Disusun oleh:
M. Dodik Prastiyo
NIM. 202020461011079
2021
DAFTAR ISI
HALUSINASI ...................................................................................................................... 62
WAHAM ............................................................................................................................... 77
2
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi
3
Hirarki Perilaku Kekerasan daari tingkat rendah ke tinggi (Stuart, 2013):
1. Memperlihatkan permusuhan tingkat rendah
2. Bicara keras dan menuntut
3. Mendekati orang lain dengan ancaman
4. Mengucapkan kata-kata ancaman, tanpa rencana untuk melukai
5. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
6. Mengancam dengan kata-kata dengan rencana melukai
7. Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
8. Melukai dalam tingkat serius dan bahaya.
2. Etiologi
Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi faktor predisposisi
dan presipitasi,
a. Faktor Predisposisi Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan, meliputi :
1) Faktor Biologis Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya
faktor herediter yaitu adanya anggotakeluarga yang sering
memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa, adanyan riwayat penyakit
atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkoti,
psikotropika dan zat aditif lainnya).
2) Faktor Psikologis Pengalaman marah merupakan respon psikologis
terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.Perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi
apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui
kegagalan atau terhambat.Salah satu kebutuhan manusia adalah
“berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi
melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah
individu tersebut berperilaku destruktif.
3) Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan
bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
4
mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan yang lain.Stresor tersebut dapat
merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu.
Faktor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan
dengan orang yang dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian,
kematian), kehilangan rasa cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll.
Sedangkan faktor luar individu meliputi serangan terhadap fisik,
lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan.
3. Rentang Respon
5
b. Frustrasi: Respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena
tidak realistis atau disebut juga hambatan dalam proses pencapaian
tujuan.
2. Respon Maladaptif
a. Pasif: Suatu perilaku dimana seseorang merasa tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaannya sebagai usahauntuk mempertahankan
hak-haknya.
b. Agresif: Suatu perilaku yang menyertai rasa marah sebagai usaha atau
merupakan dorongan mental untuk bertindak,memperlihatkan
permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberkata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya
klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain
c. Kekerasan: Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan,
memberi kata-kata ancaman melukai disertai melukai pada tingkat
ringan dan yang paling berat adalah melukai/merusak secara seriu.
Klien tidak mampu mengendalikan diri.
6
sebagai hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau
terhambat.Salah satu kebutuhan manusia adalah “berperilaku”,
apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku
konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut
berperilaku destruktif.
3. Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory) menyatakan
bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespon asertif atau agresif. Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan yang lain.Stresor tersebut dapat
merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu.
Faktor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan
dengan orang yang dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian,
kematian), kehilangan rasa cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik,
dll. Sedangkan faktor luar individu meliputi serangan terhadap fisik,
lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan.
5. Tanda dan Gejala
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan (Yusuf et al., 2015):
a. Emosi
- Tidak adekuat
- Tidak aman
- Rasa terganggu
- Marah (dendam)
- Jengkel
b. Intelektual
- Mendominasi
7
- Bawel
- Sarkasme
- Berdebat
- Meremehkan
c. Fisik
- Muka merah
- Pandangan tajam
- Napas pendek
- Keringat
- Sakit fisik
- Penyalahgunaan zat
- Tekanan darah meningkat
d. Spiritual
- Kemahakuasaan
- Kebijakan/kebenaran diri
- Keraguan
- Tidak bermoral
- Kebejatan
- Kreativitas terlambat
e. Sosial
- Menarik diri
- Pengasingan
- Penolakan
- Kekerasan
- Ejekan
- Humor
8
6. Pohon Masalah
Ketidakefektifan
Perilaku Kekerasan Defisit Perawatan Diri
penatalaksanaan program Masalah Utama Mandi dan Berhias
terapeutik
Ketidakefektifan koping
keluarga :
Gangguan konsep diri : harga
Ketidakmampuan keluarga
diri rendah kronis
merawat klien dirumah
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Yosep, 2009) obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan
marah atau perilaku kekerasan adalah :
1. Medis
a. Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam,
sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan
perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk
penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan
dan ketergantungan, juga bisa memperburuk simptom depresi.
b. Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
c. Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan
cedera kepala dan gangguan mental organik.
d. Lithium efektif untuk agresif karena manik.
e. Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan.
9
2. Keperawatan
Menurut Yosep ( 2007 ) perawat dapat mengimplementasikan berbagai cara
untuk
mencegah dan mengelola perilaku agresif melaui rentang intervensi
keperawatan.
8. Pengkajian
Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis, sosial dan
spritual pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula
11
berupa faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan
kemampuan yang dimiliki klien.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal pengkajian, tanggal dirawat,
No. MR.
b. Faktor Predisposisi
- Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil
dalam pengobatan.
- Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam
keluarga.
- Klien dengan perilaku kekerasan bisa herediter.
- Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat mengganggu
c. Fisik
Pada saat marah tensi biasanya meningkat.
d. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya ada terlihat ada anggota keluarga yang
mengalami kelainan jiwa, pada komunikasi klien terganggu begitupun
dengan pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri : Klien biasanya mengeluh dengan keadaan
tubuhnya, ada bagian tubuh yang disukai dan tidak
disukai.
b) Identitas klien : Klien biasanya tidak puas dengan status dan
posisinya baik sebelum maupun ketika dirawat tapi
klien biasanya puas dengan statusnya sebagai laki-
laki / perempuan.
c) Peran diri : Klien menyadari peran sebelum sakit, saat di rawat
peran klien terganggu.
d) Harga diri : Klien biasanya memiliki harga diri rendah
sehubungan dengan sakitnya.
e) Ideal diri : Klien biasanya memiliki harapan masa lalu yang
tidak terpenuhi.
12
3) Hubungan Sosial
Klien kurang dihargai di keluarga dan lingkungan.
4) Spritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya klien dengan sakit jiwa dipandang tidak sesuai dengan
norma dan budaya.
b) Kegiatan ibadah
Klien biasanya menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit
ibadah terganggu atau sangat berlebihan.
f. Status Mental
- Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak cocok / serasi dan
berubah dari biasanya.
- Pembicaraan : Pembicaraan cepat, keras
- Aktivitas motorik : Meningkat, klien biasanya terganggu dan gelisah
- Alam perasaan : Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari
faktor presipitasi misalnya : sedih dan putus asa.
- Afek : Afek klien biasanya sesuai
- Interaksi selama wawancara : Selama berinteraksi dapat dideteksi
sikap klien yang tampak bermusuhan dan mudah tersinggung.
- Persepsi : Klien dengan perilaku kekerasan biasanya tidak memiliki
kerusakan persepsi.
- Proses pikir : Biasanya klien mampu mengorganisir dan menyusun
pembicaraan logis dan keheran.
- Isi Pikir : Keyakinan klien konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien.
- Tingkat Kesadaran : Biasanya klien tidak mengalami disorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu.
- Memori : Tidak terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun
jangka pendek klien mampu mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
- Tingkat konsentrasi dan berhitung : Klien tidak mengalami gangguan
konsentrasi dan berhitung
13
- Kemampuan penilaian : Klien mampu dalam mengambil keputusan
jika menghadapi masalah yang ringan klien mampu menilai dan
mengevaluasi diri sendiri.
- Daya tilik diri : Klien biasanya mengingkari penyakit yang diderita dan
tidak memerlukan pertolongan, klien juga sering menyalahkan hal-hal
diluar dirinya.
9. Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan
SP 1 SP 1
1. Identifikasi penyebab, tanda dan 1. Diskusikan masalah yang dirasakan
gejala, PK yang dilakukan, akibat dalam merawat klien.
PK. 2. Jelaskan pengertian, tanda dan
2. Jelaskan cara mengontrol PK: fisik, gejala, dan proses terjadinya PK
obat, verbal, spiritual. (gunakan booklet).
3. Latih cara mengontrol PK fisik 1 3. Jelaskan cara merawat PK.
(tarik nafas dalam) dan 2 (pukul 4. Latih 1 cara merawat PK: fisik 1, 2.
kasur atau bantal). 5. Anjurkan membantu pasien sesuai
4. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberikan pujian.
untuk latihan fisik.
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
2. Beri pujian. merawat/ melatih pasien fisik 1, 2.
2. Latih cara mengontrol PK dengan Beri pujian.
obat (jelaskan 6 benar: jenis, guna, 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan
dosis, frekuensi, cara, kontinuitas obat.
minum obat). 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
3. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberi pujian.
untuk latihan fisik dan minum
14
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
obat.
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
2, dan obat. Beri pujian. merawat/ melatih pasien fisik 1, 2
2. Latih cara mengontrol PK secara dan memberikan obat. Beri pujian.
verbal (3 cara yaitu: 2. Latih cara membimbing
mengungkapkan, meminta, verbal/bicara.
menolak dengan benar). 3. Latih cara membimbing kegiatan
3. Masukkan pada jadual kegiatan spiritual.
untuk latihan fisik minum obat, 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
dan verbal. jadual dan memberi pujian.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
2, obat dan verbal. Beri pujian. merawat/ melatih pasien fisik 1, 2
2. Latih cara mengontrol PK secara dan memberikan obat, verbal dan
spiritual (2 kegiatan). spiritual. Beri pujian.
3. Masukkan pada jadual kegiatan 2. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
untuk latihan fisik, minum obat, kambuh, rujukan.
verbal dan spiritual. 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadual dan memberi pujian.
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1,2, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
minum obat, verbal dan spiritual merawat/ melatih pasien fisik 1, 2
dan berikan pujian. dan memberikan obat, verbal dan
2. Nilai kemampuan yang telah spiritual dan follow up. Beri pujian.
mandiri. 2. Nilai kemampuan merawat pasien.
3. Nilai apakahPK terkontrol. 3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke PKM.
15
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta:
Indomedia Pustaka.
Keliat, B. A., & Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.). Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. (2013). Buku saku keperawatan jiwa.6 thediton. St. Louis: Mosby Year
Book.
Yusuf, Fitrasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
16
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH (HDR)
1. Definisi
Menurut Depkes RI harga diri rendah merupakan perasaan negatif
terhadap dirinya sendiri termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga,
tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Harga
diri rendah adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negative dan dipertahankan dalam waktu yang lama (Azizah, Zainuri, &
Akbar, 2016a).
Herdman (2012), mengatakan bahwa, harga diri rendah kronik
merupakan evaluasi diri negatif yang berkepanjangan/ perasaan tentang diri
atau kemampuan diri Harga diri rendah yang berkepanjangan termasuk
kondisi tidak sehat mental karena dapat menyebabkan berbagai masalah
kesehatan lain, terutama kesehatan jiwa (Herdman, 2012).
Harga diri rendah muncul akibat dari penilaian internal individu
maupun penilaian eksternal yang negatif. Penilaian internal adalah penilaian
yang berasal dari diri individu sendiri, sedangkan penilaian eksternal
merupakan penilaian dari luar diri individu (misalnya lingkungan) yang
mempengaruhi penilaian individu tersebut.
19
4. Rentang Respon
Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung
adaptif dan ujung maladaptif, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, harga
diri rendah, kekacauan identitas, dan depersonalisasi (Yusuf et al., 2015).
Respon Respon
Adaptif Maladaptif
Aktualisasi diri :Pernyataan diri tentang konsep diri yang (+) dengan latar
belakang pengalaman nyata yg sukses dan diterima
Konsep diri positif :Konsep diri (+) apabila individu mempunyai
pengalaman yang positif dalam beraktualisasi sosial
Harga diri rendah :Transisi antara respon konsep diri adaptif dengan
konsep diri maladaptif. Merasa diri tidak berharga, terhina dan terhempas
dalam kehidupan, selalu gagal dan salah
Kerancuan identitas :Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis
Depersonalisasi :Perasaan yg tidak realistis dan asing thd diri sendiri yang
berhub. dengan kecemasan, kepanikan, serta tidak dapat membedakan
dirinya dg. orang lain
5. Tanda dan gejala
Tanda yang menunjukan harga diri rendah menurut Carpenito,L.J (2003,
Dalam Azizah et al., 2016):
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit. misalnya: malu dan sedih karena rambut
menjadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker.
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya: ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/mengejek dan mengkritik
diri sendiri.
20
3) Merendahkan martabat. Misalnya: saya tidak bisa,saya tidak mampu,
saya orang bodoh dan tidak tau apa-apa.
4) Percaya diri kurang. Misalnya: klien sukar mengambil keputusan,
misalnya tentang memilih alternatif tindakan.
5) Ekspresi malu atau merasa bersalah dan khawatir, menolak diri
sendiri.
6) Perasaan tidak mampu.
7) Pandangan hidup yang pesimistis.
8) Tidak berani menatap lawan bicara.
9) Lebih banyak menunduk.
10) Penolakan terhadap kemampuan diri.
11) Kurang memperhatikan perawatan diri (Kuku panjang dan kotor,
rambut panjang dan lusuh, gigi kuning, kulit kotor).
12) Data Obyektif
a) Produktivitas menurun.
b) Perilaku distruktif pada diri sendiri.
c) Perilaku distruktif pada orang lain.
d) Penyalahgunaan zat
e) Menarik diri dari hubungan sosial
f) Ekspresi wajah malu dan merasa bersalah.
g) Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)
h) Tampak mudah tersinggung/mudah marah (Azizah et al., 2016a).
21
6. Pohon Masalah
- Ketegangan peran
- Trauma
- Penolakan orang tua, harapan orang tua
yg tdk realistis, kegagalan berulang,
kurangnya tg jwb diri, tgt pada org
lain, ideal diri tdk realistis,
stereotipe sex, keb. peran kerja,
harapan peran dlm budaya, ketidak
percayaan org tua, tekanan teman
sebaya, perubahan struktur sosial.
7. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah situasional/kronik.
2) Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah situasional/kronik
3) Perencanaan
Tujuan untuk Pasien:
– Dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
– Dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
– Dapat memilih kegiatan sesuai kemampuan
– Dapat melatih kegiatan yang dipilih
– Dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatih
Tujuan untuk keluarga :
– Dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan yg dimiliki
– Memfasilitasi aktifitas pasien yang sesuai kemampuan
– Memotivasi pasien u/ melakukan kegiatan sesuai yang sudah
dilatihkan
– Menilai kemampuan perkembangan perubahan kemampuan pasien
Kriteria Hasil :
Pasien :
– Dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif dirinya
– Dapat menyusun rencana kegiatan/ aktivitas yang akan dilakukannya
25
– Dapat melakukan kegiatan sesuai rencananya
Keluarga :
– Keluarga mendukung aktivitas pasien
– Keluarga dapat memberikan pujian/reward terhadap pasien
5. Masukkan pada jadual kegiatan untuk jadual dan cara memberikan pujian.
27
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Herdman, T. H. (2012). Diagnose Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Yusuf, A., Fitryasari, R., Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
28
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI
1. Definisi
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan
koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh
diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh
diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan
pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat pasien
dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan tindakan bunuh
diri (Yusuf et al., 2015).
Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan
aktif seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Bunuh diri
adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri
(Videbeck, 2008).
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh
diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu
gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi
masalah (Azizah et al., 2016a).
2. Rentang respon
29
Keterangan:
a. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan,
yakin, dan kesadaran diri meningkat.
b. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang
yang masih normal dialami individu yang mengalami perkembangan
perilaku.
c. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti
perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam
rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang
menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
d. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk
melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh,
melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
e. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk mengakhiri kehidupan (Yusuf et al., 2015).
6. Etiologi
Berdasarkan teori terdapat 3 penyebab terjadinya bunuh diri adalah sebagai
berikut (Azizah et al., 2016b):
a. Genetic dan teori biologi
32
Factor genetic mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada
keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko bunuh diri.
b. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu: Egoistik (orang
yang tidak terintegrasi pada kelompok social) , atruistik (Melakukan
suicide untuk kebaikan masyarakat) dan anomic (suicide karena kesulitan
dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
c. Teori psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri
merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.
Penyebab terjadinya bunuh diri, dari masing-masing golongan usia (Yusuf et al.,
2015):
a. Pada anak
- Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan
- Situasi keluarga yang kacau
- Perasaan tidak disayang atau selalu dikritik
- Gagal sekolah
- Takut atau dihina di sekolah
- Kehilangan orang yang dicintai
- Di hukum orang lain
b. Pada remaja
- Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
- Sulit mempertahankan hubungan interpersonal
- Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan
- Perasaan tidak dimengerti orang lain
- Kehilangan orang yang dicintai
- Keadaan fisik
- Masalah dengan orang tua
- Masalah seksual
33
c. Pada dewasa
- Self-ideal terlalu tinggi
- Cemas akan tugas akademik yang banyak
- Kegagalan akademik
- Kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua
- Kompetisi untuk sukses
d. Pada usia lanjut
- Perubahan status dari mandiri ke ketergantungan
- Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi
- Perasaan tidak berarti di masyarakat
- Kesepian dan isolasi sosial
- Kehilangan ganda (seperti pekerjaan , kesehatan, pasangan)
- Sumber hidup berkurang
7. Faktor penyebab
Penyebab bunuh diri berdasarkan proses terjadinya sebagai berikut (Azizah et
al., 2016b):
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat,
dan skizofrenia.
2) Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan,
atau bahkan perceraian.Kekuatan dukungan social sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih
34
dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5) Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti
serotonin, adrenalin, dan dopamine.Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG).
b. Faktor Presipitasi
Faktor PresipitasiPerilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress
berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa
kejadian hidup yang memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus
adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
c. Perilaku Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara
sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.Perilaku bunuh diri
berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun
budaya.Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong atau
bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri.Isolasi social
dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang
untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka
bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah
seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
35
d. Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression, dan magical thinking.Mekanisme pertahanan
diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping
alternatif.
5. Pohon Masalah
Risiko bunuh diri
Perilaku destruktif
Korban
kekerasan fisik
Kehilangan
Masa kecil tidak perkerjaan
menyenangkan
Faktor presipitasi
Faktor predisposisi
6. Diagnosis
Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah.
7. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
37
a. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
b. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri,
maka Anda dapat melakukan tindakan berikut.
- Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke
tempat yang aman.
- Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas,
tali pinggang.
- Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat.
- Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan
melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
a. Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam
atau mencoba bunuh diri.
b. Tindakan
- Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan
pernah meninggalkan pasien sendirian.
- Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya di sekitar pasien.
- Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun
sendiri.
- Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur (Yusuf et al., 2015).
38
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
SP 1 SP 1
39
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
SP 3 SP 3
SP 5 SP 5
41
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
42
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. Definisi
Herdman (2012) mendefinisi defisit perawatan diri sebagai suatu
gangguan didalam melakukan aktifitas perawatan diri (kebersihan diri,
berhias, makan, toileting). Sedangkan perawatan diri merupakan salah satu
kemampuan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan
kondisi kesehatannya (Herdman, 2012).
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami
kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi
secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas,
dan penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu
masalah yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis
sering mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan
gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam
keluarga maupun masyarakat (Yusuf et al., 2015).
2. Jenis DPD
Kurang perawatan diri:
a. Mandi/kebersihan: Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri
b. Kurang perawatan diri: Mengenakan pakaian/berhias.Kurang perawatan
diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai
pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri: MakanKurang perawatan diri (makan) adalah
gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan
d. Kurang perawatan diri: ToiletingKurang perawatan diri (toileting) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
toileting sendiri (Azizah et al., 2016a).
43
3. Etiologi
Bagaimanakah seorang individu bisa mengalami masalah dalam perawatan
diri? Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabakan individu mengalami
deficit perawatan diri, yaitu:
a. Faktor prediposisi
- Biologis, seringkali defisit perawaan diri disebabkan karena adanya
penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan adanya faktor herediter yaitu ada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
- Psikologis, factor perkembangan memegang peranan yang tidak kalah
penting hal ini dikarenakan keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan individu sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
Pasien gangguan jiwa mengalamai defisit perawatan diri dikarenakan
kemampuan realitas yang kurang sehingga menyebabkan pasien
tidakpeduli terhadap diri dan lingkungannya termasuk perawatan diri.
- Sosial. Kurangnya dukungan sosial dan situasi lingkungan
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam perawatan diri.
a. Faktor presipitasi
Faktor presiptasi yang dapat menimbulkan defisit perawatan diri adalah
penurunan motivasi, kerusakan kognitif atau persepsi, cemas, lelah, lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri (Nurhalimah, 2016).
44
- Sosial:· Interaksi kurang.· Kegiatan kurang· Tidak mampu berperilaku
sesuai norma.· Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang
tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri
Data yang biasa ditemukan dalam deficit perawatan diri adalah:
a. Data subyektif
- Pasien merasa lemah
- Malas untuk beraktivitas
- Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
- Rambut kotor, acak – acakan
- Badan dan pakaian kotor dan bau
- Mulut dan gigi bau.
- Kulit kusam dan kotor
- Kuku panjang dan tidak terawat
5. Rentang Respon Kognitif
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat
diri adalah
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
- Bina hubungan saling percaya.
- Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
- Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri
- Bantu klien merawat diri
- Ajarkan ketrampilan secara bertahap
- Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
- Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
- Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
- Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya,
kamar mandi yang dekat dan tertutup (Azizah et al., 2016a).
45
6. Pohon Masalah
Isolasi sosial
7. Diagnosis
Defisit perawatan diri kebersihan diri, makan, berdandan, dan BAK/BAB.
8. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan.
- Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.
- Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik.
- Pasien mampu melakukan makan dengan baik.d. Pasien mampu
melakukan BAB/BAK secara mandiri.
b. Tindakan keperawatan.
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri, Anda dapat
melakukan tahapan tindakan berikut.
- Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
- Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
- Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri.
- Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
2) Melatih pasien berdandan/berhias.
Anda sebagai perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien
laki-laki tentu harus dibedakan dengan wanita.
- Untuk pasien laki-laki latihan meliputi: a) berpakaian,b) menyisir
rambut,c) bercukur.
46
- Untuk pasien wanita, latihannya meliputi: a)berpakaian, b) menyisir
rambut, c) berhias.
3) Melatih pasien makan secara mandiri.
Untuk melatih makan pasien, Anda dapat melakukan tahapan sebagai
berikut.
- Menjelaskan cara mempersiapkan makan.
- Menjelaskan cara makan yang tertib.
- Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan.
- Praktik makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
4) Pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri.
Anda dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai
tahapan berikut.
- Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai.
- Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK.
- Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK.
Tindakan Keperawatan pada Keluarga
a. Tujuan
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kurang perawatan diri.
b. Tindakan keperawatan
Untuk memantau kemampuan pasien dalam melakukan cara
perawatan diri yang baik, maka Anda harus melakukan tindakan kepada
keluarga agar keluarga dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung
agar kemampuan pasien dalam perawatan dirinya meningkat.
Tindakan yang dapat Anda lakukan antara lain sebagai berikut.
- Diskusikan dengan keluarga tentang masalah yang dihadapi keluarga
dalam merawat pasien.
- Jelaskan pentingnya perawatan diri untuk mengurangi stigma.
- Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga perawatan diri pasien.
47
- Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan
membantu mengingatkan pasien dalam merawat diri (sesuai jadwal
yang telah disepakati).
- Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien
dalam merawat diri.
- Latih keluarga cara merawat pasien dengan defisit perawatan diri
(Yusuf et al., 2015).
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri. 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
Beri pujian. merawat/ melatih pasien kebersihan
2. Jelaskan cara dan alat untuk diri. Beri pujian.
48
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
berdandan. 2. Bimbing keluarga membantu pasien
3. Latih cara berdandan setelah berdandan.
kebersihan diri: sisiran, rias muka 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk perempuan, sisiran, cukuran jadual dan memberi pujian.
untuk pria.
4. Masukkan pada jadual kegiatan
untuk kebersihan diri dan
berdandan.
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
dan berdandan. Beri pujian. merawat/ melatih pasien kebersihan
2. Jelaskan cara dan alat makan dan diri dan berdandan. Beri pujian.
minum. 2. Bimbing keluarga membantu makan
3. Latih cara makan dan minum yang dan minum pasien.
baik. 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
4. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberi pujian.
untuk latihan kebersihan diri,
berdandan dan makan dan minum
yang baik.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berdandan dan makan dan minum. merawat/ melatih pasien kebersihan
Beri pujian. diri, berdandan, makan dan minum.
2. Jelaskan cara BAB dan BAK yang Beri pujian.
baik. 2. Bimbing keluarga merawat BAB dan
3. Latih BAB dan BAK yang baik. BAK pasien.
4. Masukkan pada jadual kegiatan 3. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
untuk latihan kebersihan diri, kambuh, rujukan.
berdandan dan makan dan minum 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
49
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
yang baik, BAB dan BAK. jadual dan memberi pujian.
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan perawatan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
diri: kebersihan diri, berdandan, merawat/ melatih pasien kebersihan
makan dan minum, BAB dan diri, berdandan, makan dan minum,
BAK. Beri pujian. BAB dan BAK. Beri pujian.
2. Latih kegiatan harian. 2. Nilai kemampuan merawat pasien.
3. Nilai kemampuan yang telah 3. Nilai kemampuan keluarga
mandiri. melakukan kontrol ke PKM.
4. Nilai apakah perawatan diri telah
baik.
50
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
51
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
1. Definisi
Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan
hubungan dengan orang lain. Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang
individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Nurhalimah, 2016).
Hubungan yang sehat dapat digambarkan dengan adanya komunikasi yang
terbuka, mau menerima orang lain, dan adanya rasa empati. Pemutusan hubungan
interpersonal berkaitan erat dengan ketidakpuasan individu dalam proses
hubungan yang disebabkan oleh kurang terlibatnya dalam proses hubungan dan
respons lingkungan yang negatif. Hal tersebut akan memicu rasa tidak percaya diri
dan keinginan untuk menghindar dari orang lain (Yusuf et al., 2015).
2. Etiologi
Isolasi sosial menarik diri sering disebabkan oleh karena kurangnya rasa
percaya pada orang lain, perasaan panik, regresi ke tahap perkembangan
sebelumnya, waham, sukar berinteraksi dimasa lampau, perkembangan ego yang
lemah serta represi rasa takut. Menurut Stuart & Sundeen, Isolasi sosial
disebabkan oleh gangguan konsep diri rendah.
a) Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergantung dari pengalaman
selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap tumbuh kembang memilki
tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karna apabila tugas
perkembangan ini tidak terpenuhi akan menghambat perkembangan
selanjutnya, kurang stimulasi kasih sayang,perhatian dan kehangatan dari
ibu (pengasuh) pada bayi akan membari rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya.
52
2) Faktor biologi Genetik adalah salah satu faktor pendukung ganguan jiwa,
faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptive ada
bukri terdahulu tentang terlibatnya neurotransmitter dalam perkembangan
ganguan ini namun tahap masih diperlukan penelitian lebih lanjut
3) Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukung terjadinya ganguan
dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya angota keluarga,
yang tidak produktif, diasingkan dari orang lain.
4) Faktor komunikasi dalam keluarga
Pola komunikasai dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang kedalam
ganguan berhubungan bila keluarga hanya mengkounikasikan hal-hal yang
negatif akan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.
b) Faktor presipitasi
Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan indifidu
untuk brhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas (Azizah et al.,
2016a).
Ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak. Faktor lainnya pengalaman abuse dalam keluarga. Penerapan
aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan
pasien dan konflik antar masyarakat.Selain itu Pada pasienyang mengalami
isolasi sosial, dapat ditemukan adanya pengalaman negatif pasienyang tidak
menyenangkan terhadap gambaran dirinya, ketidakjelasan atau berlebihnya
peran yang dimiliki serta mengalami krisis identitas.Pengalaman kegagalan yang
berulang dalam mencapai harapan atau cita-cita, serta kurangnya penghargaan
baik dari diri sendiri maupun lingkungan. Faktor-faktor diatas, menyebabkan
gangguan dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, yang pada akhirnya
menjadi masalah isolasi sosial (Nurhalimah, 2016).
3. Rentang Respon
56
2) Pohon Masalah
6. Penatalaksanaan
Terapi Modalitas
- Terapi individual
Dengan terapi individual, perawat menjalin hubungan saling percaya
dengan klien agar tercipta rasa trust kepada perawat. Sehingga, klien
dapat dengan leluasa menceritakan semua yang ia rasakan, dengan
demikian klien merasa aman, nyaman, klien dapat mengembangkan
kemampuannya dalam menyelesaikan konflik, meredakan penderitaan
emosional, dan klien dapat memenuhi kebutuhan dirinya serta
mempermudah proses asuhan keperawatan jika sudah terjalin rasa saling
percaya klien terhadap perawat. Terapi individual untuk TUK 1,2,3,4,5.
57
- Terapi kognitif
Karena klien mempunyai persepsi dan pemikiran yang negatif/salah,
diperlukan terapi kognitif untuk merubah hal tersebut. Sehingga,
diharapkan dengan terapi kognitif persepsi dan pemikiran klien yang
negatif berubah menjadi positif/baik, klien juga mampu
mempertimbangkan stressor, mengidentifikasi pola berpikir, persepsi dan
keyakinan yang tidak baik. Terapi kognitif untuk TUK 2,3.
- Terapi kelompok
Karena klien cenderung menarik diri dan tidak bersosialisasi, diperlukan
terapi kelompok agar klien dapat berinteraksi dengan orang lain seperti
sebelum klien mengalami gangguan dapat bersosialisasi. Perawat dapat
berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur, membantu anggota
kelompok meningkatkan kesadaran diri (Azizah et al., 2016a).
Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas yang cocok untuk klien isolasi sosial yaitu terapi
aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Hal tersebut dikarenakan klien sering
menyendiri (menghindar dari orang lain), komunikasi berkurang (bicara
apabila ditanya, jawaban singkat), berdiam diri di kamar dalam posisi
meringkuk, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, wajah tampak sedih dan
lebih sering menunduk yang menunjukkan bahwa klien mengalami masalah
dalam hubungan sosial (isolasi sosial). Oleh karena itu, terapi aktivitas
kelompok sosialisasi (TAKS) cocok untuk memfasilitasi kemampuan klien
dengan masalah hubungan sosial agar klien dapat bersosialisasi kembali
dengan orang lain maupun lingkungannya serta dapat meningkatkan
hubungan interpersonal dan kelompok. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi
(TAKS) dilakukan dalam 7 sesi dengan indikasi klien menarik diri yang sudah
sampai pada tahap mampu berinteraksi dalam kelompok kecil dan sehat
secara fisik.
60
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
61
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
1. Definisi
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata.Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal
tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati, 2010).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada (Yusuf et al., 2015).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang berbicara (Azizah et al., 2016a).
2. Jenis Halusinasi
a. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara
tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau
mesin, barang, kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya
rangsang apapun (Maramis, 2005). Halusinasi pendengaran adalah mendengar
62
suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara
mengenai klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut
(Stuart, 2007).
b. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun,
bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.
c. Penghidung
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-
bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke,
tumor, kejang, atau dimensia.
d. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
e. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa
tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
f. Chenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine.
g. Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang menyebabkan halusinasi
adalah:
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
63
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
- Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatanotak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
- Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan
dengan terjadinya skizofrenia.
- Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,
atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini (Yosep, 2009).
64
b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor (Stuart, 2007).
65
4. Karakteristik dan perilaku pasien halusinasi
66
6. Rentang Respon
Rentang Respon Neurobiologis
Respon Adaptif Respon
Maladaptif
7. Fase-fase Halusinasi
Adapun fase halusinasi menurut (Stuart, dan Laraia, 2005) adalah sebagai
berikut:
68
Stage I : disorder sleep Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari
lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak
Fase awal seseorang
masalah. Masalah semaki sulit karena berbagai stressor
sebelum muncul
terakumulasi. Support system klien kurang dan persepsi
halusinasi
terhadap masalah buruk. Sulit tidur berlangsung secara terus-
menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien mengungkapkan
lamunan-lamunan awa tersebut sebagai pemecahan masalahl
Stage II : comforting Pasien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan
moderate level of anxiety cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan, dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia
Halusinasi secara umum
beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia
ia terima sebagai sesuatu
kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap 2 ada
yang alami
kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinya.
Stage III : Condemning Pengalaman sensori pasien menjadi sering datang dan
severe level of anxiety mengalami bias, klien merasa tidak mampu lagi mengontrolnya
dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek
Secara umum halusinasi
yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain
sering mendatangi klien
dengan intensitas waktu yang lama
69
8. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai
berikut (Nurhalimah, 2016):
1) Data Subyektif: Pasien mengatakan :
- Menutup telinga
- Menutup hidung.
- Sering meludah
- Muntah
70
9. Penatalaksanaan
Menurut (Rahayu, 2016), penatalaksanaan medis pada pasien halusinasi
pendengaran dibagi menjadi dua:
a. Terapi Farmakologi
1. Haloperidol (HLP)
Klasifikasi : antipskotik, neuroleptic, butirofenon
Indikasi :Penatalaksanaan psikosis kronik danakut,
pengendalian hiperaktivitas dan masalah perilaku berat pada
anak-anak
Mekanisme Kerja : Mekanisme kerja anti psikotik yang tepat
belum dipenuhi sepenuhnnya, tampak menekan susunan saraf
pusat pada tingkat subkortikal formasi retricular otak, mesenfalon
dan batang otak.
Kontraindikasi : Hipersensivitas terhadap obat ini pasien
depresi SSP dan sumsum tulang belakang, kerusakan otak
subkortikal, penyakit Parkinsondan anak dibawah usia 3 tahun.
Efek Samping : Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing,
mulut kering dan anoreksia.
2. Clorpromazin (CPZ)
Klasifikasi : Sebagai antipsikotik, antiemetic.
Indikasi : Penanganan gangguan psikotik seperti
skizofrenia, fase mania pada gangguan bipolar, gangguan
skizofrenia, ansietas dan agitasi, anak hiperaktif yang
menunjukkan aktivitas motorik berlebih.
Mekanisme Kerja :Mekanisme kerja antipsikotik yang tepat
belum dipahami sepenuhnya, namun berhubungan dengan efek
anti dopaminergik. Antipsikotik dapat menyekat reseptor
dipamine postsinaps padaganglia basa, hipotalamus, system
limbic, batang otak dan medulla.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini, pasien
koma atau depresisumsum tulang, penyakit Parkinson, insufiensi
71
hati, ginjal dan jantung, anak usia dibawah 6 tahun dan wanita
selama masa kehamilan dan laktasi.
Efek Samping :Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing,
hipertensi, ortostatik, hipotensi, mulut kering, mual dan muntah.
3. Trihexypenidil ( THP )
Klasifikasi : antiparkinson
Indikasi : Segala penyakit Parkinson, gejala ekstra
pyramidal berkaitan dengan obat antiparkinson.
Mekanisme Kerja : Mengorks ketidakseimbangan defisiensi
dopamine dan kelebihan asetilkolin dalam korpus striatum,
asetilkolin disekat oleh sinaps untuk menguragi efek kolinergik
berlebihan.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini, glaucoma
sudut tertutup, hipertropi prostat pada anak dibawah usia 3
tahun.
Efek Samping : Mengantuk, pusing, disorientasi, hipotensi,
mulut kering, mual dan muntah.
72
yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi, yaitu sebagai
berikut.
• Menghardik halusinasi
• Bercakap-cakap dengan orang lain
• Melakukan aktivitas yang terjadwal
• Menggunakan obat secara teratur (Yusuf et al., 2015).
Tindakan Keperawatan Untuk Keluarga
a. Tujuan
- Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit
maupun di rumah.
- Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.
b. Tindakan keperawatan.
- Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
- Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses
terjadinya halusinasi, serta cara merawat pasien halusinasi.
- Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara
merawat pasien dengan halusinasi langsung di hadapan pasien.
- Buat perencanaan pulang dengan keluarga (Yusuf et al., 2015).
SP 1 SP 1
73
Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Pasien keluarga
SP 2 SP 2
SP 3 SP 3
SP 5 SP 5
75
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Kusumawati, F. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Maramis, F. . (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Rahayu, D. R. (2016). Asuhan Keperawatan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
dengan pasien Ny. S di ruang Bima Instalasi Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah
Banyumas. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Stuart, G. W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.). Jakarta: EGC.
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Reflika Aditama.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
76
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
1. Definisi
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan tetapi
dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain, keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien dimana sudah kehilangan kontrol. Waham adalah
suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah,
keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui
proses interaksi/informasi secara akurat (Azizah et al., 2016b).
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat
atau terus-menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk
gangguan isi pikiran. Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di
dalam isi pikirannya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita
skizofrenia (Yusuf et al., 2015).
2. Jenis Waham
a. Waham Kebesaran
Menganggap nilai, kekuasaan, pengetahuan identitasnya terlalu tinggi.Contoh: “
Saya ini titisan bung karno, punya banyak perusahaan, punya rumah di berbagai
negara dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.”
b. Waham curiga/paranoid/kejar
Keyakinan klien terhadap seseorang/kelompok secara berlebihan yang
berusaha merugikan, mencederai, menganggu, mengancam, memata-matai dan
membicarakan kejelekannya Contoh: “ Banyak polisi mengintai saya, tetangga
saya ingin menghancurkan hidup saya, suster akan meracuni makanan saya”.
c. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.Contoh: “ Tuhan telah menunjuk
77
saya menjadi wali, saya harus terus menerus memakai pakaian putih setiap hari
agar masuk surga.”
d. Waham somatic/hipokondrik
Keyakinan klien terhadap tubuhnya/penampilan/fungsi tubuhnya sudah
berubah(ada sesuatu yang tidak beres).Contoh: “ Sumsum tulang saya kosong,
saya pasti terserang kanker, dalam tubuh saya banyak kotoran, tubuh saya
telah membusuk, tubuh saya menghilang.”
e. Waham nihilistic
Meyakini bahwa dirinya/orang lain sudah tidak ada di dunia/meninggal
dunia, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.Contoh: “ Saya
sudah menghilang dari dunia ini, semua yang ada disini adalah roh – roh,
sebenarnya saya sudah tidak ada di dunia.”
f. Waham Dosa
Keyakinan klien terhadap dirinya telah atau selalu salah atau berbuat
dosa/perbuatannya tidak dapat diampuni lagi.
g. Waham Bizar terdiri dari
- Sisip pikir yaitu keyakinan klien terhadap suatu pikiran orang lain
disisipkan ke dalam pikiran dirinya
- Siar pikir/broadcasting yaitu keyakinan klien bahwa ide dirinya dipakai
oleh/disampaikan kepada orang lain mengetahui apa yang ia pikirkan
meskipun ia tidak pernah secara nyata mengatakan pada orang tersebut.
- Kontrol pikir/waham pengaruh yaitu keyakinan klien bahwa pikiran,emosi
dan perbuatannya selalu dikontrol/dipengaruhi oleh kekuatan di luar
dirinya yang aneh (Azizah et al., 2016a).
3. Etiologi
Salah satu penyebab dari perubahan proses fikir: waham yaitu gangguan konsep
diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai ideal diri.Waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masalalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang) (Azizah et al., 2016b).
78
a. Faktor Presdiposisi
- Faktor hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan
fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
- Faktor sosial budaya seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham.
- Faktor psikologis hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan,
dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan peningkatan terhadap
kenyataan.
- Faktor biologis waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan sell kortikal dan limbik.
- Faktor Genetik
b. Faktor Presipitasi
- Faktor sosial budaya waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan
orang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
- Faktor biokimia dopamin, nerepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga
dapat menjadi penyebab waham ada seseorang.
- Faktor psikologis kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan
untuk mengatasi masalah sehingga klien.
4. Tanda dan Gejala
Menurut (Azizah et al., 2016b) tanda dan gejala waham yaitu:
a. Kognitif
- Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
- Individu sangat percaya pada keyakinannya
- Sulit berpikir realita
- Tidak mampu mengambil keputusan
b. Afektif
- Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
- Afek tumpul
c. Perilaku dan hubungan social
- Hipersensitif
- Hubungan interpersonal dengan orang lain tumpul
79
- Mengancam secara verbal
- Aktivitas tidak tepat
- Curiga
Tanda dan gejala yang lain yang bisa terjadi pada waham yaitu sebagai berikut:
a. Menolak makan.
b. Tidak ada perhatian pada perawatan diri.
c. Mudah tersinggung.
d. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
e. Menghindar dari orang lain.
f. Mendominasi pembicaraan.
5. Pohon Masalah
80
6. Rentang Respon
7. Fase-Fase Waham
Menurut (Yusuf et al., 2015) fase-fase waham yaitu:
a. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik secara fisik
maupun psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi pada orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya pasien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Hal itu terjadi karena
adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak memiliki finansial
yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki berbagai
kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
b. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan menderita, malu, dan
tidak berharga.
c. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini
atau apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan, dan tidak
sesuai dengan kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi pasien adalah
sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, dianggap
penting, dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, sebab
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
81
sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan
pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan hanya menjadi
pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan
pengakuan pasien tidak merugikan orang lain.
d. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien dalam
lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaan pasien
menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena
seringnya diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai terjadi kerusakan kontrol diri
dan tidak berfungsinya norma (superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering menyendiri dan
menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
f. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan yang
salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan dengan
kejadian traumatik masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak terpenuhi
(rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi
waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
8. Pengkajian
a. Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
82
b. Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri,
orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat
menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
9. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan proses pikir : waham
b. Kerusakan komunikasi verbal
c. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
SP 1 SP 1
SP 2 SP 2
83
SP 3 SP 3
84
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN
KESEHATAN JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan
85