Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

DI RUMAH SAKIT JIWA KALAWA ATEI


PALANGKA RAYA

Disusun:
Margaretha Dwi Novijayanti Widjo
P1337420923053

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SEMARANG
2024
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan khusus, tapi lebih
merujuk pada suatu perangkat perasaan – perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan
perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang
secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat di
lakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku
kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan
atau riwayat perilaku kekerasan (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor yang dihadapi oleh
seseorang. Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan. Melihat dampak dari kerugian yang ditimbulkan , maka penangnan pasien
dengan perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat dan tepat oleh tenaga-tenaga yang
profesional (Keliat & Akemat, 2009)

Suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien
sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang – barang.

1.2 Etiologi
1.2.1 Faktor Predisposisi
1. Faktor Biologis
Neurologic faktor, beragam komponen dari sistem syaraf sperti synap,
neurotransmiterre, dendrite, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan mempengahuri sifat agresif.
Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulus timbulnya perilaku bermusuhan da
respon agresif Genetik faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,
menjadi potensi perilaku agresif.

2. Cyrcardian Rhytm, memegang peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-
jam tertentu manusia mengalami peningkatan cortsiol terutama pada jam-jam sibuk
seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam
09.00 dan jam 13.00. pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap
agresif.
3. Brain Area Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak
organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi di temukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindakan kekerasan.
1.2.2 Faktor Psikologis
1) Teori psikonalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat di pengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang .
teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana
anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yanag cukup
cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan
2) Biochemistry faktor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmiter di otak (epinephrine,
norephinephrine, asetikolin dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi
melalui sistem persyarafan dalam tubuh. setekah dewasa sebagai konpensansi
ketidakpuasannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa man dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.
3) Imitation, modeling and information processing theory, menurut teori ini perilaku
kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolerir kekerasan.
1. Learning theory, menurut teori ini perilaku kekerasan merupakan hasil belajar dari
individu terhdap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ibu saat
marah.

1.2.3 Faktor Sosial Budaya


1. Latar Belakang Budaya
1) Budaya permissive : Kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima.
2) Agama dan Kenyakinan
a. Keluarga yang tidak solid antara nilai kenyakinan dan praktek, serta tidak kuat
terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
b. Kenyakinan yang salah terhadap nilai dan kepercayaan tentang marah dalam
kehidupan. Misal Yakin bahwa penyakit merupakan hukuman dari Tuhan.

2. Keikutsertaan dalam Politik


a. Terlibat dalam politik yang tidak sehat

b. Tidak siap menerima kekalahan dalam pertarungan politik.


3. Pengalaman sosial
a. Sering mengalami kritikan yang mengarah pada penghinaan.
b. Kehilangan sesuatu yang dicintai (orang atau pekerjaan).
c. Interaksi sosial yang provaktif dan konflik
d. Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
e. Sulit memperhatikan hubungan interpersonal.

4. Peran sosial
a. Jarang beradaptasi dan bersosialisasi.
b. Perasaan tidak berarti di masyarakat.
c. Perubahan status dari mandiri ketergantungan (pada lansia)
d. Praduga negatif.

5. Adanya budaya atau norma yang menerima suatu ekspresi marah.


a. Faktor Presipitasi
Yosep & Sutini (2014) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat mencetuskan
perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan :
- Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan
sebagainya.
- Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.

3.3.4 Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak


membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
3.3.5 Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
3.3.6 Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
3.3.7 Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
1.3 Manifestasi Klinis
Menurut (Fitria, 2010) tanda dan gejala peilaku kekerasan antara lain :
1. Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata – kata kotor, berbicara dengan nada keras,
kasar dn ketus.
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/oranglain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : mendominasi cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan sosial.

1.4 Proses Terjadinya Masalah


Perilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif. Rentang respon marah menurut (Fitria, 2010) dimana amuk dan agresif pada
rentang maladaptif, seperti gambar berikut :
Rentang respon

Adaptif Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresi Amuk/PK

Keterangan :
Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/ terhambat
Pasif : Respon lanjutan dimana klien tidak mampu mengungkapkan perasaannya
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol

1.5 Pohon Masalah / Patway

Resiko menciderai diri Effect

Resiko prilaku kekerasan berhubungan


dengan Ragiemen terapeutik infektif Problem

Koping individu tidak efektif


1.6 Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara
lain:

1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain
seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

2. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang


tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.

3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam


sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.

5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek


yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.

1.7 Penatalaksanaan Medis


Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:

1. Medis

1. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.

2. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.

3. Thrihexiphenidil, yaitu mengontrol perilaku merusak diri dan menenangkan


hiperaktivitas.

4. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah pada
keadaan amuk.

