Anda di halaman 1dari 4

MASALAH

Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan sal ah satu masalah kesehatan
yang utama di Indonesia karena masih tingginya angka kejadian ISPA terutama pada anak Anak
Balita. ISPA mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak Balita (Depkes RI, 2000). ISPA juga
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan. Sebanyak 40% - 60%
kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat
inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Dirjen P2ML, 2000). Host, lingkungan dan sosiokultural
merupakan beberapa variabel yang dapat mempengaruhi insiden dan keparahan penyakit infeksi
saluran pernafasan akut

Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama
ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA. Hubungan
antara rumah dan kondisi kese hatan sudah diketahui. Pada komunitas Aborigin prevalensi penyakit
yang tinggi disebabkan oleh sanitasi yang buruk, kontrol kondisi lingkungan yang buruk, kepadatan
yang tinggi dan penyediaan air bersih yang tidak memadai (Taylor, 2002). Rumah yang jendela nya
kecil menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan
asap rokok dapat terkumpul dalam rumah. Bayi dan anak yang sering menghisap asap lebih mudah
terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok
dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA (Hubungan
sanitasi rumah dengan kejadian ISPA-pdf)
MASALAH

Indonesia menempati urutan kelima negara pengkonsumsi rokok terbanyak dan urutan ketiga
negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Kelompok usia <15 tahun terjadi peningkatan
jumlah perokok, peningkatan tertinggi pada kelompok usia 10-14 tahun. Salah satu faktor utama yang
mempengaruhi prilaku merokok pada remaja adalah tingkat pengetahuan. (Hubungan pengetahuan
dengan kejadian merokok pada remaja-pdf)

MASALAH

Pada remaja insiden akne terjadi dengan kisaran umur 14-17 tahun pada wanita, dan pada pria
kisaran umur 16-19 tahun (Wasitaatmadja, 2010). Di Amerika, akne diderita oleh 40-50 juta orang
dengan 85% usia tersering 12-24 tahun (Burch dan Aeling, 2011). Penelitian di Singapura pada 1.045
remaja berusia 13-19 tahun diketahui sebanyak 88% menderita akne (Tan dkk., 2007). Di Indonesia
akne menjadi masalah hampir seluruh remaja, dimana sekitar 85% menderita akne ringan dan 15%
akne berat (Widjaya, 2000). Pada penelitian di Palembang tahun 2007, diketahui dari 5024 sampel
berusia 14-21 tahun terdapat 68,2% diantaranya menderita akne, dimana 58,4% wanita dan 78,9%
pria dengan rentang usia tersering 15-16 tahun (Suryadi, 2008). Sedangkan penelitian di Padang pada
tahun 2009, melaporkan insiden akne 1,19% di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. M. Djamil
Padang (2004 – 2008) dengan rasio perempuan : laki – laki adalah 2,1:1. Gambaran klinis yang
ditemukan adalah akne tipe komedonal 41,7%, tipe papulopustular 54,15% dan tipe nodulokistik
4,06% (Asri, 2013). (http://scholar.unand.ac.id/3829/3/2%29%20BAB%201.pdf)

Pada remaja insiden akne terjadi dengan kisaran umur 14-17 tahun pada wanita, dan pada pria
kisaran umur 16-19 tahun (Wasitaatmadja, 2010).

Di Indonesia akne menjadi masalah hampir seluruh remaja, dimana sekitar 85% menderita
akne ringan dan 15% akne berat (Widjaya, 2000). Pada penelitian di Palembang tahun 2007, diketahui
dari 5024 sampel berusia 14-21 tahun terdapat 68,2% diantaranya menderita akne, dimana 58,4%
wanita dan 78,9% pria dengan rentang usia tersering 15-16 tahun (Suryadi, 2008). Sedangkan
penelitian di Padang pada tahun 2009, melaporkan insiden akne 1,19% di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RS Dr. M. Djamil Padang (2004 – 2008) dengan rasio perempuan : 2 Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas laki – laki adalah 2,1:1. Gambaran klinis yang ditemukan adalah akne tipe
komedonal 41,7%, tipe papulopustular 54,15% dan tipe nodulokistik 4,06% (Asri, 2013).
MASALAH

Anemia pada remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensinya di atas
20%. Beberapa penelitian menemukan prevalensi anemia tinggi pada remaja, antara lain hasil
penelitian Saidin (2), Permaesih (3), dan Leginem (4) yaitu masing-masing mendapatkan 4 1 %, 25%
dan 88%. Anemia pada remaja adalah suatu keadaan kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah dari
nilai normal. Nilai batas ambang untuk anemia menurut WHO 200 1 (') adalah untuk umur 5-1 1
tahun < 11,5 g/L, 11-14 tahun 5 2,O g/L, remaja diatas 15 tahun untuk anak perempuan < 12,O g/L
dan anak laki-laki < 3,O g/L. Asupan zat besi yang kurang. Sekitar dua per tiga zat besi dalam tubuh
terdapat (5) dalam sel darah merah hemoglobin . Faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian
anemia antara lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan pagi, sosial
ekonomi dan demografi, pendidikan, jenis kelamin, umur dan wilayah (6). Wilayah perkotaan atau
pedesaan berpengaruh melalui mekanisme yang berhubungan dengan ketersediaan sarana fasilitas
kesehatan maupun ketersediaan makanan yang pada gilirannya berpengaruh pada pelayanan
kesehatan dan asupan zat besi.

Remaja laki-laki maupun perempuan dalam masa pertumbuhan membutuhkan energi, protein
dan zat-zat gizi lainnya yang lebih banyak dibanding dengan kelompok umur lain. Pematangan
seksual pada remaja menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat. Kebutuhan zat besi remaja
perempuan lebih tinggi dibanding remaja laki-laki, karena dibutuhkan untuk mengganti zat besi yang
hilang pada saat menstruasi.

MASALAH

Insomnia menyerang sekitar 50 % orang yang berusia 65 tahun bahkan lebih yang tinggal
dirumah dan 66% lansia tinggal di panti (Galea 2008). Lansia mengalami penurunan efektifitas tidur
pada malam hari sebesar 70 - 80 % dibandingkan dengan usia muda, dimana 1 dari 4 lansia yang
berusia 60 tahun atau lebih mengalami gangguan insomnia (Adiyati, 2010).

Menurut Francesco direktur program kesehatan dan masyarakat di University of Warwick


Inggris mengatakan bahwa “masyarakat modern makin kurang tidur”. Kelompok lansia 60 tahun,
ditemukan sekitar 7% kasus yang mengeluh tentang masalah tidur, dalam 1 hari hanya dapat tidur
tidak lebih dari 5 jam. Hal yang sama ditemukan 22% pada kasus kelompok usia 70 tahun. Kelompok
lansia sering mengeluh terbangun lebih awal di pukul 05.00 (Firdaus, 2011).
Masase pada kaki dan diakhiri masase pada telapak kaki akan merangsang dan dapat
menyegarkan bagian kaki sehingga dapat memulihkan kembali sistem keseimbangan dan membantu
relaksasi. Teknik pemijatan di titik tertentu dapat menghilangkan sumbatan dalam darah, serta energi
dalam tubuh akan kembali lancar (Pamungkas, 2010). Terapi masase kaki adalah upaya penyembuhan
yang efektif dan aman, serta tanpa efek samping. Rasa rileks yang dapat mengurangi stres dan dapat
memicu lepasnya endorfin, serta membuat nyaman, dan zat kimia otak yang menghasilkan rasa
nyaman tersendiri (Azis, 2014).

Anda mungkin juga menyukai