juga suatu cara mengevaluasi diri
untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya (Muhith, 2015). Respon
yang dilakukan individu dalam merenungkan hal yang terjadi atau
dilakukan dengan tujuan mengevaluasi diri untuk kemudian menentukan
rencana-rencana (Sutejo, 2019).
2. Otonomi
Kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam berhubungan sosial (Muhith, 2015). Dalam praktek
keperawatan memiliki kemandirian, wewenang dan tanggung jawab untuk
mengatur profesinya, mencakup kemandirian dalam memberikan asuhan
keperawatan. Sehingga individu mampu menetapkan diri untuk
interdependen dan pengaturan diri (Sutejo, 2019).
3. Mutualisme atau bekerja sama
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal di mana individu mampu
untuk saling memberi dan menerima (Muhith, 2015). . Kemampuan
individu untuk saling member dan menerima dalam hubungan sosial
(Sutejo, 2019).
4. Interdependen atau saling ketergantungan
Suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam
rangka membina hubungan interpersonal (Muhith, 2015). Kesediaan untuk
bertanggung jawab dan bahkan mampu mempunyai pekerjaan
(Pieter,2017). Mempunyai hubungan ketergantungan antar individu dalam
suatu hubungan (Sutejo, 2019)
b. Respons maladaptif
Respon maladaptif adalah respons individu dalam menyelesaikan masalah
dengan cara yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat (Sutejo,
2019).

1. Merasa sendiri ( kesepian )


Merupakan kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasingkan dari
lingkungannya (Yosep, 2013). Merasa tidak tahan atau yang lain
menganggap bahwa dirinya sendirian dalam menghadapi masalah,
cenderung pemalu, sering merasa tidak percaya diri dan minder (Muhith,
2015)
2. Menarik diri
Individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka
dengan orang lain. Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan
untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan
sementara (Muhith, 2015). Konsep diri yang tak realistis, perilaku
canggung sehingga membuat rasa kecewa pada diri sendiri, menghindar
dari orang lain dan bahkan mengisolasikan diri (Pieter,2017)
3. Tergantungan
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung
pada orang lain (Yosep, 2013). Gagal mengembangkan kemampuannya
untuk berfungsi secara sukses, merasa kesulitan yang beresiko menjadi
gangguan depresi dan gangguan cemas sehingga berkecenderungan
berpikiran untuk bunuh diri (Muhith, 2015).
4. Manipulasi
Perilaku dimana orang memperlakukan orang lain sebagai objek dan
bentuk hubungan yang berpusat di sekitar isu-isu kontrol dan perilaku
mereka sulit dipahami (Stuart, 2016). Gangguan hubungan sosial yang
terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai obyek dan
individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
Dan menurut Sutejo manipulasi dalam isolasi sosial adalah gangguan
sosial yang memperlakukan sebagai objek, dimana hubungan terpusat pada
pengendalian masalah orang lain dan individu cenderung berorientasi pada
diri sendiri, atau sikap mengontrol yang digunakan sebagai pertahanan
terhadap kegagalan atau frustasi yang dapat digunakan sebagai alat
berkuasa atas orang lain (Sutejo, 2019).
5. Impulsif
Ketidakmampuan belajar dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan
(Stuart, 2016). Adapula kondisi dimana seseorang mendapatkan dorongan
untuk melakukan sebuah tindakan tanpa memikirkan konsekuensinya
terlebih dahulu, ditandai dengan ciri pribadi jika bicara atau berbuat
seringkali tidak disertai alasan- alasan atau penalaran (Astuti, 2017).
Respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek yang tidak
dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan, tidak
mampu untuk belajar dari pengalaman dan tidak dapat melakukan
penilaian secara objektif (Sutejo, 2019).
6. Narcisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris,
harga diri rapuh, dan mudah marah-marah jika tidak mendapat dukungan
dari orang lain (Sutejo, 2019). Orang dengan gangguan kepribadian
narsistik memiliki harga diri yang rapuh, mendorong mereka untuk
mencari pujian dan kekaguman secara terus-menerus, berusaha
mendapatkan penghargaan (Stuart, 2016).
E. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme
koping yang sering digunakan adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi.
Proyeksi merupakan keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan klien
mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Splitting
merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai
baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang
lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).

F. PENATALAKSANAAN
a) Terapi Farmakologi
Pada pendekatan farmakologis, penderita skizofrenia biasanya diberikan obat
anti psikotik. Antipsikotik juga dikenal sebagai penenang mayor atau
neuroleptic. Pengobatan antipsikotik membantu mengendalikan perilaku
skizofrenia yang mencolok dan mengurangi kebutuhan untuk perawatan
rumah sakit jangka panjang apabila dikonsumsi pada saat pemeliharaanatau
secara teratur setelah episode akut. Prinsip pemberian farmakoterapi pada
skiofrenia adalah “start low, go slow” dimulai dengan dosis rendah
ditingkatkan sampai dosis noptimal kemudian diturunkan perlahan untuk
pemeliharaan. Berikut adalah sediaan antipsikotik yang sering diberikan.
Pemberian antipsikotik dilakukan melalui 3 tahapan dosis, initial, optimal dan
maintenance. Dosis optimal dipertahankan sampai 1-2 tahun. Dosis
maintenance diturunkan perlahan sampai mencapai dosis terkecil yang
mampu.
Haloperidol  Sediaan : tablet (0,5mg-1,5mg- 2mg5mg),
injeksi (ampul, 1cc-5mg, im/iv), tetes/oral
(Haldol,
Lodomer solution (30ml, dosis : 1 cc-2mg). injeksi long
dll)
acting (50mg/cc/4minggu).

 Dosis initial : 5 mg/hari, 2x sehari.

 Dosis optimal : 5-15mg/hari, 2-3x hari.


Chlorpromazine  Sediaan : tablet (25mg, 100mg), injeksi (50mg/2ml, im)
(Largactil,
Cepezet)  Dosis initial : 100-150mg/hari, sehari1-2x

 Dosis optimal : 150-600mg/hari, sehari 2-3x.


Trifluoperazine  Sediaan : tablet (1mg, 5mg).
(Stelazine)
 Dosis initial : 5mg,

 Dosis optimal : 10-15 mg/hari, 2-3x sehari.


G. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan
menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut
(Yosep & Sutini, 2014).

Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor


presipitasi, penilaian stressor, sumber koping yang dimiliki klien. Setiap
melakukan pengajian, tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi
pengkajian meliputi :
a. Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS, informan, tanggal pengkajian, no rumah klien dan alamt klien.
b. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi
dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, dependen.
c. Faktor Predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan, orang tua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya;
perubahan struktur sosial.Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus
dioperasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu
karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan, dipenjara tiba-tiba) perlakuan
orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri
yang berlangsung lama.
d. Aspek Fisik/Biologis
Hasil pengukuran tanda vita (TD, nadi, suhu, pernafasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek Psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi.
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang
akan terjadi.
b) Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan
tidak mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Berubah atau terhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputusan karena penyakitnya mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan
sosial, merendahkan martabat, mencederai diri dan kurang percaya
diri.
f) Status mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mempertahankan kontak
mata, kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri
dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain, adanya
perasaan keputusan dan kurang berharga dalam hidup.
g) Kebutuhan persiapan pulang
1) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan.
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan wc, membersihkan dan merapikan pakaian.
3) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi.
4) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas
didalam dan diluar rumah.
5) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar
h) Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau
menceritakannya pada orang lain (lebih sering menggunakan
koping menarik diri).

i) Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,
psikomotor, therapy okopasional, TAK, dan rehabilitas.

Format Pengkajian ini dibuat guna mendapatkan semua data relevan


tentang masalah pasien sekarang, dulu atau mendatang, sehingga diperoleh
suatu dasar yang lengkap. Format pengkajian pasien isolasi sosial dan
masalah keperawatan (Keliat & Akemat, 2009)

1) Orang yang berarti bagi pasien.


2) Peran serta dalam kegiatan kelompok atau masyarakat.
3) Hambatan hubungan dengan orang lain.
Dengan masalah keperawatan :
1) Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2) Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3) Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
4) Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
5) Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
6) Pasien merasa tidak berguna.
7) Pasien merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
Data yang diperoleh dikelompokkan menjadi dua macam seperti berikut :
a. Data objektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui
observasi dan pemeriksaan langsung oleh perawata.
1) Tidak memiliki teman dekat
2) Menarik diri
3) Tidak komunikatif
4) Tindakan berulang dan tidak bermakna
5) Asyik dengan fikirannya sendiri
6) Tidak ada kontak mata
7) Tampak sedik, afek tumpul.
b. Data subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan
keluarga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada pasien dan
keluarga.
1) Bagaimana pendapat pasien terhadap orang-orang disekitarnya
(keluarga dan tetangga)?
2) Apakah pasien memiliki teman dekat?
3) Apa yang membuat pasien tidak memiliki orang yang terdekat
dengannya?
4) Apa yang pasien inginkan dari orang-orang sekitarnya?
5) Apakah ada perasaan tidak aman yang dialami pasien?
6) Apakah ada yang menghambat hubungan harmonis antara pasien dan
orang sekitanya?
7) Apakah pasien merasa bahwa waktu begitu lama berlalu?
8) Apakah pernah perasaan ragu untuk dapat melanjutkan hidup?
Perawat dapat menyimpulkan kebutuhan atau masalah pasien dari kelompok data
yang dikumpulkan. Kemungkinan kasimpulan adalah sebagai berikut : (Anna &
Keliat, 2009).
a. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan
1) Pasien dapat memerlukan peningkatan kesehatan, tetapi hanya
memerlukan pemeliharaan kesehatan dan memerlukan tindak lanjut
(follow up) secara perioditik karena tidak ada masalah, serta pasien
telah mempunyai pengetahuan untuk antisipasi masalah.
2) Pasien memerlukan peningkatan atau kesehatan berupa
3) upaya prepensi dan promosi, sebagai program antisipasi terhadap
masalah.
b. Ada masalah dengan kemungkinan
1) Resiko terjadi masalah karena sudah ada faktor yang dapat
menimbulkan masalah.
2) Aktual terjadi masalah disertai data pendukung
Dari data yang dikumpulkan dengan menggunakan format
pengkajian, perawat langsung merumuskan masalah keperawatan
pada setiap kelompok data yang terkumpul untuk merumuskan
masalah tentang diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif.
2. Pohon Masalah
Berdasarkan data-data tersebut diatas dapat dibuat pohon masalah yaitu:

3. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan interprestasi ilmiah dari data pengkajian
yang digunakan untuk mengarahkan perencanaan, implementasi, dan evaluasi
keperawatan. (Damaiyanti & Iskandar, 2012). Diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien dengan isolasi sosial yaitu Isolasi social.

4. Tindakan Keperawatan
1. Tindakan pada klien
Tindakan keperawatan ners

a) Pengkajian: Kaji tanda dan gejala isolasi sosial serta penyebabnya


b) Diagnosis: Jelaskan proses terjadinya isolasi sosial
c) Tindakan keperawatan ners
1) Diskusikan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
2) Diskusikan keuntungan melakukan kegiatan bersama orang lain
3) Latih klien berkenalan
4) Latih klien bercakap-cakap saat melakukan kegiatan sehari-hari.
5) Latih klien kegiatan sosial: berbelanja, ke rumah ibadah, ke arisan ke
bank, dan lain-lain
2. Tindakan pada keluarga
Tindakan keperawatan ners
a) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
b) Menjelaskan proses terjadinya isolasi sosial yang dialami klien.
c) Mendiskusikan cara merawat isolasi sosial dan memutuskan cara merawat
yang sesuai dengan kondisi klien.
d) Melatih keluar cara merawat isolasi sosial:
1) Membuat jadwal bercakap-cakap dengan klien.
2) Membantu klien berkenalan dengan orang baru.
3) Melibatkan klien melakukan kegiatan rumah tangga dan activity
4) Melibatkan klien elakukan kegiatan sosial: berbelanja,
menghadiri daily living secara bersama dan bercakap-
cakap.kegiatan ibadah, terlibat kegiatan kelompok seperti arisan
kerja bakti dan lain-lain.
5) Memberikan dukungan, kesempatan terlibat dan pujian pada
klien.
3. Tindakan pada kelompok klien
Tindakan keperawatan ners: TAK sosialisasi

Sesi 1: Memperkenalkan diri


Sesi 2: Berkenalan
Sesi 3: Bercakap-cakap topik umum
Sesi 4: Bercakap-cakap topik tertentu
Sesi 5: Bercakap-cakap masalah pribadi
Sesi 6: Bekerja sama
Sesi 7: Evaluasi kemampuan sosialisasi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nofrida,dkk (2017) didapatkan hasil
bahwa ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan
sosialisasi klien isolasi sosial di ruang rawat inap rumah sakit jiwa daerah
provinsi Jambi tahun 2016. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Ari,dkk (2021) didapatkan hasil bahawa terdapat pengaruh terapi aktivitas
kelompok sosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial pasien
skizofrenia di Ruang Jiwa RSI Banjarnegara dengan nilai p value 0,0001.

5. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan merupakan standar dari asuhan keperawatan yang
berhubungan dengan aktivitas keperawatan profesional yang dilakukan oleh
perawat, dimana implementasi dilakukan ada pasien, keluarga dan komunitas
berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat.

Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa


menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah penyakit
meningkat, mempertahankan, dan memulihkan kesehaatan fisik dan mental.
Kebutuhan pasien terhadap pelayanan keperawatan dan dirancang pemenuhan
kebutuhannya. Melalui standar pelayanan dan asuhan keperawatan. Pedoman
yang dibuat untuk tindakan pada pasien baik secara individual, kelompok
maupun terkait dengan ADL (Activity Daily Living). Dengan adanya perincian
kebutuhan waktu, diharapkan setiap perawat memiliki jadwal harian masing-
masing pasien sehingga waktu kerja perawat menjadilebih efektif dan efisien
(Keliat & Akemat, 2009).

6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah pengukuran keefektifan pengkajian, diagnosis, perencanaan,
dan implementasi (Rasdal & Mary, 2014). Evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan untuk menilai afek dari tindakan pada pasien. Evaluasi dilakukan
secara terus-menerus pada respon pasien terhadap keperawatan yang telah
dilaksanakan, evaluasi dibagi menjadi dua, evaluasi proses atau formatif, yang
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang
dilakukan dengan membandingkan antara respon pasien dan tujuan khusus serta
umum yang telah ditentukan (Keliat, 2006).

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan :

S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilakukan.
O : Respon objektif pasien terhadap keperawatan yang telah dilakukan
A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalah baru
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon pasien
yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak lanjut oleh perawat.

Didalam evaluasi ada terdapat dua menurut Damaiyanti (2014), sebagai berikut :
a. Planning perawat adalah apa tindakan selanjutnya yang akan dilakukan.
b. Planning klien adalah memotivasi klien agar klien mampu melaksanakan
kegiatan hariannya.
H. STRATEGI PELAKSANAAN

STANDAR PELAKSANAAN KOMUNIKASI (SP 1)

DENGAN KLIEN ISOLASI SOSIAL

Pertemuan ke-1 Klien

1. Orientasi
1.1 Salam
“Selamat pagi Dik. perkenalkan saya Perawat Budi, perawat rumah sakit Harja.
Nama Adik siapa? senang panggil apa?”

“Oh baik, kalau begitu saya memanggilnya dengan Nina ya"

1.2 Evaluasi
“Apa yang Nina rasakan saat ini ?”

“Oo.. Jadi Nina sering merasa kesepian?”

“Sudah berapa lama Nina merasa kesepian ?”

1.3 Validasi
“Apa yang telah Nina lakukan untuk mengatasi rasa Kesepian?”

“Lalu, bagaimana manfaatnya?”

1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan

“Baik, karena Nina mengatakan merasa kesepian, bagaimana kalau saya


periksa dulu? Selanjutnya kita akan latihan bagaimana caranya untuk
mengatasi rasa kesepian tersebut.Tujuannya supaya Nina mampu
bersosialisasi dengan orang lain.”
“Bagaimana? apakah Nina setuju?”

14.2 Waktu

“Baik, kita akan berdiskusinya selama 30 menit ya, Nina.”

14.3 Tempat

“Bagaimana kalau kita bercakap-cakap di ruang tamu?”