2. Penatalaksanaan keperawatan

1) Psikoterapeutik

2) Lingkungan terapieutik

3) Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)

4) Pendidikan kesehatan

1.8 Pemeriksaan Diagnostik


Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.Aaron T. Beck, BDI merupakan salah satu
instrumen yang paling sering digunakan untuk mengukur derajat keparahan perilaku
kekerasan.

Para responden akan mengisi 21 pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki skor 1 s/d 3,
setelah responden menjawab semua pertanyaan kita dapat menjumlahkan skor tersebut, Skor
tertinggi adalah 63 jika responden mengisi 3 poin keseluruhan pertanyaan. Skor terendah
adalah 0 jika responden mengisi poin 0 pada keseluruhan pertanyaan. Total dari keseluruhan
akan menjelaskan derajat keparahan yang akan dijelaskan di bawah ini.
1-10 = normal
11-16 = gangguan perilaku ringan
17-20 = batas perilaku kekerasan
21-30 = perilaku sedang
31-40 = perilaku berat
>40 = perilaku ekstrim
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
2.1 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.1.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan (Direja, 2011).
Data-data tersebut dikelompokan menjadi faktor predisposisi, presipitasi, penilaian, terhadap
stresor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimlilki klien. Data-data yang
diperoleh selama pengkajian juga dapat dikelompokan menjadi data subjektif dan data
objektif. Data subjektif merupakan data yang disampaikan secara lisan oleh klien maupun
keluarga klien melalui proses wawancara. Sedangkan data objektif adalah data yang
ditemukan secara nyata pada klien melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat
(Keliat, Panjaitan & Helena, 2006).
Adapun isi dari pengkajian tersebut adalah :
a. Aspek biologis

Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar,
pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan
refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.

b, Aspek emosional

Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi,
dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan
menuntut.

c. Aspek intelektual

Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran
panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah
dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
d. Aspek sosial

Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah
sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan
mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan
kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan
individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.

e. Aspek spiritual

Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal
yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa.

Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah melalui observasi atau
wawancara tentang perilaku berikut ini:

1) Muka merah dan mata melotot


2) Pandangan tajam
3) Mengarupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Jalan mondar-mandir
6) Bicara kasar
7) Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8) Mengancam secara verbal atau fisik
9) Melempar atau memukul benda /orang lain
10) Merusak barang atau benda
11) Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan.

2.1.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko menciderai diri
2. Koping individu tidak efektif
3. Resiko prilaku kekerasan berhubungan dengan regiemen terapeutik infektif.
2.1.3 Intervensi Keperawatan
Perencanaan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, dan rencana
tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan dari
diagnosis tertentu. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai.
Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi dari diagnosis tertentu. Tujuan khusus
merupakan rumusan kemampuan yang perlu dicapai atau dimilki klien (Direja, 2011).
Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan yang digunakan untuk diagnosa
perilaku kekerasan yaitu :

1. Tindakan keperawatan untuk klien


1) Tujuan
1. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
3. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
4. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
5. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya.
6. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial, dan
terapi psikofarmaka.
2) Tindakan
1. Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar klien merasa
aman dan nyaman saat berinteraksi dengan Saudara. Tindakan yang harus Saudara
lakukan dalam rangka membina hubungan salig percaya adalah mengucapkan salam
terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat kontrak
topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien.

2. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di masa lalu dan
saat ini.
3. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan. Diskusikan
bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekersan, baik kekerasan fisik,
psikologis, sosial, sosial, spiritual maupun intelektual.
4. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada saat
marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
5. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya.
Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik (pukul
kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obat-obatan, sosial atau verbal
(dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual (salat atau
berdoa sesuai keyakinan klien).

2. Tindakan keperawatan
1) Tujuan
Keluarga dapat merawat klien di rumah
2) Tindakan
1) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi penyebab, tanda
dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku tersebut.
2) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan.

(1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melakukan tindakan yang telah
diajarkan oleh perawat.
(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila anggota keluarga dapat
melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus klien menunjukkan gejala-gejala
perilaku kekerasan.
3) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera dilaporkan kepada
perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.
2.1.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
Pada situasi nyata implementasi seringkali jauh berbeda dengan rencana (Direja, 2011).

2.1.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan keperawatan pada
klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan
keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi
proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau
sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang
telah ditentukan.Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai
pola pikir.
Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan perilaku kekerasan antara lain

1. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.


2. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
3. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang dilakukakannya.
4. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
5. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah dilakukan.
6. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan.
8. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
9. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan.
10. Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof. Dr. Soeroyo
Magelang.

Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap Penurunan
Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan , 138-
139.

Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC.

Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung: PT Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai