Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

OLEH :

I WAYAN SUARDIYANA, S.Tr.Kep


P07120321062
NERS B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN

PROFESI NERS
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit


A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran
perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasarkan keadaan emosi yang
mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang
dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau destruktif (Yoseph, Iyus, 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif (Towsend, 1998).
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukkan
bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau lingkungan, baik secara
fisik, emosional, seksual, dan verbal (NANDA, 2016).
Risiko perilaku kekerasan terbagi menjadi dua, yaitu risiko perilaku kekerasan
terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan risiko perilaku kekerasan
terhadap orang lain (risk for other-directed violence).

B. Etiologi
Menurut (Keliat, 2011) penyebab risiko perilaku kekerasan ada dua faktor antara
lain :
1. Faktor Predisposisi
a. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan
ditolak, dihina, dan dianiaya. Seseorang yang mengalami hambatan dalam
mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi
frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu mengendalikan
frustasi tersebut maka, dia meluapkannya dengan cara kekerasan.
b. Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,sering
melihat kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini memancing
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
c. Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasifagresif) dan kontrol
social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima(permisive).
d. Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik, lobusfrontal,
Lobustemporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik
dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu mempunyai
kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya
individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas
tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Harga diri adalah penilaian individu
tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan
ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
C. Pathway
Resiko mencederai diri dan lingkungan, orang lain, isolasii sosial,HDR Effect

C Kekerasan
Resiko Perilaku Core problem

Faktor presipitasi dan presdiposisi:

- Kelemahan fisik (penyakit


fisik), keputusasaan,
- ketidakberdayaan, percaya cause
diri yang kurang

- Psikologis

- Sosial budaya

- Bioneurologis

( Sumber: Keliat, B. A., 2006)

Risiko perilaku kekerasan berawal beberapa faktor presdiposisi dan presipitasi yaitu
kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang, psikologis,
sosial budaya, bioneurologis serta halusinasi yang merupakan gangguan persepsi yang
dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Seperti halusinasi
pendengaran yang sebenarnya tidak didengar oleh orang lain yang normal namun
individu yang tidak normal mendengar sesuatu yang baik atau buruk kemudian jika
buruk yang terjadi misal individu mendengar bisikan untuk memukul orang, maka akan
dipersepsikan pada realita dengan individu tampak menggenggam(mengepal) tangan,
wajah merah, mata melotot, otot tegang, bicara kasar, nada suara tinggi, merusak barang-
barang, susah diatur, banyak bicara, agresif. Apabila tidak dapat diatasi pasien akan
mengarah kepada perilaku kekerasandan akan berakibat pada risiko menciderai diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan, isolasi sosial, HDR.

D. Klasifikasi
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri
sendiri dan menganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan langsung dan
konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk
mengerti perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya perawat harus pula mengetahui
tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah. (Muhith 2015).
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang
merupakan respon yang maladaptif, yaitu agresif-kekerasan perilaku yang menampakkan
mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu :
1. Asertif
Mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa lega.
2. Frustasi
Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak realistis.
3. Pasif
Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang
dialami.
4. Agresif
Memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya pasien masih
dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain.
5. Amuk
Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan,
memberi kata-kata ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang
paling berat adalah melukai atau merusak secara serius. Pasien tidak mampu
mengendalikan diri (Muhith 2015 p.148).
E. Tanda dan Gejala
Menurut (Lilik, 2011), mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
1. Fisik : muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, postur tubuh kaku dan jalan mondar-mandir.
2. Verbal : bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam secara
verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor, suara keras dan ketus.
3. Perilaku : melempar atau memukul benda atau orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri, orang lain,merusak lingkungan, dan amuk atau agresif.
4. Emosi : Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual : Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian:Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Depkes (2000), pemeriksaan diagnostik pada pasien RPK (Risiko Perilaku
Kekerasan), yaitu:
1. Psikoterapeutik.
2. Lingkungan terapeutik.
3. Kegiatan hidup sehari-hari.
4. Pendidikan kesehatan.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Medis
H. Tanda dan Gejala
Menurut (Lilik, 2011), mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
9. Fisik : muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, postur tubuh kaku dan jalan mondar-mandir.
10. Verbal : bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam secara
verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor, suara keras dan ketus.
11. Perilaku : melempar atau memukul benda atau orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri, orang lain,merusak lingkungan, dan amuk atau agresif.
12. Emosi : Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
13. Intelektual : Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
14. Spiritual : Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
15. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
16. Perhatian:Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

I. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Depkes (2000), pemeriksaan diagnostik pada pasien RPK (Risiko Perilaku
Kekerasan), yaitu:
5. Psikoterapeutik.
6. Lingkungan terapeutik.
7. Kegiatan hidup sehari-hari.
8. Pendidikan kesehatan.

J. Penatalaksanaan Medis
2. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk mengurangi
atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut Depkes (2000), jenis obat
psikofarmaka adalah :
a. Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang biasanya
terdapat pada penderita skizofrenia, mania depresif, gangguan personalitas,
psikosa involution, psikosa masa kecil.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles de la
toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku berat pada
anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk
keadaan berat. Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping nya sering
mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
c. Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
d. ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu
atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik.

3. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi (Videbeck,
2001) :terapi modalitas, yang terdiri dari:
a. Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan bagi
semua pasien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas
atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan pasien kesempatan
untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika pasien tenang. Aktivitas juga
melibatkan pasien dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan pasien menunjukkan perhatian
perawat yang tulus terhadap pasien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah
pikiran serta perasaan pasien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat
meningkatkan rasa aman pasien (Videbeck, 2001).
b. Terapi kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi bersama dalam
kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan
memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang lain dan juga
mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus
dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok,
pasien dapat mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau
menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan
interpersonal yang penting (Videbeck, 2001).
c. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikut sertakan
pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana
dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi pasien, memobilisasi kekuatan
dan sumber fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang
maladaptive, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass
dalam Videbeck, 2001).
d. Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya.
Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan pasien. Tujuan dari
terapi individu yaitu memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat
hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas
dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara pasien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama
dengan tahap hubungan perawat-pasien yaitu introduksi, kerja, dan terminasi.
Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan
kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat pasien ke
fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi
(Videbeck, 2001).

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian Keperawatan
1. Faktor Predisposisi
a. Riwayat kelahiran dan tumbuh kembang (biologis).
b. Trauma karena aniaya fisik, seksual/tindakan aniaya fisik.
c. Tindakan anti sosial.
d. Penyakit yang pernah diderita.
e. Gangguan jiwa dimasa lalu.
f. Pengadaan sebelumnya:
1) faktor biologis;
2) faktor psikologis;
3) faktor sosiokultural.

2. Faktor Fisik
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, diagnosa medis, pendidikan, dan
pekerjaan.
b. Keturunan
Apakah keluarga memiliki penyakit yang sama dengan pasien.
c. Proses Psikologis
1) Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah pasien pernah merasa sakit atau kecelakaan, apakah sakit tersebut
mendadak atau menahun dan meninggalkan cacat.
2) Makan minum pasien
3) Istirahat tidur
4) Pola BAB/BAK
5) Latihan
6) Pemeriksaan fisik
Fungsi sistem : pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, genitourinary,
integument, paru udara.
Penampilan fisik, berpakaian rapi/tidak rapi, bersih, faktor tubuh (kaku,
lemah, rileks, lemas).
d. Faktor Emosional (pasien merasa tidak aman, merasa terganggu, dendam,
jengkel).
e. Faktor Mental (cenderung mendominasi, cerewet, kasar, meremehkan, dan suka
berdebat).
f. Latihan (menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran).
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan
keluarga (pelaku rawat). Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat ditemukan
dengan wawancara melalui pertanyaan sebagai berikut.
1. Apa penyebab perasaan marah?
2. Apa yang dirasakan saat terjadi kejadian atau penyebab marah?
3. Apa yang dilakukan saat marah?
4. Apa akibat dari cara marah yang dilakukan?
5. Apakah dengan cara yang digunakan penyebab marah hilang?

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala yang diperoleh
pada pengkajian. Berdasarkan data-data tersebut dapat ditegakkan diagnosis
keperawatan:
1. Risiko Perilaku Kekerasan dibuktikan dengan pemikiran waham/delusi, curiga pada
orang lain, halusinasi, berencana bunuh diri, disfungsi sistem keluarga, kerusakan
kognitif, disorientasi atau konfusi, kerusakan kontrol implus, persepsi pada
lingkungan tidak akurat, alam perasaan depresi, riwayat kekerasan pada hewan,
kelainan neurologis, lingkungan tidak teratur, penganiayaan atau pengabaian anak,
riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain atau destruksi
property orang lain, impulsive, ilusi.
C. Rencana Keperawatan
Standar Standar Luaran Standar Rasional
Diagnosa Keperawatan Intervensi
Keperawatan Indonesia (SLKI) Keperawatan
Indonesia Indonesia (SIKI)
(SDKI)
Risiko Perilaku Setelah dilakukan Pencegahan Pencegahan Perilaku
Kekerasan tindakan Perilaku Kekerasan
(D.0146) keperawatan Kekerasan (I.14544)
selama ... x ... jam (I.14544)
diharapkan kontrol Observasi: Observasi
diri meningkat 1. Monitor adanya 1. Agar pasien
dengan kriteria benda yang menjauhi benda
hasil: berpotensi benda yang tajam
Kontrol Diri membahayakan atau yang dapat
(L.09076) (mis. benda membahayakan
- Verbalisasi tajam, tali). 2. Agar
ancaman 2. Monitor memudahkan
kepada orang keamanan perawat dalam
lain menurun barang yang bertindak
(5). dibawa oleh 3. Mengontrol
- Verbalisasi pengunjung. perilaku pasien
umpatan 3. Monitor selama
menurun (5). penggunaan Terapeutik
- Perilaku barang yang 4. Supaya
menyerang dapat memudahkan
menurun (5). membahayakan untuk mengontrol
- Perilaku (mis. pisau perilaku pasien
melukai diri cukur). 5. Agar pasien lebih
sendiri/ orang tenang
lain menurun Terapeutik:
(5). 4. Pertahakan Edukasi
- Perilaku lingkungan 6. Agar hubungan
merusak bebas dari sosial pasien
lingkungan bahaya secara membaik
sekitar rutin. 7. Pengobatan
menurun (5). 5. Libatkan membantupenye
- Perilaku keluarga dalam mbuhan pasien
agresif/ amuk perawatan. 8. Agar menjadi
menurun (5). rutinitas pasien
- Suara keras Edukasi:
menurun (5). 6. Anjurkan
- Bicara ketus pengunjung
menurun (5). dan keluarga
- Vervalisasi untuk
keinginan mendukung
bunuh diri keselamatan
menurun (5). pasien.
- Verbalisasi 7. Latih cara
isyarat bunuh mengungkapka
diri menurun n perasaan
(5). asertif.
- Verbalisasi 8. Latih
ancaman mengurangi
bunuh diri kemarahan
menurun (5). secara verbal
- Verbalisasi dan nonverbal
rencana bunuh (mis. relaksasi,
diri menurun bercerita).
(5).
- Vervalisasi
kehilangan
hubungan
yang penting
menurun (5).
- Perilaku
merencanakan
bunuh diri
menurun (5).
- Euforia
menurun (5).
- Alam perasaan
depresi
menurun (5).
DAFTAR PUSTAKA

Arfand, Rivan. 2017. LAPORAN PENDAHULUAN STASE KEPERAWATAN JIWA RISIKO


PERILAKU KEKERASAN. Diakses pada link : https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://id.scribd.com/document/369714537/Lp-Resiko-
Perilaku-
Kekerasan&ved=2ahUKEwiY8p7L8cfzAhXTfH0KHSuTDXQQFnoECAYQAQ&usg
=AOvVaw0L7t1-0SGpj6jVxx0BQoPh. Diakses pada tanggal : 14 Oktober 2021
Hanim, Elvi Mursida. 2018. LP Perilaku Kekerasan. Diakses pada link :
https://id.scribd.com/doc/120155233/Lp-Perilaku-Kekerasan. Diakses pada tanggal 12
Oktober 2021
Nugroho, Dede Bagus. 2018. Askep Resiko Perilaku Kekerasan. Diakses pada link :
https://id.scribd.com/document/380579813/Askep-resiko-perilaku-kekerasan. Diakses
pada tanggal 12 Oktober 2021
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Cetakan
II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Cetakan II.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat.

Anda mungkin juga menyukai