2. Kerja
2.1 Pengkajian
“Apa yang Nina rasakan saat sedang bersama dengan orang? Apakah ada
perasaan tidak nyaman jika bersama orang lain? Menurut Nina bagaimana sikap
keluarga terhadap bagaimana pendapat Nina tentang sikap tetangga?”
“Siapa saja anggola keluarga yang sering bercakap-cakap dengan Nina? Apa saja
yang biasanya dipercakapkan ? SElain anggotav keluarga siapa teman terdekat
Nina? Apa alasannya Nina senang bercakap-cakap dan merasa dekat dengan.....?
Siapa saja yang jarang atau bahkan tidak pernah bercakap-cakap dengan Nina?
apa yang meyeoabkan Nina tidak ingin bercakap-cakap dengan orang lain selain
dengan orang yang dekat? Apakah ada pengalaman yang tidak menyenangkan
ketika bergaul dengan orang lain? Apakah ada yang menghambat Nina dalam
berteman atau bercakap-cakap dengan orang lain?”
2.2 Diagnosis
“Nina sering merasa kesepian, merasa ditolak oleh orang lain dan takut
bercakap-cakap dengan orang lain sehingga berdiam diri di kamar. Ini kita sebut
isolasi soslal. Bagaimana kalau Nina latihan bercakap-cakap dengan orang lain?"
2.3 Tindakan

2.3.1 Diskusikan keuntungan apabila klien memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka. "Menurut Nina, apabila saja manfaat jika kita
memiliki banyak teman? Benar, jika memiliki banyak teman maka........”
2.3.2 Diskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain. "Menurut Nina, apa saja kerugiannya jika kita tidak
bergaul dengan orang lain? Benar sekali?”
2.3.3 Jelaskan kepada klien cara bercakap-cakap dengan orang lain.
“Jika kita telah mengenal orang yang akan diajak bercakap-cakap, kita
dapat langsung menghampiri, menyapa dan mengajaknya bercakap-cakap.”
“Jika kita belum mengenal orang yang akan diajak bercakap-cakap maka
hal pertama yang dilakukan adalah berkenalan dengan orang tersebut.”
2.3.4 Latihan berkenalan
Contohkan: Jika ada orang baru, tamu tidak dikenal lakukan seperti ini:
“Selamat pagi, kenalkan saya budi Keliat, panggil saya Budi, saya tinggal
di Bogor, hobi saya membaca.”
Lakukan dengan: “Namanya Siapa panggilannya, tinggal di mana, hobinya.
Wah senang berkenalan.”
Dampingi : “Ayo coba Nina lakukan kepada saya mulai perkenalan diri
(berikan dukungan), bagus sekali.
Mandiri : “Ayo sekarang coba lagi sendiri (berikan dukungan), dapat
diulang beberapa kali, mari kita coba dengan orang lain (dapat dicoba
dengan orang lain disekitar).
2.3.5 Latih bercakap-cakap dalam keluarga
Diskusikan percakapan dalam keluarga: salam, berbagi pengalaman , minta
bantuan. Beri contoh, dampingi dan klien mandiri melakukannya.
2.3.6 Latih klien bercakap-cakap dengan anggota keluarga saat melakukan
kegiatan sehari-hari dan kegiatan rumah tangga.
- Nina dapat bercakap-cakap dengan anggota keluarga saat melakukan
kegiatan sehari-hari dan kegiatan rumah tangga.
- Apa saja kegiatan yang biasa dilakukan keluarga?
- Apa saja Kegiatan yang biasa Nina lakukan saat bersama keluarga?
Contoh: Merapikan tempat tidur dengan lbu sambil bercakap-cakap
Dampingi : Klien dan 1bu merapikan tempat tidur.
Mandiri: Jadwalkan klien melakukan sendiri
2.3.7 Latihan bercakap-cakap dalam kegiatan sosial
 Diskusikan kegiatan sosial; yang biasa dilakukan, misalnya belanja ke
warung, kegiatan ibadah (sholat jumat, Ke gereja, Ke Pura, dan lain-
lain )
 Latihan belanja ke warung
 Siapkan catatan yang akan dibeli dan membawa uang.
 Memberi salam kepada penjual diwarung:
 “Selamat pagi,saya mau beli gula 1 kg”
 “Berapa harganya?”
 “Ini uangnya, tunggu kembalian, lalu menghitung dengan tepat”
 “Terimakasih”
 Beri contoh. dampingi dan klien melakukan sendiri.
3. Terminasi
3.1 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan Nina setelah latihan kegiatan tadi?”

3.2 Evaluasi objektif


“Apakah Nina masih ingat kegiatan apa saja yang tela kita latih bersama tadi?
Bagus sekali. Latihan berkenalan dengan orang baru,bercakap-cakap dalam
keluarga, melakukan kegiatan dengan bercakap-cakap dan latihan kegiatan
sosial.”
3.3 Rencana tindak lanjut klien
“Baiklah, mari kita masukkan dijadwal kegiatan harian Nina”
a. Berkenalan setiap kali bertemu orang baru
b. Bercakap-cakap dalam keluarga saat pagi, sore, dan saat makan
bersama.
c. Melakukan kegiatan sambil bercakap-cakap.
d. Melakukan latihan kegiatan sosial
3.4 Rencana Tindak Lanjut Perawat
“Baiklah, hari Rabu silakan Nina datang ke rumah sakit agar diperiksa oleh
dokter. Jika dapat obat, akan dijelaskan cara minum obat yang benar. Saya
akan periksa juga dengan latihannya"

3.5 Salam
Semoga Nina lekas sembuh."
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E., Suliswati, Rochimah, Suryati, K. R., & Lestari, W. (2014). Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa (p. x + 200). CV. Jakarta: Trans
Info Media

Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa( Teori dan Aplikasi). Yogyakarta:

Pieter, H. (2017). Edisi Pertama Kencana: Dasar-Dasar Komunikasi Bagi Perawat.


Jakarta: PT Kharisma Putra Utama.

SDKI. (2017). D.0121 Isolasi Sosial SDKI Standart Diagnosis Keperawatan


Indonesia.

Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa : Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan


Kesehatan Jiwa Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.

Stuart.Gail.W (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa : Indonesia: Elsever. Suerni titik


dkk.(2013). Penerapan Tetapi Kognitifdan Psikoedukasi Keluarga.
WHO, dalam Yosep 2013 Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta UU
kesehataan jiwa No 18 pasal 1 Tahun 2014 Buku Saku Diagnosis Gangguan
Jiwa. Jakarta

Yosep & Sutini (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Keliat, B.A. & Akemat. (2006). Proses Keperawatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Nofrida Saswati dan Sutinah. 2017. PENGARUH TERAPI AKTIVITAS


KELOMPOK SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN SOSIALISASI
KLIEN ISOLASI SOSIAL. Program Studi Ilmu Keperawatan (STIKes
Harapan Ibu Jambi). Jurnal Endurance 3(2) Juni 2018 (292-301)
Ari Yogo Prasetiyo, Ita Apriliyani, dan Feti Kumala Dewi. 2021. Pengaruh Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Pasien
Skizofrenia di Bangsal Jiwa RSI Banjarnegara. Seminar Nasional Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat (SNPPKM) ISSN: 2809-2767 Purwokerto,
Indonesia.
LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA WAHAM

KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:

YEMIMA ANGEL LORENCE (G1B222036)

CI KLINIK:

Ns. DERMANTO, S.Kep

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. YULIANA, S.Kep

Ns. RISKA AMALYA NASUTION, S.Kep., Sp.Kep.J

Ns. RETTY OCTISYAFRINI, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022/2023
KONSEP WAHAM

A. DEFINISI
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses
stimulus internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa
waham yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau
dibuktikan denganrealitas. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai
dengan tingkat intelektualdan latar belakang budayanya, serta tidak dapat
diubah dengan alasan yanglogis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan
berulang kali (Kusumawati,2010).
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah keyakinan
seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yangsalah. Keyakinan klien
tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latarbelakangbudayaklien.
B. ETIOLOGI
Menurut Sutejo, 2017 faktor penyebab waham yaitu :
1. Faktor predisposisi (Predisposing factor)
Faktor predisposisi terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor biologis, faktor
psikologis, dan faktor sosial budaya.
a. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan lindik.
Abnormalitas otak yang menyebabkan respons neurologis yang
maladaptif yang bar mulai dipahami. Hal ini termasuk hal-hal
berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan
otak yang luas dan dalam perkem bangan skizofrenia. Hal yang
paling berhubungan dengan perilaku psikotik adalah adanya lesi
pada area frontal, temporal, dan limbik.
2) Beberapa senyawa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia.
Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut ini: kadar
dopamine neurotransmitter yang berlebihan, ketidakseimbangan
antara dopamin dan neurotransmitter lain, masalah-masalah yang
terjadi pada sistem respons dopamine.
b. Fator psikologis
Tori psikodinamika yang mempelajari terjadinya respons
neurobiologi yang maladaptif belum didukung oleh penelitian.
Teori psikologi terdahulu menyalahkan keluarga sebagai penyebab
gangguan ini, sehingga menimbulkan kurangnya rasa percaya
(keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa profesional). Waham ini
juga dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan dari keluarga.
Misalnya saja, sosok ibu adalah tipe pencemas, sedangkan sosok
ayah adalah tipe yang kurang atau tidak peduli.
c. Faktor sosial budaya
Secara teknis, kebudayaan merupakan ide atau tingkah laku yang
dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Kebudayaan turut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
seseorang, misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku
dalam kebudayaan tersebut. Unsur-unsur dari faktor social budaya
dapat mencakup kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat
ekonomi, perumahan (perkotaan lawan pedesaan), masalah
kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan 11 yang tidak memadai, pengaruh
rasial dan keagamaan, serta nilainilai (Yosep, 2009). Di sisi lain,
timbulnya waham dapat disebabkan oleh perasaan teasing dari
lingkungannya dan kesepian (Direja, 2011).
2. Faktor biologis
Berbagai zat dan kondisi medis non-psikiatrik dapat
menyebabkan waham, sehingga menyatakan bahwa faktor biologis
yang jelas dapat menyebabkan waham. Akan tetapi, tidak semua orang
dengan tumor memiliki waham. Klien yang wahamnya disebabkan
oleh penyakit neurologis serta yang tidak memperlihatkan gangguan
intelektual, cenderung mengalami waham kompleks yang serupa
dengan penderita gangguan waham. Sebaliknya, penderita gangguan
neurologis dengan gangguan intelektual sering mengalami waham
sederhana. Jenis waham sederhana ini tidak seperti waham pada klien
dengan gangguan waham.
Timbulnya gangguan waham bisa merupakan respons normal
terhadap pengalaman abnormal pad lingkungan, sistem saraf tepi, atau
sistem saraf pusat. Jadi, jika klien mengalami pengalaman sensorik
yang salah, seperti merasa dikuti (mendengar langkah kaki), klien
mungkin percaya bahwa mereka sebenarnya diikuti. Hipotesis tersebut
tergantung pada pengalaman seperti halusinasi yang perlu dijelaskan.
Sementara itu, pengalaman halusinasi tersebut pada gangguan waham
tidak terbukti.
3. Faktor psiko dinamik
Banyak klien dengan gangguan waham memiliki suatu kondisi
sosial terisolasi dan pencapaian sesuatu dalam kehidupannya tidak
sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Teori psikodinamik spesifik
mengenai penyebab dan evolusi gejala waham melibatkan anggapan
seputar orang hipersensitif dan mekanisme ego spesifik, pembentukan
reaksi, proyeksi, dan penyangkalan.
4. Mekanisme defense
Klien dengan gangguan waham menggunakan mekanisme defensi
berupa proyeksi, penyangkalan, dan pembentukan reaksi. Pembentukan
reaksi digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap agresi,
kebutuhan untuk bergantung, dan perasaan afeksi serta transformasi
kebutuhan akan ketergantungan menjadi ketidaktergantungan yang
berkepanjangan. Untuk menghindari kesadaran terhadap realita yang
menurutnya menyakitkan, klien menggunakan mekanisme
penyangkalan (Sadock & Sadock, 2010). Ditimbun oleh perasaan
dendam, marah, dan permusuhan kepada orang lain, klien menggunakan
proyeksi untuk melindungi diri mereka sendiri dari pengenalan impuls
yangtidak dapat diterima dalam diri mereka.
C. TANDA DAN GEJALA
Menurut Sutejo, 2017 gejala gangguan waham dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu kognitif, afektif, perilaku dan hubungan sosial serta gejala
fisik.
1. Gejala kognitif waham :
a. Tidak mampu membedakan realita dan fantasi
b. Keyakinan yang kuat terhadap keyakinan palsunya
c. Mengalami kesulitan dalam berpikir realita
d. Tidak mampu dalam mengambil keputusan
2. Gejala afektif waham :
a. Situasi yang tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul (blunted affect)
c. Gejala perilaku dan hubungan social :
 Hipersensitifitas
 Depresi
 Ragu-ragu
 Hubungan interpersonal dengan orang lain bersifat dangkal
 Mengancam secara verbal
 Aktivitas tidak tepat
 Impulsive
 Curiga
 Pola pikir stereotip
3. Gejala fisik :
 Kebersihan diri kurang
 Muka pucat
 Sering menguap
 Turunnya berat badan dan nafsu makan
 Sulit tidur
D. KLASIFIKASI WAHAM
Menurut Yosep (2010), waham diklasifikasikan menjadi 5 macam :
1. Waham kebesaran (Grandiosity)
Klien meyakini bahwa memiliki suatu kebesaran atau kekuasaan
terhadap dirinya.
2. Waham agama (Religious)
Klien memiliki keyakinan berlebihan terhadap suatu agama.
3. Waham somatik (Somatic)
Klien meyakini bahwa tubuh atau bagian dari tubuhnya terganggu atau
terserang suatu penyakit.
4. Waham nihilistik (Nihilistic)
Klien meyakini bahwa dirinya sudah tiada atau meninggal dan
keyakinannya terhadap hal ini diucapkan secara berulang-ulang.
5. Waham bizar (Bizarre)
Suatu paham yang melibatkan fenomena keyakinan seseorang yang
sama sekali tidak masuk akal.Waham bizar terdiri dari waham sisip
pikir (thought of insertion), waham siar pikir (thought of
broadcasting), dan waham kendali pikir (thought of being controlled).
a. Waham sisip pikir adalah waham di mana klien meyakini bahwa
ada pikiran orang lain yang disisipkan dipikirannya
b. Waham siar pikir adalah waham di mana klien memiliki
keyakinan yang tidak masuk akal bahwa orang lain dapat
mendengar atau menyadari pikirannya.
c. Waham kontrol pikir adalah waham dimana pikirannya dikontrol
oleh kekuatan yang adadiluardirinya
E. RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pikiran logis Disorientasi pikiran Gangguan pikiran/

Presepsi akurat waham


Emosi konsisten Ilusi
Prilaku sesuai Reaksi Emosi Ber (+/-) Sulit berespon
Berhubungan sosial Perilaku aneh /tidak Perilaku kacau
Biasa Menarik diri Isolasi sosial
F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari
pengalaman yang menakutkan dengan respon neurobiologist yang
maladaptive meliputi: regresi berhubungandengan masalah proses
informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas, proyeksi sebagaiupaya
untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik diri, pada keluarga:
mengingkari.
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
a. Psikofarmalogi
1) Litium Karbonat
Jenis litium yang paling sering digunakan untuk mengatasi
gangguan bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Litium
masih efektif dalam menstabilkan suasana hati pasien dengan
gangguan bipolar. Gejala hilang dalam jangka waktu 1-3
minggu setelah minum obat juga digunakan untuk mencegah
atau mengurangi intensitas serangan ulang pasien bipolar
dengan riwayat mania.
2) Haloperidol
Obat antipsikotik (mayor tranquiliner) pertama dari
turunan butirofenon. Mekanisme kerja yang tidak diketahui.
Haloperidol efektif untuk pengobatan kelainan tingkah laku
berat pada anak-anak yang sering membangkang dan
eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk pengobatan jangka
pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan aktivitas
motorik berlebih memiliki kelainan tingkah laku seperti:
Impulsif, sulit memusatkan perhatian, agresif, suasana hati
yang labil dan tidak tahan frustasi.
3) Karbamazepin
Karbamazepin terbukti efektif, dalam pengobatan kejang
psikomotor, dan neuralgia trigeminal. Karbamazepin secara
kimiawi tidak berhubungan dengan obat antikonvulsan lain
atau obat lain yang digunakan untuk mengobati nyeri pada
neuralgia trigeminal.
2. Penatalaksanaan non medis
a. Tindakan Kepada klien
1) Pengkajian : kaji tanda dan gejala, penyebab waham dan
kemampuan klien mengatasinya.
2) Diagnosis : jelaskan proses terjadinya waham
3) Tindakan keperawatan :
a) Sikap perawat : kalem, lembut, netral, jujur, hindari
pertentangan, bicara jelas, dan simpel.
b) Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien.
c) Yakinkan klien berada pada lingkungan yang aman.
d) Bantu klien untuk orientasi realitas ( orang, tempat dan
waktu ).
e) Diskusikan kebutuhan klien yang belum terpenuhi.
f) Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan yang realistis.
g) Diskusikan kemampuan/aspek positif yang dimiliki klien.
h) Latih klien dalam melakukan kemampuaan aspek postif
yang dimiliki.
b. Tindakan pada keluarga
Tindakan Keperawatan :
1) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat
klien.
2) Menjelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta
proses terjadinya waham yang dialami klien.
3) Mendiskusikan cara merawat waham dan memutuskan cara
merawat yang sesuai dengan kondisi klien.
4) Mendiskusikan cara merawat waham dan memutuskan cara
merawat yang sesuai dengan kondisi klien.
5) Melatih keluarga cara merawat waham :
a) Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien
(netral)
b) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan
waham sesuai dengan yang dilatih perawat kepada klien.
c) Memberi pujian atas keberhasilan klien
6) Melibatkan seluruh anggota keluarga dalam membimbing
orientasi realita ( orang, tempat, dan waktu ), memenuhi
kebutuhan klien yang tidak terpenuhi, motivasi melakukan
kemampuan/aspek postif yang dimiliki. Memberi pujian atas
keberhasilannya.
7) Menjelaskan tanda dan gejala yang memerlukan rujukan
segera serta melakukan follow up ke pelayanan kesehatan
secara teratur.
c. Tindakan pada kelompok klien
Tindakan keperawatan
Terapi aktivitas kelompok : orientasi realita
1) Sesi 1 : pengenalan orang
2) Sesi 2 : pengenalan tempat
3) Sesi 3 : pengenalan waktu
H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identifikasi klien
Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak
dengan klien tentang: Nama klien, panggilan klien, Nama
perawat, tujuan,waktu pertemuan,topic pembicaraan.
b. Keluhan utama/alasan masuk
Tanyakan pada keluarga/klien hal yangmenyebabkan klien dan
keluarga datang ke Rumah Sakit, yang telah dilakukan keluarga
untuk mengatasi masalah dan perkembangan yang dicapai.

c. Tanyakan pada klien/ keluarga, apakah klien pernah mengalami


gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan, mengalami,
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluargadan tindakan kriminal.
d. Aspek fisik/biologis

Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi, suhu,


pernafasan.Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau perlu kaji
fungsi organ kalau ada keluhan
e. Aspek psikososial
 Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi
yang dapat menggambarkan hubungan klien dan keluarga,
masalah yang terkait dengan komunikasi, pengambilan
keputusan dan pola asuh.
 Konsep diri

1) Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap tubuhnya,


bagian yang disukai dan tidak disukai.
2) Identitas diri: status dan posisi klien sebelum dirawat,
kepuasan klien terhadap status dan posisinya dan kepuasan
klien sebagai laki-laki/ perempuan.
3) Peran diri : tugas yang diemban dalam keluarga / kelompok
dan masyarakat dan kemampuan klien dalam melaksanakan
tugas tersebut.
4) Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status,
tugas,lingkungan dan penyakitnya.
5) Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian
dan penghargaan orang lain terhadap dirinya, biasanya
terjadi pengungkapan kekecewaan terhadap dirinya sebagai
wujud harga diri rendah
6) Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat
f. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
g. Status mental
Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien,
aktvitas motori klien, alam perasaan klien (sedih, takut,
khawatir), afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi
klien, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
konsentasi dan berhitung, kemampuan penilaian dan daya tilik
diri.
h. Proses pikir
Proses pikir dalam berbicara jawaban klien kadang meloncat-
loncatdari satu topik ketopik lainnya, masih ada hubungan yang
tidak logisdan tidak sampai pada tujuan (flight of ideas) kadang-
kadang klien mengulang pembicaraan yang sama (persevere)
Masalah keperawatan: Gangguan Proses Pikir.
i. Isi pikir
Contoh isi pikir klien saat diwawancara:
 Klien mengatakan bahwa dirinya banyak mempunyai pacar,
dan pacarnya orang kaya dan bos batubara
Masalah keperawatan: waham kebesaran.
 Klien mengatakan alasan masuk RSJ karena sakit liver.
Masalah keperawatan : waham somatik.

j. Kebutuhan kesiapan pulang


 Kemampuan makan klien, klien mampu menyiapkan dan
membersihkan alat makan
 Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan WC serta membersihkan dan merapikan
pakaian
a) Mandi klien dengan cara berpakaian, observasi
kebersihan tubuh klien.
b) Istirahat dan tidur klien, aktivitas didalam dan diluar
rumah
c) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksi yang
dirasakan setelah minum obat.
k. Masalah psikososial dan lingkungan dari data keluarga atau klien
mengenai masalah yang dimiliki klien.
l. Pengetahuan Data didapatkan melalui wawancara dengan klien
kemudian tiap bagian yang dimiliki klien disimpulkan dalam
masalah.
m. Aspek medic Terapi yang diterima oleh klien: ECT, terapi antara
lain seperti terapi psikomotor, terapi tingkah laku, terapi
keluarga, terapi spiritual, terapi okupasi, terapi lingkungan.
Rehabilitasi sebagai suatu refungsionalisasi dan perkembangan
klien supaya dapat melaksanakan sosialisasi secara wajar dalam
kehidupan bermasyarakat.
2. POHON MASALAH

Resiko menciderai diri,


orang lain dan lingkungan

Perubahan proses pikir :


waham

Harga Diri Rendah

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan Proses Pikir : Waham

4. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tindakan pada Klien
 Tindakan Keperawatan Ners Kepada klien
1) Pengkajian : kaji tanda dan gejala, penyebab waham dan
kemampuan klien mengatasinya.
2) Diagnosis : jelaskan proses terjadinya waham
3) Tindakan keperawatan :
a) Sikap perawat : kalem, lembut, netral, jujur, hindari
pertentangan, bicara jelas, dan simpel.
b) Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien.
c) Yakinkan klien berada pada lingkungan yang aman.
d) Bantu klien untuk orientasi realitas (orang, tempat dan
waktu).
e) Diskusikan kebutuhan klien yang belum terpenuhi.
f) Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan yang realistis.
g) Diskusikan kemampuan/aspek positif yang dimiliki klien.
h) Latih klien dalam melakukan kemampuaan aspek postif
yang dimiliki.
 Tindakan Keperawatan Spesialis : Tindakan Kognitif Perilaku
1) Sesi 1 : Mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis negatif dan
perilaku negatif.
2) Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negatif.
3) Sesi 3 : Mengubah perilaku negatif menjadi positif
4) Sesi 4 : Memanfaatkan system pendukung
5) Sesi 5 : Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif dan
mengubah perilaku negative
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari 5 jurnal sejenis dan 1
jurnal pembanding dengan intervensi yang berbeda yang
dilakukan oleh Jihan (2021) terapi CBT dan musik efektif untuk
menurunkan kecemasan pada pasien gangguan jiwa, khusunya
pasien skizofrenia dengan waham. Dan berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Nadiya (2021) didapatkan hasil penelitian
menunjukkan perbedaan tingkat kecemaan pasien waham antara
sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif pada pasien
gangguan jiwa waham yang menjalani rawat inap di rsjd dr. arif
zainudin surakarta, didapatkan laki-laki (90%), umur 26-35 tahun
(40%), sma (53,3%), bekerja (80%) lama menderita gangguan
jiwa 1-5 tahun (50%). dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
terjadi penurunan tingkat kecemasan pada pasien waham setelah
diberikan terapi kognitif.
Tindakan pada Keluarga
a. Tindakan keperawatan ners
1) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
2) Menjelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya waham yang dialami klien
3) Mendiskusikan cara merawat waham dan memutuskan cara
merawat yang sesuai dengan kondisi klien
4) Melatih keluarga cara merawat waham:
a) Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien (netral)
b) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan
waham sesuai dengan yang dilatih perawat kepada klien
c) Memberi pujian atas keberhasilan klien
5) Melibatkan seluruh anggota keluarga dalam membimbing
orientasi realita (orang, tempat dan waktu), memenuhi kebutuhan
klien yang tidak terpenuhi, memotivasi melakukan kemampuan/
aspek positif yang dimiliki. Memberi pujian atas
keberhasilannya.
6) Menjelaskan tanda dan gejala yang memerlukan rujukan segera
serta melakukan follow up kepelayanan kesehatan secara teratur
b. Tindakan keperawatan spesialis: Psikoedukasi keluarga
1) Sesi 1: Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dihadapi klien
dan masalah kesehatan keluarga dalam merawat klien
2) Sesi 2: Merawat masalah kesehatan klien
3) Sesi 3: Manajemen stress untuk keluarga
4) Sesi 4: Manajemen beban untuk keluarga
5) Sesi 5: Memanfaatkan system pendukung
6) Sesi 6: Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zulhaini,dkk (2022)
terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemandirian klien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah. Dan berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh
Tindakan pada Kelompok Klien
a. Tindakan keperawatan ners
Terapi aktivitas kelompok: orientasi realita.
1) Sesi 1: Pengenalan orang
2) Sesi 2: Pengenalan tempat
3) Sesi 3: Pengenalan waktu
b. Tindakan keperawatan spesialis: Terapi suportif
1) Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam
dan luar keluarga
2) Sesi 2: Latihan menggunakan system pendukung dalam
keluarga
3) Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga
4) Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
pendukung
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laily (2016) didapatkan
hasil Penelitian setelah dilakukan Terapi Orientasi Realita (TOR)
menunjukkan bahwa klien mampu berorientasi secara realita, yaitu klien
tidak menyatakan kalimat dan bahasa yang di ucapkan ketika awal
pengkajian dan klien mampu berorientasi secara realita. Keberhasilan
Terapi Orientasi Realita (TOR) terhadap pasien dengan Gangguan
Proses Pikir: Waham Agama dipengaruhi oleh kemauan klien dalam
terapi. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nofrida (2018)
didapatkan hasil bahwa ada pengaruh terapi aktivitas kelompok
sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi klien isolasi sosial di ruang
rawat inap rumah sakit jiwa daerah provinsi Jambi tahun 2016.
Tindakan Kolaborasi
a. Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan ISBAR dan
TbaK.
b. Memberikan program terapi dokter (obat): Edukasi 8 benar
pemberian obat dengan konsep safety pemberian obat.
c. Mengobservasi manfaat dan efek sampingobat.

5. EVALUASI
Menurut Yusuf (2015) evaluasi yang diiharapkan pada asuhan
keperawatan jiwa dengan gangguan proses pikir adalah pasien
mampu melakukan hal berikut:
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan.
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh
I. Strategi Pelaksanaan
STANDAR PELAKSANAAN KOMUNIKASI(SP1)DENGAN KLIEN
WAHAM
Pertemuan ke-1 Klien
1. Orientasi
1.1 Salam
"Selamat pagi Dik, perkenalkan saya perawat…, Perawat….
Nama Adik siapa? Senang dipanggil apa? Oh baik, kalau begitu
saya memanggilnya dengan…. ya.”
1.2 Evaluasi
“Apa yang …. rasakan saat ini?”
"Oo ....jadi menganggap diri…. adalah nabi? Sudah berapa lama
…. berpikir sebagai seorang nabi? Pada saat…..berpikir seperti
itu, apa yang …. rasakan?”
1.3 Validasi
“Apa yang telah….. lakukan untuk mengatasi perasaan tersebut?
Lalu bagaimana manfaatnya?”
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan
“Baik …, bagaimana kalau saya periksa dulu tentang
pikiran…. sebagai seorang nabi dan kita belajar cara
mengatasinya. Tujuannya supaya… mengetahui
kebutuhan…. yang belum terpenuhi, mengetahui
kemampuan…. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan
… mampu melakukannya. Bagaimana apakah…. setuju?”
1.4.2 Waktu
“Baik, kita akan berdiskusinya selama 30 menit ya,…”

1.4.3 Tempat
“Jika kita berbicaranya di sini saja, apakah…merasa
nyaman?”
2. Kerja
2.1 Pengkajian
“Siapa nama lengkap…? Apa pekerjaan….? Apakah pengalaman
yang tidak menyenangkan selama hidup.., pada masa kanak-kanak
atau remaja? Bagaimana… menghadapi masalah tersebut? Siapa
yang membantu jika ada masalah? Apakah… biasa menceritakan
masalah kepada orang lain? Bagaimana hubungan… dengan orang
tua? Bagaimana hubungan…dengan tetangga di sekitar rumah?”
Coba … ceritakan berada di mana sekarang? …bisa menyebutkan
nama orang tua secara lengkap? Sekarang tanggal berapa ya…?"
“Apa yang … rasakan berada di sini?”
“Bagaimana makan…? Apakah… melakukan mandi, gosok gigi
setiap hari? Apakah … rutin melakukan potong kuku setiap
seminggu sekali?"
“Apakah…kenal dengan teman-teman di sekitar sini?
Bisa…sebutkan satu saja nama temannya?
“Jika klien membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa mendukung
atau menyangkalnya sampai klien berhenti bicara.”’
2.2 Diagnosis
“Baik ..., tadi saya sudah dengarkan ceritanya. ... merasa sebagai
nabi, masih ada yang belum kenal dan enggan bertemu orang lain?"

2.3 Tindakan
“Baiklah, bagaimana kalau kita latihan tentang situasi lingkungan,
memenuhi kebutuhan, kemampuan yang dimiliki dan mencapai,
kenyamanan."

2.3.1 Latihan orientasi


“... bagaimana kalau belajar mengenal diri, orang, tempat, dan
waktu.”
“Siapa nama lengkap ...? Nama panggilan, sekolah, SD di mana,
Sekolah SMP di mana?”
Siapa saja yang tinggal serumah
“Ayo kita tulis nama dan panggilannya”
“Ayo kita tulis panggilannya ayah.”
“Ayo kita tulis paggilannya ibu.”
”Siapa saja tetangganya
“Ayo kita tulis namanya dan panggilannya.”
2.3.1.1 Orientasi tempat
“Ayo kita tulis tempat yang sering dikunjungi."
“Ayo kita tulis tempat dan cara mencapainya.”
2.3.1.2 Orientasi waktu
“Ayo kita belajar mengenal waktu. Hari ini hari apa?, Besok hari
apa? Kemarin hari apa? Bagus sekali,sekarang bulan apa? Bulan
depan bulan apa? Bulan lalu bulan apa? Bagus sekali, sekarang
jam berapa? Coba kita belajar jam (latih menembak jam dengan
gambar).”

2.3.2 Mendiskusikan dan latihan mengenal situasi lingkungan


"Siapa saja keluarga dan sahabat yang paling dekat dengan…
(buat daftarnya). Mari latihan berinteraksi dengan mereka."
"Mari kita belajar bersama tentang jam, tangga, hari, bulan dan
tahun."
"Ayo kita lihat sekarang jam berapa,jam 9 jarum pendek di angka
berapa dan jarum panjang di angka berapa? Bagus."
“Nah,sekarang kita lihat hari ini hari apa? Besok? Bagus,ayo kita
belajar senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, dan minggu."
"Na, sekarang bulan apa? Betul Nopember. Bulan depan apa? Ayo
kita belajar Januari, Februari,... dan seterusnya. Bagus."
“Mari kita mengenal tempat. Coba sebutkan alamat rumah ini. Ayo
sebutkan alamat rumah beberapa sahabat, keluarga. Bagus."
2.3.3 Mendiskusikan kebutuhan dan latihan memenuhinya
“Apa saja kegiatan…sehari-hari? Apa saja kebutuhan…? Mari kita
tulis. Apa saja yang belum terpenuhi?”
“Dari kebutuhan yang belum terpenuhi mari kita diskusikan cara
memenuhinya. Satu satu ya? Nah, apa kira-kira kemampuan…
untuk memenuhinya? Bagus sekali. Mari kita diskusikan yang lain.”
"Latihan kegiatan sehari-hari dan kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan. Mari kita masukkan jadwal untuk melatihnya”
Evaluasi hasil latihan dan perasaan Tini setelah melakukannya.
3. Terminasi
3.1 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan… setelah latihan tadi?”
3.2 Evaluasi objektif
“Apa saja latihan kita tadi (situasi lingkungan, waktu, dan tempat)?
Benar sekali.”
3.3 Rencana tindak lanjut klien
“Baiklah, bagiamana kalau … latihan tentang situasi lingkungan,
yaitu orang disekitar …, mengenal waktu dan tempat di sekitar…,
juga kebutuhan dan cara memenuhinya (masukkan dalam jadwal
kegiatan …)”
3.4 Rencana tindak lanjut perawat
“Bagaimana kalau Rabu minggu depan kita bertemu lagi di sini (…),
memeriksa kondisi… dan latihan yang dilakukan"
3.5 Salam
“Semoga…. Lekas sembuh.”
DAFTAR PUSTAKA

Direja. A. H. S. 2011. Buku Ajar AsuhanKeperawatan Jiwa. Edisi I. Yogyakarta :


Nuha Medika.

Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Ruiz, P. 2010. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins

Sutejo. 2017. Konsep dan PraktikAsuhanKeperawatanKesehatan Jiwa: Ganguan Jiwa


dan Psikososial. Yogyakarta: PT. Pustaka Baru.

Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama. Bandung.

Yosep., 2010, Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama.

Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika

Jihan Fauziah, Femi Kesumawati. 2021. Terapi Kognitif Perilaku Dapat Menurunkan
Kecemasan Sosial Pada Pasien Waham : Literature Review. Jurnal Borneo
Cendekia, [S.l.], v. 5, n. 1, p. 133-136, mar. 2021. ISSN 2549-1822.
Available at: <http://journal.stikesborneocendekiamedika.ac.id/index.php/
jbc/article/view/267>. Date accessed: 01 dec. 2022. doi:
https://doi.org/10.54411/jbc.v5i1.267.
Nadiya Intan Pratiwi. 2021. perbedaan tingkat kecemasan pasien waham antara
sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif. Surakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Zulhaini Sartika Aliaman Pulungan, dkk. 2022. Terapi Psikoedukasi Keluarga
Meningkatkan Kemandirian Klien Gangguan Jiwa. Window of Health:
Jurnal Kesehatan, Vol. 5 No. 3 (Juli, 2022) : 614-621.
Nuril Laily. 2016. Penerapan Terapi Orientasi Realita (Tor) Pada Pasien Skizofrenia
Dengan Masalah Keperawatan waham Agama Di Ruang Flamboyan Rsj
Menur Surabaya.
LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA RISIKO BUNUH DIRI

KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:

YEMIMA ANGEL LORENCE (G1B222036)

CI KLINIK:

Ns. DERMANTO, S.Kep

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. YULIANA, S.Kep

Ns. RISKA AMALYA NASUTION, S.Kep., Sp.Kep.J

Ns. RETTY OCTISYAFRINI, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

A. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya
adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.
(Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009).
B. Jenis-jenis Bunuh Diri
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh
kondisikebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa merekatidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan merekayang menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karenaindentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
kelompok tersebut sangatmengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada
pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien
untukmengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien
melakukan bunuh diri,ada tiga macam perilaku bunuh diri yang perlu
diperhatikan yaitu:
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan: ”Tolong jaga anak- anak
karena saya akan pergi jauh!” atau“Segala sesuatu akan lebih baik tanpa
saya.” Pada kondisi ini klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya, namun tidakdisertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.
Klien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/
putus asa/ tidak berdaya. Klien jugamengungkapkan hal-hal negatif tentang
diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah
2. Ancaman bunuh diri.
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif klien telah
memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh
diri.Walaupun dalam kondisi ini klien belum pernah mencoba bunuh diri,
pengawasan ketat harus dilaksanakan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan klien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3. Percobaan bunuh diri.
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau melukai
diri untukmengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba
bunuh diri dengan caragantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau
menjatuhkan diri dari tempat tinggi.
C. Tahap-tahap Resiko Bunuh Diri
1. Suicidal Ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak di tekan.
2. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri
3. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang
dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
4. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada
diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi
sudah oada percobaan untuk melakukan bunuh diri.
5. Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yang
ingin mati dan tidak mau diselamatkan. Misalnya, minum ibat yang
mematikan.
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosismematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkandiri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis danmenyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalamkarier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
E. Predisposisi
a. Teori genetic
1. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler
(2010) merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar
monozigot memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard (2011).
2. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf ,
peningkatan dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan
pada prilaku. Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh
diri adalah dopamine, neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba
(Stuard, 2011).
3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh
diri mengalami gangguan jiwa.
4. Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri
adalah gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan
kecemasan (Stuard, 2013).
b. Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan
terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di
tunjuksn pada diri sendiri (Stuard dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh
diri adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2013 ).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
c. Faktor sosial budaya
1. Beberapa faktor yang mengarah kepada bunuh diri adalah kemisknan dan
ketikmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pernikahan yang hancur,
keluarga dengan orang tua tunggal ( Towsend , 2009 ).
2. Faktor budaya yang di dalamnya adalah faktor spiritual, nilai yang di anut
oleh keluarga, pandangan terhadap perilaku yang menyebabkan kematian
berdampak pada angka kejadian bunuh diri (Krch et al, 2008).
3. Kehilangan, kurangnya dukungan sosial dan peristiwa keidupan yang
negatif dan penyakit fisik kronis. Baru-baru ini perpisahan perceraian dan
penurunan dukungan sosial merupakan faktor penting berhubungan
dengan resiko bunuh diri.(Stuard, 2013).
F. Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/
gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh(Nur Aulia dkk 2019), dengan
judul Analisis Hubungan Faktor Resiko Bunuh Diri dengan Ide Bunuh diri pada
emaja di dapati hasil bahwa sebagian besar remaja yang memiliki ide bunuh diri
lebih tinggi dan terdapat hubungan factorpsikologis dan faktor biologis dengan
ide bunuh diri yang memepengaruhinya. Faktor psikologis merupakan faktor
yang paling dominan yang menyebabkanmunculnya ide bunuh diri.
G. Rentang Respon
Menurut Fitria (2012) mengemukakanrentang harapan-putus harapan
merupakan rentang adaptif-maladaptif:

Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri
secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorangmemiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan
padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang kurang
tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan
diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
H. Pohon Masalah

I. Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh diri:
1. Resiko bunuh diri.
2. Harga diri rendah
3. Koping yang tak efektif.
J. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali klien secara sadar memilih
bunuh diri. Menurut Stuart (2006) dalam Yollanda, Amadea (2018)
mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan
perilaku destruktif diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelek-
tualisasi dan regresi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Nur Oktavia Hidayati, Fauzia,
Ivana 2021) dengan judul penelitian Aspek Spiritual terhadap Resiko Bunuh Diri
Narapidana di dapati hasil ahwa aspek spiritual merupakan aspek yang saangat
perlu diperhatikan terkait dalam mengatasi depresi yang berakibat resiko
terjadinya bunuh diri pada individu, sebagai koping yang baik untuk mengalihkan
resiko bunuh diri terhadap pasien.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


PADA PASIEN RESIKO BUNUH DIRI (RDS)
1. Pengkajian

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien
untukmengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien
melakukanbunuh diri, ada tiga macam perilaku bunuh diri yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan :”Tolong jaga anak-anak karena saya
akanpergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.”Pada kondisi
ini klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun tidak
disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Klien umumnya
mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus asa/tidak
berdaya. Klien juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri
yangmenggambarkan harga diri rendah.
2) Ancaman bunuh diri.
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan
untukmati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan
alat untuk melaksanakan rencana tersebut.Secara aktif klien telah memikirkan
rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.Walaupun
dalam kondisi ini klien belum pernah mencoba bunuh diri,pengawasan ketat
harus dilaksanakan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan klien untuk
melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3) Percobaan bunuh diri.
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau melukai
diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba
bunuh diridengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau
menjatuhkan diridari tempat tinggi.
4. Tanda dan gejala
Mayor
Subjektif
1. Mengungkapkan kata-kata seperti “ tolong jaga anak-anak saya akan pergi
jauh!”
2. Menggungkapkan kata-kata “saya mau mati” “jangan tolong saya”
3. Memberikan ancaman akan melakukan bunuh diri
4. Mengungkapkan akan mengakhiri hidupnya
Objektif
1. Murung,tak bergairah
2. Banyak diam
3. Menyiapkan rencana untuk bunuh diri
4. Membenturkan kepala
5. Melakukan bunuh diri secara aktif dengan berusaha memotong
nadi,mengantung diri,dan meminum racun
Pengkajian dengan menggunakan SIRS (Suicidal Intervension Rating Scale)
(Stuart & sunden,1987)
Skor 0: tidak ada ide untuk bunuh diri yang lalu dan sekarang
Skor 1: tidak ada ide,ancaman dan percobaan bunuh diri
Skor 2: ada ide dan pikiran bunuh diri tapi tidak ancaman dan percobaan
Skor 3: ada ancaman bunuh diri
Skor 4: ada percobaan bunuh diri
Minor
Subjektif
1. Melakukan isyarat untuk melakukan bunuh diri tetapi tidak diserati dengan
ancaman
2. Mengungkapkan perasaan bersalah, sedih, marah, putus asa, sedih, atau tidak
berdaya
3. Mengungkapkan hal-hal yang negative tentang dirinya sendi yang
menggambarkan harga diri rendah
Objektif
1. Kontak mta kurang
2. Tidur kurang
3. Mondar mandir
4. Banyak melamun
5. Terlihat sedih
6. Menangis terus menerus
5. Diagnosis medis terkait
1. Depresi
2. Skizofrenia
3. Penyalahgunaan NAPZA
4. Penyakit terminal
6. Tujuan Asuhan Keperawatan
1. Kognitif, klien mampu:
a. Menyebutkan penyebab resiko bunuh diri
b. Menyebutkan tanda dan gejala resiko bunuh diri
c. Menyebutkan akibat yang ditimbulkan bunuh diri
d. Menetapkan harapan dan masa depan
e. Menyebutkan aspek postif dan kemmpuan diri sendiri,keluarga dan
kelompok
2. Psikomotor klien mampu:
a. Mengendalikan lingkungan yang aman
b. Melatih diri untuk berpikir positif
c. Menggunakan kelompok untuk bercakap-cakap dan enyelesaikan masalah
d. Melakukan aspek positif dalam mencapi harapan masa depan
3. Afektif
a. Merasakan manfaat diri sendiri
b. Membedakan perasaan sebelum dan sesudah latihan
c. Merasa hidup lebih optimis

7. Tindakan keperawatan
Tindakan pada klien
1. Tindakan keperawatan ners
a. Pengkajian: kaji tanda dan gejala resiko bunuh diri,penyebab,dan
kemampuan mengatasinya
b. Diagnosis: jelaskan proses terjadinya resiko bunuh diri dan akibatnya
serta skor skala intervensi bunuh diri
c. Tindakan keperawatan:
1) Mengamankan lingkungan dari resiko bunuh diri (lingkungan aman)
2) Membangun harapan dan masa depan
a) Diskusikan tujuan dari kehidupan
b) Dikusikan membangun harapan terkait diri sendiri,orang yang
berarti dalam hidupnya
c) Diskusikan cara dan tekad untuk mencapai harapan dan masa
depan
d) Latih untuk mencapai harapan dan masa depan
3) Latih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
a) Diskusikan dan buat daftar aspek positif diri dan lakukan
afirmasi positif
b) Diskusikan dan buat daftar aspek positif dariorang yang berarti
dalam hidup dan lakukan afirmasi positif
c) Diskusikan dan buat daftar aspek positif dari lingkungan dan
lakukan afirmasi positif
d) Latih semua aspek yang dimiliki: dari diri sendiri,orag yang
berart
e) Latih mengevaluasi perasaan dan pikiran atas keberhasilan
latihan
4) Berikan motivasi untuk membangun harapan dan mengendalikan
dorongan bunuh diri
5) Minta klien untuk menghubungi care giver (keluarga) dan tenaga
kesehatan jika tidak dapat mengendalikan dorongan bunuh diri
6) Berikan pengawasan ketat dan terkendali jika klien tidak dapat
mengendalikan dorongan bunuh diri (perawatan intensif)
Tingkat observasi resiko bunuh diri (Appleby,et.al,2015)
Level Observasi
Skore 1 Observasi umum minimal setiap 60 menit
Skore 2 Observasi intermiten setiap 15-30 menit
Skore 3 Observasi konstan setiap saat pagi-siang-malam
Skore 4 Observasi ketat dan elekat setiap saat(selalu bersama-sama)
2. Tindakan keperawatan spesialis
a. Terapi kognitif
1) Sesi 1: mengindentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan dan
menimbulkan pikiran otomatis negative
2) Sesi 2: melawan pikiran otomatis negative
3) Sesi 3: memanfaatkan sistem pendukung
4) Sesi 4: mengevaluasi manfaaat melawan pikiran negative
b. Terapi kognitif perilaku
1) Sesi 1: mengindentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan dan
menimbulkan pikiran otomatis negative
2) Sesi 2: melawan pikiran otomatis negative
3) Sesi 3: memanfaatkan sistem pendukung
4) Sesi 4: mengevaluasi manfaaat melawan pikiran negative dan
mengubah perilaku positif
Tindakan pada keluarga
1. Tindakan keperawatan ners
a. Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan proses terjadinya resiko bunuh diri pada klien
c. Mendiskusikan cara merawat resiko bunuh diri dan memutuskan cara
merawat sesuai dengan kondisi klien
d. Melaih keluarga cara merawat resiko bunuh diri
1) Menyediakan lingkungan yang aman dari resiko bunuh diri antara lain
menjauhkan alat-alat yang berbahaya yang dapat melukai diri
2) Memberi pujian dari aspek postif klien, hindari menyampaikan aspek
negative atau kekurangan
3) Berdiskusi tentang harapan dan masa depan
4) Memotivasi dan membimbig klien melakukan kegiatan sesuai asuhan
yang diberikan perwat
5) Mendampingi klien sampai melakukan kegiatan positif
e. Melibatkan seluruh anggota keluarga menciptakan suasana positif saling
memuji, mendukung,dan peduli.
f. Menjelaskan tandan dan gejala resiko bunuh diri (tidak dapat mengendalikan
diringaan bunuh diri)
2. Tindakan keperawatan spesialis
a. Sesi 1: mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami kkian dan
masalah keluarga dalam merawat klien
b. Sesi 2: merawat masalah klien
c. Sesi 3 : melatih manajemen stress untuk keluarga
d. Sesi 4: melatih manajemen beban untuk keluarga
e. Sesi 5: memanfaatkan sistem pendukung
f. Sesi 6: mengevaluasi manfaat psikoedukasi kelaurga
Tindakan kelompok
1. Tindakan keperawatan ners
a. Terapi aktivitas kelompok
b. Kelompok swabantu (self-help group)
2. Tindakan keperawatan spesialis
a. Terapi suportif

STRATEGI PELAKSANAAN KOMINUKASI (SP1)


