OLEH
KELOMPOK VII
1.1. Menstruasi
Masa remaja adalah suatu tahapan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.
Istilah ini menunjukkan masa dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan, biasanya
mulai dari usia 14 tahun pada pria dan usia 12 tahun pada wanita. Pertumbuhan dan
perkembangan pada masa remaja sangat pesat berlangsung pada usia 11-16 tahun pada laki-
laki dan 10-15 tahun pada perempuan. Remaja perempuan pada masa baliq mempunyai
beberapa masalah meliputi perkembangan sikap kewanitaan, perubahan fisik, kondisi siklus
menstruasi, jerawat, kegemukan dan penyakit (Surmiasih & Priyati, 2018).
Haid atau menstruasi merupakan ciri khas kematangan bilogis seorang perempuan.
Haid adalah pendarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium (Yumaeroh & Dwi, 2015)
Setiap perempuan normal akan mengalami menstruasi setiap bulannya, yang
dipengaruhi oleh faktor hormon, enzim, vascular dan prostaglandin. Menstruasi adalah
penumpahan lapisan uterus yang terjadi setiap bulan berupa darah dan jaringan, yang dimulai
pada masa pubertas, ketika seorang perempuan mulai memproduksi cukup hormon tertentu
(‘kurir’ kimiawi yang dibawa di dalam aliran darah) yang menyebabkan mulainya aliran
darah ini. Menstruasi adalah puncak dari serangkaian perubahan yang terjadi karena adanya
serangkaian, interaksi antara beberapa kelenjar didalam tubuh
Sebelum datangnya haid perempuan akan mengalami sindrom pra haid yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari, yang berupa perubahan-perubahan atau gejala-gejala fisik
maupun mental. Sindrom pra haid ini berkaitan dengan meningkatnya kadar hormon setiap
bulan, rendahnya kadar gula kekurangan vitamin, perubahan yang tetap dalam bichemichal
didalam otak yang mempengaruhi mood, kombinasi dari faktor-faktor itu, atau bukan salah
satunya. Namun, sindrom pra haid ini tidak selalu sama pada setiap orang, begitu juga denga
siklus haid juga berbeda antara setiap perempuan walaupun saudara kembar sekalipun. Siklus
haid biasanya 28 -40 hari, yang berlangsung selama 3-7 hari. Siklus ini tidak selalu sama
setiap bulannya. Perbedaan siklus ini ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya gizi, stress
dan usia (Kulshreshta & Anisa 2019)
Gangguan menstruasi adalah kondisi ketika siklus menstruasi mengalami anomali atau
kelainan. Hal ini bisa berupa perdarahan menstruasi yang terlalu banyak atau terlalu sedikit,
siklus menstruasi yang tidak beraturan, dan bahkan tidak haid sama sekali. Gangguan
menstruasi merupakan keluhan yang sering menyebabkan seorang wanita datang berobat ke
dokter atau ke tempat pertolongan pertama. Keluhan gangguan menstruasi bervariasi dari
ringan sampai berat dan tidak jarang menyebabkan rasa frustasi baik bagi penderita,
keluarganya bahkan dokter yang merawatnya. Selain menyebabkan gangguan kesehatan,
gangguan menstruasi ternyata berpengaruh pada aktivitas sehari-hari dan mengganggu
emosional si penderita. (Ramadani, 2012)
Gangguan haid adalah perdarahan haid yang tidak normal dalam hal: panjang siklus
haid, lama haid, dan jumlah darah haid. Melibatkan hipotalamus, hipofisis, ovarium dan
endometrium. Haid dikatakan normal apabila:
a. Berlangsung antara 25-35 hari atau 21-31 hari.
b. Estrogen dihasilkan oleh follikel & korpus luteum.
c. Peningkatan Estrogen pada midsiklus → lonjakan LH → ovulasi.
d. P dihasilkan hanya oleh korpus luteum.
e. Korpus luteum ada hanya jika terjadi ovulasi.
f. Umur korpus luteum ±10-14 hari.
g. Fase luteal/F.sekresi ±14 hari (hampir selalu tetap).
h. Fase folikulogenesis/F.proliferasi variasi antara 7-21 hari.
Tingginya prevalensi gangguan menstruasi disebabkan oleh berbagai faktor seperti,
stres, lifestyle, aktivitas fisik, kondisi medis, kelainan hormonal dan status gizi.
Gangguan menstruasi merupakan masalah yang sering di alami oleh remaja. Menurut
WHO (2010) terdapat 75% remaja yang mengalami gangguan haid dan ini merupakan alasan
terbanyak seorang remaja putri mengunjungi dokter spesialis kandungan. Siklus haid pada
remaja sering tidak teratur, terutama pada tahun pertama setelah menarche sekitar 80%
remaja putri mengalami terlambat haid 1 sampai 2 minggu dan sekitar 7% remaja putri yang
haidnya datang lebih cepat, disebabkan oleh ovulasi yang belum terjadi (Anovulatory cycles).
Kejadian gangguan siklus mentruasi pada wanita yang mengalami obesitas 1,89 kali
lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan status gizi normal sedangkan subjek yang
mengalami stress 2 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang tidak mengalami stress.
Oligomenore merupakan jenis gangguan siklus menstruasi yang paling tinggi terjadi pada
kelompok subjek yang mengalami obesitas (30,8%) dan pada subjek yang mengalami stress
adalah polimenore (23,1%). Obesitas dan stress merupakan faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya gangguan siklus menstruasi. Setelah dikontrol dengan stress, pengaruh obesitas
dalam menyebabkan gangguan siklus menstruasi menjadi lebih kecil (OR=1; OR=2,8)
(Rustam, 2014).
Dismenorea adalah gangguan menstruasi terbanyak (80,0%) yang dialami oleh pelajar
perempuan maupun wanita dewasa. Pada peneitian ini. Beberapa penelitian lain melaporkan
prevalensi dismenorea sebesar 73,83%2,63,1%. Sebesar 15,8%-89,5% perempuan dilaporkan
mengalami dismenora pada berbagai studi di dunia, dimana perempuan usia remaja memiliki
angka yang lebih tinggi. Menurut studi yang dilakukan Zhou di sebuah universitas di China
menyebutkan bahwa 56,4% mahasiswi di universitas tersebut mengalami dismenorea. Di
Indonesia sendiri diperkirakan 60% – 70% perempuan mengalami dismenorea. Sebuah
survey di Canada yang diikuti oleh lebih dari 1.500 perempuan menstruasi yang dipilih acak
menyebutkan bahwa angka kejadian dismenorea sedang hingga berat terjadi pada 60%
responden, yang menyebabkan penurunan aktivitas pada 50% responden serta absen pada
sekolah atau pekerjaan pada 17% responden. Studi lain pada populasi remaja perempuan di
Tbilisi, Georgia menyebutkan bahwa 52,07% responden mengalami dismenorea. Studi
dismenorea lainnya yang dilakukan pada remaja perempuan di Kelantan, Malaysia
melaporkan bahwa dismenorea mempengaruhi konsentrasi di sekolah dan partisipasi sosial,
meskipun demikian hanya sebagian kecil remaja perempuan yang mengalami dismenorea
yang mencari pengobatan medis. Beberapa studi melaporkan bahwa angka kejadian
dismenorea meningkat pada perempuan dengan riwayat keluarga yang mengalami
dismenorea, merokok, indeks massa tubuh kurang dari 20, menarche dini(sebelum usia 12
tahun), serta jarak antar menstruasi dan durasi menstruasi yang lebih panjang. Sedangkan
kontrasepsi oral, olahraga dan menikah dilaporkan menurunkan kemungkinan dismenorea
(Rustam, 2014).
Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui pengobatan yang tepat untuk Gangguan
Menstruasi, sehingga dapat mengurangi jumlah dan keparahan Menstruasi, dan
memperlambat Nyeri Menstruasi,
2.1. Menstruasi
2.1.1. Dismenore
a. Disminore Primer
Dismenore primer terjadi akibat peningkatan sekresi prostanoid pada jalur
siklooksigenase. Prostanoid yang berperan dalam patofisiologi dismenore primer terutama
adalah prostaglandin (Medscape, 2022).
Peningkatan prostaglandin di endometrium setelah penurunan progesteron di akhir fase
luteal akan menyebabkan peningkatan tonus myometrium dan kontraksi uterus yang
berlebihan. Pada dismenore primer, prostanoid yang banyak dihubungkan dengan dismenore
adalah PGF2α dan PGE2. PGF2α merupakan stimulan myometrium poten dan vasokonstriktor
pada endometrium sekretori. Peningkatan kadarnya diduga dapat menyebabkan kontraksi
uterus yang membatasi aliran darah dan juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
arkuata sehingga menghasilkan kondisi hipoksia yang menyebabkan akumulasi metabolit
anaerob dan selanjutnya merangsang reseptor nyeri. PGF2α juga menurunkan ambang persepsi
nyeri dengan mensensitisasi reseptor saraf. Sementara itu, PGE2 memiliki mekanisme aksi
ganda yang menyebabkan kontraksi atau relaksasi myometrium, serta penyempitan atau
pelebaran pembuluh darah rahim (Bernardi dkk., 2017; Ferries-Rowe dkk., 2020).
b. Disminore Sekunder
Peningkatan prostaglandin juga diperkirakan berperan pada patologi dismenore sekunder.
Namun, patologi pada organ pelvis yang mendasari akan mempengaruhi mekanisme
munculnya dan beratnya keluhan nyeri (Medscape, 2022).
Dismenore sekunder mengacu pada nyeri haid karena patologi panggul atau kondisi
medis yang diakui. Penyebab paling umum dari dismenore sekunder adalah
endometriosis. Penyebab lain dismenore sekunder termasuk adenomiosis, infeksi, mioma,
anomali mullerian, anomali saluran reproduksi obstruktif, atau kista ovarium (Committe on
Adolescent Health Care USA, 2021).
2.1.2. Amenorea
Amenorea ditandai dengan tidak adanya menstruasi pada wanita usia reproduktif
berkaitan dengan gangguan hormonal normal, mekanisme fisiologis, atau kelainan anatomis
wanita. Mekanisme fisiologis normal bekerja dengan menyeimbangkan hormon dan
memberikan umpan balik antara hipotalamus, hipofisis, ovarium, dan rahim.
Selama siklus menstruasi wanita normal, gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
dilepaskan dari hipotalamus dan bekerja pada hipofisis untuk melepaskan follicle-stimulating
hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini dari hipofisis bekerja pada
ovarium dan ovarium akhirnya membuat estrogen dan progesteron bekerja pada rahim untuk
melaksanakan fase folikular dan sekretorik dari siklus menstruasi. Setiap cacat pada setiap
tingkat fisiologi normal wanita ini dapat menyebabkan amenore. Penyimpangan dari anatomi
normal organ reproduksi wanita juga dapat menyebabkan amenore (Nawaz dan Awal, 2022).
2.1.3. Menoragia
Patofisiologi Abnormal Uterine Bleeding (AUB) sangat beragam seperti klasifikasi
penyakitnya. AUB dapat disebabkan oleh patologi panggul seperti distorsi rongga
endometrium karena fibroid atau penonjolan endometrium ke dalam serviks atau vagina
(polip). Dapat juga terjadi karena jaringan endometrium yang rapuh. Jaringan endometrium
yang rapuh kemungkinan disebabkan oleh estrogen yang tidak dilawan yang menyebabkan
endometrium menjadi rapuh, vaskular, dan kurang dukungan stroma yang sama dengan
perdarahan uterus yang berat dan terus menerus.
Kondisi sistemik juga bertanggung jawab untuk AUB. Obesitas merupakan suatu
epidemik yang akibatnya mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan setiap sistem
organ. Pada wanita, obesitas dapat menyebabkan estrogen yang tidak dilawan dan dapat
menyebabkan sindrom ovarium polikistik. Koagulopati juga dapat menyebabkan AUB
dimana sebanhyaj 13% wanita dengan AUB memiliki varian penyakit Von Willebrand, dan
20% memiliki koagulopati yang mendasarinya.
Penyebab lain yang cukup signifikan untuk AUB adalah obat pasien. Jalur koagulasi utuh
sangat penting untuk regulasi menstruasi dan obat-obatan yang berinteraksi dengan trombosit
dan faktor koagulasi dapat menyebabkan AUB Akut. Berikut ini adalah daftar beberapa obat
yang dapat menyebabkan AUB (Walker dkk., 2022):
Warfarin, aspirin, clopidogrel, dan antikoagulan lainnya
Obat dan perangkat konseptual
Tamoksifen
Antidepresan trisiklik
Antipsikotik
Kortikosteroid
2.2. Acne Vulgaris
a. Jerawat biasanya dimulai pada periode prapubertas dan berkembang memproduksi
androgen dan aktivitas kelenjar sebaceous meningkat dengan perkembangan gonad.
b. Jerawat berkembang melalui empat tahap: (1) peningkatan keratinisasi folikel, (2)
peningkatan produksi sebum, (3) lipolisis bakteri dari trigliserida sebum menjadi asam
lemak bebas, dan (4) peradangan.
c. Androgen yang bersirkulasi menyebabkan peningkatan ukuran dan aktivitas kelenjar
sebaceous. Ada peningkatan sel keratinisasi epidermis dan perkembangan folikel
sebaceous tersumbat, yang disebut microcomedone. Sel-sel saling menempel,
membentuk sumbat keratin yang padat. Sebum, diproduksi dalam jumlah yang
meningkat, menjadi terperangkap di belakang keratin yang tersumbat dan mengeras,
berkontribusi pada pembentukan komedo terbuka atau tertutup.
d. Pengumpulan sebum di folikel memfasilitasi proliferasi bakteri anaerob
Propionibacterium acnes, menghasilkan respons sel T yang mengakibatkan peradangan.
P. acnes menghasilkan lipase yang menghidrolisis trigliserida sebum menjadi asam
lemak bebas yang dapat meningkatkan keratinisasi dan menyebabkan pembentukan
microcomedone.
e. Komedo tertutup (whitehead) adalah lesi jerawat pertama yang terlihat. Hal ini hampir
sepenuhnya terhalang untuk drainase dan memiliki kecenderungan untuk pecah.
f. Komedo terbuka terbentuk saat sumbatan meluas ke saluran atas dan melebarkan
pembukaannya. Jerawat yang ditandai dengan komedo terbuka dan tertutup disebut
jerawat non-inflamasi.
g. Pembentukan nanah terjadi karena masuknya neutrofil ke dalam folikel selama proses
inflamasi dan pelepasan kemokin yang dihasilkan P. acnes. P. acnes juga menghasilkan
enzim yang meningkatkan permeabilitas dinding folikel, menyebabkannya pecah,
sehingga melepaskan keratin, lipid, dan mengiritasi asam lemak bebas ke dalam
dermis.Lesi inflamasi yang dapat membentuk dan menyebabkan jaringan parut termasuk
pustula, nodul, dan kista.
(Wells dkk., 2015)
2.3. PCOS
PCOS berkembang ketika ovarium distimulasi untuk memproduksi jumlah hormon
androgen yang berlebih, terutama testosteron dengan cara melepaskan hormon LH yang
berlebih pada kelenjar pituitari anterior (Kabel, 2016). Hal tersebut mengganggu
perkembangan folikel. Nilai LH yang berlebih inilah yang dianggap menjadi penyebab utama
dari hipergonadisme ovarium PCOS dalam efek stimulan dari LH pada sel theca (Balen,
2004). Kenaikan level insulin berkontribusi secara langsung menyebabkan abnormalitas yang
terlihat pada hipotalamus-pituitari-ovarium yang berdampak secara langsung pada terjadinya
PCOS dengan mekanisme hiperinsulinemia yang meningkatkan frekuensi sekresi GnRH
(Gonadotropin Releasing Hormone), produksi LH melebihi FSH, meningkatnya produksi
androgen ovarium, menurunnya pematangan folikel, dan menurunnya ikatan sex-hormone
binding globulin (SHBG). Faktor-faktor ini berkontribusi dalam perkembangan PCOS.
Meningkatnya potensial steroidogenik dari sel theca akan meningkatkan aktivitas enzim
aromatase (CYP19) yang bekerja dengan mengode sitokrom p450 aromatase pada ovarium
yang bertugas mengonversi testosteron menjadi estradiol yang diinduksi dengan FSH selama
perkembangan folikel awal (Diamanti-Kandarakis, 2008).
3.1. Menstruasi
Tatalaksana terapi dismenore, amenorea dan menoragia dapat dilihat pada alogaritma
berikut
a. Dismenore
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID). NSAID adalah pengobatan pilihan
untuk dismenore. NSAID bekerja dengan menghambat produksi prostaglandin,
mereka mengerahkan sifat analgesik, mengurangi kontraksi rahim, dan mengurangi
aliran darah menstruasi. Pilihan satu agen di atas yang lain didasarkan pada biaya,
kenyamanan, dan preferensi pasien. Agen yang paling umum digunakan adalah
naproxen dan ibuprofen. Pengobatan dengan NSAID harus dimulai 1 sampai 2 hari
sebelum dimulainya menstruasi atau pada awal dismenore dan dilanjutkan selama 2
sampai 3 hari atau sampai nyeri hilang. Dosis pemuatan (dua kali dosis tunggal
biasa) direkomendasikan, diikuti dengan dosis yang biasanya direkomendasikan.
Untuk pasien yang NSAID dikontraindikasikan, kontrasepsi hormonal kombinasi
harus dipertimbangkan.
Kontrasepsi Hormonal Kombinasi (CHC). CHC memperbaiki dismenore ringan
sampai berat dengan menghambat proliferasi jaringan endometrium dan ovulasi,
sehingga mengurangi sekresi prostaglandin dan volume darah menstruasi.
Diperlukan dua hingga tiga bulan terapi untuk mencapai efek penuh. Baik terapi
standar (28 hari) dan siklus diperpanjang (91 hari) efektif untuk dismenore primer.
Regimen siklus yang diperpanjang dianggap sebagai lini pertama untuk dismenore
karena endometriosis. Manfaat tambahan termasuk kontrasepsi dan meningkatkan
jerawat. Meskipun formulasi monofasik dianggap lebih efektif untuk indikasi ini,
bukti yang mendukung hal ini terbatas. Jika tidak ada respon yang terjadi setelah 3
bulan terapi, pasien harus dievaluasi untuk penyebab sekunder.
Kontrasepsi Hormonal Khusus Progestin. Agen ini mengurangi dismenore
dengan mengurangi atau menghilangkan menstruasi dari waktu ke waktu, sehingga
menghilangkan pelepasan prostaglandin. Tiga agen tersedia: depot
medroxyprogesterone acetate, implan etonogestrel, dan sistem intrauterin pelepas
levonorgestrel. Data observasi menunjukkan penurunan dismenore dari 60%
menjadi 29% dengan terapi levonorgestrel-releasing intrauterine device (IUD)
selama 3 tahun. Meskipun data terbatas, ini merupakan pilihan untuk manajemen
dismenore.
b. Amenorea
Terapi Penggantian Estrogen/Progestin. Untuk sebagian besar kondisi yang
berhubungan dengan amenore primer atau sekunder, pengobatan estrogen
dianjurkan. Untuk meminimalkan risiko hiperplasia endometrium dan kanker,
progestin juga harus diberikan kepada wanita dengan rahim yang utuh. Peran
estrogen adalah untuk mengurangi risiko osteoporosis, merangsang dan
mempertahankan karakteristik seksual sekunder, dan meningkatkan kualitas hidup.
Agonis Dopamin. Pada wanita dengan hiperprolaktinemia yang menginginkan
pembuahan, agonis dopamin adalah pilihan. Agonis dopamin mengurangi kadar
prolaktin dan mengatasi amenore. Selain itu, mereka mengembalikan ovulasi pada
80% hingga 90% wanita. Agen yang paling sering dipelajari adalah bromokriptin
dan cabergoline.
Progestin. Progestin telah lama digunakan untuk menginduksi perdarahan putus
obat pada wanita dengan amenore sekunder. Khasiat bervariasi tergantung pada
formulasi yang digunakan. Penarikan perdarahan terjadi dengan progesteron yang
disuntikkan secara intramuskular dan medroksiprogesteron asetat oral pada 70% dan
95% pasien, masing-masing. Dosis biasa medroksiprogesteron asetat adalah 10 mg
per oral sekali sehari selama 7 sampai 10 hari.
Agen Sensitizing-Insulin. Amenore yang berhubungan dengan anovulasi dan PCOS
dapat merespon agen sensitisasi insulin. Penggunaan metformin untuk tujuan ini
dibahas pada bagian perdarahan anovulasi. Semua pasien yang mengalami amenore
harus mengikuti diet kaya kalsium dan vitamin D untuk mendukung kesehatan
tulang. Suplemen kalsium dan vitamin D (1200 mg/800 Unit Internasional per hari)
harus direkomendasikan untuk pasien dengan konsumsi makanan yang tidak
memadai.
c. Menoragia
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID). NSAID adalah pengobatan lini pertama
untuk menoragia yang terkait dengan siklus ovulasi. Mereka diambil hanya selama
menstruasi, dan penurunan kehilangan darah 20% sampai 35% dilaporkan pada 75%
wanita yang diobati. Pengurangan ini berbanding lurus dengan jumlah kehilangan
darah sebelum pengobatan. Mereka juga dapat meningkatkan dismenorea.
Kontrasepsi Hormonal Kombinasi. CHC bermanfaat bagi wanita dengan
menoragia yang tidak menginginkan kehamilan. Penurunan 40% sampai 50% pada
kehilangan darah menstruasi dilaporkan pada 68% pasien menoragia yang diobati
dengan CHC oral yang mengandung lebih dari atau sama dengan 35 mcg estradiol.
Pilihan siklus berkelanjutan dan diperpanjang juga dapat mengurangi jumlah siklus
menstruasi. Seperti NSAID, pengurangan kehilangan darah sebanding dengan
kehilangan darah sebelum pengobatan.
Progestin. Menoragia juga dapat diobati dengan AKDR pelepas levonorgestrel,
yang secara konsisten mengurangi aliran menstruasi sebesar 75% hingga 95%, dan
setelah 12 bulan, 20% hingga 80% wanita mengalami amenore. Jika dibandingkan
dengan ablasi endometrium, AKDR levonorgestrel menyebabkan penurunan serupa
pada kehilangan darah menstruasi setelah 6, 12, dan 24 bulan. Dibandingkan dengan
histerektomi, ini mengarah pada tingkat kepuasan yang sama dan peningkatan
kualitas hidup. Terapi progestin siklik, baik selama fase luteal atau selama 21 hari
dari siklus menstruasi, mengurangi kehilangan darah menstruasi. IUD levonorgestrel
lebih efektif daripada norethindrone oral yang diberikan secara siklis. Dalam sebuah
penelitian label terbuka kecil, AKDR levonorgestrel menghasilkan pengurangan
kehilangan darah menstruasi yang lebih besar dan jumlah hari yang hilang di tempat
kerja atau sekolah dibandingkan dengan CHC oral. Terapi progestin oral dianggap
sebagai pilihan lini ketiga.
Asam traneksamat. Asam traneksamat mengurangi aktivitas plasmin dan aktivator
plasminogen jaringan. Sementara produk rilis langsung telah tersedia untuk waktu
yang lama, produk rilis yang dimodifikasi baru-baru ini tersedia. Ini memiliki
tolerabilitas gastrointestinal yang lebih baik dan memberi wanita pilihan non-
hormonal lain untuk mengelola menoragia. Selain itu, dapat direkomendasikan
untuk wanita dengan penyakit von Willebrand.
b. Amenorea
Terapi nonfarmakologis untuk amenore tergantung pada penyebab yang mendasarinya.
Amenore sekunder akibat kekurangan gizi atau anoreksia dapat berespons terhadap
penambahan berat badan dan psikoterapi. Jika olahraga berlebihan adalah penyebabnya,
disarankan untuk mengurangi olahraga.
c. Menoragia
Intervensi bedah disediakan untuk pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan
farmakologis dan termasuk ablasi endometrium dan histerektomi.
Eksfolian
a. Pengelupasan menyebabkan pengeringan ringan terus menerus dan pengelupasan karena
iritasi, merusak lapisan kulit superfisial dan memicu peradangan. Ini merangsang
mitosis, penebalan kulit ari dan meningkatkan sel-sel horny, scaling, dan eritema.
Keringat berkurang menghasilkan permukaan yang kering, kurang berminyak dan dapat
mengatasi lesi pustular.
b. Resorcinol kurang keratolitik daripada asam salisilat dan, bila digunakan sendiri,
diklasifikasikan sebagai berikut: sebagai Food and Drug Administration (FDA) kategori
II (tidak diakui secara umum) aman dan efektif). FDA menganggap resorsinol 2% dan
resorsinol monoasetat 3% aman dan efektif bila digunakan dalam kombinasi dengan
sulfur 3% hingga 8%. Resorcinol adalah iritan dan sensitizer dan tidak boleh digunakan
pada area yang luas atau kulit rusak. Hal ini menghasilkan sisik coklat tua yang dapat
dibalik pada beberapa orang individu berkulit gelap.
c. Asam salisilat bersifat keratolitik, memiliki aktivitas antibakteri ringan terhadap P.
acnes, dan sedikit aktivitas antiinflamasi pada konsentrasi mencapai 5%. Asam salisilat
adalah diakui oleh FDA aman dan efektif, tetapi mungkin kurang kuat dibandingkan
Benzoil peroksida atau Retinoid topikal.Produk asam salisilat sering digunakan sebagai
lini pertama terapi untuk jerawat ringan karena ketersediaannya dalam konsentrasi
hingga 2% tanpa resep.Konsentrasi 5% sampai 10% juga dapat digunakan dengan resep
dokter, awal dengan konsentrasi rendah dan meningkat seiring berkembangnya toleransi
terhadap gangguan. Asam salisilat sering digunakan ketika pasien tidak dapat
mentoleransi Retinoid topikal karena iritasi kulit.
d. Sulfur bersifat keratolitik dan memiliki aktivitas antibakteri. Dapat dengan cepat
mengatasi pustula dan papula, lesi topeng, dan menghasilkan iritasi yang menyebabkan
pengelupasan kulit. Sulfur digunakan dalam bentuk endapan atau koloid dengan
konsentrasi 2% sampai 10%. Meskipun itu, sering dikombinasikan dengan asam salisilat
atau resorsinol untuk meningkatkan efek, penggunaannya dibatasi oleh bau tak sedap dan
ketersediaan agen yang lebih efektif.
Retinoid Topikal
a. Retinoid mengurangi obstruksi di dalam folikel dan berguna untuk komedo serta
peradangan jerawat. Retinoid topikal membalikkan deskuamasi keratinosit abnormal dan
keratolitik aktif. Mereka menghambat pembentukan microcomedone, mengurangi
jumlahnya komedo matang dan lesi inflamasi.
b. Retinoid topikal aman, efektif, dan ekonomis untuk mengobati semua, kecuali sebagian
besar kasus jerawat yang parah. Retinoid topikal harus menjadi 1 st line terapi jerawat
sedang.Penggunaannya sendiri atau dalam kombinasi dengan antibiotik dan Benzoil
peroksida, kembali ke retinoid saja untuk pemeliharaan setelah hasil yang memadai
tercapai. Efek samping termasuk Eritema, xerosis, terbakar, dan mengelupas.
c. Retinoid harus digunakan pada malam hari, setengah jam setelah pembersihan, dimulai
dengan setiap malam lainnya selama 1 sampai 2 minggu untuk menyesuaikan diri dengan
iritasi. Dosis dapat ditingkatkan hanya setelah dimulai dengan 4 sampai 6 minggu
konsentrasi terendah dan kendaraan yang paling tidak mengiritasi.
d. Tretinoin (asam retinoat dan asam vitamin A) tersedia sebagai larutan 0,05% (sebagian
besar mengiritasi); 0,01% dan 0,025% gel; dan krim 0,025%, 0,05%, dan 0,1% (paling
tidak mengiritasi). Tretinoin tidak boleh digunakan pada wanita hamil karena risiko
terhadap janin.
e. Adapalene (Differin) adalah retinoid topikal pilihan pertama untuk pengobatan dan
terapi pemeliharaan karena sama efektifnya tetapi kurang mengiritasi dibandingkan
retinoid topikal lainnya. Adapalene tersedia sebagai gel 0,1%, krim dan larutan alkohol.
Formulasi gel 0,3% juga tersedia.
f. Tazarotene (Tazorac) sama efektifnya dengan Adapalene dalam mengurangi peradangan
dan jumlah lesi inflamasi bila digunakan lebih sering. Dibandingkan dengan tretinoin,
sama efektifnya untuk komedo dan lebih efektif untuk lesi inflamasi bila diterapkan
sekali sehari. Produk ini tersedia sebagai gel atau krim 0,05% dan 0,1%.
Antibakteri Topikal
a. Benzoil peroksida bersifat bakterisida dan juga menekan produksi sebum dan
mengurangi asam lemak bebas, yang merupakan pemicu komedogenik dan inflamasi.
Berguna untuk jerawat non-inflamasi dan inflamasi. Zat aktif ini memiliki onset yang
cepat dan dapat menurun jumlah lesi yang meradang dalam 5 hari. Digunakan sendiri
atau dalam kombinasi, Benzoil peroksida merupakan standar perawatan untuk jerawat
papulopustular ringan sampai sedang. Juga sering dikombinasikan dengan retinoid
topikal atau antimikroba. Untuk terapi pemeliharaan, Benzoil peroksida dapat
ditambahkan ke Retinoid topikal.
b. Sabun, losion, krim, pencuci, dan gel tersedia dalam konsentrasi 1% hingga 10%. Semua
persiapan agen tunggal tersedia tanpa resep.Formulasi gel biasanya paling kuat,
sedangkan lotion, krim, dan sabun memiliki potensi yang lebih lemah. Sediaan gel
berbasis alkohol umumnya menyebabkan lebih banyak kekeringan dan iritasi.
c. Terapi harus dimulai dengan konsentrasi terlemah (2,5%) dalam berbasis air formulasi
atau gel hidrofase 4%. Setelah toleransi tercapai, kekuatannya mungkin ditingkatkan
menjadi 5% atau basa diubah menjadi aseton atau gel alkohol, atau menjadi pasta.Dia
penting untuk mencuci produk di pagi hari. Tabir surya harus diterapkan siang hari.
d. Efek samping Benzoil peroksida termasuk kekeringan, iritasi, dan, jarang, dermatitis
kontak alergi. Zat aktif ini dapat memutihkan rambut dan pakaian.
e. Eritromisin topikal dan Klindamisin menjadi kurang efektif karena resistensi terhadap
P. acnes. Penambahan Benzoil peroksida atau Retinoid topikal ke makrolida lebih efektif
daripada monoterapi antibiotik.Klindamisin lebih disukai karena aksi poten dan
kurangnya penyerapan sistemik.Klindamisin tersedia sebagai sediaan topikal tunggal
atau dalam kombinasi dengan Benzoil peroksida. Eritromisin tersedia tunggal dan dalam
kombinasi dengan asam Retinoat atau Benzoil peroksida.
f. Asam azelaic (Azelex) memiliki aktivitas antibakteri, antiinflamasi, dan komedolitik.
Zat aktif ini digunakan untuk jerawat inflamasi ringan hingga sedang, tetapi memiliki
kemanjuran yang terbatas dibandingkan dengan terapi lainnya.Asam azelaic merupakan
alternatif untuk retinoid topikal sebagai terapi pemeliharaan.Asam azelaic ditoleransi
dengan baik, dengan efek samping pruritus, rasa terbakar, perih, dan kesemutan terjadi
pada 1% sampai 5% pasien.Eritema, kekeringan, pengelupasan, dan iritasi terjadi pada
kurang dari 1% pasien.Asam azelaic tersedia dalam krim 20% dan gel 15%, yang
biasanya diterapkan dua kali sehari (pagi dan sore) pada kulit bersih dan kering.
Sebagian besar pasien mengalami perbaikan dalam waktu 4 minggu, tetapi pengobatan
mungkin dilanjutkan selama beberapa bulan jika perlu.
g. Dapson 5% gel topikal (Aczone) adalah sulfon sebagai anti-inflamasi dan antibakteri
yang mengobati jerawat inflamasi dan non-inflamasi. Mungkin berguna untuk pasien
dengan kepekaan atau intoleransi terhadap antijerawat agen konvensional dan dapat
digunakan pada pasien alergi sulfonamid. Gel Dapson topikal 5% telah digunakan
sebagai sediaan tunggalmaupun kombinasi dengan Adapalen atauBenzoil peroksida,
tetapi mungkin lebih mengiritasi daripada agen topikal lainnya.
Antibakteri Oral
a. Antibiotik sistemik merupakan terapi standar untuk jerawat sedang dan berat dan jerawat
inflamasi yang resisten terhadap pengobatan. Karena meningkatnya resistensi bakteri,
pasien yang kurang parah tidak boleh diobati dengan antibiotik oral, dan jika
kemungkinan durasi terapi harus dibatasi (misalnya, 6-8 minggu).
b. Eritromisin efektif, tetapi karena resistensi bakteri, penggunaannya harus terbatas pada
pasien yang tidak dapat menggunakan turunan Tetrasiklin (misalnya, wanita hamil dan
anak <8 tahun). Ciprofloxacin, Trimetoprim-Sulfametoksazol, dan Trimetoprim
tunggal juga efektif untuk kasus di mana antibiotik lain tidak dapat digunakan atau tidak
efektif.
c. Tetrasiklin (Minosiklin dan Doksisiklin) memiliki efek antibakteri dan antiinflamasi.
Tetrasiklin sendiri bukan lagi obat pilihan dalam pengobatan ini karena efek terkait diet
pada penyerapan, serta antibakteri dan anti-inflamasi efektivitasnya lebih rendah.
Minocycline dikaitkan dengan deposisi pigmen di kulit, selaput lendir, dan gigi; itu juga
dapat menyebabkan pusing terkait dosis, urtikaria, sindrom hipersensitivitas, hepatitis
autoimun, lupus eritematosus sistemik- seperti sindrom, dan reaksi seperti penyakit
serum. Doksisiklin adalah fotosensitizer, terutama pada dosis yang lebih tinggi.
Antisebum
a. Isotretinoin menurunkan produksi sebum, menghambat pertumbuhan P. acnes, dan
mengurangi peradangan. Obat ini digunakan untuk pengobatan jerawat nodular yang
parah. Zat aktif ini juga berguna untuk jerawat yang tidak terlalu parah dan resisten
terhadap pengobatan atau yang menyebabkan jaringan parut fisik atau psikologis.
Isotretinoin adalah satu-satunya pengobatan untuk jerawat yang menghasilkan remisi
berkepanjangan.
b. Dosis yang disetujui adalah 0,5 sampai 2 mg/kg/hari, biasanya diberikan selama 20
minggu. Obat memiliki penyerapan lebih besar bila dikonsumsi bersama makanan.
Pengobatan awal dapat dimulai dengan 0,5 mg/kg/hari atau kurang. Ataupun, dosis yang
lebih rendah dapat digunakan pada periode yang lebih lama, dengan dosis kumulatif total
120 hingga 150 mg / kg.
c. Efek samping sering terjadi dan sering berhubungan dengan dosis. Sekitar 90% pasien
mengalami efek mukokutan; pengeringan mulut, hidung, dan mata.Cheilitis dan
deskuamasi kulit terjadi pada lebih dari 80% pasien.Efek sistemik termasuk peningkatan
kolesterol serum sementara dan trigliserida, peningkatan kreatin kinase, hiperglikemia,
fotosensitifitas, pseudotumor serebri, abnormal tes cedera hati, kelainan tulang, artralgia,
kekakuan otot, sakit kepala, dan insiden teratogenisitas yang tinggi. Pasien harus diberi
konseling dan diskrining untuk depresi selama terapi, meskipun hubungan kausal dengan
terapi Isotretinoin kontroversial.
d. Karena teratogenisitas, dua bentuk kontrasepsi yang berbeda harus digunakan pada
pasien wanita yang berpotensi melahirkan anak, dimulai 1 bulan sebelum terapi,
berlanjut selama perawatan, dan hingga 4 bulan setelah penghentian terapi. Semua pasien
yang menerima Isotretinoin harus berpartisipasi dalam program iPLEDGE, yang
memerlukan tes kehamilan dan jaminan dari pemberi resep dan apoteker bahwa mereka
akan mengikuti prosedur yang diperlukan.
e. Kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dapat bermanfaat untuk mengatasi jerawat
pada beberapa wanita. Agen dengan persetujuan FDA untuk indikasi ini termasuk
Norgestimate dengan Etinil estradiol dan Norethindrone asetat dengan Etinil
estradiol; produk yang mengandung estrogen lainnya mungkin juga efektif.
f. Spironolakton dalam dosis tinggi merupakan senyawa antiandrogenik. Dosis 50 hingga
200 mg telah terbukti efektif dalam pengobatan jerawat.
g. Cyproterone acetate adalah antiandrogen yang mungkin efektif untuk jerawat pada
wanita bila dikombinasikan dengan Etinil estradiol (dalam bentuk kontrasepsi oral).
h. Kortikosteroid oral dalam dosis tinggi yang digunakan sesingkat mungkin bermanfaat
sementara pada pasien dengan peradangan jerawat yang parah.
(Wells dkk., 2015)
4. Monitoring
4.1. Menstruasi
Keberhasilan pengobatan untuk gangguan terkait menstruasi diukur dengan sejauh
mana pengobatan (a) mengurangi atau membalikkan gejala, (b) mencegah atau membalikkan
komplikasi (misalnya, osteoporosis, anemia, dan infertilitas), dan (c) menyebabkan efek
samping yang minimal. Dimulainya kembali siklus menstruasi yang teratur dengan gejala
pramenstruasi atau dismenore minimal harus terjadi. Tergantung pada keinginan untuk
konsepsi dan terapi terkait, siklus ini mungkin ovulasi atau anovulasi. Kaji efektivitas
pengobatan dalam mengembalikan siklus menstruasi normal dengan efek samping minimal
setelah interval pengobatan yang tepat (1-2 bulan). Kaji peningkatan kesejahteraan dan
kualitas hidup (misalnya, fungsi fisik, psikologis, dan sosial). Target capaian keberhasilan
terapi untuk tiap patologi penyakit dapat dilihat pada tabel berikut.
4.3. PCOS
a. Kaji gejala untuk menentukan apakah terapi yang diarahkan pada pasien tepat (misalnya,
NSAID untuk dismenore) atau apakah pasien harus dievaluasi oleh dokter (misalnya,
amenore, menoragia, perdarahan anovulasi, atau PMDD). Apakah pasien memiliki
komplikasi terkait, seperti gejala anemia pada pasien dengan menoragia atau keluhan
kesulitan hamil pada wanita dengan amenore atau perdarahan anovulasi.
b. Tinjau data diagnostik yang tersedia, jika sesuai, untuk menentukan status hormonal,
reproduksi, dan kehamilan.
c. Dapatkan riwayat penggunaan obat resep, nonresep, dan obat alami secara menyeluruh.
Tentukan perawatan mana yang telah membantu pasien di masa lalu.
5. KIE
5.1. Menstruasi
a. Edukasi pasien tentang pentingnya modifikasi gaya hidup guna memperbaiki gejala dan
mencegah komplikasi.
b. Informasikan kepada pasien mengenai pilihan terapi, indikasi obat, keaamanan dan
efektivitas serta kemungkinan efek samping yang diterima.
c. Informasikan pasien untuk menjalani perawatan pemeliharaan jangka panjang
diperlukan.
d. Membantu mengatasi masalah pasien tentang kualitas hidup (fungsi fisik, psikologis, dan
sosial) dan infertilitas.
e. Diskusikan mengenai pentingnya kepatuhan terhadap manajemen pengobatan dan
modifikasi gaya hidup.
(DiPiro, 2016)
Penyelesaian:
1. Pasien mengalami dismenorea primer yang ditandai dengan gejala nyeri panggul
sedang - berat dan kram perut selama menstruasi. Nyeri panggul hanya dirasakan
pada saat menstruasi dan tidak dipengaruhi oleh kerusakan organ lainnya sehingga
disimpulkan bahwa pasien mengakami dismenore primer. Peningkatan kadar asam
arakidonat dalam cairan menstruasi menyebabkan peningkatan konsentrasi
prostaglandin dan leukotrien di dalam rahim sehingga menginduksi kontraksi uterus
dan merangsang serat nyeri.
2. Pasien mengalami acne vulgaris yang ditandai dengan adanya jerawat pada dada dan
wajah, dengan bentuk jerawat berupa papula dan lesi. Penyebab Acne vulgaris ini
salah satunya ialah hormone berupa androgen, estrogen, dan progesteron. Pada
wanita, sangat sering dikaitkan antara munculnya Acne vulgaris dengan siklus
menstruasi. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Acne vulgaris sering terjadi
akibat rendahnya hormon estrogen dan progesteron selama beberapa siklus menstruasi
pertama. Tercatat bahwa hormon progesteron dianggap bertanggung jawab atas
aktivitas rangsangan kelenjar sebasea pada wanita.
Pada kasus ini pasien masuk dalam klasifikasi acne papula ringan grade 1 dimana
dapat dilihat pada hasil pemeriksaan bahwa pasien mengalami 2-4 bagian lesi
dibagian hidung dan pipi (3 papula).
Menurut American academy of Dermatology klasifikasi Akne adalah sebagai berikut:
Barbosa G, Cunha de Sa LBP, Rocha DRTW, Arbex AK. 2016. Polycystic Ovary Syndrome
(PCOS) and Fertility. Open Journal of Endocrine and Metabolic Diseases, 6:58-65
Dewi, Ni Luh., 2020., Pendekatan Terapi Polycystic Ovary Syndrome (PCOS). Denpasar,
Bali.
Dipiro J. T., Marie A. C., Schwinghammer, T. L., Wells B., Malone P. M., John C.
Rotschafer., Kolesar J M, 2018, Pharmacotherapy Principles and Practice, Edisi 4,
The McGraw-Hill Companies, New York.
DiPiro JT, Marie AC, Terry LS, Barbara GW, Patrick MM, Jill MK, 2016, Pharmacotherapy
Principles & Practice 4th Edition, McGraw-Hill Education : USA
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey, L.M., 2017,
Pharmacotherapy- A Pathophysiologic Approach 10th Ed, Mc Graw Hill Medical:
New York.
Ferries-Rowe E, Elizabeth C dan Johanna SA, 2020, Primary Dysmenorrhea, Obstetrics &
Gynecology 136(5)
Kabel AM. 2016. Polycystic Ovarian Syndrome: Insights into Pathogenesis, Diagnosis,
Prognosis, Pharmacological and Non-Pharmacological Treatment. J Pharma Reports.
1: 103
Kulshreshta S. dan Anisa M. D., 2019, 9571 Original Research Article Prevalence of
Menstrual Disorders and Their Association with Physical Activity in Adolescent Girls
of Aligarh City, International Journal of Health Sciences and Research, Vol.9 (8).
Lestari NMSD, 2013, Pengaruh Dismenorea pada Remaja, Seminar Nasional FMIPA
UNDIKSHA III, UNDIKSHA
Nafye Y, Sevtap K, Muammer D, Emre O, Senol K, et al. 2010. The Effect of Serum and
Intrafollicular Insulin Resistance Parameters and Homocysteine Levels of Nonobese,
Nonhyperandrogenemic Polycystic Ovary Syndrome Patients on In-vitro Fertilization
Outcome. Fertil Steril. 93: 1864-1869
Ramadani, M., 2012, Premenstrual Syndrome (PMS), Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7 (1):
21-25
Rustam, E., 2014, Gambaran Pengetahuan Remaja Puteri Terhadap Nyeri Haid (Dismenore)
Sirajudin, A., Sibero, H. T., dan Anggraini, D. I., 2019, Prevalensi Dan Gambaran
Epidemiologi Akne Vulgaris di Provinsi Lampung, JK Unila, 3(2)
Sirmans SM, Pate KA. 2014. Epidemiology, Diagnosis, and Management of Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Epidemiology. 6:1-13
Surmiasih, S., & Priyati, D. (2018). Pengetahuan Tentang Menstruasi Dengan Upaya
Penanganan Disminorea Pada Siswi Mts Al-Hidayah Tunggul Pawenang Kecamatan
Adiluwih Kabupaten Pringsewu. Midwifery Journal: Jurnal Kebidanan UM.
Mataram, 3(1)
Walker MH, William C and Judith B, 2022, Menorrhagia, StatPearls Publishing: USA
Wells, B.G., DiPiro, J.T., Schwinghanmmer, T.L., dan DiPiro, C.V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook 9th Edition, MC-Graw Hill Education: New York.
Yumaeroh, F., & Dwi Susanti. (2020). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Media Video
Terhadap Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Personal Hygiene Saat Menstruasi Di
Smpn 1 Gamping. Media Ilmu Kesehatan, 8(3): 203–209
https://emedicine.medscape.com/article/253812-overview#a4 diakses 29 Maret 2022