Anda di halaman 1dari 21

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1. Tinjauan Teori


1.1.1. Definisi Perilaku Kekerasan
Konsep dasar keperawatan jiwa pada perilaku kekerasan meliputi:
defenisi, teori, rentang respon, factor predisposisi, factor presipitasi,
mekanisme terjadinya perilaku agresi, gejala marah, mekanisme koping pada
perilaku kekerasan dan asuhan keperawatan jiwa perilaku kekerasan yang
terdiri dari 5 tahap proses asuhan keperawatan.(Muhith, Abdul, 2015)
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive
behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan
penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk kepada hewan atau benda-
benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun
perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon
terhadap kemarahan, kekecewaan perasaan dendam atau ancaman yang
memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan
sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan
menyerang orang lain (assault), agresivitas terhadap diri sendiri (self
aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse). Untuk melupakan
persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku
agresi. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. (Muhith,
Abdul, 2015). Berdasarkan defenisi ini, maka perilaku kekerasan dapat dibagi
dua menjadi perilaku secara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak harus
memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat
perasaan marah (Stuart dan Sudden, 1995).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Ekspresi marah
yang segera karena suatu penyebab adalah wajar dan hal ini kadang
menyulitkan karena secara kultural ekspresi marah tidak diperbolehkan. Oleh
karena itu, marah sering diekspresikan secara tidak langsung. Marah adalah
pengalaman emosi yang kuat dari individu dimana hasil/tujuan yang harus
dicapai terhambat. (Depkes RI, 1996). Kemarahan yang ditekan atau pura-
pura tidak marah akan mempersulit diri sendiri dan mengganggu hubungan
interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif
pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk
mengerti perasaan yang sebenarnya.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan defenisi ini
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam
dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat
perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden,dkk, 2013).

1.1.2. Rentang Respon Marah

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Violence


(Ermawati Dalami, dkk 2014)

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berperilaku pasif, asertif,


dan agresif/perilaku kekerasan.
a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan
atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan
kelegaan pada individu.
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan
tujuan menghindari suatu ancaman nyata.
c. Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat
tinggi atau ketakutan (panik).
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan
kemarahan yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa marah
bisa diekspresikan secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal
(depresi dan penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstrukstif, menggunakan
kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain,
akan memberikan persaan lega, menurunkan ketegangan sehingga perasaan
marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan biasanya dilakukan individu
karena ia merasa kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan masalah, bahkan
dapat menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan perilaku destruktif.
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan
individu seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan
marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan
menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan
perasaan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri. (Dermawan, Deden,
2013).

1.1.3. Etiologi
1. Faktor Presisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan
adalah faktor biologis, psikologis dan sosiokultural.
a. Faktor biologis
1. Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan Naluri).
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
2. Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini
system limbic berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan
maupun menghambat rasa marah.
b. Faktor psikologis
1. Frustration Aggression Theory (teori agresif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu
untuk mencapai sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut
dapat mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan
frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
2. Behavior Theory (Teori Perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila
tersedia fasilitas/situasi yang mendukung
3. Eksistensial Theory (Teory Eksistensi)
Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila
kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berperilaku
konstruktif, maka individu akan memenuhinya melalui berperilaku
destruktif.
c. Faktor sosiokultural
1. Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung
individu untuk merespon asertif dan agresif
2. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun
melalui proses sosialitas.

2. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat
unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik,
kehilangan, kematian dan lain-lain) maupun dalam (putus hubungan
dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit
fisik, dan lain-lain). Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu
perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden, 2013).

1.1.4 Tanda Dan Gejala


Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan adanya antara lain:
Data subjektif:
a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam.
b. Klien mengungkapkan perasaan tidak berguna
c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar,
rasa tercekik, dada terasa sekal dan bingung
e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
Data objektif
a. Muka merah
b. Mata melotot
c. Rahang dan bibir mengatup
d. Tangan dan kaki tegang, tangan mengepal
e. Tampak mondar-mandir
f. Tampak bicara sendiri dan ketakutan
g. Tampak berbicara dengan suara tinggi
h. Tekanan darah meningkat
i. Frekuensi denyut nadi meningkat
j. Nafas pendek
(Kartika Sari Wijayaningsih, 2015)