DENGAN KLIEN RESIKO BUNUH DIRI (RBD)
Pertemuan Ke-1
1. Orientasi
1.1 Salam
“ Selamat pagi mas , perkenalkan saya adalah perawat fitri perawat puskesmas
sejahtera. Nama mas siapa? Senang dipanggil apa? “
“ Oh baik,kalau begitu saya memanggilnya dengan mas tono ya”
1.2 Evaluasi/Validasi
“ Apa yang mas tono rasakan?”
“ Ooo.. mas merasa hidup ini membosankan,tidak berguna dan tidak berguna
dan tidak ada harapan?”
“Sejak kapan mas tono berpikir demikian?”
1.3 Validasi
“ apa yang sudah mas tono lakukan untuk mengatasinya.bagaimana hasilnya?
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan
“Baik mas, bagimana jika kita sekrang berbicara tentang perasaan yang mas
tono rasakan dan kita belajar cara mengatasinya?”
“Tujuannya supaya mas tono merasa lebih tenang,bahagia,dan perasaan
tersebut berkurang?”
“Bagaimana mas setuju?”
1.4.2 Waktu
“Baik kita akan berdiskusi selama 30 menit ya mas?”
1.4.3 Tempat
“Jika kita berbicaranya disini saja,apakah mas merasa nyaman?”
2. Kerja
2.1 Pengkajian
2.1.1 Penyebab
“ Apakah peristiwa yang menyebabkan mas tono tidak ada harapan?”
2.1.2 Tanda dan Gejala
“ Apakah yang mas tono pikirkan terkait peristiwa tersebut?”
- Apakah ada keinginan ataunide untuk mengakhiri hidup
- Apakah pernah menyampaikan ancaman akan bunuh diri
- Apakah pernah mencoba untuk bunuh diri
2.2 Diagnosis
“Jadi, sesuai yang mas tono sampaikan,maka mas tono ingin mengakhiri
kehidupan ,kita masukan skore 2 atau ide bunuh diri.”
2.3 Tindakan
“Mas tono ada beberapa cara untuk mencegah terjadinya bunuh diri,bagaimana
mas bersedia untuk melakukannya?”
Latihan cara menyusun rencana masa depan .
2.3.1 Mendiskusikan lingkungan yang aman
“Mas Tono,dengan skor resiko bunuh dirinya 2 (dua) maka kita bekerja
sama,saya akan mengobservasi mas tono setiap 15-30 menit. Mas tono
juga berupaya jangan melakukannya. Jika dorongannya tidak dapat
dikendalikan segera sampaikan pada saya atau keluarga yang ada
dirumah”
2.3.2 Membangun harapan dimasa depan
“Mas tono,marimkita diskusikan apa saja cita-cita atau harapan mas
tono . bagus sekali apa yang dilakukan untuk mencapai cita cita dan
harapan masa depan
2.3.3 Diskusikan cara mencapai harapan dan masa depan
“Apa yang telah mas coba lakukan dalam mencapainya?
Baik mari kita catat ya dari semua keinginan dan harapan ini,mana
yang ingin mas capai terlebih dahulu?, baik mari kita susun langkah-
langkah untuk mencapai harapan mas
“Pertama minum obat,kedua melakukan berfikir positif terhadap
diri,keuarga,lingkungan. Ketiga dan seterusnya…”
2.3.4 Latih cara mencapai harapan dan masa depan secara bertahap
“bagaimana langlah-langkah kegiatan tersebut?
“untuk obat nanti saya jelaskan setelah ketemu dengan dokter”.
“berfikir positif terhadap diri,keluarga,dan lingkungan sudah
dilakukan ya.”
“untuk kegiatan…..mari kita susun langkah-langkahnya!”
“bagus! Pertma..kedua..ketiga.. dan seterusnya… bagus sekali!”
2.3.5 jadwalkan latihan kegiatan dan evaluasi manfaatnya,khusus ke harga
diri
3. Terminasi
3.1 Evaluasi Subjektif
“ Bagaimana perasaan mas tono setelah kita menyusun harapan dan rencana masa
depan ?”
3.2 Evaluasi Objektif
“ Coba mas tono sebutkan kembali langkah-langkah mencapi harapan mas tono ?”
“Bagus!Tepat sekali yang mas tono katakan, jadi untuk emncapai harapan mas
tono dilakukan secara bertahap ya di mulai dari minum obar agar mas plih
kembali. Mari kita masukan ke jadwal harian
3.3 Rencana tindak lanjut klien
“Baiklah mari kita masukan rencana kegiatan dalam jadwal agar mas tono dapat
melakukan setiap hari”
3.4 Rencana tindak lanjut kien
“Hari rabu saya akan periksa lagi dan mengevaluasi manfaat kegiatan.juga akan
di periksa oleh dokter,jika dokter memberi obat akan kita latih cara minum
obat yang benar.”
3.5 Salam
“Semoga mas tono lekas sembuh”
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier
2. Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
3. Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:
CMHN(Basic Course). Jakarta: EGC
4. Dessy, Rossyta,.2018. Asuhan Keperawatn Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/8977353/Asuhan_Keperawatan_RESIKO_BUNU
H_DIRI pada 06September 2022
5. Khurniawan, Adji,.2018.Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/23897284/Resiko_bunuh_diri pada 05September
2022
6. Yolland, Amadea,.2015. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Resiko
Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/15320155/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_
KLIEN_DENGAN_RESIKO_BUNUH_DIRI pada 06September 2022
7. Haia, Nining,.2018. Bab II diakses
darihttp://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-nininghaia-
6277-2-babii.pdf pada 06 September 2022
8. Pradana, Dwi,.2018. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/27862953/STRATEGI_PELAKSANAAN_RESIK
O_BUNUH_DIRI pada 06 September 2022
9. Nur Aulia dkk. 2011. “Analisis Hubungan Faktor Risiko Bunuh Diri Dengan
Ide Bunuh Diri Pada Remaja.” Jurnal Keperawatan 11(4). doi:
https://doi.org/10.32583/keperawatan.v11i4.534.
10. Nur Oktavia Hidayati, Fauzia, Ivana, Sri Purnama. 2021. “Aspek Spiritual
Terhadap Resiko Bunuh Diri Narapidana.” 9(3).
LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA DEFISIT PERAWATAN DIRI

KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:

YEMIMA ANGEL LORENCE (G1B222036)

CI KLINIK:

Ns. DERMANTO, S.Kep

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. YULIANA, S.Kep

Ns. RISKA AMALYA NASUTION, S.Kep., Sp.Kep.J

Ns. RETTY OCTISYAFRINI, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022/2023
KONSEP
DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. Definisi
Perawatan Diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya.(Depkes, 2000 dalam
Wibowo, 2009).
Poter, Perry (2005), dalam Anonim (2009), mengemukakan bahwa
Personal Higiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Wahit Iqbal
Mubarak (2007), juga mengemukakan bahwa higiene personal atau
kebersihan diri adalah upaya seseorang dalam memelihara kebersihan dan
kesehatan dirinya untuk memperolah kesejahteraan fisik dan psikologis.
Seseorang yang tidak dapat melakukan perawatan diri dinyatakan
mengalami defisit perawatan diri.Nurjannah (2004), dalam Wibowo (2009),
mengemukakan bahwa Defisit Perawatan Diri adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), Kurang
Perawatan Diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya.Pasien yang mengalami gangguan jiwa
kronik seringkali tidak memperdulikan perawatan diri.Hal ini menyebabkan
pasien dikucilkan dalam keluarga dan masyarakat (Keliat, 2009).
Klien dengan gangguan jiwa hampir semuanya mengalami defisit
perawatan diri.Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakberdayaan
yang berhubungan dengan keadaannya sehingga terjadilah defisit perawatan
diri (Muslim, 2010).
2. Jenis-jenis defisit perawatan diri
Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari:
a. Defisit perawatan diri: mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi atau
beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
makan secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi/toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes (2000), dalam Anonim (2009), tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri yaitu:
1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi
2. Psikologi
a. Malas, tidak ada inisiatif
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur
e. Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK) di sembarang
tempat
f. Gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri
Selain itu, tanda dan gejala tampak pada pasien yang mengalami Defisit
Perawatan Diri adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor
b. Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut acakacakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh kemampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran dan makan tidak pada
tempatnya
d. Ketidakmampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan BAB/BAK
tidak pada tempatnya, dan tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK (Keliat, 2009).
Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akhirnya dapat juga menimbulkan
penyakit fisik seperti kelaparan dan kurang gizi, sakit infeksi saluran
pencernaan dan pernafasan serta adanya penyakit kulit, atau timbul penyakit
yang lainnya (Harist, 2011).
4. Predisposisi
a. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu
b. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
c. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri
d. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri
5. Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri. (Depkes, 2000, dalam Anonim, 2009) Sedangkan
Tarwoto dan Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), meyatakan bahwa
kurangnya perawatan diri disebabkan oleh :
a. Kelelahan fisik
b. Penurunan kesadaran
K. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan

diri seimbang diri tidak seimbang perawatan diri

L. Pohon Masalah
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect

Defisit Perawatan Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa


Pohon Masalah Defisit perawatan Diri ( Fitria.2009 ).
6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor meliputi status sosialekonomi, keluarga, jaringan interpersonal,
organisasi yang dinaungi oleh lingkungan sosial yang lebih luas, juga
menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti
kesenian, musik, atau tulisan (Stuart and Sundeen, 1998 dalam Lili Kadir,
2018).
I. STRATEGI PELAKSANAAN
1. SP-1 Pasien: Defisit Perawatan DiriPertemuan Ke-1
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Ny. H terlihat duduk di salah satu sudut ruangan sambil menggaruk-
garuk kepala yang terlihat kotor, rambut sebahu dan tidak tertata rapi.
Pakaian yang digunakan Ny. H tidak terpasang dengan benar dan
terlihat banyak robekan.Kuku jari tangan terlihat hitam dan panjang.
Gigi Ny.H terlihat kotor dan mulut Ny. H mengeluarkan bau.
2. Diagnosa Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
3. Tujuan Khusus :
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
4. Tindakan Keperawatan
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
b. Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri
c. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
d. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
e. Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
B. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya perawat Sinta. Saya
adalah Mahasiswa Keperawatan UPH yang sedang praktek
disini.Saya praktek disini selama 4 hari.Nama kamu siapa ya?
Senangnya dipanggil apa? Oh jadi anda senangnya dipanggil Ny.
M saja”.
b. Evaluasi/Validasi
“Saya lihat dari tadi Ny.M menggaruk-garuk kepala, gatal ya?”
c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang
kebersihan diri?”
Waktu:“Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, jadi
Ny. M maunya kita ngobrol-ngobrolnya selama 20 menit ya”.
Tempat:“Baiklah mau dimana kita ngobrolnya Ny. M? Oh jadi
kita ngobrolnya diruang ini saja ya”.
2. Kerja (langkah- langkah tindakan keperawatan)
a. “Berapa kali Ny. M mandi dalam sehari? Apakah Ny. M sudah
mandi hariini? Menurut Ny. M apa kegunaannya mandi?Apa
alasan Ny. M sehingga tidak bisa merawat diri? Menurut Ny.
Mapa manfaatnya kalau kitamen jaga kebersihan diri? Kira-
kira tanda-tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik
seperti apa ya? badan gatal, mulut bau, apa lagi?
Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa
menurut Ny. M yang bisa muncul ? Betul ada kudis, kutu, dsb”
b. “Menurut Ny. M mandi itu seperti apa?
Sebelum mandi apa yang biasanya Ny. M persiapkan? Benar
sekali, Ny. M perlu menyiapkan pakaian ganti yang bersih,
handuk kering, sikat gigi, odol, shampo dan sabun mandi”
c. “Menurut Ny. M tempat mandi dimana?
Benar sekali kita mandi di kamar mandi, bagaimana kalau kita
ke kamar mandi sekarang?Saya akan bantu melakukannya.
Pertama kita gosok gigi dulu dengan sikat gigi, ambil sika tgigi
yang sudah di kasih odol kemudian sikat gigi dengan gerakan
memutar dari atas ke bawah kemudian Ny. M berkumur-
kumur dengan air bersih. Bagus sekali, sekarang Ny. M
buka pakaian, siram seluruh tubuh Ny. M dengan air termasuk
rambut dan kepala lalu ambil shampoo sedikit dan gosokkan ke
atas kepala Ny. M sampai berbusa lalu bilas sampai bersih.
Bagus sekali Ny. M, sekarang ambil sabun dan gosokan
keseluruh tubuh Ny. M secara merata dan di mulai dari bagian
sebelah kananlalu siram dengan air sampai bersih, pastikan
bersih tidak ada sisa sabunyang menempel. Setelah selesai di
siram dengan air sampai bersih, keringkan tubuh Ny. M
dengan handuk kering yang sudah disiapkan.Bagus sekali Ny.
M melakukannya. Selanjutnya Ny. M menggunakan pakaian
bersih yang sudah di siapkan”.
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny.M setelah mandi dan
mengganti pakaian?Coba Ny. M sebutkan lagi apa saja
cara-cara mandi yang baik yangsudah Ny. M lakukan
tadi? Bagus sekali sekarang Ny. M sudah tahumanfaat
dan cara mandi yang baik”.
2. Evaluasi perawat/ objektif
“Ternyata Ny. M masih memiliki kemampuan yang
baik dalam menjaga kebersihan diri. Nah, kemampuan
ini dapat dilakukan juga di rumahsetelah pulang ya Ny.
M”.
b. Rencana lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian.Ny. M
Mau berapakali sehari mandi dan sikat gigi? Bagus, dua kali
yaitu pagi dan sore. Kalau pagi jam berapa? kalau sore jam
berapa? Beri tanda M (mandiri) kalaudilakukan tanpa
disuruh, B (bantuan) kalau diingatkan baru dilakukan danT
(tidak) tidak melakukan”
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baik besok kita akan bertemu kembali untuk latihan
berdandan
Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan berdandan besok jam
9 pagisetelah Ny. M melakukan kegiatan mandi”
Tempat : “Ny. M mau kita ketemu dimana? Kita ketemu di
dalam kamar Ny. M besok bagaimana?”
2. SP-2 Pasien : Defisit Perawatan Diri Pertemuan Ke-2
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Ny. M terlihat duduk disalah satu sudut ruangan sambil memegang
rambut yang basah.Klien terlihat menggunakan pakaian dengan
kancing baju yang tidak terpasang. Klien mengatakan merasa segar
setelah mendi.
2. Diagnosa Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
3. Tujuan Khusus:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
4. Tindakan Keperawatan
Membantu klien latihan berhias
a. Berpakaian
b. Menyisir rambut
c. Berhias
B. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“ Selamat pagi, masih ingat dengan saya Ny. M?
b. Evaluasi/Validasi
“Saya lihat dari tadi Ny. M memegang kepala, kenapa Ny. M?
Bagaimana perasaan Ny. M setelah melakukan kegiatan
mandi?”

c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang
berhias diri?”
Waktu: “Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, jadi
Ny. M mau kita ngobrolnya 20 menit saja ya”.
Tempat: “Baiklah mau dimana kita ngobrolnya Ny. M? Oh jadi
kita ngobrolnya diruang ini saja ya”.
2. Kerja (langkah-langkah tindakan keperawatan)
a. “Bagaimana perasaan Ny. M setelah mandi? Apa yang Ny. M
lakukan setelah mandi? Baiklah sekarang kita akan melakukan
latihan berdandan”
b. “Apa Ny. M sudah mengganti baju? Untuk pakaian pilihlah
yang bersih dan kering. Berganti pakaian yang bersih 2 kali
sehari. Sekarang coba Ny. M lakukan menggangti pakaian.
Bagus sekali Ny. M kerja yang bagus. Sekarang setelah
menggunakan pakaian yang baik kita akan latihan berdandan
supaya Ny. M tampak rapi dan cantik”
c. “Kira-kira apa alat yang Ny. M butuhkan untuk berdandan?
Bagus sekali Ny. M alat yang digunakan adalah sisir, bedak
dan kaca”
d. “Setelah Ny. M memasang pakaian dengan baik sekarang sisir
rambut yang rapi. Bagus Ny. M, sekarang ambil bedak dan
bedaki muka Ny. M rata dan tipis. Bagus sekali Ny. M bisa
melakukan nya dengan baik”.
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny.M setelah latihan berdandan?”
2. Evaluasi perawat/objektif
“Ny. M terlihat segar dan cantik”
b. Tindakan lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian.Ny. M
sehabis Ny. M melakukan kegiatan mandi kemudian
melakukan cara berdandan yang baik dan benar sesuai dengan
latihan kita hari ini. Beri tanda M (Mandiri) kalau dilakukan
tanpa disuruh, B (Bantuan) kalau diingatkan dan T (Tidak)
tidak melakukan”.
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baik nanti siang kita akan bertemu kembali untuk
latihan cara makan yang baik dan benar”
Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan cara makan nanti siang
atau sesuai jadwal makan Ny. M”
Tempat: “Siang nanti kita latihan makan yang baik diruang
makan, bagaimana menurut Ny. M?”
3. SP-3 Pasien : Defisit Perawatan Diri Pertemuan Ke-3
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Ny. M terlihat duduk disalah satu kursi di dekat meja makan.Ny. M
terlihat rapi dengan rambut yang disisir.
2. Diagnosis Keperawatan: Defisit Keperawatan Diri
3. Tujuan Khusus:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
4. Tindakan Keperawatan
a. Menjelaskan cara persiapkan makanan
b. Menjelaskan cara makan yang tertib
c. Menjelaskan cara merapikan peralatam makan setelah makan
B. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat siang Ny. M? bagus sekali Ny. M terlihat rapi siang
ini”
b. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan Ny.M siang hari ini?”
c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita latihan cara makan yang baik?”
Waktu: “Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, jadi
kita ngobrolnya 25 menit saja ya”
Tempat: “kita akan latihan cara makan yang baik langsung
diruang makan saja ya, bagaiman menurut Ny. M?”
2. Kerja (langkah-langkah tindakan keperawatan)
a. “Bagaimana menurut Ny. M cara makan yang baik? Bagus Ny.
M sebelum kita makan, kita cuci tangan dengan air sabun dulu
ya”
b. “Sebelum mencuci tangan dengan air dan sabun, Ny. M bisa
mengambil makanan di atas meja dengan menggunakan piring”
c. “Sebelum makan Ny. M dapat berdoa. Bagus sekarang, Ny. M
bisa berdoa sebelum makan. Suap makanan dengan pelan-pelan,
ya bagus Ny. M sekarang sudah bisa melakukan menyuap
makanan dengan abik dan benar”
d. “Setelah makan Ny. M harus membereskan piring dan gelas
yang kotor, setelah dibereskan sekarang Ny. M dapat mencuci
tangan dengan sapu tangan yang bersih”
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny. M setelah latihan cara makan
yang baik?”
2. Evaluasi perawat/objektif
“Ny. M terlihat rapid an bersih”
b. Rencana tindak lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian.Ny. M
sehabis melakukan mandi kemudian melakukan cara berdandan
dan makan yang baik dan benar sesuai dengan latihan kita hari
ini. Beri tanda M (Mandiri) kalau dilakukan tanpa disuruh, B
(Bantuan) kalau diingatkan dan T (Tidak) tidak melakukan”.
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baik besok kita akan bertemu kembali untuk latihan cara
BAK/BAB yang baik ya Ny. M?”
Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan cara BAK/BAB besok
jam 10 pagi atau sesuai jadwal kapan Ny. M merasa ingin
BAB/BAK”
Tempat: “Besok kita latihan cara BAB/BAK dengan baik
diruangan ini ya Ny. M?”

4. SP-4 Pasien : Defisit Perawatan DiriPertemuan Ke-4


A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Ny. M terlihat duduk di salah satu sisi kamar.Ny. M terlihat
rapi dengan rambut yang di sisir.
2. Diagnosis Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
3. Tujuan Khusus:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan membersihkan tempat
BAB/BAK
B. Strategi Komunikas dalam Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat siang Ny. M? Sudah dilakukan jadwal harian
yang telah kita lakukan kemarin? Bagus sekali Ny. M
dapat melakukan secara mandiri semua latihan yang telah
kita lakukan”
b. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan Ny.M siang hari ini?”
c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita latihan cara BAK/BAB yang
baik?”
Waktu: “Kita akan membutuhkan waktu sekitar 30 menit,
bagaimana menurut Ny. M?”
Tempat: “Kita akan latihan cara BAB/BAK yang baik jadi
kita latihan langsung di tempat BAB/BAK”
2. Kerja (langkah-langkah tindakan keperawatan)
a. “Menurut Ny. M dimana kita BAB/BAB yang benar?
Benar Ny. M kita BAB/BAK di ruang tertutup dan ada
saluran pembuangan kotoran. Jadi kita tidak boleh
BAB/BAK di sembarang tempat”
b. “Sekarang coba Ny. M sebutkan bagaimana cara
membersihkan/cebok? Bagus Ny. M cebok itu adalah cara
membersihkan bokong atau tempat keluar BAB/BAK
dengan air yang bersih dan jernih. Setelah Ny. M cebok
pastikan juga tidak ada BAB/BAK yang tersisa di WC
dengan cara menyirami WC dengan air bersih. Setelah di
pastikan bokong dan WC bersih baru Ny. M mencuci
tangan dengan air bersih dan sabun”
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny. M setelah cara BAB/BAK
yang baik”
2. Evaluasi perawat/objektif
“Ny. M terlihat tersenyum dan wajah yang segar”
b. Tindak lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian.Ny. M
sehabis Ny. M melakukan mandi kemudian melakukan cara
berdandan dan cara makan yang baik dan benar. Jika Ny. M
merasakan keinginan BAB/BAK Ny.M dapat melakukan
latihan yang telah kita lakukan.Beri tanda M (Mandiri) kalau
dilakukan tanpa disuruh, B (Bantuan) kalau diingatkan dan
T (Tidak) tidak melakukan”.
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baiklah Ny. M sekarang kita akhiri pertemuan ini,
kalau Ny. M masih ada yang ingin ditanyakan atau ada
masalah yang ingin dibicarakan boleh kepada perawat lain
yang dinas diruangan ini. Saya permisi dulu ya Ny. M.
Selamat siang”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syela (2017)
didapatkan hasil Analisis pemberian strategi pelaksanaan defisit
perawatan diri dengan motivasi kebersihan diri efektif dalam
meningkatkan personal hygiene, terbukti pada hari kedua setelah
di jelaskan tentang pentingnya perawatan diri klien sudah mandi,
klien tampak bersih dan tidak tercium bau tak sedap
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, W. Gail.(2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Singapore: Elsevier


Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic
Course). Jakarta: EGC
Fitria Nita.2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan
Srategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan(LP dan SP).Jakarta:Salemba
Medika.
Damaiyanti Mukhripah,dkk.2012.Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT Refika
Aditama
Hoesny, Rezkiyah,.2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Defisit Perawatan
Diri diakses dari http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/3358/1/Rezkiyah%20Hoesny.pdf pada 14 Juni 2018
Neri, Silvia,.2018. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan diakses dari
https://www.academia.edu/6822348/STRATEGI_PELAKSANAAN_TIN
DAKAN_KEPERAWATAN_SP-
1_Pasien_Defisit_Perawatan_Diri_Pertemuan_Ke-1 pada 14 Juni 2018
Shinzu, Bekti,.2018.
Defisit Perawatan Diri LP SP diakses dari
https://www.academia.edu/35135428/Defisit_Perawatan_Diri_LP_SP
pada 14 Juni 2018.
Syela Ambri Yudhana. 2017. UPAYA MENINGKATKAN PERSONAL HYGIENE
MELALUI MOTIVASI PERAWATAN DIRI PADA PASIEN DEFISIT
PERAWATAN DIRI. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta
LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA HALUSINASI

KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:

YEMIMA ANGEL LORENCE (G1B222036)

CI KLINIK:

Ns. DERMANTO, S.Kep

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. YULIANA, S.Kep

Ns. RISKA AMALYA NASUTION, S.Kep., Sp.Kep.J

Ns. RETTY OCTISYAFRINI, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022/2023
KONSEP

HALUSINASI

A. DEFINISI
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar
yang dapat meliputi semua sistem penginderaan. Halusinasi hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan
rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus ekstren atau persepsi palsu.
B. ETIOLOGI
Proses terjadinya halusinasi dapat dilihat dari faktor predisposisi dan faktor
presipitasi:
1. Faktor Predisposisi
a. Biologis
Faktor herediter mengalami gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri,
riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan Napza.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif .
1) Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan
perilaku psikotik.

2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang


berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh
otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respondan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang
dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien adanya kegagalan yang
berulang, kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.
c. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk di interpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
C. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta
ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah sebagai berikut:
a) Mayor
- Data Subjektif
Klien mengatakan:
1. Klien mendengarkan suara yang tidak ada orang nya
2. Melihat benda, orang atau sinar tanpa ada obyek nya
3. Mencium bau-bauan yang tidak ada sedap yang tidak nyata
4. Merasakan penegecapan yang tidak enak
5. Merasakan rabaan atau gerakan badan
- Objektif
1. Bicara sendiri
2. Tertawa sendiri
3. Melihat ke satu arah
4. Mengarahkan telinga ke arah tertentu
5. Tidak dapat memfokuskan pikrian
6. Diam sambil menikmati halusinansi
b) Minor
Data subjektif:
1. Sulit tidur
2. Khawatir
3. Takut
Data objektif:
1. Konsentarasi buruk
2. Disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi
3. Afek datar
4. Curiga
5. Menyendiri dan melamun
6. Mondar-mandir
7. Kurang mampu merawat diri

D. KLASIFIKASI HALUSINASI
Stuart dan Sundeen mengelompokkan jenis dan karakteristik halusinasi sebagai
berikut:
1. Halusinasi pendengaran
a. Karakteristik
Mendengar suara, paling sering suara orang. Suara dari suara yang
paling sederhana sampai dengan suara orang membicarakan klien.
Untuk menyelesaikan percakapan dua orang atau lebih tentang orang
yang sedang halusinasi, jenis lain termasuk pikiran yang dapat
didengar yaitu klien dan memerintah untuk melakukan sesuatu,
kadang–kadang melakukan hal– hal yang berbahaya.
b. Perilaku Klien yang teramati:
 Melirikan mata kekiri dan kekanan seperti mencari siapa atau apa
yang sedang dibicarakan.
 Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang
sedang berbicara atau kepada benda mati seperti mebel.
 Terlibat percakapan dengan benda mati atau dengan orang yang
tidak tampak.
 Menggerak–gerakan mulut seperti sedang berbicara atau menjawab.
2. Halusinasi penglihatan
a. Karakteristik
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar
geometik, gambar kartun dan atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan dapat berupa sesuatu yang tidak menyenangkan seperti
monster.
b. Perilaku klien yang teramati:
 Tiba – tiba tampak tergagap, ketakutan atau ditakuti oleh
oranglain,bendamati, atau stimulusyangtidak terlihat.
 Tiba–tiba lari ke ruang lain.
3. Halusinasi penciuman
a. Karakteristik
Bau busuk, amis dan bau menjijikkan seperti darah, urine atau feces,
kadang-kadang terhirup bau harum. Halusinasi penghidu khususnya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dimensia.
b. Perilaku klien yang teramati:
 Hidung dikerutkan seperti menghidu bau yang tidak enak
 Menghidu bau tubuh
 Menghidu bau udara ketika sedang berjalan ke arah oranglain
 Berespon terhadap bau dengan panik, seperti menghidu bau api atau
darah
 Melempar selimut atau membuang air pada oranglain seakan sedang
memadamkan api.
4. Halusinasi pengecap
a. Karakteristik
Merasakan suatu yang busuk, amis dan menjijikkan seperti ras darah,
urine atau feces.
b. Perilaku yang teramati:
 Meludahkan makanan atau minuman
 Menolak makan, minum atau minum obat
 Tiba-tiba meninggalkan mejamakan
5. Halusinasi peraba
a. Karakteristik
Merasakan sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Merasakan
sensasi listrik datang dari tanah,benda mati atau orang lain.
b. Perilaku yang teramati
1) Menampar diri sendiri seakan–akan sedang memadamkan api
2) Melompat–lompat dilantai seperti sedang menghindari nyeri atau
stimulus lain pada kaki
6. Halusinasi kinestik
a. Karakteristik
Merasakan fungsi tubuh, merasakan darah mengali rmelalui vena dan
arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
b. Perilaku klien yang teramati:
1) Memverbalisasi atau obsesi terhadap proses tubuh
2) Menolak untukmenyelesaikan tugas yang memerlukan bagian tubuh
yang diyakini klien tidak berfungsi
E. Rentang Respons Neurobiologi

Rentang respons neurologi

Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis  Pikiran terkadang  Kelainan pikiran


 Persepsi akurat menyimpang  Halusinasi
 Emosi  Ilusi  Tidak mampu mengatur
konsisten  Emosional emosi
 Perilaku sosial berlebihan/ dengan  Ketidakteraturan
 Hubungan pengalaman kurang  Isolasi sosial
sosial  Perilaku ganjil
 Menarik diri
F. Mekanisme Koping
Menurut Dalami dkk (2014) mekanisme koping adalah perilaku yang
mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi maladaptif
meliputi:
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti apa perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
2. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi
pada oranglain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari
menghindari sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber
infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat,
sering disertai rasa takut dan bermusuhan.
G. Penatalaksanaan Halusinasi
1. Penatalaksaan Farmakologis
Halusinsi termasuk kedalam kelompok penyakit skizofrenia maka jenis
penatalaksanaan medis yang biasa di lakukan adalah: Psikofarmako
adalah terapi dengan menggunakan obat,tujuannya untuk
mengurangi/menghilangkan gejala gangguan jiwa. Berdasarkan khasiat
obat yang tergolong dalam pengobatan psikofarmako antara lain:
 Clorpomazine (CPZ) adalah obat yang termasuk golongan
antipsikotik fenotiazina yang bekerja dengan menstabilkan senyawa
alami otak. Obat ini dapat digunakan untuk menangani berbagai
gangguan mental, seperti skizofrenia dan gangguan psikosis yang
lainnya, perilaku agresif yang membahayakan pasien atau orang
lain, kecemasan dan kegelisahan yang parah, serta autisme pada
anak-anak.
a) Aturan pakai Aturan pakai : 3 x 100 mg/ hari
b) Indikasi : Untuk menangani berbagai gangguan mental, seperti
skizofrenia dan gangguan psikosis yang lainnya, perilaku
agresif yang membahayakan pasien atau orang lain, kecemasan
dan kegelisahan yang parah, serta autisme pada anak-anak.
c) Efek samping Yang dapat terjadi pada pemakaian CPZ meliputi
efek sedasi, pusing, pingsan, hipotensi orthostatik, palpitasi,
takikardi, sindroma pada mulut, kemerahan pada mukosa,
vesikel lidah kotor, gigi tanggal, pandangan kabur, konstipasi,
retensi urine, ejakulasi tertahan.
 Haloperidol adalah obat golongan anti psikotik yang berfungsi
untuk meredakan gejala skizofrenia dan masalah perilaku, atau
emosional, serta masalah kejiwaan lainnya. Haloperidol berguna
untuk mengatasi skizofrenia biasanya akan diberikan untuk jangka
waktu panjang, kecuali ada efek yang merugikan atau berlawanan.
Sedangkan jika untuk meredakan gangguan kecemasan atau
agitation, haloperidol hanya dikonsumsi hingga gejala mereda.
a) Aturan Pakai : Aturan Pakai : 3 x 5 mg/ hari
b) Indikasi : Meredakan gejala skizofrenia dan masalah perilaku,
atau emosional, serta masalah kejiwaan lainnya.
c) Efek samping
 Trihexyphenidil (THP) adalah obat yang sering dipakai sebagai
penyerta pemberian obat anti psikotik jenis fenotiazin dan
butirofenon karena khasiatnya merelaksasi otot polos dan anti
spasmodik
a) Aturan Pakai : Aturan pakai : 3 x 2 mg/ hari
b) Indikasi : Merelaksasi otot polos dan anti spasmodic
c) Efek Samping Efek samping yang umum terjadi ; mulut kering,
pusing, pandangan kabur, midrasis, fotofobia, mual, nervous,
konstipasi, mengantuk, retensi urine. Pada SSP dapat terjadi ;
bingung, gitasi, delirium, manifestasi psikotik, euphoria. Reaksi
hipersensitif ; Glaucoma parotitis.
2. Pentalaksanaan Non Farmakologis
a) Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di
lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata,
kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi
baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar
atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila
akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di
beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya
di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan
mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya
jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan
b) Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan
ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan
memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
c) Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data
pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam
proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di
ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang
mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suarasuara itu tidak
terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan
menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas
yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga
pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan
saran yang di berikan tidak bertentangan.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
a) Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat, tanggal
pengkajian, nomor rekam medic
2. Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung yang meliputi
faktor biologis, faktor psikologis, social budaya, dan faktor genetic
3. Factor presipitasi merupakan factor pencetus yang meliputi sikap
persepsi merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa
gagal, merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif,
kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan dan penanganan gejala
stress pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh dengan stress seperti kehilangan yang mempengaruhi
kemampuan individu untuk berhubungan dengan oranglain dan
menyebabkan ansietas.
4. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan
socialdanspiritual
5. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas
motorik,alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara,
persepsi, prosespikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
kosentrasi dan berhitung,kemampuanpenilaian, dan dayatilik diri.
6. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif
maupun maladaptive
7. Aspek medis yang terdiri dari diagnose medis dan terapi medis

B. POHON MASALAH

E Resiko perilaku kekerasan

Gangguan Persepsi Sensori :


CP
Halusinasi

C Isolasi sosial: menarik diri

Ganggan Konsep Diri:


Harga Diri Rendah

Gambaran I. Pohon Masalah dengan Masalah Utama


Perubahan Persepsi Sensori : halusinasi menurut Budi
Anna Keliat (2019).
C. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan persepsi sensori: halusinasi penglihatan (D.0085)


D. Tindakan Keperawatan
1. Tindakan Pada Klien
Tindakan keperawatan ners
a. pengkajian
Kaji tanda gejala halusinasi, penyebab, dan kemampuan mengatasi nya.
Jika ada halusinasi katakan anda percaya, tetapi anda sendiri tidak
mendengar /melihat/menghidu/merasakan.
b. Diagnosis
Jelaskan proses terjadinya halusinasi
c. Tindakan keperawatan
1) tidak mendukung dan tidak membantah halusinasi klien
2) latih klien melawan halusinasi degan menghardik
3) latih klien mengabaikan halusinasi dengan bersika cuek
4) latih klien mengalihkan halusinasi dengan bercakap-cakap dan
melakukan kegiatan secara teratur
5) latih klien minum obat dengan prinsip 8 benar , yaitu benar nama klien,
benar nama obat, benar manfaat obat, benar dosis obat, benar frekuensi,
benar cara, benar tanggal kadaluarsa, dan benar dokumentasi
6) disukusikan manfaat yang di dapatakan stelah mempraktikan melatih
mengendalikan halusinasi
7) Berikan pujian pada klien saat mampu, mempratikkan mengendalikan
halusinasi
2. Tindakan pada Keluarga
Tindakan Keperawatan Ners
a. Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, serta proses tejadinya halusinasi
yang dialami klien.
c. Diskusikan cara merawat halusinasi dan memutuskan cara merawat
yang sesuai kondisi klien.
d. Melatih keluarga cara merawat halusinasi :
1) Menghindari situasi yang menyebabkan halusinasi
2) Membimbing klien melakukan Latihan cara pengendalian
halusianasi sesuai dengan keadaan yang dilatih perawat kepada
klien.
3) Memberi pujian atas keberhasilan klien
e. Melatih seluruh anggota keluarga untuk bercakap-cakap secara
bergantian, memotivasi klien melakukan kegiatan Latihan dan
memberi pujian atas keberhasilannya.
f. Menjelaskan tanda dan gejala halusinasi yang memerlukan rujukan
segera yaitu isi halunisasi yang memerlukan rujukan segera yaitu isi
halusinasi yang memerintahkan kekerasan, serta melakukan follow up
kepelayanan Kesehatan teratur.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riska,dkk (2021) didapatkan
hasil dari analisa kasus menunjukkan perubahan pada kebutuhan keluarga
yang pada saat sebelum diberikan tindakan tidak terpenuhi menjadi
terpenuhi dan juga terjadi perubahan peningkatan kemampuan keluarga
dalam merawat klien dengan halusinasi. Dan berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan Anita (2013) didapatkan hasil bahwa ada pengaruh
psikoedukasi keluarga terhadap perilaku keluarga dalam merawat pasien
skizofernia dengan halusinasi di wilayah RSJ Grhasia Desa Selomartani
Kalasan Sleman Yogyakarta.
3. Tindakan pada Keluarga
Tindakan Keperawatan Ners (TAK Stimulasi persepsi untuk
halusinasi)
a. Sesi 1 : mengenal halusinasi (jenis, isi, frekuensi, waktu, situasi,
respon)
b. Sesi 2 : melawan halusinasi dengan menghardik
c. Sesi 3 : melawan halusinasi dengan melakukan kegiatan terjadwal
d. Sesi 4 : melawan halusinasi dengan bercakap-cakap dan de-enskalasi
e. Sesi 5 : patuh 8 benar minum obat (benar nama klien, benar nama
obat, benar dosis obat, benar waktu pemberian, benar cara pemberian,
benar manfaat, benar kadaluwarsa, dan benar dokumentasi)
E. Implementasi
Implementasi adalah melakukan tindakan sesuai dengan rencana ,
masalah dan kondisi klien yang bersangkutan . sebelum melakukan tindakan
keperawatan yang sudah di rencanakan perawat perlu memvalidasi apakah
rencana tindakan keperawatan masih di butuhkan dan sesuai dengan kondisi
klien saat ini. Selai itu perawat juga harus menilai kondisi dirinya, apakah
sudah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan tekhnikal sesuai
dengan tindakan yang akan di laksanakan , dinilai kembali apakah aman bagi
klien, setelah semua tidak ada hambatan, maka tindakan keperawatan boleh di
laksanakan. Setelah itu kontrak dengan klien dan menjelaskan apa yang akan
di lakukan serta mendokumentasikan semua tindakan yang telah dilakukan
beserta respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan, hubungan saling
percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan
F. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan dan dilakukan harus terus -
menerus untuk menilai agar efek dari tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
SOAP
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
O : Respon objektif klien terhadap keperawatan yang telah dilaksanakan
A : Aanalisa terhadap data subjektif objektif untuk mengumpulkan apakah
masalah masih ada atau sudah teratasi atau muncul masalah baru
P : Perencanaan tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien

STRATEGI PELAKSANAAN
STANDAR PELAKSANAAN KOMUNIKASI (SP) DENGAN KLIEN
Pertemuan ke-1 Klien
a. Orientasi
1.1 Salam
“Selamat pagi Mas, perkenalkan saya Nuri, Perawat Puskesmas Jatinegara. Nama
Mas siapa? Senang dipanggil apa? Oh baik, kalau begitu saya memanggilnya
dengan Rian ya. Tanggal lahirnya?”
1.2 Evaluasi
"Apa yang ... rasakan? Oo..Rian mendengar suara-suara yang tidak ada wujudnya
ya. Sudah berapa lama mengalami hal tersebut?"
1.3 Validasi
Apa yang telah ......lakukan untuk mengatasi suara-suara yang tidak ada
wujudnya itu?
Bagaimana hasilnya? Apa manfaat yang ...... rasakan?
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan
“Baik Rian, bagaimana kalau saya periksa dulu tentang suara-suara yang Rian
dengar dan belajar cara mengatasinya? Tujuannya supaya Rian merasa lebih
tenang, dan suara-suara tersebut berkurang.”
“Bagaimana apakah Rian setuju?”
1.4.2 Waktu
Baik, kita akan diskusi selama 30 menit ya Rian.
1.4.3 Tempat
Mari kita duduk di ruang tamu.
b. Kerja
2.1 Pengkajian
 Jenis: Apakah Rian mendengar suara tanpa ada orang nya?
 Isi: Apa yang dikatakan suara itu?
 Waktu: Kapan/jam berapa saja yang paling sering muncul?
 Frekuensi: Berapa sering suara itu muncul?
 Situasi: Pada situasi apa yang paling sering muncul? Saat sendiri? Atau malam
hari?
 Respons : Apa yang Rian rasakan saat suara itu muncul?
 Upaya : Apa yang Rian lakukan untuk menghilangkannya? Apakah berhasil?
jika ada halusinasi katakan Anda percaya, tetapi Anda sendin tidak
mendengar/melihat/menghidu/merasakan.
2.2 Diagnosis
Baiklah,berarti ..... mendengur suara tanpa ada orang yang bicara dan Rian
merasa terganggulni yang kita sebut dengan Halasinasi, Bagaimana kalau kita
latihan untuk mengendalikannya?" ada beberapa cara untuk mengendalikan
suaraitu,bagaimana kalau saat ini kita latih?”
2.3 Tindakan
A. Latihan menghardik
......, mari kita belajar cara menghardik ya
Contohkan: “Baiklah, jika muncul suara itu segera tutup telinga dan katakan
pada suara itu:pergi jangan ganggu saya, kamu suara palsu, saya tidak mau
dengar."
Dampingi: “Ayo coba kita lakukan bersama-sama”
Mandiri: “Ayo coba lakukan sendiri dengan yakin"
Bagaimana perasaannya?
B. Latihan mengabaikan Cuek
Jika suara itu datang abaikan saja dengan cuek.
Ayo coba lakukan.
C. Latihan mengalihkan (distraksi)
Bercakap-cakap Saat suara terdengar dapat dikendalikan dengan bercakap-
cakap.
Coba cari siapa yang dapat diajak bercakap-cakap dan temui
Contohkan: katakan, “ayo kita bercakap-cakap agar suara yang mengganggu
saya dapat dikendalikan”
Dampingi: “Mari kita cari anggota keluarga/ teman untuk bercakap-
cakap,yang mana temannya, ayo coba praktik-kan. Bagus sekali"
Mandiri:“Nah,buat jadwal dengan siapa akan bercakap-cakap."
D. Latihan mengalihkan (distraksi)
Apa saja kegiatan yang dapat dilakukan setiap hari? (merapihkan tempat
tidur, mencuci piring makan,menyapu dan lain-lain).
Coba pilih satu kegiatan,mis.:merapikan tempat tidur
Sekarang coba dilihat apakah tempat tidurnya sudah rapi?
Dampingi:“Ayo kita rapikan,angkat bantalnya, angkat selimutnya dan lipat
dengan rapi." BerlanjutAsuhan Keperawatan Jiwa
“Sekarang rapikan spreinya."
“Nah letakkan bantal dengan rapi dan selimut dengan rapt" “Bagaimana
perasaanaya setelah melakukannya?" “Bagus sekali.”
Mandiri:“Nah,buat jadwal merapikan tempat tidur, agar dapat dikendalikan
halusinasimu.”
2.4 Terminasi
A. Evaluasi subjektif
Bagaimana perasaan Rian setelah latihan tadi?
B. Evaluasi objektif
“Apa saja latihan kita tadi: ..........., benar sekali" (bantu jika belum ingat).
C. Rencana tindak lanjut klien
Bagaimana kalau Rian latihan secara teratur? Baik, untuk meng-hardik
berapa kali sehari? Untuk bercakap-cakap berapa kal? Untuk merapikan
tempat tidur, berapa kali? (sambil mengisi jadwal kegiatan). Selain latihan
secara teratur lakukan jika suara terdengar.
D. Rencana tindak lanjut perawat
“Baiklah, hari Kamis Rian dan Ibu datang ke Puskesmas agar diperiksa lagi
tanda dan gejalanya serta latihan dan hasilnya. Juga akan diperiksa dokter.
Jika dapat obat, akan di jelaskan cara minum obat dengan benar.”
E. Salam
“Semoga cepat sembuh.”
DAFTAR PUSTAKA

Budi Anna Keliat, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Dalami
E,dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Jakarta: CV.Trans Info Media.

Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.

Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Pusdiklatnakes. 2012. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat.


Jakarta: Badan PPSDM Kesehatan.

Yosep, Iyus. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Riska Amalya Nasution, Herni Susanti dan Ice Yulia Wardani. 2021. Pemberian
Psikoedukasi Keluarga Dan Terapi Suportif Berbasis Kebutuhan
Keluarga Skizofrenia. Indonesian Journal of Nursing Health Science
ISSN (Print) : 2502-6127 Vol.6, No.2, September 2021 ,p.113-127 ISSN
(Online) : 2657-2257

Anita Widiastuti, Sunarmi, Purwaningsih. 2013. Psikoedukasi keluarga terhadap


perilaku keluarga merawat pasien skizofernia dengan halusinasi di
wilayah binaan RSJ. Jendela Nursing Journal-JNJ Volume 2 Nomor
1/April 2013.
LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA HARGA DIRI RENDAH

KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN OLEH:

YEMIMA ANGEL LORENCE (G1B222036)

CI KLINIK:

Ns. DERMANTO, S.Kep

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. YULIANA, S.Kep

Ns. RISKA AMALYA NASUTION, S.Kep., Sp.Kep.J

Ns. RETTY OCTISYAFRINI, S.Kep,.M.Kep,. Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH

A. Definisi
Perkembangan kebudayaan masyarakat banyak membawa perubahan
dalam segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan baik
positif maupun negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan
psikososial seperti bencana dan konflik yang dialami sehingga berdampak
sangat besar terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan
meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa(keliat, 2011)
Harga diri seseorang di peroleh dari diri sendiri dan orang lain.
Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang,
perilaku orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk.
Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai
rendah.Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan
secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta
cenderung merasa aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat
lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. (Keliat,
2011).
Menurut (Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi
mental atau psikologi seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri
sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengangaruhi perilaku
manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur, dan sex, keadaan badaniah,
keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan,
pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang di
cintai, rasa permusuhan, hubungan antara manusia.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri (Yosep, 2015) dalam (Sutinah, 2017). Harga diri rendah
adalah suatu kondisi dimana individu menilai dirinya atau kemampuan dirinya
negatif atau suatu perasaan menganggap dirinya sebagai seseorang yang tidak
berharga dan tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri
(Nurhalimah, 2016). Harga diri rendah kronis adalah evalusi atau perasaan
negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan klien seperti tidak berati, tidak
berharga, tidak berdaya yang berlangsung dalam waktu lama dan terus-
menerus (PPNI, 2016).
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak
berharga,tidak berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap
dirisendiri dan kemampuan diri (Keliat, 2011).Harga diri rendah merupakan
evaluasi diri dan perasaan tentang diri ataukemampuan diri yang negatif
terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diridan harga diri, merasa gagal
dalam mencapai keinginan (Direja, 2011)Harga diri rendah merupakan
keadaan dimana individu mengalamievaluasi diri negatif tentang kemampuan
dirinya (Fitria, 2012)
B. Etiologi Harga Diri Rendah
Menurut (PPNI, 2016), Penyebab harga diri rendah, yaitu:
1. Terpapar situasi traumatis
2. Kegagalan berulang
3. Kurangnya pengakuan dari orang lain
4. Ketidakefektifan mengatasi masalah kehilangan
5. Gangguan psikiatri
6. Penguatan negatif berulang
7. Ketidaksesuaian budaya
C. Tanda dan Gejala
a. Mengejek dan mengkritik diri.
b. Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri sendiri.
c. Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi, gangguan
penggunaan zat.
d. Menunda keputusan.
e. Sulit bergaul.
f. Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas.
g. Menarik diri dari realitas, cemas, panic, cemburu, curiga dan halusinasi.
h. Merusak diri: harga diri rendah menyokong klieb untuk mengakhiri hidup.
i. Merusak atau melukai orang lain.
j. Perasaan tidak mampu.
k. Pandangan hidup yang pesimitis.
l. Tidak menerima pujian.
m. Penurunan produktivitas.
n. Penolakan tehadap kemampuan diri.
o. Kurang memperhatikan perawatan diri.
p. Berpakaian tidak rapi.
q. Berkurang selera makan.
r. Tidak berani menatap lawan bicara.
s. Lebih banyak menunduk.
t. Bicara lambat dengan nada suara lemah.
D. Predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri
Meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua tidak realistis,
kegagalan yang berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi peran.
Dimasyarakat umunya peran seseorang disesuai dengan
jeniskelaminnya.Misalnya seseorang wanita dianggap kurang mampu,
kurang mandiri, kurang obyektif dan rasional sedangkan pria dianggap
kurang sensitive, kurang hangat, kurang ekspresif dibandingkan
wanita.Sesuai dengan standar tersebut, jika wanita atau pria berperan tidak
sesuai lazimnya maka dapat menimbulkan konflik diri maupun hubungan
sosial.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri.
Meliputi ketidak percayaan, tekanan dari teman sebaya danperubahan
struktur sosial. Orang tua yang selalu curiga pada anak akan menyebabkan
anak menjadi kurang percaya diri, ragu dalam mengambil keputusan dan
dihantui rasa bersalah ketika akan melakukan sesuatu. Control orang yang
berat pada anak remaja akan menimbulkan perasaan benci kepada orang
tua. Teman sebaya merupakan faktor lain yang berpengaruh pada
identitas. Remaja ingin diterima, dibutuhkan dan diakui oleh
kelompoknya,
d. Faktor biologis
Adanya kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerjahormon
secara umum, yang dapat pula berdampak pada keseimbangan
neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat
mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien depresi
kecenderungan harga diri dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak
berdaya.
E. Presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiapsituasi yang
dihadapi individu dan ia tidak mampu menyesuaikan. Situasi atas stressor
dapat mempengaruhi komponen.
Stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri adalah hilangnya bagian
tubuuh, tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan
fungsi tubuh, proses tumbuh kembang prosedur tindakan dan pengobatan.
Sedangkan stressor yang dapat mempengaruhi harga diri dan ideal diri adalah
penolakan dan kurang penghargaan diri dari orang tua dan orang yang berarti,
pola asuh yang tidak tepat, misalnya selalu dituntut, dituruti, persaingan
dengan saudara, kesalahan dan kegagalan berulang, cita-cita tidak terpenuhi
dan kegagalan bertanggung jawab sendiri. Stressor pencetus dapat berasal dari
internal dan eksternal:
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
peristiwa yang mengancam kehidupan.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dan individu mengalaminya sebagai frustasi.
Ada tiga jenis transisi peran:
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam
kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai
serta tekanan untuk menyesuaikan diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat-sakit terjadi akibat pergeseran dari sehat ke keadaan
sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh,
perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh, perubahan fisik
yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal. Perubahan tubuh
dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu gambaran diri,
identitas diri, peran dan harga diri.
F. Rentang Respon

Keterangan:

1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang


pengalaman nyata yang sukses diterima.
2. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi.
3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep
diri maladaptif.
4. Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
G. Pohon Masalah

Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012) :

H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping menurut Deden (2013) :
Jangka pendek :
1. Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian
obat-obatan, kerja keras, nonoton tv terus menerus.
2. Kegiatan mengganti identitas sementara: ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik.
3. Kegiatan yang memberi dukungan sementara : kompetisi olah raga kontes
popularitas.
4. Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara :
penyalahgunaan obat-obatan.
Jangka Panjang :

1. Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari


orang-orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau
potensi diri sendiri.
2. Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.

Mekanisme Pertahanan Ego:

Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah : fantasi,


disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri
dan orang lain.

I. Konsep Asuhan Keperawatan


Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses
keperawatan.Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap
berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi
pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosa yang
diangkat akan menentukan desain perencanaan yang ditetapkan. Selanjutnya,
tindakan keperawatan dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat
(Rohmah, 2016).

1. Faktor Predisposisi
a. Penolakan.
b. Kurang penghargaan.
c. Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntut.
d. Persaingan antara keluarga.
e. Kesalahan dan kegagalan berulang.
f. Tidak mampu mencapai standar.
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma.
b. Ketegangan peran.
c. Transisi peran perkembangan.
d. Transisi peran situasi.
e. Transisi peran sehat-sakit.
3. Perilaku
a. Mengkritik diri sendiri/orang lain.
b. Produktivitas menurun.
c. Gangguan berhubungan.
d. Merasa diri paling penting.
e. Destruktif pada orang lain.
f. Merasa tidak mampu.
g. Merasa bersalah dan khawatir.
h. Mudah tersinggung/marah.
i. Perasaan negatif terhadap tubuh.
j. Ketegangan peran.
k. Pesimis menghadapi hidup.
l. Keluhan fisik.
m. Penolakan kemampuan diri.
n. Pandangan hidup bertentangan.
o. Destruktif terhadap diri.
p. Menarik diri secara sosial.
q. Penyalahgunaan zat.
r. Menarik diri dari realitas. (Yusuf, Fitryasari, 2015)
Diagnosis Keperawatan

Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala


harga diri rendah yang ditemukan. Diagnosa yang dapat muncul adalah
gangguan konsep diri: Harga diri rendah kronik (PPNI, 2016).

J. Tujuan Asuhan Keperawatan


1. Kognitif, klien mampu:
a. Mengenal aspck positifdan kemampuan yang dimiliki.
b. Menilai aspek positifdan kemampuan yang dapat dilakukan.
c. Memilih aspck positifdan kemampuan yang ingin dilakukan.
2. Psikomotor, klien mampu:
a. Melakukan aspek positifdan kemampuan yang dipilih.
b. Berperilaku aktif.
c. Menceritakan keberhasilan pada orang lain.
3. Afektif, klien mampu:
a. Merasakan manfaat latihan yang dilakukan.
b. Menghargai kemampuan diri (bangga).
c. Meningkatkan harga diri.

Tindakan keperawatan
Tindakan pada klien
1. Pengkajian: Kaji tanda dan gejala serta penyebab harga diri rendah
kronik
2. Diagnosis: Jelaskan proses terjadinya harga diri rendah kronik
3. Tindakan keperawatan:
a. Diskusikan aspek positif dan kemampuan yang pernah dan masih
dimiliki klien.
b. Bantu klien menilai aspek positif dan kemampuan yang masih
dimiliki dan dapat digunakan/dilakukan.
c. Bantu klien memilih aspek positifatau kemampuan yang akan
dilatih
d. Latih aspek positif atau kemampuan yang dipilih dengan motivasi
yang positif.
e. Berikan pujian untuk setiap kegiatan yang dilakukan dengan baik•
f. Fasilitasi klien bercerita tentang keberhasilannya.
g. Bantu klien membuat jadwal latihan untuk membudayakan.
h. Bantu klien menilai manfaat latihan yang dilakukan.
4. Tindakan keperawatan spesialis
a. Terapi kognitif
1) Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan
danmenimbulkan pikiran otomatis negative
2) Sesi 2: Melawan pikiranotomatis negative
3) Sesi 3: Memanfaatkan sistem pendukung
4) Sesi 4:mengevaluasi manfaat melawan fikiran negatiif
Hasil penelitan Nurwiyono, Reliat, dan Daulima (2013)
menyatakan perpaduan terapi kognitif dan dapat menurunkan
tingkat depresi pada lamia, satu di antaranya dengan penurunan
tanda dan gejala harga diri rendah pada lansia
b. Terapi kognitif perilaku
1) Sesi 1: mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan
dan menimbulkan pikiran otomatis negatif dan perilaku negative
2) Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negative
3) Sesi 3: Mengubah perilaku negatif menjadi positif
4) Sesi 4: Memanfaatkan sistem pendukungSesi 5: Mengevaluasi
manfaat melawan pikiran negatif dan mengubah perilaku negatif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sasmita, keliat,
dan Budiharto (2007) menyatakan terapi kognitif perilaku
efektif diberikan pada klien harga diri rendah. Hasil
penelitian Hidayat, Keliat, dan Wardani (2011) menyatakan
bahwa perpaduan terapi kognitif perilaku dan REBT dapat
menurunkan tanda dan gejala pada klien dengan perilaku
kekerasan dan harga diri rendah. Hasil penelitian Lelono,
Keliat, dan Besral (2011) menyatakan bahwa terapi kognitif
perilaku dan REBT dapat menurunkan tanda dan gejala
perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah klien.
Semua penelitian ini pada klien yang dirawat inap di rumah
sakit jiwa.
c. Logoterapi: Medical ministry

1) Sesi 1: Identifikasi masalah yang dihadapi, perubahan yang terjadi,


dan masalah yang dialami
2) Sesi 2: Identifikasi respons terhadap masalah psikososial dan cara
mengatasinya, tambahkan respons bio dan sosial
3) Sesi 3: Logoterapi dengan tehnik medical ministry
4) Sesi 4: Evaluasi
Hasil penelitian Wahyuni, Keliat, dan Budiharto (2007)
menyatakan logoterapi dapat meningkatkan kemampuan
kognitifdan perilaku lansia dengan harga diri rendah. Hasil
penelitian Maryati, Hamid, dan Mustikasari (2011) menyatakan

bahwa logoterapi dapat berpengaruh terhadap perubahan harga diri


narapidana perempuan dengan narkotika.
Tindakan pada keluarga
l. Tindakan kepcrawatan ners
a. Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
b. Menjelaskan proses terjadinya harga diri rcndah Yang dialami
klien.
c. Mendiskusikan cara merawat harga diri rendah dan memutuskan
Cara merawat yang sesuai dengan kondisi klien.
d. Melatih kcluarga merawat harga diri rendah klien
1) Mendiskusikan aspek positifdan kemampuan yang dimiliki
klien.
2) Membimbing klien melakukan aspek positif dan kemampuan
Yang dimiliki klien: memilih, melatih, memberi motivasi.
3) Memberi pujian atas keberhasilan klien.
e. Melibatkan seluruh anggota keluarga menciptakan suasana
lingkungan yang nyaman: mengurangi kritik, memfasilitasi
keberhasilan, dan memberi pujian.
f. Menjelaskan tandadan gejala harga diri rendah kronik yang
memerlukan rujukan, serta melakukan follow up ke pelayanan
kesehatan secara teratur.

2. Tindakan keperawatan spesialis: Psikoedukasi keluarga


a. Sesi l: Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami klien dan
masalah kesehatan keluarga (care giver) dalam merawat klien
b. Sesi 2: Merawat masalah kesehatan klien
c. Sesi 3: Manajemen stres keluarga
d. Sesi 4: Manajemen beban keluarga
e. Sesi 5: Memanfaatkan sistem pendukung
f. Sesi 6: Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
Hasil penelitian Kustiawan (2012) menunjukkan adanya pengaruh
psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan keluarga merawat klien
harga diri rendah.

Tindakan pada kekompok Wien

l. Tindakan keperawatan ners: TAK stimulasi persepsi untuk harga diri rendah
a. Sesi l: Identifikasi kemampuan dan aspek positifpada diri
b. Sesi 2: Menilai kemampuan dan aspek positifpada diri Idien Yang
dapat di lakukan
c. Sesi 3: Memilih aspek positifatau kemampuan yang akan dilatih
d. Sesi4: Melatih kemampuan aspekpositifpada diri
e. Sesi 5: Menilai manfaat latihan terhadap harga diri
2. Tindakan keperawatan ners spesialis jiwa: Terapi suportif
a. Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam di Luar
keluarga
b. Sesi 2: Latihan menggunakan dalam keluarga
c. Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga
d. Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan sumber penggunaan sumber
pendukung

Tindakan Kolaborasi
1) Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan pendekatan ISBAR
dan
2) Memberikan program terapi dokter (Obat): Edukasi 8 benar sesuai
konsep
3) Mengobservasi manfaat dan efek samping Obat.
Discharge Planning

1 Menjelaskan rencana persiapan pasca-rawat di rumah untuk memandirikan


2 Menjelaskan rencana tindak lanjut perawatan dan pengobatan.
3 Melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan.

Evaluasi

l. Penurunan tanda dan gejala harga diri rendah.


2. Peningkatan kemampuan meningkatkan harga diri.
3. Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat klien.

Rencana Tindak Lanjut

1. Rujuk klien dan keluarga ke fasilitas praktik mandiri perawat spesialis


keperawatan jiwa.
2. Rujuk klien dan keluarga ke case manager di fasilitas pelayanan kesehatan
Primer sakit. di puskesmas, pelayanan kesehatan sekunder dan tersier di
rumah
3. Rujuk klien dan keluarga ke kelompok pendukung, kader kesehatan jiwa,
kelompok swabantu dan fasilitas rehabilitasi psikososial yang tersedia di
masyarakat.
STANDAR PELAKSANAAN KOMUNIKASI (SP)

DENGAN KLIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK

Pertemuan ke-1 Klien

1. Orientasi
1.1 Salam
“Selamat pagi, saya Raisha, perawat dari puskesmas ceria.Siapa namanya?
Senang dipanggil apa? Saya panggil eko ya ?Tanggal Lahirnya?”
1.2 Evaluasi
“Apa yang eko rasakan ?jadi eko malu keluar rumah. Sudah berapa lama?”
1.3 Validasi
“Apa upaya yang sudah dilakukan? Apakah berhasil ?”
1.4 Kontrak
1.4.1 Tindakan dan tujuan
“Bagaimana kalau kita periksa agar kita belajar cara mengatasinya?”
1.4.2 Waktu
“Waktunya kira-kira 40 menit, apakah eko setuju ?”
1.4.3 Tempat
“ Kita lakukan disini aja ya?”
2. Kerja
2.1 Pengkajian
2.1.1 Penyebab
“Apa peristiwa yang terjadi sampai Eko malu keluar rumah ?”
2.1.2 Tanda dan gejala
“Apa yang eko rasakan akibat peristiwa itu (Sebutkan peristiwa
penyebab)?Apakah kehidupan eko yang dapat dibanggakan?
Apakah kelebihan yang eko rasakan ?”
2.1.3 Akibat
“ Apakah akibat dari eko tidak keluar rumah? Apakah kehidupan eko
semakin baik atau sebaliknya”
2.2 Diagnosis
“ Eko merasa malu, tidak berarti dan merasa tidak bisa apa-apa. Kondisi ini
membuat eko tidak ingin keluar rumah.Apakah eko ingin belajar untuk
semangat dan bangkit kembali?”
2.3 Tindakan
“Baiklah, saya akan bantu ekountuk mengatasi rasa malu dan tidak berarti
dengan beberapa langkah-langkah.”
2.3.1 Membuat daftar aspek positif atau kemampuan yang dimiliki
“Eko, mari kita tulis semua aspek positif dan kemampuan yang
Eko miliki dari dulu sampai saat ini.”
2.3.2 Menilai aspek positif dan kemampuan yang masih dapat dilakukan
“ eko dari daftar aspek positif dan kemampuan ini mari kita tandai
yang masih dapat dilakukan.”
2.3.3 Memilih yang akan dilatih
“Eko dari daftar aspek positif dan kemamouan ini, yang manayang
akan dilatih, silahkan pilih.”
2.3.4 Melatih aspek positif dan kemampuan yang dipilih secara bertahap
sampai semua aspek positif dan kemampuan dilatih dan dibiasakan
dilakukan
- Beri contoh melakukannya
- Dampingi klien melakukannya
- Beri kesempatan mandiri melakukannya
- Beri pujian atas keberhasilan4
2.3.5 Menyusun jadwal melakukan aspek positif dan kemampuan yang
sudah dilatih
3. Terminasi
3.1 Evaluasi subjektif
Bagaimana perasaan eko setelah dilatih?
3.2 Evaluasi objektif
Apa yang telah dilatih? Bagaimana langkah-langkahnya? Bagus sekali/
3.3 Rencana tindak lanjut klien
Selanjutnya mari kita buat jadwal latihannya, berapa kali sehari, jam berapa?
Jangan lupa diceklis kalau sudah dilakukan dan rasakan manfaatnya.
3.4 Rencana tindak lanjut perawat
“Baiklah hari kamis pagi ya ke puskesmas bersama bapak, kita akan periksa
kembali kondisi dan latihannya serta diperiksa dokter. Jika dapat obat,
nanti akan dijelaskan cara minum obat yang benar.”
3.5 Salam
“Semoga cepat sembuh.”
DAFTAR PUSTAKA
Stuart, W. Gail.(2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Singapore: Elsevier

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:


CMHN(Basic Course). Jakarta: EGC

Mulyono, Andri,.2013. Asuhan Keperawatan dengan HArgaDiri Rendah


diakses dari http://eprints.ums.ac.id/25936/11/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
Pada 12 Juni 2018

Halifah, Nur Eka,.2016. Bab II Tinjauan Teori diakses dari


http://repository.ump.ac.id/1076/3/EKA%20NUR%20HALIFAH%20BAB%2
0II.pdf pada 12 Juni 2018

Elinia, Sury,.2016. Tinjauan Tero dan Konsep Harga Diri Rendah diakses
dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/167/jtptunimus-gdl-eliniasury-
8333-2-babii.pdf pada 12 Juni 2018

Saktian, Yusuf,.2018. Strategi Pelaksanaan Isolasi Sosial diakses dari


https://www.academia.edu/28333219/STRATEGI_PELAKSANAAN_ISOLAS
I_SOSIAL_STRATEGI_PELAKSANAAN_1_SP_1_ISOLASI_SOSIAL pada 12
Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai