Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN PENDAHULUAN 7 DIAGNOSA KEPERAWATAN JIWA

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Stase Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:

M. Dodik Prastiyo

NIM. 202020461011079

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021
DAFTAR ISI

PERILAKU KEKERASAN ................................................................................................ 3

HARGA DIRI RENDAH (HDR) .................................................................................... 17

RESIKO BUNUH DIRI .................................................................................................... 29

DEFISIT PERAWATAN DIRI........................................................................................ 43

ISOLASI SOSIAL ............................................................................................................... 52

HALUSINASI ...................................................................................................................... 62

WAHAM ............................................................................................................................... 77

2
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

1. Definisi

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang


diekspresikan dengan melakukan ancaman, menciderai orang lain, dan atau
merusak lingkunagan (Keliat & Akemat, 2012). Menurut (Stuart, 2013),
perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor yang
dihadapi oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan
kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal
maupun nonverbal. Beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa
perilaku kekerasan atau agresifitas dapat didefinisikan yaitu suatu perilaku
mencederai atau melukai diri sendiri, orang lain/sekelompok orang dan
lingkungan, baik secara verbal, fisik, dan psikologis yang akan mengakibatkan
beberapa kerugian seperti trauma fisik, psikologis dan bahkan kematian.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk
bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku
kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai
atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa
perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di
lingkungan. Pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat
melakukan kekerasan di rumah. Perawat harus jeli dalam melakukan
pengkajian untuk menggali penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan
selama di rumah (Yusuf, Fitrasari, & Nihayati, 2015).
Menurut (Keliat & Akemat, 2012), perilaku kekerasan adalah suatu
bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis. Herdman, (2012) mengatakan bahwa risiko perilaku kekerasan
merupakan perilaku yang diperlihatkan oleh individu. Bentuk ancaman bisa
fisik, emosional atau seksual yang ditujukan kepada orang lain

3
Hirarki Perilaku Kekerasan daari tingkat rendah ke tinggi (Stuart, 2013):
1. Memperlihatkan permusuhan tingkat rendah
2. Bicara keras dan menuntut
3. Mendekati orang lain dengan ancaman
4. Mengucapkan kata-kata ancaman, tanpa rencana untuk melukai
5. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
6. Mengancam dengan kata-kata dengan rencana melukai
7. Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
8. Melukai dalam tingkat serius dan bahaya.

2. Etiologi
Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi faktor predisposisi
dan presipitasi,
a. Faktor Predisposisi Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan, meliputi :
1) Faktor Biologis Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya
faktor herediter yaitu adanya anggotakeluarga yang sering
memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa, adanyan riwayat penyakit
atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkoti,
psikotropika dan zat aditif lainnya).
2) Faktor Psikologis Pengalaman marah merupakan respon psikologis
terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.Perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi
apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui
kegagalan atau terhambat.Salah satu kebutuhan manusia adalah
“berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi
melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah
individu tersebut berperilaku destruktif.
3) Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan
bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
4
mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan yang lain.Stresor tersebut dapat
merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu.
Faktor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan
dengan orang yang dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian,
kematian), kehilangan rasa cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll.
Sedangkan faktor luar individu meliputi serangan terhadap fisik,
lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan.
3. Rentang Respon

Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap


kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman (Stuart, 2007). Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun
perilaku yang dimanifestasikan oleh marah dapat berfluktuai sepanjang
rentang adaktif dan maladaktif.

Respon Adaptif Respon Mal Adaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Kegagalan yang menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau


respon melawan dan menantang. Respon melawan dan menentang
merupakan respon yang maladaktif yaitu-agresif-kekerasan, sedangkan respon
yang adaptif adalah asertif dan frustrasi yaitu :
1. Respon Adaptif
a. Asertif : Mengemukakan pendapat atau menunjukkan ekspresi tidak
senang atau tidak setuju tetapi tidak menyakiti orang lain/lawan
bicaranya.

5
b. Frustrasi: Respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena
tidak realistis atau disebut juga hambatan dalam proses pencapaian
tujuan.
2. Respon Maladaptif
a. Pasif: Suatu perilaku dimana seseorang merasa tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaannya sebagai usahauntuk mempertahankan
hak-haknya.
b. Agresif: Suatu perilaku yang menyertai rasa marah sebagai usaha atau
merupakan dorongan mental untuk bertindak,memperlihatkan
permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberkata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya
klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain
c. Kekerasan: Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan,
memberi kata-kata ancaman melukai disertai melukai pada tingkat
ringan dan yang paling berat adalah melukai/merusak secara seriu.
Klien tidak mampu mengendalikan diri.

4. Proses terjadinya perilaku kekerasan


Pada pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi
Stuart yang meliputi faktor predisposisi dan presipitasi (Nurhalimah, 2016)
a. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi :
1. Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter
yaitu adanya anggotakeluarga yang sering memperlihatkan atau
melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, adanyan riwayat penyakit atau trauma
kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkoti, psikotropika dan
zat aditif lainnya).
2. Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan.Perilaku kekerasan terjadi

6
sebagai hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau
terhambat.Salah satu kebutuhan manusia adalah “berperilaku”,
apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku
konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut
berperilaku destruktif.
3. Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory) menyatakan
bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespon asertif atau agresif. Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan yang lain.Stresor tersebut dapat
merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu.
Faktor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan
dengan orang yang dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian,
kematian), kehilangan rasa cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik,
dll. Sedangkan faktor luar individu meliputi serangan terhadap fisik,
lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan.
5. Tanda dan Gejala
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan (Yusuf et al., 2015):
a. Emosi
- Tidak adekuat
- Tidak aman
- Rasa terganggu
- Marah (dendam)
- Jengkel
b. Intelektual
- Mendominasi
7
- Bawel
- Sarkasme
- Berdebat
- Meremehkan
c. Fisik
- Muka merah
- Pandangan tajam
- Napas pendek
- Keringat
- Sakit fisik
- Penyalahgunaan zat
- Tekanan darah meningkat
d. Spiritual
- Kemahakuasaan
- Kebijakan/kebenaran diri
- Keraguan
- Tidak bermoral
- Kebejatan
- Kreativitas terlambat
e. Sosial
- Menarik diri
- Pengasingan
- Penolakan
- Kekerasan
- Ejekan
- Humor

8
6. Pohon Masalah

Resiko Perilaku Gangguan


Mencederai diri Pemeliharaan Kesehatan

Ketidakefektifan
Perilaku Kekerasan Defisit Perawatan Diri
penatalaksanaan program Masalah Utama Mandi dan Berhias
terapeutik

Ketidakefektifan koping
keluarga :
Gangguan konsep diri : harga
Ketidakmampuan keluarga
diri rendah kronis
merawat klien dirumah

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Yosep, 2009) obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan
marah atau perilaku kekerasan adalah :
1. Medis
a. Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam,
sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan
perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk
penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan
dan ketergantungan, juga bisa memperburuk simptom depresi.
b. Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
c. Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan
cedera kepala dan gangguan mental organik.
d. Lithium efektif untuk agresif karena manik.
e. Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan.

9
2. Keperawatan
Menurut Yosep ( 2007 ) perawat dapat mengimplementasikan berbagai cara
untuk
mencegah dan mengelola perilaku agresif melaui rentang intervensi
keperawatan.

Strategi preventif Strategi antisipatif Strategi


pengurungan

Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa


a. Strategi preventif
1) Kesadaran diri
Perawat harus menyadari bahwa stress yang dihadapinya dapat
mempengaruhi komunikasinya dengan klien. Bila perawat tersebut merasa
letih, cemas, marah atau apatis maka akan sulit baginya untuk membuat
klien tertarik. Oleh karenanya, bila perawat itu sendiri dipenuhi dengan
masalah, maka energy yang dimilikinya bagi klien menjadi berkurang.
Untuk mencegah semua itu, maka perawat harus terus menerus
meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan supervise dengan
memisahkan antara masalah pribadi dan masalah klien.
2) Pendidikan klien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikasi dan cara
mengekspresikan marah yang tepat.
3) Latihan asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki meliputi :
- Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang.
10
- Mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan.
- Sanggup melakukan komplain.
- Mengekspresikan penghargaan dengan tepat.
b. Strategi antisipatif
1) Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif :
bersikap tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan cara mengahakimi,
bicara netral dan dengan cara konkrit, tunjukkan rasa hormat, hindari
intensitas kontak mata langsung, demonstrasikan cara mengontrol situasi,
fasilitasi pembicaraan klien dan dengarkan klien, jangan terburu-buru
menginterpretasikan dan jangan buat janji yang tidak bisa ditepati.
2) Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti :
membaca, grup program yang dapat mengurangi perilaku klien yang tidak
sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya.
3) Tindakan perilaku
Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai perilaku yang
dapat diterina dan tidak dapat diterima serta konsekuensi yang didapat
bila kontrak dilanggar.
c. Strategi pengurungan
1) Managemen krisis
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasi, maka diperlukan intervensi
yang lebih aktif.
2) Seclusion merupakan tindakan keperawatan yang terakhir dengan
menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar
atas kemauannya sendiri dan dipisahkan dengan pasien lain.
3) Restrains adalah pengekangan fisik dengan menggunakan alat manual
untuk membatasi gerakan fisik pasien menggunakan manset, sprei
pengekang.

8. Pengkajian
Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis, sosial dan
spritual pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula
11
berupa faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan
kemampuan yang dimiliki klien.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal pengkajian, tanggal dirawat,
No. MR.
b. Faktor Predisposisi
- Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil
dalam pengobatan.
- Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam
keluarga.
- Klien dengan perilaku kekerasan bisa herediter.
- Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat mengganggu
c. Fisik
Pada saat marah tensi biasanya meningkat.
d. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya ada terlihat ada anggota keluarga yang
mengalami kelainan jiwa, pada komunikasi klien terganggu begitupun
dengan pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri : Klien biasanya mengeluh dengan keadaan
tubuhnya, ada bagian tubuh yang disukai dan tidak
disukai.
b) Identitas klien : Klien biasanya tidak puas dengan status dan
posisinya baik sebelum maupun ketika dirawat tapi
klien biasanya puas dengan statusnya sebagai laki-
laki / perempuan.
c) Peran diri : Klien menyadari peran sebelum sakit, saat di rawat
peran klien terganggu.
d) Harga diri : Klien biasanya memiliki harga diri rendah
sehubungan dengan sakitnya.
e) Ideal diri : Klien biasanya memiliki harapan masa lalu yang
tidak terpenuhi.
12
3) Hubungan Sosial
Klien kurang dihargai di keluarga dan lingkungan.
4) Spritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya klien dengan sakit jiwa dipandang tidak sesuai dengan
norma dan budaya.
b) Kegiatan ibadah
Klien biasanya menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit
ibadah terganggu atau sangat berlebihan.
f. Status Mental
- Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak cocok / serasi dan
berubah dari biasanya.
- Pembicaraan : Pembicaraan cepat, keras
- Aktivitas motorik : Meningkat, klien biasanya terganggu dan gelisah
- Alam perasaan : Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari
faktor presipitasi misalnya : sedih dan putus asa.
- Afek : Afek klien biasanya sesuai
- Interaksi selama wawancara : Selama berinteraksi dapat dideteksi
sikap klien yang tampak bermusuhan dan mudah tersinggung.
- Persepsi : Klien dengan perilaku kekerasan biasanya tidak memiliki
kerusakan persepsi.
- Proses pikir : Biasanya klien mampu mengorganisir dan menyusun
pembicaraan logis dan keheran.
- Isi Pikir : Keyakinan klien konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien.
- Tingkat Kesadaran : Biasanya klien tidak mengalami disorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu.
- Memori : Tidak terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun
jangka pendek klien mampu mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
- Tingkat konsentrasi dan berhitung : Klien tidak mengalami gangguan
konsentrasi dan berhitung
13
- Kemampuan penilaian : Klien mampu dalam mengambil keputusan
jika menghadapi masalah yang ringan klien mampu menilai dan
mengevaluasi diri sendiri.
- Daya tilik diri : Klien biasanya mengingkari penyakit yang diderita dan
tidak memerlukan pertolongan, klien juga sering menyalahkan hal-hal
diluar dirinya.
9. Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan

10. Pembagian Strategi Pelaksanaan Komunikasi Perilaku Kekerasan


Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

SP 1 SP 1
1. Identifikasi penyebab, tanda dan 1. Diskusikan masalah yang dirasakan
gejala, PK yang dilakukan, akibat dalam merawat klien.
PK. 2. Jelaskan pengertian, tanda dan
2. Jelaskan cara mengontrol PK: fisik, gejala, dan proses terjadinya PK
obat, verbal, spiritual. (gunakan booklet).
3. Latih cara mengontrol PK fisik 1 3. Jelaskan cara merawat PK.
(tarik nafas dalam) dan 2 (pukul 4. Latih 1 cara merawat PK: fisik 1, 2.
kasur atau bantal). 5. Anjurkan membantu pasien sesuai
4. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberikan pujian.
untuk latihan fisik.
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
2. Beri pujian. merawat/ melatih pasien fisik 1, 2.
2. Latih cara mengontrol PK dengan Beri pujian.
obat (jelaskan 6 benar: jenis, guna, 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan
dosis, frekuensi, cara, kontinuitas obat.
minum obat). 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
3. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberi pujian.
untuk latihan fisik dan minum

14
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

obat.
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
2, dan obat. Beri pujian. merawat/ melatih pasien fisik 1, 2
2. Latih cara mengontrol PK secara dan memberikan obat. Beri pujian.
verbal (3 cara yaitu: 2. Latih cara membimbing
mengungkapkan, meminta, verbal/bicara.
menolak dengan benar). 3. Latih cara membimbing kegiatan
3. Masukkan pada jadual kegiatan spiritual.
untuk latihan fisik minum obat, 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
dan verbal. jadual dan memberi pujian.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
2, obat dan verbal. Beri pujian. merawat/ melatih pasien fisik 1, 2
2. Latih cara mengontrol PK secara dan memberikan obat, verbal dan
spiritual (2 kegiatan). spiritual. Beri pujian.
3. Masukkan pada jadual kegiatan 2. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
untuk latihan fisik, minum obat, kambuh, rujukan.
verbal dan spiritual. 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadual dan memberi pujian.

SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1,2, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
minum obat, verbal dan spiritual merawat/ melatih pasien fisik 1, 2
dan berikan pujian. dan memberikan obat, verbal dan
2. Nilai kemampuan yang telah spiritual dan follow up. Beri pujian.
mandiri. 2. Nilai kemampuan merawat pasien.
3. Nilai apakahPK terkontrol. 3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke PKM.

15
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta:
Indomedia Pustaka.

Herdman, T. H. (2012). Diagnose Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta:


EGC.

Keliat, B. A., & Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.

Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia.

Stuart, G. W. (2006). Buku saku keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Stuart, G. W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.). Jakarta: EGC.

Stuart, G. W. (2013). Buku saku keperawatan jiwa.6 thediton. St. Louis: Mosby Year
Book.

Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Reflika Aditama.

Yusuf, Fitrasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

16
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH (HDR)

1. Definisi
Menurut Depkes RI harga diri rendah merupakan perasaan negatif
terhadap dirinya sendiri termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga,
tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Harga
diri rendah adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negative dan dipertahankan dalam waktu yang lama (Azizah, Zainuri, &
Akbar, 2016a).
Herdman (2012), mengatakan bahwa, harga diri rendah kronik
merupakan evaluasi diri negatif yang berkepanjangan/ perasaan tentang diri
atau kemampuan diri Harga diri rendah yang berkepanjangan termasuk
kondisi tidak sehat mental karena dapat menyebabkan berbagai masalah
kesehatan lain, terutama kesehatan jiwa (Herdman, 2012).
Harga diri rendah muncul akibat dari penilaian internal individu
maupun penilaian eksternal yang negatif. Penilaian internal adalah penilaian
yang berasal dari diri individu sendiri, sedangkan penilaian eksternal
merupakan penilaian dari luar diri individu (misalnya lingkungan) yang
mempengaruhi penilaian individu tersebut.

2. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah


Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan
ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan
kesalahan,kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seorang yang
penting dan berharga. Gangguan harga diri dapat terjadi secara:
a) Situasional Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus dioperasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada
pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privasi
yang kurang diperhatikan seperti pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan
17
struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai.
b) MaturasionalAda beberapa factor yang berhubungan dengan maturasi
adalah:
- Bayi/Usia bermain/Pra sekolah Berhubungan dengan kurang
stimulasi atau kedekatan ,perpisahan dengan
- orang tua, evaluasi negative dari orang tua, tidak adekuat
dukungan orang tua , ketidak mampuan mempercayai orang
terdekat.
- Usia sekolah; Berhubungan dengan kegagalan mencapai tingakat
atau peringkat objektif, kehilangan kelompok sebaya, umpan
balik negative berulang.
- Remaja Pada usia remaja penyebab harga diri rendah ,jenis
kelamin, gangguan hubungan teman sebagai perubahan dalam
penampilan,masalah-masalah pelajaran kehilangan orang terdekat.
- Usia sebaya; Berhubungan dengan perubahan yang berkaitan
dengan penuaan.
- Lansia; Berhubungan dengan kehilangan (orang, financial,
pensiun)
c) Kronik
Yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berpikir yang
negative. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi
negative terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang
maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik
yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa (Azizah et al., 2016a).
3. Etiologi
Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan
menuntut lebih dari kemampuanya.
a) Faktor Predisposisi
- Faktor biologis
1) Kerusakan lobus frontal
2) Kerusakan hipotalamus
18
3) Kerusakan system limbic
4) Kerusakan neurotransmitterb.
- Faktor psikologis
1) penolakan orang tua
2) harapan orang tua tidak realistis
3) orang tua yang tidak percaya pada anak
4) tekanan teman sebaya
5) kurang reward system6. dampak penyakit kronis
- Faktor sosial
1) Kemiskinan
2) Terisolasi dari lingkungan
3) Interaksi kurang baik dalam keluarga
- Faktor cultural
1) Tuntutan peran
2) Perubahan kultur
b) Faktor Presipitasi
Adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan
penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produkivitas yang
menurun. Secara umum gangguan konsep diri harga diri rendah ini
dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara situasional
misalnya karena trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus
di operasi, kecelakaan, perkosaan atau di penjara termasuk di rawat di
rumah sakit bisa menyebabkan harga diri, harga diri rendah di
sebabkan karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang
membuat klien tidak nyaman.
Penyebab lainnya dalah harapan fungsi tubuh yang tidak
tercapai serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai
klien dan keluarga. Harga diri rendah kronik biasanya di rasakan klien
sebelum sakit atau sebelum di rawat klien sudah memilki pikiran
negatif dan meningkat saat di rawat. Dipengaruhi oleh factor Internal
dan eksternal (Azizah et al., 2016).

19
4. Rentang Respon
Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung
adaptif dan ujung maladaptif, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, harga
diri rendah, kekacauan identitas, dan depersonalisasi (Yusuf et al., 2015).

Respon Respon
Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


diri positif rendah identitas

Aktualisasi diri :Pernyataan diri tentang konsep diri yang (+) dengan latar
belakang pengalaman nyata yg sukses dan diterima
Konsep diri positif :Konsep diri (+) apabila individu mempunyai
pengalaman yang positif dalam beraktualisasi sosial
Harga diri rendah :Transisi antara respon konsep diri adaptif dengan
konsep diri maladaptif. Merasa diri tidak berharga, terhina dan terhempas
dalam kehidupan, selalu gagal dan salah
Kerancuan identitas :Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis
Depersonalisasi :Perasaan yg tidak realistis dan asing thd diri sendiri yang
berhub. dengan kecemasan, kepanikan, serta tidak dapat membedakan
dirinya dg. orang lain
5. Tanda dan gejala
Tanda yang menunjukan harga diri rendah menurut Carpenito,L.J (2003,
Dalam Azizah et al., 2016):
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit. misalnya: malu dan sedih karena rambut
menjadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker.
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya: ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/mengejek dan mengkritik
diri sendiri.

20
3) Merendahkan martabat. Misalnya: saya tidak bisa,saya tidak mampu,
saya orang bodoh dan tidak tau apa-apa.
4) Percaya diri kurang. Misalnya: klien sukar mengambil keputusan,
misalnya tentang memilih alternatif tindakan.
5) Ekspresi malu atau merasa bersalah dan khawatir, menolak diri
sendiri.
6) Perasaan tidak mampu.
7) Pandangan hidup yang pesimistis.
8) Tidak berani menatap lawan bicara.
9) Lebih banyak menunduk.
10) Penolakan terhadap kemampuan diri.
11) Kurang memperhatikan perawatan diri (Kuku panjang dan kotor,
rambut panjang dan lusuh, gigi kuning, kulit kotor).
12) Data Obyektif
a) Produktivitas menurun.
b) Perilaku distruktif pada diri sendiri.
c) Perilaku distruktif pada orang lain.
d) Penyalahgunaan zat
e) Menarik diri dari hubungan sosial
f) Ekspresi wajah malu dan merasa bersalah.
g) Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)
h) Tampak mudah tersinggung/mudah marah (Azizah et al., 2016a).

21
6. Pohon Masalah

Risiko mencederai diri sendiri,


orang lain dan lingkungan;
menarik diri

Harga diri rendah

Marah pada diri sendiri, berpikiran negatif pada diri sendiri

- Ketegangan peran
- Trauma
- Penolakan orang tua, harapan orang tua
yg tdk realistis, kegagalan berulang,
kurangnya tg jwb diri, tgt pada org
lain, ideal diri tdk realistis,
stereotipe sex, keb. peran kerja,
harapan peran dlm budaya, ketidak
percayaan org tua, tekanan teman
sebaya, perubahan struktur sosial.

7. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah situasional/kronik.

8. Proses Keperawatan Klien Harga Diri Rendah


1) Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian
terdiri dari pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah
klien. Data yang dikumpulkan melalui data biologis , psikologis, social dan
spiritual. Adapun isi dari pengkajian tersebut adalah:
a) Identitas klien
Melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang: nama
mahasiswa, nama panggilan, nama klien, nama panggilan klien, tujuan,
waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan. Tanyakan dan
22
catat usia klien dan No RM, tanggal pengkajian dan sumber data yang
didapat.
b) Alasan masuk
Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang, atau dirawat di
rumah sakit, apakah sudah tahu penyakit sebelumnya, apa yang sudah
dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah ini. Pada klien dengan
harga diri rendah klien menyendiri, tidak mampu menatap lawan bicara,
merasa tidak mampu.
c) Faktor predisposisi
Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana
hasil pengobatan sebelumnya, apakah pernah melakukan atau
mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal.Menanyakan kepada
klien dan keluarga apakah ada yang mengalami gangguan jiwa,
menanyakan kepada klien tentang pengalaman yang tidak
menyenangkan.Pada klien dengan perilaku kekerasan faktor
predisposisi, faktor presipitasi klien dari pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan, adanya riwayat anggota keluarga yang gangguan
jiwa dan adanya riwayat penganiayaan.Faktor Predisposisi terjadinya
harga diri rendah adalah penolakan orangtua yang tidak realistis,
kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
d) Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan
apakah ada keluhan fisik yang dirasakan klien. Memeriksa apakah ada
kekurangan pada kondisi fisiknya. Pada klien harga diri rendah terjadi
peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi nadi.
e) Psikososial
1. Genogram
Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola
komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh. Penelusuran
genetic yang menyebabkan/menurunkan gangguan jiwa merupakan
hal yang sulit dilakukan hingga saat ini.
23
2. Konsep diri: gambaran diri, identitas diri, fungsi peran, ideal diri,
harga diri
3. Hubungan Sosial
4. Spiritual
5. Status mental
6. Penampilan
Pada klien dengan harga diri rendah klien kurang memperhatikan
perawatan diri, klien dengan harga diri rendah rambut tampak kotor
dan lusuh, kuku panjang dan hitam, kulit kotor dan gigi kuning.
7. Pembicaraan
Klien dengan harga diri rendah bicaranya cenderung gagap, sering
terhenti/bloking, lambat, membisu, menghindar, dan tidak mampu
memulai pembicaraan
8. Aktivitas motorik
Pada klien dengan harga diri rendah klien lebih sering menunduk,
tidak berani menatap lawan bicara, dan merasa malu.
9. Afek dan Emosi
Klien cederung datar (tidak ada perubahan roman muka pada saat
ada stimulus yang menyenangkan atau menyedihkan).
10. Interaksi selama wawancara
Pada klien dengan harga diri rendah klien kontak kurang (tidak mau
menatap lawan bicara).
11. Proses pikir: arus pikir, bentuk pikir, isi pikir
12. Tingkat kesadaran
Klien dengan harga diri rendah tingkat kesadarannya
composmentis, namun ada gangguan orientasi terhadap orang lain.
13. Memori
Klien dengan harga diri rendah mampu mengingat memori jangka
panjang ataupun jangka pendek
14. Tingkat konsentrasi
Tingkat konsentrasi klien harga diri rendah menurun karena
pemikiran dirinya sendiri yang merasa tidak mampu.
15. Kemampuan Penilain/Pengambilan keputusan
24
Klien harga diri rendah sulit mementukan tujuan dan mengambil
keputusan karena selalu terbayang ketidakmampuan untuk dirinya
sendiri.
16. Daya Tilik: Mengingkari penyakit yang diderita.
f) Kebutuhan Perencanaan Pulang
1. Kemampuan klien memenuhi kebutuhan
2. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
g) Mekanisme Koping
Bagaimana dan jelaskan reaksi klien bila menghadapi suatu
permasalahan, apakah menggunakan cara-cara yang adaptif atau
maladaptif(Azizah et al., 2016a)

2) Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah situasional/kronik

3) Perencanaan
 Tujuan untuk Pasien:
– Dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
– Dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
– Dapat memilih kegiatan sesuai kemampuan
– Dapat melatih kegiatan yang dipilih
– Dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatih
 Tujuan untuk keluarga :
– Dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan yg dimiliki
– Memfasilitasi aktifitas pasien yang sesuai kemampuan
– Memotivasi pasien u/ melakukan kegiatan sesuai yang sudah
dilatihkan
– Menilai kemampuan perkembangan perubahan kemampuan pasien
Kriteria Hasil :
 Pasien :
– Dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif dirinya
– Dapat menyusun rencana kegiatan/ aktivitas yang akan dilakukannya

25
– Dapat melakukan kegiatan sesuai rencananya
 Keluarga :
– Keluarga mendukung aktivitas pasien
– Keluarga dapat memberikan pujian/reward terhadap pasien

Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk keluarga


SP 1 SP 1
1. Identifikasi kemampuan melakukan 1. Diskusikan masalah yang dirasakan
kegiatan dan aspek positif pasien (buat dalam merawat klien.
daftar kegiatan) 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala,
2. Bantu pasien menilai kegiatan yang dan proses terjadinya harga diri rendah
dapat dilakukan saat ini (pilih dari (gunakan booklet).
daftar kegiatan) : buat daftar kegiatan 3. Jelaskan cara merawat harga diri rendah
yang dapat dilakukan saat ini terutama memberikan pujian semua hal
3. Bantu pasien memilih salah satu yang positif pada pasien.
kegiatan yang dapat dilakukan saat ini 4. Latih keluarga memberi tanggung jawab
untuk dilatih kegiatan yang dipilih pasien: bimbing
4. Latih kegiatan yang dipilih (alat dan dan beri pujian.
cara melakukannya) 5. Anjurkan membantu pasien sesuai

5. Masukkan pada jadual kegiatan untuk jadual dan cara memberikan pujian.

latihan dua kali per hari


SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan pertama yang dipilih 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
dan berikan pujian. membimbing pasien melaksanakan
2. Bantu pasien memilih kegiatan kedua kegiatan kebersihan diri, beri pujian.
yang akan dilatih 2. Bersama keluarga melatih pasien dalam
3. Latih kegiatan kedua (alat dan cara) melakukan kegiatan kedua yang dipilih
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk pasien
latihan: dua kegiatan masing-masing 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
dua kali per hari jadual dan memberi pujian.
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan pertama dan kedua 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
yang telah dilatih dan berikan pujian. membimbing pasien melaksanakan
2. Bantu pasien memilih kegiatan ketiga kegiatan yang telah dilatih, beri pujian.
yang akan dilatih 2. Bersama keluarga melatih pasien dalam
26
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk keluarga
3. Latih kegiatan ketiga (alat dan cara) melakukan kegiatan ketiga yang dipilih
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk pasien
latihan: tiga kegiatan, masing-masing 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
dua kali per hari jadual dan memberi pujian.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan pertama, kedua, dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
ketiga yang telah dilatih dan berikan membimbing pasien melaksanakan
pujian. kegiatan, beri pujian.
2. Bantu pasien memilih kegiatan 2. Bersama keluarga melatih pasien dalam
keempat yang akan dilatih melakukan kegiatan keempat yang
3. Latih kegiatan keempat (alat dan cara) dipilih pasien
4. Masukkan pada jadual kegiatan untuk 3. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
latihan: empat kegiatan, masing- kambuh, rujukan,
masing dua kali per hari 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadual dan memberikan pujian.
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan dan berikan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
pujian. membimbing pasien melakukan
2. Latih kegiatan dilanjutkan sampai tak kegiatan yang dipilih oleh pasien, beri
terhingga. pujian.
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri. 2. Nilai kemampuan keluarga
4. Nilai apakah harga diri pasien membimbing pasien.
meningkat. 3. Nilai kemampuan keluarga melakukan
kontrol ke PKM.

27
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Herdman, T. H. (2012). Diagnose Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Yusuf, A., Fitryasari, R., Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.

28
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

1. Definisi
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan
koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh
diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh
diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan
pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat pasien
dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan tindakan bunuh
diri (Yusuf et al., 2015).
Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan
aktif seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Bunuh diri
adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri
(Videbeck, 2008).
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh
diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu
gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi
masalah (Azizah et al., 2016a).

2. Rentang respon

29
Keterangan:
a. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan,
yakin, dan kesadaran diri meningkat.
b. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang
yang masih normal dialami individu yang mengalami perkembangan
perilaku.
c. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti
perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam
rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang
menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
d. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk
melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh,
melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
e. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk mengakhiri kehidupan (Yusuf et al., 2015).

3. Jenis Bunuh Diri


Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan
individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam
keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan
untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan mereka yang
menikah.
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena indentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia
merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
30
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara
individu dan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan
norma-norma kelakuan yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan
tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan
padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya (Azizah et al., 2016a).

4. Tanda dan gejala


Menurut (Azizah, Zainuri, & Akbar, 2016b) tanda dan gejala bunuh diri
adalah:
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh).
6. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
obat dosis mematikan).
7. Status emosional (harapan,penolakan, cemas meningkat, panic, marah
dan mengasingkan diri).

5. Pengelompokan bunuh diri


1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak
karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa
saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan
percobaan bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan
seperti rasa bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga
mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan
harga diri rendah.
31
2) Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut.
Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak
disertai dengan percobaan bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien
belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan.
Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.
3) Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai
diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif
mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong
urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi (Yusuf et al.,
2015).
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
1. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang
ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak
akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara
non verbal.
2. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak
dicegah.
3. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri
akan terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya

6. Etiologi
Berdasarkan teori terdapat 3 penyebab terjadinya bunuh diri adalah sebagai
berikut (Azizah et al., 2016b):
a. Genetic dan teori biologi

32
Factor genetic mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada
keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko bunuh diri.

b. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu: Egoistik (orang
yang tidak terintegrasi pada kelompok social) , atruistik (Melakukan
suicide untuk kebaikan masyarakat) dan anomic (suicide karena kesulitan
dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
c. Teori psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri
merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.

Penyebab terjadinya bunuh diri, dari masing-masing golongan usia (Yusuf et al.,
2015):
a. Pada anak
- Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan
- Situasi keluarga yang kacau
- Perasaan tidak disayang atau selalu dikritik
- Gagal sekolah
- Takut atau dihina di sekolah
- Kehilangan orang yang dicintai
- Di hukum orang lain
b. Pada remaja
- Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
- Sulit mempertahankan hubungan interpersonal
- Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan
- Perasaan tidak dimengerti orang lain
- Kehilangan orang yang dicintai
- Keadaan fisik
- Masalah dengan orang tua
- Masalah seksual
33
c. Pada dewasa
- Self-ideal terlalu tinggi
- Cemas akan tugas akademik yang banyak
- Kegagalan akademik
- Kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua
- Kompetisi untuk sukses
d. Pada usia lanjut
- Perubahan status dari mandiri ke ketergantungan
- Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi
- Perasaan tidak berarti di masyarakat
- Kesepian dan isolasi sosial
- Kehilangan ganda (seperti pekerjaan , kesehatan, pasangan)
- Sumber hidup berkurang
7. Faktor penyebab
Penyebab bunuh diri berdasarkan proses terjadinya sebagai berikut (Azizah et
al., 2016b):
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat,
dan skizofrenia.
2) Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan,
atau bahkan perceraian.Kekuatan dukungan social sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih

34
dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5) Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti
serotonin, adrenalin, dan dopamine.Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG).

b. Faktor Presipitasi
Faktor PresipitasiPerilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress
berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa
kejadian hidup yang memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus
adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

c. Perilaku Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara
sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.Perilaku bunuh diri
berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun
budaya.Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong atau
bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri.Isolasi social
dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang
untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka
bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah
seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
35
d. Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression, dan magical thinking.Mekanisme pertahanan
diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping
alternatif.

4. Tahapan resiko bunuh diri


1. Suicide Ideation
Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah
metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien
pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan.
Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap
ini memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati
2. Suicide intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan
yang konkrit untuk melakukan bunuh diri
3. Suicide threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang
dalam, bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
4. Suicide gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan
pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya
tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri.Tindakan yang
dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak mematikan, Hal ini terjadi
karena individu memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak
berencana untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk
hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik
mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini
sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu di selesaikan.
5. Suicide attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu
ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang
36
mematikan .walaupun demikian banyak individu masih mengalami
ambivalen akan kehidupannya.
6. Suicide
Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri .hal ini telah didahului
oleh beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya.30% orang yang
berhasil melakukan bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri sebelumnya (Azizah et al., 2016b).

5. Pohon Masalah
Risiko bunuh diri

Harga diri rendah

Perilaku destruktif

Rasa percaya diri


rendah

Korban
kekerasan fisik

Sering di Stres berlebihan


salahkan

Kehilangan
Masa kecil tidak perkerjaan
menyenangkan

Faktor presipitasi
Faktor predisposisi

6. Diagnosis
Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah.

7. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien

37
a. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
b. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri,
maka Anda dapat melakukan tindakan berikut.
- Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke
tempat yang aman.
- Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas,
tali pinggang.
- Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat.
- Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan
melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
a. Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam
atau mencoba bunuh diri.
b. Tindakan
- Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan
pernah meninggalkan pasien sendirian.
- Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya di sekitar pasien.
- Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun
sendiri.
- Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur (Yusuf et al., 2015).

8. Pembagian Strategi Pelaksanaan Komunikasi Perilaku Kekerasan

Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk


Pasien keluarga

38
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

SP 1 SP 1

1. Identifikasi beratnya masalah resiko 1. Diskusikan masalah yang dirasakan


bunuh diri: isyarat, ancaman, dalam merawat klien.
percobaan (jika percobaan segera 2. Jelaskan pengertian, tanda dan
rujuk). gejala, dan proses terjadinya resiko
2. Identifikasi benda-benda berbahaya bunuh diri (gunakan booklet).
dan mengamankannya (lingkungan 3. Jelaskan cara merawat resiko bunuh
aman untuk pasien). diri.
3. Latihan cara mengendalikan diri 4. Latih cara memberikan pujian hal
dari dorongan bunuh diri: buat positif pasien, memberikan
daftar aspek positif dari diri sendiri, dukungan pencapaian masa depan.
latihan afirmasi/berpikir aspek Anjurkan membantu pasien sesuai
positif yang dimiliki. jadual dan memberikan pujian.
4. Masukkan pada jadual latihan
berpikir positif 5 kali per hari.
SP 2 SP 2

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


tentang diri sendiri. Beri pujian. memberikan pujian dan
Kaji ulang resiko bunuh diri. penghargaan atas keberhasilan dan
2. Latih cara mengendalikan diri dari aspek positif pasien. Beri pujian.
dorongan bunuh diri: buat daftar 2. Latih cara memberikan penghargaan
aspek positif keluarga dan pada pasien dan menciptakan
lingkungan, latih afirmasi/berpikir suasana positif dalam keluarga, tidak
aspek positif keluarga dan membicarakan keburukan anggota
lingkungan. keluarga.
3. Masukkan pada jadual latihan 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
berpikir positif tentang diri, jadual dan memberi pujian.
keluarga dan lingkungan.

39
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

SP 3 SP 3

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


tentang diri, keluarga dan memberikan pujian dan
lingkungan. Beri pujian. Kaji penghargaan pada pasien serta
resiko bunuh diri. menciptakan suasana positif dalam
2. Diskusikan harapan dan masa keluarga. Beri pujian.
depan. 2. Bersama keluarga berdiskusi dengan
3. Diskusikan cara mencapai harapan pasien tentang harapan masa depan
dan masa depan. serta langkah-langkah mencapainya.
4. Latih cara-cara mencapai harapan 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
dan masa depan secara bertahap jadwal dan memberi pujian.
(setahap demi setahap).
5. Masukkan pada jadual latihan
berpikir positif tentang diri,
keluarga dan lingkungan dan
tahapan kegiatan yang diplih.
SP 4 SP 4

1. Evaluasi kegiatan berpikir positif 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


tentang diri, keluarga dan memberikan pujian dan
lingkungan serta kegiatan yang penghargaan, menciptakan suasana
dipilih. Beri pujian. keluarga yang positif dan kegiatan
2. Latih tahap kedua kegiatan awal dalam mencapai harapan masa
mencapai masa depan. depan. Beri pujian.
3. Masukkan pada jadual kegiatan 2. Bersama keluarga berdiskusi tentang
latihan berpikir positif tentang diri, langkah dan kegiatan untuk
keluarga dan lingkungan serta mencapai harapan masa depan.
kegiatan yang diplih untuk 3. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
mencapai masa depan. kambuh, rujukan.
4. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadual dan memberi pujian.
40
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

SP 5 SP 5

1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


peningkatan positif diri, keluarga memberikan pujian, penghargaan,
dan lingkungandan berikan pujian. menciptakan suasana yang positif
2. Evaluasi tahapan kegiatan dan membimbing langkah-langkah
mencapai harapan masa depan. dalam mencapai harapan masa
3. Latih kegiatan harian. depan. Beri pujian.
4. Nilai kemampuan yang telah 2. Nilai kemampuan keluarga merawat
mandiri. pasien.
5. Nilai apakah resiko bunuh diri 3. Nilai kemampuan keluarga
teratasi. melakukan kontrol ke PKM.