1.1.5 Pohon Masalah


Resiko tinggi mencederai diri sendiri, dan orang lain

Perilaku Kekerasan Gangguan persepsi


sensori: halusinasi
pendengaran

Regiment terapeutik Harga diri rendah Isolasi sosial:


inefektif kronis menarik diri

Koping keluarga Berduka


tidak efektif disfungsional
(Fitria, Nita 2010)

1.1.6 Komplikasi
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang
lain dan lingkungan.

1.1.7 Mekanisme Koping


Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme
pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan Sudden, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain:
a. Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu
dorongan, penyaluran ke arah lain. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
b. Proyeksi: menyalahkan orang lain, mengenal kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan kerjanya,
berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu dan
mencumbunya
c. Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci kepada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil, membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik
dan dikutuk oleh Tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya
ia dapat melupakannya.
d. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bisa diekspresikan
dengan berlebih-lebihan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman-teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
e. Displacement: melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada
objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah
karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di
dinding kamarnya, mulai bermain perang-perangan dengan teman-temannya.
(Muhith, Abdul, 2015).

1.1.8 Penatalaksanaan Medis


Antianxiaty dan sedative-hypnotics, obat-obatan ini mengendalikan agitasi
yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam sering
digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien.
Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu lama
karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
memperburuk symptom depresi. Selanjutnya, pada beberapa klien yang
mengalami disinhibiting effect dari benzodiapzepines, dapat mengakibatkan
peningkatan perilaku agresif. Buspiron obat anxiety, efektif dalam
mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan
depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien
dengan cedera kepala, demensia, dan development disability.
Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsive dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan trazodone, efektif untuk menghilangkan agresitivitas yang berhubungan
dengan cedera kepala dan gangguan mental organic. Mood Stabilizer penelitian
menunjukkan bahwa pemberian lithium efektif untuk agresif karena manic.
Pada beberapa kasus, pemberiannya untuk menurunkan perilaku agresif yang
disebabkan oleh gangguan lain seperti RM, cedera kepala, skizofrenia,
gangguan kepribadian. Pada klien dengan epilepsy lobus temporal, bisa
meningkatkan perilaku agresif. Pemberian carbamazepines dapat
mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan kelainan
(electroencephalograms).
Antipsyhoyic, obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan
perilaku agresif. Bila agitasi terjadi karena delusi, halusinasi atau perilaku
psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat membantu, namun diberikan
hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya dirasakan. Medikasi lainnya, banyak
kasus menunjukkan bahwa pemberian naltrexone (antagonis opiat) dapat
menurunkan perilaku mencederai diri. Betablockers seperti propanolol dapat
menurunkan perilaku kekerasan pada anak dan pada klien dengan gangguan
mental organic. (Muhith, Abdul, 2015).

2.1. Konsep Asuhan Keperawatan


2.1.1. Pengkajian
1) Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah
faktor biologis, psikologis dan sosiokultural.
a. Faktor biologis
1. Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan Naluri).
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
2. Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system
limbic berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun
menghambat rasa marah.
b. Faktor psikologis
1. Frustration Aggression Theory (teori agresif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi
frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai
sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong
individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang
melalui perilaku kekerasan.
2. Behavior Theory (Teori Perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas/situasi yang mendukung
3. Eksistensial Theory (Teory Eksistensi)
Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan
tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka
individu akan memenuhinya melalui berperilaku destruktif.
c. Faktor sosiokultural
1. Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu
untuk merespon asertif dan agresif
2. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialitas.
2) Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu
bersifat unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik,
kehilangan, kematian dan lain-lain) maupun dalam (putus hubungan dengan
orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit fisik, dan
lain-lain). Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku
kekerasan (Dermawan, Deden, dkk, 2013).

