Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN (RPK)


DI PANTI GRAMESIA KEDAWUNG KOTA CIREBON
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Jiwa
Program Profesi Ners Stikkes Kuningan
Dosen Pembimbing :
TIM

Disusun Oleh :
MASLIKAH (JNR0200112)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
CIREBON
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. Kasus (Masalah Utama)


Resiko Perilaku Kekerasan
B. Definisi, Etiologi, Tanda dan Gejala
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun
orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Farida & Yudi,
2011).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai marah
dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontrol (Yosep, 2007). Resiko prilaku kekerasan yautu berisiko membahayakan
secara fisik, emosi dan atau seksual pada diri sendiri atau orang lain (SDKI, 2017).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan yaitu
ungkapan perasaan marah yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana
individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
2. Etiologi
Penyebab dari resiko prilaku kekerasan yaitu adanya faktor predisposisi yang
mempengaruhi psikologis klien yang dapat menimbulkan harga diri rendah dan
mengalami isolasi sosial pada klien sehingga dapat mempengaruhi perubahan persepsi
sensori: halusinasi, halusinasi dapat dibedakan menjadi halusinasi penglihatan dan
halusinasi pendengaran. Halusinasi pendengaran yang tidak sesuai dengan realita atau
tidak baik untuk klien dapat mempengaruhi klien dalam melakukan prilaku kekerasan.

3. Tanda dan Gejala


Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku kekerasan terdiri
dari :
a. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras,
kasar, ketus.
c. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
h. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual
C. Faktor Predisposisi
1. Faktor psikologis
a. Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
b. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang tidak
menyenangkan.
c. Rasa frustasi.
d. Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
e. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep
diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise
yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya.
Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya
harga diri pelaku tindak kekerasan.
f. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
2. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura bahwa
agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Faktor ini dapat dipelajari
melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
3. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan pada
hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif, dimana jika
terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk
pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indra penciuman dan
memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak
menyerang objek yang ada di sekitarnya. Selain itu berdasarkan teori biologis, ada
beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan,
yaitu sebagai berikut :
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon
agresif.
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Peningkatan hormon androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin
dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal) trauma otak,
apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

D. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injury
secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut.
1. Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kehidupan yang penuh dengan
agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2. Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3. Lingkungan
4. Panas, padat, dan bising.
E. Pohon Masalah
Resti mencederai diri, orang lain, dan lingkungan
(Effect)

Perilaku kekerasan
(Core Problem)

Gangguan persepsi sensori : halusinasi


Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis


Koping tidak efektif
(Causa)
F. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
1. Masalah Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Resiko perilaku kekerasan
c. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Koping tidak efektif
2. Data yang Perlu Dikaji
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkunga
Data Subyektif :
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
2) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal atau marah.
3) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Objektif :
1) Mata merah, wajah agak merah.
2) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul
diri sendiri/orang lain.
3) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4) Merusak dan melempar barang barang
b. Resiko perilaku kekerasan
Data Subyektif :
1) Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam.
2) Klien mengungkapkan perasaan jengkel
3) Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
Data Objektif :
1) Muka merah
2) Mata melotot
3) Rahang dan bibir mengatup
4) Tangan dan kaki tegang, tangan mengepal
5) Tampak mondar-mandir
6) Tampak bicara sendiri dan ketakutan
7) Tampak berbicara dengan suara tinggi
8) Tekanan darah meningkat
9) Frekuensi denyut nadi meningkat
G. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perilaku kekerasan b.d Halusinasi
2. Prilaku kekerasan b.d Halusinas
H. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Resiko perilaku Kontrol diri (L.09076) Pencegahan perilaku kekerasan
kekerasan Setelah dilakukan tindakan a.Verbalisasi ancaman kepada (i.14544)
keperawatan diharapkan orang lain menurun a.observasi
(D.0146) klien dapat kontrol diri , b. Verbalisasi umpatan - -monitor adanya benda yang
kontrol diri meningkat menurun berpotensi membahayakan
c.perilaku menyerang - -monitor keamanan barang yang
menurun dibawa oleh pengunjung
- -monitr selama penggunaan barang
d. perilaku merusak menurun
yang dapat membahayakan
e. perilaku agresif/amuk
b. terapeutik
menurun - Pertahankan lingkungan bebas dari
bahaya secara rutin
- -libatkan keluarga dan perawat
c.edukasi
- Anjurkan pengunjung dan keluarga
untuk mendukung keselamatan
pasien
- Latih cara mengungkapkan
perasaan secara asertif
- Latih mengurangi kemarahan
secara verbal dan nonverbal
Perilaku Setelah dilakukan tindakan Kontrol risiko meningkat Managemen pengendalian marah
kekerasan keperawatan diharapkan (L.141128) (09290)
bisa kontrol resiko - Kemampuan mencari a. Observasi
(D.0132) informasi tentang faktor - Identifikasi penyebab atau pemicu
risiko kemarahan
- Kemampuan melakukan - Indentifikasi harapan perilaku terhadap
strategi resiko ekspresi kemarahan
- Kemampiuan mengubah - Monitor potensi agresi tindakan konstruktif
perilaku melakukan sebelum agresif
- Kemampuan modifikasi b. Terapeutik
gaya hidup - Gunakan pendekatan yang tenang atau
- Kemampuan menghindari meyakinkan
faktor risiko - Fasilitiasi mengekspresikan marah secara
adaptif
- Cegah kerusakan fisik akibat ekspresi
marah
- Lakukan kontrol eksternal
- Berikan penguatan atas keberhasilan
penerapan strategi pengendalian marah
c. Edukasi
- Jelaskan fungsi makna marah
- Anjurkan meminta bantuan perawat
- Ajarkan strategi untuk mencegah ekspresi
marah maladaptif
- Anjurkan metode untuk memodukulasi
pengalaman emosi yang kuat
I. Trend Issue Keperawatan Jiwa Di Masa Pandemi Covid-19
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila
tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik
seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek
anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi
ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan,
yaitumengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan
kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan
lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah
akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier)
sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara
optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
4. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi
somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku
adaftif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
pasien, terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT)
adalah bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand
mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah
setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014: hal 146

Anda mungkin juga menyukai