Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Oleh :
Ni Komang Satia Salini 19089014039
Semester VI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan
Resiko perilaku kekerasan adalah salah satu respon marah yang
diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan sekitar. Pada aspek fisik tekanan darah
meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, marah, mudah
tersinggung, mengamuk dan bisa mencederai diri sendiri. Perubahan pada
fungsi kognitif, fisiologis, afektif, hingga perilaku sosial hingga
menyebabkan perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan yang timbul pada
klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga, takut dan
ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari hubungan
interpersonal dengan orang lain (Azis, 2018).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang
dihadapi oleh seseorang. Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku
yang bertujuan melukai seseorang secara fisik maupun psikologis dapat
terjadi dalam dua bentuk yaitu saat berlangsung kekerasan atau riwayat
perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari
marah akibat tidak mampu klien untuk mengatasi stressor lingkungan yang
dialaminya (Estika, 2021).
Perilaku kekerasan yang terjadi pada pasien gangguan jiwa memiliki
batasan karakteristik yang berbeda-beda (Hasannah, 2019). Risiko
mencederai merupakan suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai
atau membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sehingga
masalah yang terjadi pada pasien parilaku kekerasan akan melibatkan
keluarga (Suryenti, 2017).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah salah satu
respon marah atau suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik maupun psikologis, baik pada
dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar yang tidak
terkontrol.
B. Etiologi Resiko Perilaku Kekerasan
Penyebab dari perilaku kekerasan bukan terdiri cuman satu faktor
tetapi termasuk juga faktor keluarga, media, teman, lingkungan, biologis.
Perilaku kekerasan dapat menimbulkan dampak seperti gangguan
psikologis, merasa tidak aman, tertutup, kurng percaya diri, resiko bunuh
diri, depresi, harga diri rendah, ketidak berdayaan, isolasi sosial (Putri,
2020).
Faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya skizofrenia meliputi
biologis, psikologis, dan sosialkultural, dimana faktor biologis yang
mendukung terjadinya skizofrenia adalah genenitk, neuroanotomi,
neurokimia, dan imunovirologi. Faktor presipitasi merupakan faktor
stressor yang menjadikan klien mengalami sikizofrenia yang terdiri dari
faktor biologi, psikologi, dan sosiokultural yang mampu menyebabkan
risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah (Pardede,
Keliat & wardani 2013).
Penyebab pasien beresiko untuk melakukan perilaku kekerasan
disebabkan oleh cemas secara terus menerus, untuk itu dibutuhkan strategi
preventif untuk mencegah perilaku kekerasan yang salah satunya adalah
dengan melakukan teknik relaksasi. Terknik relaksasi merupakan salah
satu yang sering digunakan untuk menghilangkan stress ialah Muscle
Relaxation Therapy (PMRT). Terapi ini mudah di pelajari dan tidak
terbatas, dampaknya bisa menggurangi kecemasan dan depresi,
peningkatan perasaan kontrol diri dan peningkatan kemampuan koping
dalam situasi stress (Pardede, Simanjuntak & Laia, 2020). Faktor
psikologis yang menyebabkan pasien mengalami perilaku kekerasan antara
lain yaitu : Keperibadian yang tertutup, kehilangan, aniaya seksual,
kekerasan dalam keluarga (Pardede, Siregar, & Halawa, 2020).
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
Psyschoanalytical Theory : Teori ini mendukung bahwa
perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives.
Pandangan psikologi mengenai perilaku agresif mendukung
pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman
hidup. Beberapa contoh dari pengalaman hidup tersebut :
1) Kerusakan otak organik dan retardasi mental sehingga tidak
mampu menyelesaikan secara efektif.
2) Rejeksi yang berlibihan saat anak-anak.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan
b. Faktor Sosial Budaya
Sosial Learning Theory, ini merupakan bahwa agresif tidak
berbeda dengan respon-respon yang lain, kultural dapat pula
mempengaruhi perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Neurotransmeiter yang sering dikaaitkan perilaku agresif
dimana faktor pendukunya adalah masa kanak-kanak yang tidak
menyengkan, sering mengalami kegagalan, kehidupan yang penuh
tindakan agresif dan lingkungan yang tidak kondusif.
d. Perilaku
Reinfocemnt yang terima pada saat melakukan kekerasan dan
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah,
semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Ketika seseorang merasa terancam terkadang tidak menyadari sama
sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Tetapi secara umum,
seseorang akan mengerluarkan respon marah apabila merasa dirinya
terancam. Faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan, atau
interaksi dengan orang lain. Faktor yang mencetuskan terjadinya
perilaku kekerasan terbagi dua, yaitu (Parwati, 2018) :
a. Klien : Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri.
b. Lingkungan : Ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga,
konflik interaksi sosial.
c. Interaksi : Penghinaan, kekerasan, kehilangam orang yang
berarti, konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan
diri klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
C. Patofisiologi Resiko Perilaku Kekerasan
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan
marah. Respon terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal
maupun internal. Secara eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku
konstruktif maupun destruktif. Mengekspresikan rasa marah dengan kata-
kata yang dapat di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain.
Selain memberikan rasa lega, ketegangan akan menurun dan akhirnya
perasaan marah dapat teratasi. Rasa marah diekspresikan secara
destrukrtif, misalnya dengan perilaku agresif, menantang biasanya cara
tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat
menimbulkan amuk yang di tunjukan pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Yosep, 2011).
Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa
tidak kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari
rasa marahnya, sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian
akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, pada suatu saat dapat
menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan yang destruktif yang ditujukan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan (Dermawan & Rusdi, 2013).
D. Tanda dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan
Tanda dan gejala menurut Azizah (2016) adalah sebagai berikut :
1. Fisik
Muka merah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh
kaku, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat,
mengepalkan tangan dan jalan mondar-mandir.
2. Verbal
Bicara kasar, suara tinggi, membentak/berteriak, mengancam secara
verbal atau fisik, mengumpat dengan kata kotor, suara keras dan ketus.
3. Perilaku
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan dan amuk/agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, dendam jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
juga menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan juga
sarkasme.
6. Spiritual
Merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, mengkritik pendapat
orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli dan juga
kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri dan penyimpangan seksual.
E. Rentang Repon Resiko Perilaku Kekerasan
Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

1. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai


perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan
kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan
kemarahan.
3. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif bisaanya tidak mau mengetahui
hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung
untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan
yang sama dari orang lain.
5. Amuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan control diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak
dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Table 2.1 Perbandingan antara perilaku pasif, asertif, dan agresif atau
kekerasan
Pasif Asertif Agresif
Isi Negative dan Positif dan Menyombongkan
Pembicaraan merendahkan diri, menawarkan diri, diri, merendahkan
contoh perkataan : contoh orang lain, contoh
“dapatkah saya?” perkataannya : perkatannya : “
“dapatkan kamu?” “saya dapat...” kamu selalu...”
“saya akan...” “kamu tidak
pernah...”

Tekanan suara Cepat lambat, Sedang. Keras dan ngotot


mengeluh

Posisi badan Menundukkan Tegap dan santai Kaku, condong ke


kepala depan
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak
dengan sikap acuh jarak yang aman akan
atau mengabaikan menyenangkan
orang lain

Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi


tenang menyerang

Kontak mata Sedikit atau sama Mempertahankan Mata melotot dan


ada sekali tidak kontak mata sesuai mempertahankan
dengan hubungan

F. Mekanisme Koping Resiko Perilaku Kekerasan


Menurut Prastya, & Arum (2017). Perawat perlu mengidentifikasi
mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien untuk
mengembangkan koping yang konstruktif dalam mengekpresikan
kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti sublimasi, proyeksi, represif, reaksi
formasi, dan displacement.
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia yang artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang
marahmelampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya yang bertujuan untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, namun berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represif
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
ke dalam alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau
didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu di tekannya dan pada akhirnya ia mampu
melupakannya.
4. Reaksi Formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap juga perilaku yang berlawanan dan juga
menggunakannya sebagai rintangan. Misalkan seseorang yang tertarik
pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan
kuat.
5. Displancement
Yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan.
Pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya
telah membangkitkan emosi tersebut. Misalnya anak berusia 4 tahun
marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-
perangan dengan temannya.
Perilaku yang berkaitan dengan risiko perilaku kekerasan antara lain:
a. Menyerang atau menghindar Pada keadaan ini respon fisiologis timbul
karena kegiatan system syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epinefrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi,
wajah marah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltik
gaster menurun, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal, tubuh
menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif Perilaku yang sering ditampilkan individu
dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif,
agresif dan perilaku asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikologis dan dengan perilaku tersebut individu juga
dapat mengembangkan diri.
c. Memberontak Perilaku muncul biasanya disertai kekerasan akibat
konflik perilaku untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan
akibat konflik perilaku untuk menarik perhatian orang lain.
G. Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan

Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Resiko Perilaku Kekerasan Halusinasi


Regimen
Terapeutik inefektif
Harga diri rendah kronis Isolasi Sosial
Koping keluarga
Tidak efektif Berduka disfungsional

H. Penatalaksanaan Resiko Perilaku Kekerasan


1. Farmakologi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
yang tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai
dosis efektif tinggi contohnya : clorpromazine HCL yang digunakan
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat dipergunakan
dosis efektif rendah, contoh : Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada
juga maka dapat digunakan transquelillzer bukan obat anti psikotik
seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduannya mempunyai
efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini
bukan pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk
melakukan kegiatan dan mengembalikan maupun berkomunikasi,
karena itu didalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan terapi
sebagai bentuk kegiatan membaca koran, main catur, setelah mereka
melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang
pengalaman dan arti kegiatan itu bagi dirinya.
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan pasien. Perawat membantu
keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan yaitu, mengenal
masalah kesehatan, membuat keputusan kesehatan, memberi
perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber daya pada masyarakat. Keluarga
yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat
mencegah perilaku maladaptive (primer), mengulangi perilaku
maladaptive (sekunder) dan memulihkan perilaku maladaptive dan
adaptive sehingga derajat kesehatan pasien dan keliuarga dapat
ditingkatkan secara optimal.
4. Terapi Somatik
Menurut Deskep RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi
somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku tindakan yang ditujukan pada
kondisi fisik pasien, tetapi target terpai adalah perilaku pasien
(Prabowo, 2014).
5. Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara
kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan
interpersonal. Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk
memfasilitasi psikoterapi terhadap sejumlah pasien pada waktu yang
sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota.
6. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electro convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan
pada pelipis pasien. Terapi ini awalnya untuk menangani skozofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi, biasanya dilaksanakan setiap 2-3 hari
sekali.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses traupetik yang
melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau
masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Tindakan asuhan
keperawatan yang dilakukan berupa tindakan generalis meliputi dari
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan, dan evaluasi keperawatan (Makhruzah, 2021).
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, No MR, tanggal masuk RS, tanggal
pengkajian.
b. Alasan masuk
Biasanya klien masuk dengan alasan sering mengamuk tanpasebab,
memukul, membanting, mengancam, menyerang oranglain, melukai
diri sendiri, mengganggu lingkungan, bersifat kasar dan pernah
mengalami gangguan jiwa dimasa lalu kambuhkarenatidak mau
minum obat secara teratur (Keliat,2016).
c. Faktor Predisposisi
1) Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa lalu
dan pernah dirawat atau baru pertama kali mengalami gangguan
jiwa (Parwati, 2018).
2) Biasanya klien berobat untuk pertama kalinya kedukun sebagai
alternative serta memasung dan bila tidak berhasil baru di bawa
kerumah sakit jiwa
3) Trauma. Biasnya klien pernah mengalami atau menyaksikan
penganiayaan fisik, seksual, penolakan, dari lingkungan.
4) Biasanya ada anggota keluarga yang mengalami gangguanjiwa,
kalau ada hubungan dengan keluarga, gejala, pengobatan dan
perawatan.
5) Biasanya klien pernah mengalami pengalaman masa laluyang tidak
menyenangkan misalnya, perasaan ditolak, dihina, dianiaya,
penolakan dari lingkungan
d. Pengkajian Fisik
a. Ukur dan observasi tanda-tanda vital seperti tekanan darah akan
bertambah naik, nadi cepat, suhu, pernapasan terlihat cepat.
b. Ukur tinggi badan dan berat badan.
c. Yang kita temukan pada klien dengan prilaku kekerasan pada saat
pemeriksaan fisik (mata melotot, pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah)
d. Verbal (mengancam, mengupat kata-kata kotor, berbicara kasar
dan ketus).
e. Psikososial
1) Genogram
Genogram dibuat 3 generasi keatas yang dapat menggambarkan
hubungan klien dengan keluarga. Tiga generasi ini dimaksud
jangkauan yang mudah diingat oleh klien maupu keluarg apa
dasaat pengkajian.
2) Konsep diri
Biasanya ada anggota tubuh klien yang tidak disukai klien yang
mempengaruhi keadaan klien saat berhubungan dengan orang lain
sehingga klien merasa terhina, diejek dengan kondisinya tersebut.
3) Identitas
Biasanya pada klien dengan prilaku kekerasan tidak puas dengan
pekerjaannya, tidak puas dengan statusnya, baik disekolah, tempat
kerja dan dalam lingkungan tempat tinggal
4) Harga diri
Biasanya klien dengan risiko prilaku kekerasan hubungan dengan
orang lain akan terlihat baik, harmoni sata terdapat penolakan atau
klien merasa tidak berharga, dihina, diejek dalam lingkungan
keluarga maupun diluar lingkungan keluarga.
5) Peran diri
Biasanya klien memiliki masalah dengan peranatau tugas yang
diembannya dalam keluarga, kelompok atau masyarakat dan
biasanya klien tidak mampu melaksanakan tugas dan peran
tersebut dan merasa tidak berguna.
6) Ideal diri
Biasanya klien memilki harapan yang tinggi terhadap tubuh, posisi
dan perannya baik dalam keluarga, sekolah, tempat kerja dan
masyarakat.
f. Hubungan sosial
1) Orang yang berarti Tempat mengadu, berbicara
2) Kegiatan yang diikuti klien dalam masyarakat dan apakah klien
berperan aktif dalam kelompok tersebut
3) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain/tingkat
keterlibatan klien dalam hubungan masyarakat
g. Spiritual
1) Nilai dan keyakinan
Biasanya klien mengatakan bahwa dia tidak mengalami gangguan
jiwa.
2) Kegiatan ibadah
Biasaya dalam selama sakit klien jarang melakukan ibadah.
h. Status mental
1) Penampilan
Biasanya penampilan klien kotor.
2) Pembicaraan
Biasanya pada klien prilaku kekerasan pada saat dilakukan
pengkajian bicara cepat,keras, kasar, nada tinggi dan mudah
tersinggung.
3) Aktivitas motorik
Biasanya aktivitas motoric klien dengan prilaku kekerasan akan
terlihat tegang, gelisah, gerakan otot muka berubah-ubah, gemetar,
tangan mengepal, dan rahang dengan kuat.
4) Alam perasaan
Biasanya akan merasa sedih dan menyesali apa yang telah
dilakukan
5) Efek
Biasanya klien mudah tersinggung dan sering marah-marah tanpa
sebab
6) Interaksi selama wawancara
Biasanya klien dengan risiko prilaku kekerasan akan terlihat
bermusuhan, curiga, tidak kooperatif, tidak mau menatap lawan
bicara dan mudah tersinggung.
7) Persepsi
Biasanya klien dengan prilaku kekerasan masih dapat menjawab
pertanyaan dengan jelas
8) Isi Pikir
9) Biasanya klien meyakini dirinya tidak sakit, dan baik-baik saja.
10) Tingkat kesadaran
11) Biasanya klien prilaku kekerasan kadang tampak bingung,
12) Memori
13) Biasanya klien diwaktu wawancara dapat mengingat kejadian yang
terjadi dan mengalami gangguan daya ingat jangka panjang.
14) Kemampuan penilaian
15) Biasanya klien mengalami kemampuan penilaian ringan dan
sedang dan tidak mampu mengambil keputusan
16) Daya fikir diri
17) Biasanya klien mengingkari penyakit yang dideritanya
i. Kebutuhan Persiapan Pulang
1) Makan
2) Biasanya klien tidak mengalami perubahan
3) BAB/BAK
4) Biasanya klien dengan risiko prilaku kekerasan tidak ada gangguan
5) Mandi
6) Biasanya klien jarang mandi, tidak menyikat gigi, jarang
7) Mencuci rambut dan bercukur atau berhias. Badan klien sangat bau
dan kotor, dan klien hanya melakukan kebersihan diri jika disuruh.
8) Berpakaian
9) Biasanya klien jarang mengganti pakaian, dan tidak mau
berdandan. Klien tidak mampu mengenakan pakaian dengan sesuai
dan klien tidak mengenakan alas kaki
10) Istirahat dan tidur
11) Biasanya klien tidak melakukan persiapan sebelum tidur, seperti:
menyikat gigi, cucu kaki, berdoa. Dan sesudah tidur seperti:
merapikan tempat tidur, mandi atau cuci muka dan menyikat gigi.
Frekuensi tidur klien berubah-ubah, kadang nyenyak dan kadang
gaduh atau tidak tidur.
12) Penggunaan obat
Biasanya klien mengatakan minum obat 3 kali sehari dan klien
tidak mengetahui fungsi obat dan akibat jika putus minum obat.
13) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya klien tidak memperhatikan kesehatannya, dan tidak
peduli tentang bagaimana cara yang baik untuk merawat dirinya.
13) Aktifitas didalam rumah
Biasanya klien mampu merencanakan, mengolah, dan menyajikan
makanan, merapikan rumah, mencuci pakaian sendiri dan
mengatur biaya sehari-hari.
j. Mekanisme koping
Biasanya klien menggunakan respon maldaptif yang ditandai dengan
tingkah laku yang tidak terorganisir, marah-marah bila keinginannya
tidak terpenuhi, memukul anggota keluarganya, dan merusak alat-alat
rumah tangga.
k. Masalah psikologis dan lingkungan
Biasanya klien merasa ditolak dan mengalami masalah interaksi
dengan lingkungan
l. Pengetahuan
Biasanya klien dengan prilaku kekerasan kurang pengetahuan tentang
penyakitnya,dan klien tidak mengetahui akibat dari putus obat dan
fungsi Dari obat yang diminumnya.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah dari teori (Nursali, 2018) bahwa perilaku
kekerasan disebabkan oleh halusinasi pendengaran, akan berakibat resiko
mencederai diri sendiri dan orang lain, dan lingkungan, dari halusinasi
dapat berakibat terjadi mencedarai orang lain. Diagnosa keperawatan yang
muncul pada klien yaitu :
1. Resiko perilaku kekerasan
2. Halusinasi pendengaran
3. Harga diri rendah.
4. Isolasi sosial
3. Intervensi Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan terdiri atas tiga aspek yaitu
tujuan umum, tujuan khusus dan rencana tindakan keperawatan.
Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan (P) dari
diagnosis keperawatan dan dapat dicapai jika serangkaian tujuan
khusus tercapai. Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian
penyebab (E) dari diagnosis keperawatan. Tujuan khusus merupakan
rumusan kemampuan kllien yang perlu dicapai atau dimiliki.
Kemampuan ini dapat bervariasi sesuai dengan masalah dan
kebutuhan klien. Kemampuan pada tujuan khusus terdiri atas tiga
aspek yaitu kemampuan kognitif, psikomotor, dan efektif yang perlu
dimiliki klien untuk menyelesaikan masalahnya (Kusumawati, 2010:
51)
Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Intervensi
Tujuan Kriteria Hasil
Resiko Perilaku Kekerasan Tujuan: Setelah 2 kali pertemuan klien SP 1 Pasien:
1. Mengidentifikasi mampu: 1) Identifikasi penyebab,
penyebab, tanda dan 1. Pasien dapat tanda dan gejala, serta
gejala serta akibat dari menyebutkan penyebab, akibat perilaku kekerasan.
perilaku kekerasan. tanda, gejala dan akibat 2) Latih cara fisik 1 : Tarik
2. Menyebutkan jenis perilaku kekerasan, napas dalam.
perilaku kekerasan yang memperagakan fisik 1 3) Masukkan kedalam
pernah dilakukan. untuk mengontrol jadwal harian pasien.
3. Menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan. SP 2 Pasien:
perilaku kekerasan yang 2. Pasien mampu Evaluasi SP 1.
dilakukan. menyebutkan kegiatan Latih cara fisik 2 : Pukul
4. Menyebutkan cara yang sudah dilakukan kasur atau bantal.
mengontrol perilaku memperagakan cara fisik Masukkan dalam jadwal
kekerasan. 2 untuk mengontrol kegiatan pasien.
5. Mengontrol perilaku perilaku kekerasan SP 3 Pasien:
kekerasan secara fisik, 3. Pasien mampu 1) Evaluasi SP 1 & 2.
sosial atau verbal, menyebutkan kegiatan
spiritual dan terapi yang sudah dilakukan 2) Latih cara sosial / verbal :
psikofarmaka. memperagakan secara a) Menolak dengan
sosial / verbal untuk baik.
mengontrol perilaku b) Menerima dengan
kekerasan. baik.
4. Klien mampu c) Menggungkapkan
menyebutkan kegiatan dengan baik.
yang sudah dilakukan, Masukkan dalam jadwal
memperagakan secara kegiatan pasien.
spiritual. SP 4 Pasien:
5. Paien mampu 1) Evaluasi kegiatan yang
menyebutkan kegiatan lalu ( SP 1, 2 & 3 ).
yang sudah dilakukan, 2) Latih secara spiritual :
memperagakan cara a). Berdo’a.
patuh obat. b). Ibadah.
3) Masukkan dalam jadwal
harian pasien.
SP 5 Pasien :
Evaluasi kegiatan yang lalu
( SP 1, 2, 3 & 4 ).
Latih patuh obat.
Minum obat secara teratur
dengan prinsip 5 B.
Susun jadwal minum obat
secara teratur.
Masukkan dalam jadwal
harian pasien.

Keluarga mampu mengenal Keluarga mampu SP 1 Keluarga :


masalah resiko perilaku menyebutkan kegiatan 1) Indentifikasi masalah
kekerasan, merawat pasien yang sudah dilakukan dan yang dirasakan keluarga
perilaku kekerasan dengan mampu merawat serta dalam merawat pasien.
baik, memanfaatkan fasilitas dapat membuat rencana 2) Jelaskan tentang Perilaku
pelayanan kesehatan untuk tindak lanjut. Kekerasan dari :
follow up pasien secara Keluarga mampu penyebab, akibat dan cara
teratur. menyebutkan kegiatan merawat.
yang sudah dilakukan dan 3) Latih 2 cara merawat.
mampu merawat serta 4) Rencana tindak lanjut
dapat membuat rencana keluarga atau jadwal
tindak lanjut untuk merawat pasien.
Keluarga mampu SP 2 Keluarga :
melaksanakan Follow Up Evaluasi SP 1.
dan Rujukan serta mampu Latih ( simulasi ) 2 cara lain
menyebutkan kegiatan untuk merawat pasien.
yang sudah dilakukan. Latih langsung ke pasien.
1)Evaluasi SP. 1, 2, & 3 Rencana tindak lanjut
2)Latih langsung ke keluarga atau jadwal
pasien. keluarga untuk merawat
3)Rencana tindak lanjut pasien.
keluarga : SP 3 Keluarga :
a). Follow Up. 1) Evaluasi SP 1 & 2.
b). Rujukan. 2) Latih langsung kepasien.
3) Rencana tindak lanjut
keluarga atau jadwal
keluarga untuk merawat
pasien.
Perubahan Persepsi Sensori Tujuan : Setelah 2 kali pertemuan klien SP 1 Pasien :
Halusinasi 1. Mengenali halusinasi mampu: 1) Bantu pasien mengenal
yang dialaminya. 1) Pasien dapat halusinasinya, yaitu :
2. Mengontrol halusinasinya menyebutkan isi, waktu, a) Isi.
3. Mengikuti program frekuensi, situasi b) Waktu terjadinya.
pengobatan secara pencetus, perasaan dan c) Frekuensi.
optimal. mampu memperagakan d) Situasi pencetus
cara mengontrol e) Perasaan saat terjadi
halusinasinya. halusinasi
2) Pasien mampu Bantu mengontrol halusinasi
menyebutkan kegiatan dengan cara menghardik
yang sudah dilakukan dan tahapan tindakannya,
mampu memperagakan yaitu :
cara bercakap - cakap a)Jelaskan cara
dengan orang lain menghardik Halusinasi.
3) Pasien dapat b)Peragakan cara
menyebutkan kegiatan menghardik.
yang sudah dilakukan dan c)Minta pasien
mampu membuat jadwal memperagakan ulang
kegiatan sehari-hari serta d)Pantau penerapan cara
mampu ini, beri penguatan
memperagakannya. prilaku pasien.
4) Pasien mampu e)Masukkan dalam
menyebutkan kegiatan jadwal kegiatan pasien.
yang sudah dilakukan dan SP 2 Pasien :
mampu menyebutkan Evaluasi kegiatan yang lalu
manfaat dari program (Sp.1).
pengobatan. Latih berbicara/bercakap-
cakap dengan orang lain
saat halusinasi muncul.
Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien.
SP 3 Pasien :
1) Evaluasi kegiatan yang
lalu (Sp.1 dan Sp.2).
2) Latih kegiatan agar
halusinasi tidak muncul,
tahapanya :
a. Jelaskan pentingnya
aktifitas yang
teratur/mengatasi
halusinasi.
b. Diskusikan aktifitas
yang biasa dilakukan
pasien
c. Latih pasien melakukan
aktivitas.
d. Susun jadwal aktivitas
sehari-hari sesuai
dengan aktivitas yang
telah dilakukan dari
bagun pagi sampai
tidur malam.
e. Pantau pelaksanaan
jadwal kegiatan,
berikan penguatan
terhadap prilaku pasien
yang positif.
SP 4 Pasien :
Evaluasi kegiatan yang lalu
(Sp. 1, 2, dan 3).
Tanyakan program
pengobatan.
Jelaskan pentingnya
penggunaan obat pada
gangguan jiwa.
Jelaskan akibat bila tidak
digunaka sesuai progr
Jelaskan akibat bila putus
obat.
Jelaskan cara mendapatkan
obat atau berobat.
Jelaskan pengobatan (5B).
Latih pasien minum obat.
Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian pasien.
SP 1 Keluarga :
Identifikasi masalah keluarga
dalam merawat pasien.
Keluarga mampu merawat Keluarga mampu menjelaskan Jelaskan tentang halusinasi.
pasien dirumah dan menjadi tentang halusinasi. a) Pengertian tentang
sistem pendukung yang Keluarga mampu halusinasi.
efektif untuk pasien. menyelesaikan kegiatan b) Jenis halusinasi yang
yang sudah dilakukan dan dialami pasien.
mampu memperagakan c) Tanda dan gejala
cara merawat pasien. halusinasi.
Keluarga mampu d) Cara merawat pasien
menyebutkan kegiatan halusinasi (cara
yang sudah dilakukan dan berkomunikasi,
mampu memperagakan pemberian obat dan
cara merawat pasien serta pemberian aktifitas
mampu membuat rencana kepada pasien).
tindak lanjut. e) Sumber-sumber
Keluarga mampu pelayanan kesehatan
menyebutkan kegiatan yang bias dijangkau.
yang sudah dilakukan dan Bermain peran cara merawat
mampu melaksanakan pasien
Follow up dan rujukan. Rencana tindak lanjut
keluarga, jadwal keluarga
untuk merawat pasien.
SP 2 Keluarga :
1) Evaluasi kemampuan
keluarga (SP. 1).
2) Latih keluarga merawat
pasien.
3) Rencana tindak lanjut
keluarga atau jadwal
keluarga untuk merawat
pasien.
SP 3 Keluarga :
Evaluasi kemampuan
keluarga (SP.2).
Latih keluarga merawat
pasien.
Rencana tindak lanjut
keluarga atau jadwal
keluarga untuk merawat
pasien.
SP4 Keluarga :
1) Evaluasi kemampuan
keluarga.
2) Evaluasi kemampuan
pasien.
3) Rencana tindak lanjut
keluarga.
a). Follow up.
b). Rujukan.
Harga Diri Rendah Tujuan Setelah 2 kali pertemuan SP 1 Pasien :
1) Mengidentifikasi pasien dapat: 1) Identifikasi kemampuan
kemampuan dan aspek Mengidentifikasi kemampuan positif yang dimiliki.
positif yang dimiliki. aspek positif yang a). Diskusikan bahwa pasien
2) Menilai kemampuan yang dimiliki. masih memiliki sejumlah
dapat digunakan. Memiliki kemampuan yang kemampuan dan aspek
3) Menetapkan atau memilih dapat digunakan . positif seperti kegiatan
kegiatan yang sesuai Memiliki kegiatan sesuai pasien dirumah, adanya
dengan kemampuan. kemampuan. keluarga dan lingkungan
4) Merencanakan kegiatan Melakukan kegiatan yang terdekat pasien.
yang sudah dilatihnya. sudah dipilih dan b). Beri pujian yang realistis
merencanakan kegiatan dan hindarkan setiap kali
yang sudah dilatih. bertemu dengan pasien
penilaian yang negatif.
Nilai kemampuan yang dapat
dilakukan saat ini :
a). Diskusikan dengan pasien
kemampuan yang masih
digunakan saat ini.
b). Bantu pasien menyebutkan
dan memberi penguatan
terhadap kemampuan diri
yang diungkapkan
pasien.
c). Perhatikan respon yang
kondusif dan menjadi
pendengar yang aktif.
Pilih kemampuan yang akan
dilatih.
a) Diskusikan dengan pasien
beberapa aktifitas yang
dapat dilakukan dan
dipilih sebagai kegiatan
yang akan pasien lakukan
sehari-hari.
b) Bantu pasien menetapkan
aktifitas mana yang dapat
c) pasien lakukan secara
mandiri.
(1). Aktifitas yang
memerlukan bantuan
minimal dari keluarga.
(2). Aktifitas apa saja yang
memerlukan bantuan
penuh dari keluarga atau
lingkungan terdekat
pasien.
(3). Susun bersama pasien
aktifitas atau kegiatan
sehari-hari pasien.
Nilai kemampuan pertama
yang telah dipilih.
a) Diskusikan dengan pasien
untuk menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah
dipilih pasien) yang akan
dilatihkan
b) Bersama pasien dan
keluarga memperagakan
beberapa kegiatan yang
akan dilakukan pasien.
c) Berikan dukungan dan
pujian yang nyata sesuai
kemajuan yang
diperlihatkan pasien.
Masukan dalam jadwal
kegiatan pasien.
a) Beri kesempatan kepada
pasien untuk mencoba
kegiatan.
b) Beri pujian atas
aktifitas/kegiatan yang
dapat dilakukan pasien
setiap hari.
c) Tingkatkan kegiatan
sesuai dengan toleransi
dan perubahan setiap
pasien.
d) Susun daftar aktifitas
yang sudah dilakukan
bersama pasien dan
keluarga.
e) Berikan kesempatan
mengungakapkan
perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan.
f) Yakinkan bahwa keluarga
mendukung setiap
aktifitas yang dilakukan
pasien..
SP 2 Pasien :
1) Evaluasi kegiatan yang
lalu (SP. 1).
2) Pilih kemampuan kedua
yang dapat dilakukan.
3) Latih kemampuan yang
dipilih.
4) Masukan dalam jadwal
kegiatan pasien.
SP 3 Pasien :
Evaluasi kegiatan yang lalu
(Sp. 1 & Sp. 2).
Memilih kemampuan ketiga
yang dapat dilakukan.
Masukan dalam jadwal
kegiatan pasien.

SP 1 Keluarga :
Identifikasi masalah yang
diraskan dalam merawat
Keluarga mampu merawat Setelah ......kali pertemuan : pasien.
pasien dengan harga diri 1) Di harapkan keluarga Jelaskan proses terjadinya
rendah di rumah dan menjadi mengidentifikasi Harga Diri Rendah.
sistem pendukung yang kemampuan yang Jelaskan tentang cara merawat
efektif pada pasien. dimiliki pasien . pasien.
2) Menyediakan fasilitas Main peran dalam merawat
untuk pasien melakukan pasien Harga Diri
kegiatan. Rendah.
3) Mendorong pasien 5). Susun RTL keluarga atau
melakukan kegiatan. jadwal keluarga untuk
4) Memuji pasien saat bisa merawat pasien.
melakukan kegiatan. SP 2 Keluarga :
5) Membantu melatih pasien 1) Evaluasi kemampuan Sp.
6) Membantu menyusun 1.
jadwal kegiatan pasien. 2) Latih keluarga langsung
7) Membantu ke pasien.
perkembanngan pasien. 3) Menyusun RTL keluarga
atau jadwal keluarga
untuk merawat pasien.
SP 3 Keluarga :
Evaluasi kemampuan
keluarga.
Evaluasi kemampuan pasien.
Rencana tindak lanjut
keluarga.
a) Follow up.
b) Rujukan.
Isolasi Sosial Pasien mampu : Setelah dilakukan 2 kali SP 1 Pasien :
1) Menyadari penyebab pertemuan pasien dapat : 1) Identifikasi penyebab :
isolasi sosial. 1) Menyadari penyebab a). Siapa yang satu rumah
2) Berinteraksi dengan isolasi sosial. dengan pasien?
orang lain. 2) Menyebutkan keuntungan b). Siapa yang dekat dengan
dan kerugian berinteraksi pasien? Apa sebabnya?
dengan orang lain. c). Siapa yang tidak dekat
3) Melakukan interaksi dengan pasien? Apa
dengan orang lain secara sebabnya?
bertahap. Tanyakan keuntungan dan
4) Bersama perawat kerugian berinteraksi
membuat jadwal dengan orang lain :
kegiatan. a) Tanyakan pendapat
pasien tentang kebiasaan
berinteraksi dengan orang
lain.
b) Tanyakan apa yang
menyebabkan pasien
tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain.
c) Diskusikan keuntungan
bila pasien memiliki
banyak teman dan
bergaul akrab dengan
mereka.
d) Diskusikan kerugian bila
pasien hanya mengurung
diri dan tidak bergaul
dengan orang lain.
e) Jelaskan pengaruh isolasi
sosial terhadap kesehatan
fisik pasien.
Latih berkenalan.
a) Jelaskan pada klien cara
berinteraksi dengan orang
lain.
b) Berikan contoh cara
berinteraksi dengan orang
lain.
c) Berikan kesempatan
pasien mempraktekkan
cara berinteraksi dengan
orang lain dan
dipraktekkan dihadapan
perawat.
d) Mulailah bantu pasien
berinteraksi dengan satu
orang teman atau anggota
keluarga.
e) Bila pasien sudah
menunjukkan kemajuan
tingkatkan jumlah
interajsi dengan 2, 3, 4
orang dan seterusnya.
f) Beri pujian untuk setiap
kemajuan interaksi yang
telah dilakukan oleh
pasien.
g) Siap mendengarkan
ekspresi perasaan setelah
berinteraksi dengan orang
lain, mungkin pasien akan
mengungkapkan
keberhasilan atau
kegagalannya beri
dorongan terus menerus
agar pasien tetap
semangat meningkatkan
interaksinya.
h) Masukkan jadwal
kegiatan pasien.
SP 2 Pasien :
1) Evaluasi SP. 1.
2) Latih berhubungan sosial
secara bertahap.
3) Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien.
SP 3 Pasien :
1) Evaluasi SP.1 dan 2.
2) Latih cara berkenalan
dengan 2 orang atau
lebih.
3) Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien.

Tujuan: Setelah….kali pertemuan SP 1 Keluarga :


Keluarga mampu merawat keluarga mampu menjelaskan Identifikasi masalah yang
pasien isolasi sosial dirumah. tentang: dihadapi keluarga dalam
1) Masalah isolasi sosial dan merawat pasien.
dampaknya bagi pasien. Penjelasan isolasi sosial.
2) Penyebab isolasi sosial. Cara merawat pasien isolasi
3) Sikap keluarga untuk sosial.
membantu pasien Latih (stimulasi).
mengatasi isolasi Rencana tindak lanjut
sosialnya. keluarga atau jadwal
4) Pengobatan yang untuk merawat Pasien.
berkelanjutan dan SP 2 Keluarga :
mencegah putus obat. 1) Evaluasi SP. 1.
5) Tempat rujukan dan 2) Latih (langsung ke
fasilitas kesehatan yang pasien).
tersedia bagi pasien. 3) Rencana tindak lanjut
keluarga atau jadwal
keluarga untuk merawat
pasien.
SP 3 Keluarga :
Evaluasi kemampuan
keluarga.
Evaluasi kemampuan pasien.
Rencana tindak lanjut :
a). Follow up.
b). Rujukan.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai intervensi keperawatan pada klien dengan
perilaku kekerasan dengan melihat kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotor klien. Tehnik yang perlu diperhatikan adalah strategi komunikasi,
yang harus dilakukan yaitu : bersikap tenang, bicara lambat,bicara tidak
dengan cara menghakimi, bicara netral dengan cara yang kongkrit, tunjukkan
respek pada klien, hindari intensitas kontak mata langsung, demonstrasikan
cara mengontrol situasi tanpa kesan berlebihan, fasilitasi pembicaraaan klien,
dengarkan klien, jangan terburu-buru menginterpretasikan, jangan buat janji
yang tidak dapat perawat sejati. ingkungan: menyediakan berbagai aktivitas.
Tindakan perilaku: membuat kontrak dengan klien mengenai perilaku yang
dapat diterima.
Dalam penelitian Sujarwo (2018) menyebutkan pengobatan pasien
perilaku kekerasan melalui asuhan keperawatan dengan strategi pelaksanaan
(SP) pada pasien seperti diskusi mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan
secara fisik, obat, verbal, dan spiritual. Mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik dapat dilakukan dengan cara nafas dalam, dan pukul bantal atau kasur.
Mengontrol secara verbal dengan cara menolak dengan baik, meminta dengan
baik, dan mengungkapkan dengan baik. Mengontrol perilaku kekerasan secara
spiritual dengan cara shalat dan berdoa. Serta mengontrol perilaku kekerasan
dengan minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar klien,
benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan benar
dosis obat).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses hasil atau sumatif dilakukan
denganmembandingkanrespon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus
yang telah ditentukan. Risiko perilaku kekerasan pendengaran tidak terjadi
perilaku kekerasan, klien dapat membina hubungan saling percaya, klien dapat
mengenal Risiko perilaku kekerasannya, klien dapat mengontrol Risiko
perilaku kekerasandari jangka waktu 4x24 jam didapatkan data subjektif
keluarga menyatakan senang karena sudah diajarkan teknik mengontrol Risiko
perilaku kekerasan, keluarga menyatakan pasien mampu melakukan beberapa
teknik mengontrol Risiko perilaku kekerasan. Data objektif pasien tampak
berbicara sendiri saat Risiko perilaku kekerasan itu datang, pasien dapat
berbincang- bincang dengan orang lain, pasien mampu melakukan aktivitas
terjadwal, dan minum obat secara teratur ( Aji, 2019). Evaluasi keperawatan
yang diharapkan: klien sudah dapat mengidentifikasi penyebab, frekuensi
perilaku kekerasan dan mengontrol perilaku kekerasan dengan Tarik nafas
dalam dan pukul kasur atau bantal, klien tidak melakukan perilaku kekerasan,
klien minum obat dengan benar dan teratur. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua
yaitu sebagai berikut.
a. Evaluasi proses (pormatif) yang dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan keperawatan.
b. Evaluasi hasil (sumatif) dilakukan dengan cara membandingkan
respons klien dengan tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan SOAP sebagai pola pikir.
S : Respons subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respons objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih ada atau telah teratasi atau muncul masalah
baru.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respons
klien
DAFTAR PUSTAKA

Dwi Prastya, F., & Arum Pratiwi, S. K. (2017). Mekanisme Koping Pada Pasien
Perilaku Kekerasan Dengan Risiko Menciderai Orang Lain Dan
Lingkungan (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/52420
Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, S. P. R. (2014). Hubungan Antara Pasien
Halusinasi Pendengaran Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan Di Ruang
Kenari RS. Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel, 4, 470-475
Hadiyanto, H. (2016). Hubungan Antara Terapi Modalitas Dengan Tanda Dan
Gejala Perilaku Kekerasan Pada pasien skizofrenia Di Ruang Rawat Inap
RSJ. Prof. dr. Soerojo Magelang.
Hastuti, R. Y., & Setianingsih, S. (2016). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy
Pada Klien Dengan Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan Dan
Halusinasi Di Rsjd.
Makhruzah, S., Putri, V. S., & Yanti, R. D. (2021). Pengaruh Penerapan Strategi
Pelaksanaan Perilaku Kekerasan terhadap Tanda Gejala Klien Skizofrenia
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. Jurnal Akademika
Baiturrahim Jambi, 10(1), 39-46. http://dx.doi.org/10.36565/jab.v10i1.268
Pardede, J. A. (2020, November 12). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan
Masalah Risiko Perilaku Kekerasan. https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm

Anda mungkin juga menyukai