41
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

42
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Definisi
Herdman (2012) mendefinisi defisit perawatan diri sebagai suatu
gangguan didalam melakukan aktifitas perawatan diri (kebersihan diri,
berhias, makan, toileting). Sedangkan perawatan diri merupakan salah satu
kemampuan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan
kondisi kesehatannya (Herdman, 2012).
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami
kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi
secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas,
dan penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu
masalah yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis
sering mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan
gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam
keluarga maupun masyarakat (Yusuf et al., 2015).

2. Jenis DPD
Kurang perawatan diri:
a. Mandi/kebersihan: Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri
b. Kurang perawatan diri: Mengenakan pakaian/berhias.Kurang perawatan
diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai
pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri: MakanKurang perawatan diri (makan) adalah
gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan
d. Kurang perawatan diri: ToiletingKurang perawatan diri (toileting) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
toileting sendiri (Azizah et al., 2016a).
43
3. Etiologi
Bagaimanakah seorang individu bisa mengalami masalah dalam perawatan
diri? Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabakan individu mengalami
deficit perawatan diri, yaitu:
a. Faktor prediposisi
- Biologis, seringkali defisit perawaan diri disebabkan karena adanya
penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan adanya faktor herediter yaitu ada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
- Psikologis, factor perkembangan memegang peranan yang tidak kalah
penting hal ini dikarenakan keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan individu sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
Pasien gangguan jiwa mengalamai defisit perawatan diri dikarenakan
kemampuan realitas yang kurang sehingga menyebabkan pasien
tidakpeduli terhadap diri dan lingkungannya termasuk perawatan diri.
- Sosial. Kurangnya dukungan sosial dan situasi lingkungan
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam perawatan diri.
a. Faktor presipitasi
Faktor presiptasi yang dapat menimbulkan defisit perawatan diri adalah
penurunan motivasi, kerusakan kognitif atau persepsi, cemas, lelah, lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri (Nurhalimah, 2016).

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
- Fisik:· Badan bau, pakaian kotor.· Rambut dan kulit kotor.· Kuku panjang
dan kotor· Gigi kotor disertai mulut bau· penampilan tidak rapi
- Psikologis:· Malas, tidak ada inisiatif.· Menarik diri, isolasi diri.· Merasa tak
berdaya, rendah diri dan merasa hina.

44
- Sosial:· Interaksi kurang.· Kegiatan kurang· Tidak mampu berperilaku
sesuai norma.· Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang
tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri
Data yang biasa ditemukan dalam deficit perawatan diri adalah:
a. Data subyektif
- Pasien merasa lemah
- Malas untuk beraktivitas
- Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
- Rambut kotor, acak – acakan
- Badan dan pakaian kotor dan bau
- Mulut dan gigi bau.
- Kulit kusam dan kotor
- Kuku panjang dan tidak terawat
5. Rentang Respon Kognitif
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat
diri adalah
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
- Bina hubungan saling percaya.
- Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
- Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri
- Bantu klien merawat diri
- Ajarkan ketrampilan secara bertahap
- Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
- Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
- Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
- Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya,
kamar mandi yang dekat dan tertutup (Azizah et al., 2016a).

45
6. Pohon Masalah

Kebersihan diri tidak adekuat (BAB/BAK, Makan minum dan berdandan)

Defisit perawatan diri

Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri

Isolasi sosial

7. Diagnosis
Defisit perawatan diri kebersihan diri, makan, berdandan, dan BAK/BAB.

8. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan.
- Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.
- Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik.
- Pasien mampu melakukan makan dengan baik.d. Pasien mampu
melakukan BAB/BAK secara mandiri.
b. Tindakan keperawatan.
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri, Anda dapat
melakukan tahapan tindakan berikut.
- Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
- Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
- Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri.
- Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
2) Melatih pasien berdandan/berhias.
Anda sebagai perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien
laki-laki tentu harus dibedakan dengan wanita.
- Untuk pasien laki-laki latihan meliputi: a) berpakaian,b) menyisir
rambut,c) bercukur.

46
- Untuk pasien wanita, latihannya meliputi: a)berpakaian, b) menyisir
rambut, c) berhias.
3) Melatih pasien makan secara mandiri.
Untuk melatih makan pasien, Anda dapat melakukan tahapan sebagai
berikut.
- Menjelaskan cara mempersiapkan makan.
- Menjelaskan cara makan yang tertib.
- Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan.
- Praktik makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
4) Pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri.
Anda dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai
tahapan berikut.
- Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai.
- Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK.
- Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK.
Tindakan Keperawatan pada Keluarga
a. Tujuan
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kurang perawatan diri.

b. Tindakan keperawatan
Untuk memantau kemampuan pasien dalam melakukan cara
perawatan diri yang baik, maka Anda harus melakukan tindakan kepada
keluarga agar keluarga dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung
agar kemampuan pasien dalam perawatan dirinya meningkat.
Tindakan yang dapat Anda lakukan antara lain sebagai berikut.
- Diskusikan dengan keluarga tentang masalah yang dihadapi keluarga
dalam merawat pasien.
- Jelaskan pentingnya perawatan diri untuk mengurangi stigma.
- Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga perawatan diri pasien.

47
- Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan
membantu mengingatkan pasien dalam merawat diri (sesuai jadwal
yang telah disepakati).
- Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien
dalam merawat diri.
- Latih keluarga cara merawat pasien dengan defisit perawatan diri
(Yusuf et al., 2015).

9. Pembagian Strategi Pelaksanaan Komunikasi Defisit Perawatan Diri


Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
SP 1 SP 1
1. Identifikasi masalah perawatan diri: 1. Diskusikan masalah yang dirasakan
kebersihan diri, berdandan, dalam merawat pasien.
makan/minum, BAB/BAK. 2. Jelaskan pengertian, tanda dan
2. Jelaskan pentingnya kebersihan gejala, dan proses terjadinya defisit
diri. perawatan diri (gunakan booklet).
3. Jelaskan cara dan alat kebersihan 3. Jelaskan cara merawat defisit
diri. perawatan diri.
4. Latih cara menjaga kebersihan 4. Latih cara merawat kebersihan diri
diri:mandi dan ganti pakaian, sikat 5. Anjurkan membantu pasien sesuai
gigi, cuci rambut, potong kuku. jadual dan memberikan pujian.
5. Masukkan pada jadual kegiatan
untuk latihan mandi, sikat gigi (2
kali per hari), cuci rambut (2 kali
per minggu), potong kuku (1 kali
per minggu).

SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri. 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
Beri pujian. merawat/ melatih pasien kebersihan
2. Jelaskan cara dan alat untuk diri. Beri pujian.

48
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
berdandan. 2. Bimbing keluarga membantu pasien
3. Latih cara berdandan setelah berdandan.
kebersihan diri: sisiran, rias muka 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk perempuan, sisiran, cukuran jadual dan memberi pujian.
untuk pria.
4. Masukkan pada jadual kegiatan
untuk kebersihan diri dan
berdandan.

SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
dan berdandan. Beri pujian. merawat/ melatih pasien kebersihan
2. Jelaskan cara dan alat makan dan diri dan berdandan. Beri pujian.
minum. 2. Bimbing keluarga membantu makan
3. Latih cara makan dan minum yang dan minum pasien.
baik. 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
4. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberi pujian.
untuk latihan kebersihan diri,
berdandan dan makan dan minum
yang baik.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berdandan dan makan dan minum. merawat/ melatih pasien kebersihan
Beri pujian. diri, berdandan, makan dan minum.
2. Jelaskan cara BAB dan BAK yang Beri pujian.
baik. 2. Bimbing keluarga merawat BAB dan
3. Latih BAB dan BAK yang baik. BAK pasien.
4. Masukkan pada jadual kegiatan 3. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
untuk latihan kebersihan diri, kambuh, rujukan.
berdandan dan makan dan minum 4. Anjurkan membantu pasien sesuai

49
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
yang baik, BAB dan BAK. jadual dan memberi pujian.
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan perawatan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
diri: kebersihan diri, berdandan, merawat/ melatih pasien kebersihan
makan dan minum, BAB dan diri, berdandan, makan dan minum,
BAK. Beri pujian. BAB dan BAK. Beri pujian.
2. Latih kegiatan harian. 2. Nilai kemampuan merawat pasien.
3. Nilai kemampuan yang telah 3. Nilai kemampuan keluarga
mandiri. melakukan kontrol ke PKM.
4. Nilai apakah perawatan diri telah
baik.

50
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika

51
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

1. Definisi
Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan
hubungan dengan orang lain. Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang
individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Nurhalimah, 2016).
Hubungan yang sehat dapat digambarkan dengan adanya komunikasi yang
terbuka, mau menerima orang lain, dan adanya rasa empati. Pemutusan hubungan
interpersonal berkaitan erat dengan ketidakpuasan individu dalam proses
hubungan yang disebabkan oleh kurang terlibatnya dalam proses hubungan dan
respons lingkungan yang negatif. Hal tersebut akan memicu rasa tidak percaya diri
dan keinginan untuk menghindar dari orang lain (Yusuf et al., 2015).

2. Etiologi
Isolasi sosial menarik diri sering disebabkan oleh karena kurangnya rasa
percaya pada orang lain, perasaan panik, regresi ke tahap perkembangan
sebelumnya, waham, sukar berinteraksi dimasa lampau, perkembangan ego yang
lemah serta represi rasa takut. Menurut Stuart & Sundeen, Isolasi sosial
disebabkan oleh gangguan konsep diri rendah.
a) Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergantung dari pengalaman
selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap tumbuh kembang memilki
tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karna apabila tugas
perkembangan ini tidak terpenuhi akan menghambat perkembangan
selanjutnya, kurang stimulasi kasih sayang,perhatian dan kehangatan dari
ibu (pengasuh) pada bayi akan membari rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya.

52
2) Faktor biologi Genetik adalah salah satu faktor pendukung ganguan jiwa,
faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptive ada
bukri terdahulu tentang terlibatnya neurotransmitter dalam perkembangan
ganguan ini namun tahap masih diperlukan penelitian lebih lanjut
3) Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukung terjadinya ganguan
dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya angota keluarga,
yang tidak produktif, diasingkan dari orang lain.
4) Faktor komunikasi dalam keluarga
Pola komunikasai dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang kedalam
ganguan berhubungan bila keluarga hanya mengkounikasikan hal-hal yang
negatif akan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.
b) Faktor presipitasi
Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan indifidu
untuk brhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas (Azizah et al.,
2016a).
Ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak. Faktor lainnya pengalaman abuse dalam keluarga. Penerapan
aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan
pasien dan konflik antar masyarakat.Selain itu Pada pasienyang mengalami
isolasi sosial, dapat ditemukan adanya pengalaman negatif pasienyang tidak
menyenangkan terhadap gambaran dirinya, ketidakjelasan atau berlebihnya
peran yang dimiliki serta mengalami krisis identitas.Pengalaman kegagalan yang
berulang dalam mencapai harapan atau cita-cita, serta kurangnya penghargaan
baik dari diri sendiri maupun lingkungan. Faktor-faktor diatas, menyebabkan
gangguan dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, yang pada akhirnya
menjadi masalah isolasi sosial (Nurhalimah, 2016).
3. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

-Menyendiri -Menarik diri -Merasa sunyi


-Otonomi -Manipulasi 53
-Eksploitasi
-Bekerjasama -Tergantung -Menarik diri
-Interdependen -Curiga -Paranoid
Berdasarkan gambar rentang respon sosial di atas, menarik diri termasuk dalam
transisi antara respon adaptif dengan maladaptif sehingga individu cenderung
berfikir kearah negatif (Yusuf et al., 2015).
1. Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultural
dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal.
a. Menyendiri (Solitude)
Respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengevaluasi
diri dan menentukan langkah berikutnya.
b. Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran
dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerjasama (Mutuality)
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut
mampu untuk saling memberi dan menerima, merupakan kemampuan
individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
d. Interdependen
Kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal
2. Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu
tempat.
a. Menarik diri
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain, merupakan gangguan yang terjadi apabila
seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk
mencari ketenangan sementara waktu.
b. Ketergantungan (Dependen)
Terjadi bila individu gagal mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses sehinggan tergantung dengan
orang lain.
54
c. Curiga
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
d. Manipulasi
Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu, hubungan
terpusat pada masalah pengendalian dan berorientasi pada diri sendiri atau
pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain sehingga tidak dapat
membina hubungan sosial secara mendalam.
e. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak.
f. Narcissisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah
jika orang lain tidak mendukung.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala isolasi sosial dapat dinilai dari ungkapan pasienyang
menunjukkan penilaian negatif tentang hubungan sosial dan didukung dengan
data hasil observasi (Nurhalimah, 2016).
a) Data subjektif: Pasienmengungkapkan tentang
1) Perasaan sepi
2) Perasaan tidak aman
3) Perasan bosan dan waktu terasa lambat
4) Ketidakmampun berkonsentrasi
5) Perasaan ditolak
b) Data Objektif:
1) Banyak diam
2) Tidak mau bicara
3) Menyendiri
4) Tidak mau berinteraksi
5) Tampak sedih
6) Ekspresi datar dan dangkal
7) Kontak mata kurang
55
5. Proses Keperawatan
1) Pengkajian pasien isolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara dan
observasi kepada pasiendan keluarga. Tanda dan gejala isolasi sosial dapat
ditemukan dengan wawancara, melelui bentuk pertanyaan sebagai berikut:
- Bagaimana perasaan Anda saat berinteraksi dengan orang lain?
- Bagaimana perasaan Anda ketika berhubungan dengan orang lain? Apa
yang Anda rasakan? Apakah Anda merasa nyaman ?
- Bagaimana penilaian Anda terhadap orang-orang di sekeliling Anda
(keluarga atau tetangga)?
- Apakah Anda mempunyai anggota keluarga atau teman terdekat? Bila
punya siapa anggota keluarga dan teman dekatnya itu?
- Adakah anggota keluarga atau teman yang tidak dekat dengan Anda? Bila
punya siapa anggota keluarga dan teman yang tidak dekatnya itu?
- Apa yang membuat Anda tidak dekat dengan orang tersebut?
Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan melalui observasi adalah
sebagai berikut:
- Pasien banyak diam dan tidak mau bicara
- Pasien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat
- Pasien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
- Kontak mata kurang (Nurhalimah, 2016).

56
2) Pohon Masalah

Defisit Perawatan Diri (DPD) Halusinasi

Isolasi Sosial: Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri: HDR

Mekanisme Koping Tidak Efektif

Faktor predisposisi: Faktor presipitasi:

Kegagalan pada proses Perpisahan dengan orang


tumbuh kembang terdekat

6. Penatalaksanaan

Terapi Modalitas

- Terapi individual
Dengan terapi individual, perawat menjalin hubungan saling percaya
dengan klien agar tercipta rasa trust kepada perawat. Sehingga, klien
dapat dengan leluasa menceritakan semua yang ia rasakan, dengan
demikian klien merasa aman, nyaman, klien dapat mengembangkan
kemampuannya dalam menyelesaikan konflik, meredakan penderitaan
emosional, dan klien dapat memenuhi kebutuhan dirinya serta
mempermudah proses asuhan keperawatan jika sudah terjalin rasa saling
percaya klien terhadap perawat. Terapi individual untuk TUK 1,2,3,4,5.

57
- Terapi kognitif
Karena klien mempunyai persepsi dan pemikiran yang negatif/salah,
diperlukan terapi kognitif untuk merubah hal tersebut. Sehingga,
diharapkan dengan terapi kognitif persepsi dan pemikiran klien yang
negatif berubah menjadi positif/baik, klien juga mampu
mempertimbangkan stressor, mengidentifikasi pola berpikir, persepsi dan
keyakinan yang tidak baik. Terapi kognitif untuk TUK 2,3.
- Terapi kelompok
Karena klien cenderung menarik diri dan tidak bersosialisasi, diperlukan
terapi kelompok agar klien dapat berinteraksi dengan orang lain seperti
sebelum klien mengalami gangguan dapat bersosialisasi. Perawat dapat
berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur, membantu anggota
kelompok meningkatkan kesadaran diri (Azizah et al., 2016a).
Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas yang cocok untuk klien isolasi sosial yaitu terapi
aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Hal tersebut dikarenakan klien sering
menyendiri (menghindar dari orang lain), komunikasi berkurang (bicara
apabila ditanya, jawaban singkat), berdiam diri di kamar dalam posisi
meringkuk, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, wajah tampak sedih dan
lebih sering menunduk yang menunjukkan bahwa klien mengalami masalah
dalam hubungan sosial (isolasi sosial). Oleh karena itu, terapi aktivitas
kelompok sosialisasi (TAKS) cocok untuk memfasilitasi kemampuan klien
dengan masalah hubungan sosial agar klien dapat bersosialisasi kembali
dengan orang lain maupun lingkungannya serta dapat meningkatkan
hubungan interpersonal dan kelompok. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi
(TAKS) dilakukan dalam 7 sesi dengan indikasi klien menarik diri yang sudah
sampai pada tahap mampu berinteraksi dalam kelompok kecil dan sehat
secara fisik.

- Sesi 1: Kemampuan memperkenalkan diri.

- Sesi 2: Kemampuan berkenalan.

- Sesi 3: Kemampuan bercakap-cakap.

- Sesi 4: Kemampuan bercakap-cakap topik tertentu.


58
- Sesi 5: Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadif.

- Sesi 6: Kemampuan bekerjasama.

- Sesi 7: Evaluasi kemampuan sosialisasi (Azizah et al., 2016a).

6. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Isolasi Sosial


Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
SP 1 SP 1
1. Identifikasi penyebab isolasi sosial, 1. Diskusikan masalah yang dirasakan
siapa yang serumah, siapa yang dekat, dalam merawat pasien.
yang tidak dekat, dan apa sebabnya. 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala,
2. Keuntungan punya teman dan dan proses terjadinya isolasi sosial
bercakap-cakap. (gunakan booklet).
3. Kerugian tidak punya teman dan tidak 3. Jelaskan cara merawat isolasi sosial.
bercakap-cakap. 4. Latih cara merawat: bercakap-cakap
4. Latih cara bercakap-cakap dengan saat melakukan kegiatan harian.
anggota keluarga dalam 1 kegiatan
harian.
5. Masukkan dalam jadwal untuk
kegiatan harian.
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan bercakap-cakap 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
(berapa orang). Beri pujian. merawat/melatih pasien bercakap-
2. Latih cara bercakap-cakap dengan 2 cakap saat melakukan kegiatan harian.
orang lain dalam 2 kegiatan harian. Beri pujian.
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk 2. Jelaskan kegiatan rumah tangga yang
latihan bercakap-cakap dengan 2-3 dapat melibatkan pasien bercakap-
orang: tetangga atau tamu, saat cakap (makan, solat bersama).
melakukan kegiatan harian. 3. Latih cara membimbing pasien
bercakap-cakap dan member pujian.
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan bercakap-cakap 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
(berapa orang) saat melakukan 2 merawat/melatih pasien bercakap-
kegiatan harian. Beri pujian. cakap saat melakukan kegiatan harian
2. Latih cara bercakap-cakap (4-5 orang) dan rumah tangga. Beri pujian.
dalam 2 kegiatan harian baru. 2. Jelaskan cara melatih pasien dalam
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk melakukan kegiatan sosial, seperti
latihan bercakap-cakap dengan 4-5 berbelanja, meminta sesuatu, dll.
orang saat melakukan 4 kegiatan 3. Latih keluarga mengajak pasien belanja.
harian.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan bercakap-cakap saat 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
melakukan 4 kegiatan harian. Beri merawat/melatih pasien bercakap-
pujian. cakap saat melakukan kegiatan harian,
2. Latih cara bercakap-cakap dalam RT, berbelanja. Beri pujian.
kegiatan sosial: belanja ke warung, 2. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
meminta sesuatu, menjawab kambuh dan rujukan.
pertanyaan. 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
59
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk jadual dan memberi pujian.
latihan bercakap-cakap dengan >5
orang, orang baru, saat melakukan
kegiatan harian, dan sosialisasi.
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan bercakap-cakap saat 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
melakukan kegiatan harian dan merawat/melatih pasien bercakap-
sosialisasi. Beri pujian. cakap saat melakukan kegiatan harian,
2. Latih kegiatan harian. RT, berbelanja, kegiatan lain dan follow
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri. up. Beri pujian.
4. Nilai apakah isolasi sosial teratasi. 2. Nilai kemampuan keluarga merawat
pasien.
3. Nilai kemampuan keluarga melakukan
control ke PKM.

60
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika

61
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

1. Definisi
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata.Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal
tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati, 2010).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada (Yusuf et al., 2015).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang berbicara (Azizah et al., 2016a).

2. Jenis Halusinasi
a. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara
tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau
mesin, barang, kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya
rangsang apapun (Maramis, 2005). Halusinasi pendengaran adalah mendengar

62
suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara
mengenai klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut
(Stuart, 2007).
b. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun,
bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.
c. Penghidung
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-
bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke,
tumor, kejang, atau dimensia.
d. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
e. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa
tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
f. Chenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine.
g. Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang menyebabkan halusinasi
adalah:
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural

63
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
- Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatanotak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
- Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan
dengan terjadinya skizofrenia.
- Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,
atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini (Yosep, 2009).
64
b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor (Stuart, 2007).

65
4. Karakteristik dan perilaku pasien halusinasi

(Yusuf et al., 2015)


5. Pohon Masalah

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain,


dan lingkungan.

Perubahan persepsi sensosi: halusinasi

Isolasi sosial: menarik diri.

66
6. Rentang Respon
Rentang Respon Neurobiologis
Respon Adaptif Respon
Maladaptif

- Pikiran logis - Kadang proses pikir - Gangguan proses


- Persepsi akurat tidak terganggu berpikir/waham
- Emosi konsisten - Ilusi - Halusinasi
dengan pengalaman - Emosi tidak stabil - Kesukaran proses
- Perilaku cocok - Perilaku tidak biasa emosi
- Hubungan sosial - Menarik diri. - Perilaku tidak
harmonis. terorganisasi
- Isolasi sosial

Rentang Respon Halusinasi (Yusuf et al., 2015)

Rentang respon neurobiologi pada gambar di atas dapat dijelaskan sebagai


berikut:
a. Pikiran logis
Yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
b. Persepsi akurat
Yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului
oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang
ada di dalam maupun di luar dirinya.
c. Emosi konsisten
Yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai banyak
komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan
budaya umum yang berlaku.
d. Hubungan sosial harmonis
Yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu dan
individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
e. Proses pikir kadang terganggu (ilusi)
67
Yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui alat panca indra
yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak
kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami
sebelumnya.
Emosi berlebihan atau kurang Yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar
berlebihan atau kurang.
f. Perilaku tidak sesuai atau biasa
Yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian
masalahnya tidak diterima oleh norma – norma social atau budaya umum
yang berlaku.
Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata
dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial
atau budaya umum yang berlaku.
g. Menarik diri
Yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain.
h. Isolasi social
Yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam
berinteraksi.
Berdasarkan gambar diketahui bahwa halusinasi merupakan respon
persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu
mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi
yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan, penghidu,
pengecapan, dan perabaan), sedangkan klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya
stimulus itu tidak ada.

7. Fase-fase Halusinasi
Adapun fase halusinasi menurut (Stuart, dan Laraia, 2005) adalah sebagai
berikut:

68
Stage I : disorder sleep Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari
lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak
Fase awal seseorang
masalah. Masalah semaki sulit karena berbagai stressor
sebelum muncul
terakumulasi. Support system klien kurang dan persepsi
halusinasi
terhadap masalah buruk. Sulit tidur berlangsung secara terus-
menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien mengungkapkan
lamunan-lamunan awa tersebut sebagai pemecahan masalahl

Stage II : comforting Pasien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan
moderate level of anxiety cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan, dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia
Halusinasi secara umum
beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia
ia terima sebagai sesuatu
kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap 2 ada
yang alami
kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinya.

Stage III : Condemning Pengalaman sensori pasien menjadi sering datang dan
severe level of anxiety mengalami bias, klien merasa tidak mampu lagi mengontrolnya
dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek
Secara umum halusinasi
yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain
sering mendatangi klien
dengan intensitas waktu yang lama

Stage IV : Controlling Klien mencoba melawan suara-suara atau sensory abnormal


Severe level of anxiety yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya
berakhir. Dari sini dimulai gangguan psycotic
Fungsi sensori menjadi
tidak relevan dengan
kenyataan

Stage V : Conquering Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam


panic level of anxiety dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat
menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari
Klien mengalami
halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4
gangguan dalam menilai
jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi
lingkungannya
terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat

69
8. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai
berikut (Nurhalimah, 2016):
1) Data Subyektif: Pasien mengatakan :

- Mendengar suara-suara atau kegaduhan.

- Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.

- Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

- Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat


hantu atau monster

- Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau


itu menyenangkan.

- Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses

- Merasa takut atau senang dengan halusinasinya


2) Data Obyektif

- Bicara atau tertawa sendiri

- Marah-marah tanpa sebab

- Mengarahkan telinga ke arah tertentu

- Menutup telinga

- Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu

- Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.

- Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.

- Menutup hidung.

- Sering meludah

- Muntah

- Menggaruk-garuk permukaan kulit

70
9. Penatalaksanaan
Menurut (Rahayu, 2016), penatalaksanaan medis pada pasien halusinasi
pendengaran dibagi menjadi dua:
a. Terapi Farmakologi
1. Haloperidol (HLP)
 Klasifikasi : antipskotik, neuroleptic, butirofenon
 Indikasi :Penatalaksanaan psikosis kronik danakut,
pengendalian hiperaktivitas dan masalah perilaku berat pada
anak-anak
 Mekanisme Kerja : Mekanisme kerja anti psikotik yang tepat
belum dipenuhi sepenuhnnya, tampak menekan susunan saraf
pusat pada tingkat subkortikal formasi retricular otak, mesenfalon
dan batang otak.
 Kontraindikasi : Hipersensivitas terhadap obat ini pasien
depresi SSP dan sumsum tulang belakang, kerusakan otak
subkortikal, penyakit Parkinsondan anak dibawah usia 3 tahun.
 Efek Samping : Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing,
mulut kering dan anoreksia.
2. Clorpromazin (CPZ)
 Klasifikasi : Sebagai antipsikotik, antiemetic.
 Indikasi : Penanganan gangguan psikotik seperti
skizofrenia, fase mania pada gangguan bipolar, gangguan
skizofrenia, ansietas dan agitasi, anak hiperaktif yang
menunjukkan aktivitas motorik berlebih.
 Mekanisme Kerja :Mekanisme kerja antipsikotik yang tepat
belum dipahami sepenuhnya, namun berhubungan dengan efek
anti dopaminergik. Antipsikotik dapat menyekat reseptor
dipamine postsinaps padaganglia basa, hipotalamus, system
limbic, batang otak dan medulla.
 Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini, pasien
koma atau depresisumsum tulang, penyakit Parkinson, insufiensi

71
hati, ginjal dan jantung, anak usia dibawah 6 tahun dan wanita
selama masa kehamilan dan laktasi.
 Efek Samping :Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing,
hipertensi, ortostatik, hipotensi, mulut kering, mual dan muntah.
3. Trihexypenidil ( THP )
 Klasifikasi : antiparkinson
 Indikasi : Segala penyakit Parkinson, gejala ekstra
pyramidal berkaitan dengan obat antiparkinson.
 Mekanisme Kerja : Mengorks ketidakseimbangan defisiensi
dopamine dan kelebihan asetilkolin dalam korpus striatum,
asetilkolin disekat oleh sinaps untuk menguragi efek kolinergik
berlebihan.
 Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini, glaucoma
sudut tertutup, hipertropi prostat pada anak dibawah usia 3
tahun.
 Efek Samping : Mengantuk, pusing, disorientasi, hipotensi,
mulut kering, mual dan muntah.

10. Rencana Intervensi Keperawatan


Tindakan Keperawatan Untuk Pasien
a. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi hal berikut.
- Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya.
- Pasien dapat mengontrol halusinasinya.
- Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal.
b. Tindakan keperawatan
- Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara berdiskusi dengan
pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul, dan respons pasien saat halusinasi muncul.
- Melatih pasien mengontrol halusinasi. Untuk membantu pasien agar
mampu mengontrol halusinasi, Anda dapat melatih pasien empat cara

72
yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi, yaitu sebagai
berikut.
• Menghardik halusinasi
• Bercakap-cakap dengan orang lain
• Melakukan aktivitas yang terjadwal
• Menggunakan obat secara teratur (Yusuf et al., 2015).
Tindakan Keperawatan Untuk Keluarga
a. Tujuan
- Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit
maupun di rumah.
- Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.
b. Tindakan keperawatan.
- Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
- Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses
terjadinya halusinasi, serta cara merawat pasien halusinasi.
- Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara
merawat pasien dengan halusinasi langsung di hadapan pasien.
- Buat perencanaan pulang dengan keluarga (Yusuf et al., 2015).

11. Pembagian Strategi Pelaksanaan Komunikasi Halusinasi


Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

SP 1 SP 1

1. Identifikasi halusinasi: isi, 1. Diskusikan masalah yang dirasakan


frekuensi, waktu terjadi, situasi dalam merawat pasien.
pencetus, perasaan, respon. 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala,
2. Jelaskan cara mengontrol dan proses terjadinya halusinasi
halusinasi: hardik, obat, bercakap- (gunakan booklet).
cakap, melakukan kegiatan. 3. Jelaskan cara merawat halusinasi.
3. Latih cara mengontrol halusinasi 4. Latih cara merawat halusinasi: hardik.
dengan menghardik. 5. Anjurkan membantu pasien sesuai
4. Masukkan pada jadwal kegiatan jadual dan member pujian.
untuk latihan menghardik.

73
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

SP 2 SP 2

1. Evaluasi kegiatan menghardik. 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


Beri pujian. merawat/melatih pasien menghardik.
2. Latih cara mengontrol halusinasi Beri pujian.
dengan obat (jelaskan 6 benar: 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan
jenis, guna, dosis, frekuensi, cara, obat.
kontinuitas minum obat). 3. Latih cara memberikan/membimbing
3. Masukkan pada jadual kegiatan pasien minum obat.
untuk latihan menghardik dan 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
minum obat. jadual dan memberi pujian.

SP 3 SP 3

1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


menghardik dan minum obat. merawat/melatih pasien menghardik
Beri pujian. dan memberikan obat. Beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi 2. Jelaskan cara bercakap-cakap dan
dengan bercakap-cakap saat melakukan kegiatan untuk
terjadi halusinasi. mengontrol halusinasi.
3. Masukkan pada jadual kegiatan 3. Latih dan sediakan waktu bercakap-
untuk latihan menghardik, minum cakap dengan pasien terutama saat
obat dan bercakap-cakap. halusinasi.
4. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadual dan memberi pujian.
SP 4 SP 4

1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


menghardik, obat dan bercakap- merawat/melatih pasien menghardik,
cakap. Beri pujian. memberikan obat dan bercakap-
2. Latih cara mengontrol halusinasi cakap. Beri pujian.
dengan melakukan kegiatan 2. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
harian (mulai 2 kegiatan). kambuh dan rujukan.
3. Masukkan pada jadual kegiatan 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk latihan menghardik, minum jadual dan memberi pujian.
obat, bercakap-cakap dan
kegiatan harian.
74
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga

SP 5 SP 5

1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam


menghardik, obat, bercakap- merawat/melatih pasien menghardik,
cakap dan kegiatan harian. Beri memberikan obat dan bercakap-
pujian. cakap dan melakukan kegiatan harian
2. Latih kegiatan harian. dan follow up. Beri pujian.
3. Nilai kemampuan yang telah 2. Nilai kemampuan keluarga merawat
mandiri. pasien.
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol. 3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke PKM.

75
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Kusumawati, F. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Maramis, F. . (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Rahayu, D. R. (2016). Asuhan Keperawatan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
dengan pasien Ny. S di ruang Bima Instalasi Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah
Banyumas. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Stuart, G. W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.). Jakarta: EGC.
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Reflika Aditama.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika

76
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

1. Definisi

Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan tetapi
dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain, keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien dimana sudah kehilangan kontrol. Waham adalah
suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah,
keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui
proses interaksi/informasi secara akurat (Azizah et al., 2016b).

Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat
atau terus-menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk
gangguan isi pikiran. Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di
dalam isi pikirannya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita
skizofrenia (Yusuf et al., 2015).

2. Jenis Waham

a. Waham Kebesaran
Menganggap nilai, kekuasaan, pengetahuan identitasnya terlalu tinggi.Contoh: “
Saya ini titisan bung karno, punya banyak perusahaan, punya rumah di berbagai
negara dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.”
b. Waham curiga/paranoid/kejar
Keyakinan klien terhadap seseorang/kelompok secara berlebihan yang
berusaha merugikan, mencederai, menganggu, mengancam, memata-matai dan
membicarakan kejelekannya Contoh: “ Banyak polisi mengintai saya, tetangga
saya ingin menghancurkan hidup saya, suster akan meracuni makanan saya”.
c. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.Contoh: “ Tuhan telah menunjuk

77
saya menjadi wali, saya harus terus menerus memakai pakaian putih setiap hari
agar masuk surga.”
d. Waham somatic/hipokondrik
Keyakinan klien terhadap tubuhnya/penampilan/fungsi tubuhnya sudah
berubah(ada sesuatu yang tidak beres).Contoh: “ Sumsum tulang saya kosong,
saya pasti terserang kanker, dalam tubuh saya banyak kotoran, tubuh saya
telah membusuk, tubuh saya menghilang.”
e. Waham nihilistic
Meyakini bahwa dirinya/orang lain sudah tidak ada di dunia/meninggal
dunia, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.Contoh: “ Saya
sudah menghilang dari dunia ini, semua yang ada disini adalah roh – roh,
sebenarnya saya sudah tidak ada di dunia.”
f. Waham Dosa
Keyakinan klien terhadap dirinya telah atau selalu salah atau berbuat
dosa/perbuatannya tidak dapat diampuni lagi.
g. Waham Bizar terdiri dari
- Sisip pikir yaitu keyakinan klien terhadap suatu pikiran orang lain
disisipkan ke dalam pikiran dirinya
- Siar pikir/broadcasting yaitu keyakinan klien bahwa ide dirinya dipakai
oleh/disampaikan kepada orang lain mengetahui apa yang ia pikirkan
meskipun ia tidak pernah secara nyata mengatakan pada orang tersebut.
- Kontrol pikir/waham pengaruh yaitu keyakinan klien bahwa pikiran,emosi
dan perbuatannya selalu dikontrol/dipengaruhi oleh kekuatan di luar
dirinya yang aneh (Azizah et al., 2016a).

3. Etiologi
Salah satu penyebab dari perubahan proses fikir: waham yaitu gangguan konsep
diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai ideal diri.Waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masalalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang) (Azizah et al., 2016b).

78
a. Faktor Presdiposisi
- Faktor hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan
fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
- Faktor sosial budaya seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham.
- Faktor psikologis hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan,
dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan peningkatan terhadap
kenyataan.
- Faktor biologis waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan sell kortikal dan limbik.
- Faktor Genetik
b. Faktor Presipitasi
- Faktor sosial budaya waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan
orang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
- Faktor biokimia dopamin, nerepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga
dapat menjadi penyebab waham ada seseorang.
- Faktor psikologis kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan
untuk mengatasi masalah sehingga klien.
4. Tanda dan Gejala
Menurut (Azizah et al., 2016b) tanda dan gejala waham yaitu:
a. Kognitif
- Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
- Individu sangat percaya pada keyakinannya
- Sulit berpikir realita
- Tidak mampu mengambil keputusan
b. Afektif
- Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
- Afek tumpul
c. Perilaku dan hubungan social
- Hipersensitif
- Hubungan interpersonal dengan orang lain tumpul
79
- Mengancam secara verbal
- Aktivitas tidak tepat
- Curiga
Tanda dan gejala yang lain yang bisa terjadi pada waham yaitu sebagai berikut:
a. Menolak makan.
b. Tidak ada perhatian pada perawatan diri.
c. Mudah tersinggung.
d. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
e. Menghindar dari orang lain.
f. Mendominasi pembicaraan.

5. Pohon Masalah

80
6. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Pikiran Logis - Kadang proses pikir - Gangguan isi pikir:


- Persepsi Akurat terganggu waham
- Emosi Konsisten - Ilusi - Perubahan proses
dengan Pengalaman - Emosi berlebihan emosi
- Perilaku sesuai - Berperilaku yang - Perilaku tidak
- Hubungan sosial tidak biasa terorganisasi
harmonis - Menarik diri - Isolasi sosial

7. Fase-Fase Waham
Menurut (Yusuf et al., 2015) fase-fase waham yaitu:
a. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik secara fisik
maupun psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi pada orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya pasien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Hal itu terjadi karena
adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak memiliki finansial
yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki berbagai
kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
b. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan menderita, malu, dan
tidak berharga.
c. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini
atau apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan, dan tidak
sesuai dengan kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi pasien adalah
sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, dianggap
penting, dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, sebab
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
81
sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan
pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan hanya menjadi
pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan
pengakuan pasien tidak merugikan orang lain.
d. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien dalam
lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaan pasien
menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena
seringnya diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai terjadi kerusakan kontrol diri
dan tidak berfungsinya norma (superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering menyendiri dan
menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
f. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan yang
salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan dengan
kejadian traumatik masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak terpenuhi
(rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi
waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

8. Pengkajian
a. Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.

82
b. Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri,
orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat
menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.

9. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan proses pikir : waham
b. Kerusakan komunikasi verbal
c. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

10. Intervensi Keperawatan


Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Dx Pasien keluarga

SP 1 SP 1

1. Membantu orientasi realita 1. Menjelaskan masalah yang


2. Mendiskusikan kebutuhan yang dirasakan keluarga dalam
tidak terpenuhi merawat pasien
3. Membantu pasien memenuhi 2. Menjelaskan pengertian,
kebutuhannya tanda dan gejala waham, dan
4. Menganjurkan pasien jenis waham yang dialami
memasukkan dalam jadwal pasien, serta proses
kegiatan terjadinya
3. Menjelaskan cara merawat
pasien dengan waham

SP 2 SP 2

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga


harian pasien mempraktekkan cara
2. Mendiskusikan tentang merawat pasien dengan
kemampuan yang dimiliki waham
3. Melatih kemampuan yang 2. Melatih keluarga melakukan
dimiliki cara merawat langsung
pasien waham

83
SP 3 SP 3

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga


harian pasien membuat jadwal aktivitas di
2. Memberikan pendidikan rumah termasuk minum
kesehatan tentang penggunaan obat (dischange planning)
obat secara teratur 2. Menjelaskan follow up
3. Menganjurkan pasien pasien setelah pulang.
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian

84
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan

85

Anda mungkin juga menyukai