2.1.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah:
1. Resiko perilaku kekerasan
2. Perilaku kekerasan

2.1.3 Intervensi/Implementasi Keperawatan


Intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang
muncul setelah melakukan pengkajian dan rencana keperawatan dilihat pada
tujuan khusus sebagai berikut:
DIAGNOSA Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan/amuk
TUJUAN UMUM Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
TUJUAN Rencana Tindakan:
KHUSUS 1. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik,
Klien dapat empati, sebut nama dan jelaskan tujuan interaksi
membina hubungan 2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai
saling percaya dan 3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak
Klien dapat menantang
mengidentifikasi 4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
penyebab perilaku 5. Beri rasa aman dan sikap empati
kekerasan 6. Lakukan kontak singkat tapi sering
7. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
8. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal
9. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan
bermusuhan klien dengan sikap tenang
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan
tanda-tanda perilaku dirasakan saat jengkel/kesal
kekerasan 2. Observasi tanda perilaku kekerasan
3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal
yang dialami klien
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang
perilaku kekerasan biasa dilakukan
yang biasa 2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku
dilakukan kekerasan yang biasa dilakukan
3. Tanyakan: apakah dengan cara yang dilakukan
masalahnya selesai?
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan
akibat perilaku 2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang
kekerasan digunakan
3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang
sehat
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari
cara konstruktif cara baru yang sehat
dalam berespon 2. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat
terhadap kemarahan 3. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat
a. Secara fisik: tarik nafas dalam jika sedang kesal,
berolahraga, memukul bantal/kasur atau pekerjaan
yang memerlukan tenaga
b. Secara verbal: katakan bahwa anda sedang marah
atau kesal/tersinggung
c. Secara sosial: lakukan dengan kelompok cara marah
yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen
perilaku kekerasan
d. Secara spiritual: berdoa, sembahyang, memohon
kepada Tuhan untuk diberi kesabaran
Klien dapat Rencana Tindakan:
mendemonstrasikan 1. Bantu memilih cara yang paling tepat
cara mengontrol 2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah
perilaku kekerasan dipilih
3. Bantu menstimulasikan cara yang telah dipilih
4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang
dicapai dalam stimulasi
5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat
jengkel/marah
6. Susun jadwal melakukan cara yang telah dipilih
Klien dapat 1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada
menggunakan obat klien dan keluarga
dengan benar (sesuai 2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian
program) berhenti minum obat tanpa seizin dokter
3. Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien,
obat, dosis, cara dan waktu)
4. Anjurkan untuk membicarakan efek samping obat
yang perlu diperhatikan
5. Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika
merasakan efek yang tidak menyenangkan
6. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar
Klien mendapat Rencana Tindakan:
dukungan dari 1. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari
keluarga dalam sikap keluarga selama ini
mengontrol perilaku 2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien
kekerasan 3. Jelaskan cara-cara merawat klien
a. Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif
b. Sikap tenang, bicara tenang, dan jelas
c. Membantu klien mengenal penyebab ia marah
4. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat
klien
5. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah
melakukan demonstrasi
Klien mendapat Rencana Tindakan:
perlindungan dari 1. Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru, nada suara
lingkungan untuk rendah, tunjukkan kepedulian
mengontrol perilaku 2. Lindungi agar klien tidak mencederai orang lain dan
kekerasan lingkungan
3. Jika tidak dapat diatasi, lakukan pembatasan gerak
atau pengekangan
(Abdul Muhith, 2015)

2.1.4 Evaluasi
Menurut Direja (2011), evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai
efek dari tindakan keperawatan kepada pasien. Evaluasi dapat dibagi dua yaitu:
Evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan, evaluasi hasil tau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan
antara respons pasien dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai
berikut:
a. S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dapat di ukur dengan menanyakan kepada pasien langsung.
b. O : Respon objektif pasien terhadap tinddakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada
saat tindakan dilakukan.
c. A : Analisis ulang atas data subjektif data subjektif dan objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru
atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada .
d. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon
pasien yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh
perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Ardani, Tristiadi Ardi, (2013). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa; Bandung: Karya Putra
Darwati.
Dermawan, Deden,dkk, (2013). Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa; penerbit Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Efendi, Feri, (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori Dan Praktik Dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Faija & Sidik Abubakar, (2012). Penerapan Strategi Pelaksanaan Keperawatan
Pada Pasien Halusinasi Pendengaran Di Ruang Merpati RS Ernadi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan.
Fitria, Nita, (2009). Prinsip Dasar Dan Aplikasi Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan; Jakarta: Salemba Medika.
Fitria,Nita, (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) ; penerbit
Salemba Medika, Jakarta.
Hawari, Dadang, (2009). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia,
FKUI : Jakarta.
Herdiansyah, Haris, (2013). Wawancara, Observasi, Dan Fokus Groups Sebagai
Instrumen Penggalian Data Kualitatif; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hidayat A Azis, (2008). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan; Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, Budi Anna & Akemat, (2015). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok;
Jakarta: EGC.
Muhith, Abdul, (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa; Penerbit CV Andi
Offset,Yogyakarta.
Trimelia, (2011). Asuhan keperawatan klien halusinasi; Penerbit CV.Trans Info
Media,Jakarta.

Wijayaningsih, (2015). Praktik klinik keperawatan jiwa; Penerbit CV.Trans Info


Media,Jakarta.
Yusuf, AH dkk, (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa; Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.

STRATEGI PELAKSANAAN (SP)


PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

1.1 Proses Keperawatan


1. Kondisi klien
Data objektif :
a. Mata merah, wajah agak merah
b. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai
c. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam
d. Merusak dan melempar barang-barang
Data subjektif :
a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
c. sedang kesal atau marah
d. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2. Diagnosa Keperawatan: Perilaku Kekerasan
3. Tujuan
Tujuan umum : Manajemen perilaku kekerasan
Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
c. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
d. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa klien dapat
e. dilakukan
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
g. Klien dapat mengidentifikasi cara yang konstruktif dalam berespon
terhadap
h. kemarahan
i. Klien dapat mendemonstrasikan perilaku yang terkontrol
j. Klien dapat mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku
k. Klien dapat menggunakan obat yang benar
4. Rencana Tindakan Keperawatan
1) Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien :
a) Bina hubungan saling percaya
b) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
c) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
d) Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.
e) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
f) Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
g) Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol fisik I.
h) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
2) Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II.
c) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
3) Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal.
c) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4) Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual.
c) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
5) Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klien.
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
c) minum obat.
d) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
5. Tindakan keperawatan untuk klien.
1) Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di
masa lalu dan saat ini.
2) Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
3) Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan,
baik kekerasan fisik, psikologis, social, spiritual, maupun intelektual.
4) Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada
saat marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
5) Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya.
6) Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara
fisik (bantal serta tarik nafas dalam atau pukul kasur), obat-obatan, social
atau verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun
spiritual (sembahyang atau berdoa sesuai keyakinan klien.

1.2 Strategi komunikasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatan


1. Strategi Pelaksanaan 1
1) Orientasi
a. Salam terapeutik
“Halo, selamat pagi Bapak. Perkenalkan, saya perawat A. Mulai hari ini
saya bertugas untuk merawat Bapak selama 1 minggu ke depan. Nama
Bapak siapa? nama lengkapnya? suka dipanggil siapa? oh ya, baiklah.
Saya panggil Bapak Wi saja ya. Hari ini saya jaga pagi dari jam 8 sampai
jam 2 sore. Jadi, jika Bapak ada keperluan, bisa mencari saya di ruang
perawat Evaluasi/validasi ya
Bagaimana kabar Bapak hari ini? tadi pagi Bapak sudah sarapan?
b. Kontrak
Topi : Bisa kita berbincang-bincang sekarang tentang apa yang
menyebabkan Bapak marah?
Waktu : “Lamanya 15 menit, bagaimana Pak? Jadi, kita akan \
ngobrol dari jam 10 sampai jam 10 lewat 15 menit nanti ya?”
Tempat : “Ingin ngobrol dimana, Pak? Bagaimana jika di tempat
duduk dekat ruang perawat ini?”

2) Kerja
“Bapak, sekarang kita akan membicarakan tentang perasaan yang bapak
alami selama ini.”
“Apa yang menyebabkan bapak marah? Apakah ada penyebab yang lain?
Samakah dengan yang sekarang? O..iya, jadi..... adalah penyebab marah
bapak. Pada saat penyebab marah itu ada, seperti .....
“Apakah bapak merasakan kesal kemudian dada bapak berdebar-debar, mata
melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal? Setelah itu apa yang
bapak lakukan? Apa kerugian cara yang bapak lakukan? Menurut bapak
adakah cara lain yang lebih baik? Maukah bapak belajar cara
mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?”
“Baik, sekarang kita akan belajar cara mengontrol perasaan marah dengan
kegiatan fisik. Kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul
perasaan kesal, berdebar-debar, mata melotot, bapak dapat melakukan: tarik
nafas dalam dan pukul kasur dan bantal. Mari kita coba latihan tarik nafas
dalam: berdiri, lalu tarik nafas dari hidung, tahan sebentar, lalu
keluarkan/tiup perlahan —lahan melalui mulut seperti mengeluarkan
kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus, tahan, dan tiup melalui
mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali, bapak sudah bisa melakukannya”
“Sekarang kita buat jadwalnya ya pak, mau berapa kali sehari bapak latihan
tarik nafas dalam? Baik pak ini jadwalnya . Kapann bapak mau latihan tarik
nafas dalam ?”
3) Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
“Bagaimana perasaan Bapak setelah berbincang-bincang dengan saya?
Bapak juga tadi sudah mampu mempraktikkan latihan untuk mengontrol
emosi dengan cara tarik napas dalam apabila akan marah.”
b. Tindak lanjut klien
“Sementara cukup di sini dulu ya, pembicaraan kita. Saya senang Bapak
mau mengobrol dengan saya.
”Iya jadi ada 2 penyebab yang membuat bapak marah ........ (sebutkan)
dan bapak rasakan ..... (sebutkan) dan yang bapak lakukan ..(sebutkan)
serta akibatnya (sebutkan). Sudahkah Bapak memasukkan teknik nafas
dalam dalam jadwal kegiatan Bapak?”
c. Kontrak yang akan datang
a) Topik : Bagaimana kalau nanti kita bicarakan tentang cara
menyalurkan marah secara fisik yang lain ?
b) Tempat Di mana enaknya kita bercakap-cakap nanti? Apakah
diruangan Bapak atau diluar ruangan?
c) Waktu : Bagaimana kalau saya datang kembali untuk menemui
Bapak besok? “Jam 13.00 ya, Pak. Kita akan ngobrol kira-kira 15
menit lagi ya. Baik, saya permisi dulu, Bapak bisa melanjutkan
kegiatan yang lainnya terimakasih ya atas waktunya”

2. Strategi Pelaksanaan 2
1) Orientasi
a. Salam terapeutik
“ Selamat Pagi Bapak. Apa kabar hari ini ?”
b. Evaluasi/validasi
“Kemarin kita sudah berkenalan. Bapak masih ingat dengan nama saya?
bagus sekali Bapak masih mengingat nama saya. Apakah Bapak sudah
memikirkan kira-kira bagaimana caranya menyalurkan marah secara fisik
yang lain?”
c. Kontrak
Topik :Apakah Bapak sudah menemukan cara lain dalam
mengontrol marah Bapak secara fisik selain teknik nafaas
dalam?
Waktu : “Kita ngobrol 20 menit hari ini, bagaimana Pak? Jadi, kita
akan ngobrol dari jam 13.00 sampai jam 13.20 nanti ya?”
Tempat :Dimana Bapak mau kita berbincang-bincang, Pak?

2) Kerja
“Penampilan Bapak hari ini bagus, rapi dan bersih. Bagus sekali, Pak. Hal
seperti ini harus dipertahankan”.
“Bapak sudah mandi tadi? Bapak kelihatan segar sekali.”
“Bapak, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, saya ingin Bapak
melakukan kembali cara mengontrol marah dengan teknik nafas dalam. ”
“Baik bagus sekali pak. “
“Apakah bapak sudah menemukan cara lain untuk mengontrol emosi secara
fisik selain teknik nafas dalam?” Baik mari kita coba untuk melakukan
teknik memukul bantal atau kasur. Dimana kamar bapak? Jadi kalau nanti
bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan lampiaskan kemarahan
tersebut dengan memukul kasur dan bantal. Nah, coba bapak lakukan, pukul
kasur dan bantal. Ya, bagus sekali bapak melakukannya”.
“Sekarang kita buat jadwalnya ya pak, mau berapa kali sehari bapak latihan
memukul kasur dan bantal? Baik pak ini jadwalnya, kapan bapak mau
latihan tarik nafas dalam dan memukul bantal atau kasur.”
3) Terminasi
a) Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara
menyalurkan marah secara fisik?”
b) Tindak lanjut klien
“Setelah ini coba Bapak lakukan latihan memukul kasur bantal dan tarik
napas dalam sesuai dengan jadwal yang kita buat tadi.”
c) Kontrak yang akan datang
Topik : Nanti kita akan membicarakan tentang cara bicara yang baik
bila sedang marah, setuju?
Waktu : Besok saya akan kembali mengunjungi Bapak ya?
Tempat : Bagaimana kalau waktunya seperti sekarang ini saja, Bapak
setuju?
3. Strategi Pelaksanaan 3
1) Orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat siang Pak, masih ingat dengan saya? Bagaimana kondisi Bapak
sekarang?”
b. Evaluasi/validasi
“Bagaimana perasaan Bapak sekarang?”
“Bagaimana pak, sudah dilakukan latihan tarik nafas dalam dan pukul
kasur bantal?”
“Kalau sudah, dipertahankan ya Pak latihannya.”
c. Kontrak
Topik : Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk
menyalurkan marah Bapak, yaitu dengan cara
mengungkapkan sesuatu dengan cara yang baik kepada orang
yang dianggap bermasalah dengan Bapak?
Waktu :Berapa lama Bapak mau kita berbincang-bincang tentang hal
tersebut?
Tempat :Di mana enaknya kita berbincang-bincang tentang hal
tersebut?

2) Kerja
“Sekarang kita latihan cara bicara yang baik bila sedang marah. Ada tiga
caranya pak, yaitu : pertama meminta dengan baik tanpa marah dengan nada
suara yang rendah serta tidak menggunakan kata-kata kasar, misalnya: ‘Bu,
tolong ambilkan saya air minum itu'. Coba bapak praktekkan. Bagus pak”.
“kedua menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan bapak tidak ingin
melakukannya, katakan: ‘Maaf saya tidak bisa melakukannya karena sedang
ada kerjaan'. “ ketiga Mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan
orang lain yang membuat kesal, bapak dapat mengatakan:' Saya jadi ingin
marah karena perkataanmu itu'
“Coba bapak praktekkan. Bagus pak”
“Sekarang mari kita masukkan dalam jadwal. Berapa kali bapak dalam
sehari mau latihan bicara yang baik ?”
“Bisa kita buat jadwalnya? Coba masukkan dalam jadwal latihan sehari-hari,
misalnya meminta makan, minta obat atau minta uang, dll. Begitu juga
dengan latihan tarik nafas dalam, latihan pukul bantal/kasur, dan jadwal
minum obat tetap dilanjutkan seperti jadwal sebelumnya”

3) Terminasi
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara
menyalurkan marah dengan mengungkapkan kepada seseorang yang
telah membuat Bapak kesal?”
“Coba Bapak sebutkan lagi cara menyalurkan marah dengan
mengungkapkan kepada seseorang yang telah membuat Bapak kesal!”
2. Tindak lanjut klien
“Setelah ini coba Bapak bertemu dengan seseorang di Rumah Sakit ini
yang pernah membuat Bapak kesal, sesuai dengan jadwal yang telah kita
buat tadi.”
3. Kontrak yang akan datang
Topik : ”Nanti kita akan membicarakan cara lain untuk mengontrol
rasa marah Bapak dengan ibadah, apakah Bapak setuju
Pak?”
Waktu : ”Besok saya akan mengunjungi Bapak lagi ya, seperti hari
ini?”
Tempat : “ Bapak kita ngobrolnya seperti biasa ya Pak, ditempat ini
saja.”

4. Strategi Pelaksanaan 4
1) Orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat siang Bapak, bagaimana keadaannya sekarang ?
b. Evaluasi/validasi
Bagaimana Pak, sudah dilakukan latihan napas dalam, pukul kansur
bantal, dan bicara yang baik? Apa yang dirasakan setelah melakukan
latihan tersebut?
c. Kontrak
Topik : “Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk
mengontrol marah bapak yaitu dengan ibadah
Waktu : ”Bagaimana jika kita berbincang-bincang selama 15 menit,
apakah bapak setuju? “
Tempat: “Dimana sebaiknya kita berbincang-bincang tentang hal
tersebut?”

2) Kerja
“Coba bapak ceritakan kegiatan ibadah yang biasa bapak lakukan” “Bagus”
“Nah, kalau bapak sedang marah coba bapak langsung duduk dan tarik nafas
dalam dan berdoa. Jika tidak reda juga marahnya, rebahkan badan agar
rileks”
“Coba bapak sebutkan lagi cara ibadah yang dapat bapak lakukan bila bapak
merasa marah. Bapak bisa melakukannya ya”
“Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadwal kegiatan bapak. Jam
berapa bapak akan sembahyang?

3) Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang cara
menyalurkan marah melalui melakukan ibadah? Coba Bapak sebutkan
lagi cara ibadah yang dapat Bapak lakukan bila Bapak merasa marah”
b. Tindak lanjut klien
“Setelah ini coba Bapak lakukan Tri Sandya sesuai jadwal yang telah kita
buat tadi.”
c. Kontrak yang akan datang
Topik : “Nanti kita akan membicarakan cara penggunaan obat yang
benar untuk mengontrol rasa marah Bapak, setuju Pak?”
Waktu : ” Bagaimana kalau nanti sore pukul 16.30 kita ngobrol
ngobrol selama 15 menit ya Pak?
Tempat :”Kita betemu disini saja ya ni?” Di teras depan kamar. Kalau
begitu sampai bertemu nanti ya, Pak. Terima kasih.”

5. Strategi Pelaksanaan 5
1) Orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat sore Pak, masih ingat dengan saya?” “Bagus Bapak masih
ingat dengan saya”
b. Evaluasi
“Apa yang Bapak rasakan hari ini? Sudah dilakukan latihan tarik nafas
dalam dan pukul kasur bantal? Latihan bicara dengan baik? Dan latihan
berdoa? Apa yang dirasakan setelah melakukan latihan tersebut? Coba
kita lihat jadwal kegiatannya”. “Apakah selama kita tidak bertemu tadi
ada hal yang membuat bapak marah?” “Apa yang bapak lakukan untuk
mengatasinya? Hasilnya bagaimana pak?”
c. Kontrak
Topik : “Bagaimana kalau sekarang kita bicara tentang pentingnya
minum obat dan latihan tentang cara minum obat yang benar
untuk mengontrol rasa marah?
Waktu : “Ya seperti janji kita tadi kita bicara selama 15 menit
Tempat : “Bagaimana kalau kita ngobrolnya disini saja?”
Sekarang saya akan jelaskan tentang pentingnya minum
obat”.
2) Fase Kerja
“Bapak sudah dapat obat dari dokter ? Pak ini obatnya, bapak perlu minum
obat ini secara teratur agar pikirannya jadi tenang, dan tidurnya juga
menjadi nyenyak. Obatnya ada 1 macam saja pak, namanya clozapine
warnanya kuning dosisnya 100 mg diminum 2 kali sehari setiap pagi dan
sore hari. Bapak perlu secara teratur minum obat dan tidak
menghentikannya tanpa konsultasi dengan dokter. Sekarang kita masukkan
waktu minum obatnya kedalam jadwal ya pak”
3) Fase terminasi
a. Evaluasi
“Setelah ngobrol tadi, apa yang Bapak rasakan? Bapak masih ingat apa
yang kita bicarakan tadi?” “Bagaimana perasaan bapak setelah kita
bercakap- cakap tentang cara mengontrol perasaan marah dengan cara
minum obat yang benar?” “Coba bapak sebutkan lagi cara minum obat
yang benar”
b. Tindak lanjut
“Bapak, sudah 15 menit kita ngobrol — ngobrolnya,sekarang Bapak
bisa beristirahat, nanti kita ngobrol lagi. Terima kasih.”
c. Kontak yang akan datang
“Baik Pak, besok kita ketemu lagi untuk melihat sejauh mana Bapak
melaksanakan kegiatan dan sejauh mana dapat mencegah rasa marah.
Terimakasih sudah mau bekerja sama ya Pak, sampai jumpa.”

Anda mungkin juga menyukai