Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN RESIKO PERILAKU

KEKERASAN

A. Konsep Dasar Resiko Perilaku Kekerasan


1. Definisi Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut Muhith (2015), kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku
agresi (aggressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk
menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau
benda-benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun
perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap
kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah
yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk
melawan atau menghukum yang berupa tindakan menyerang, merusak hingga
membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan berupa tindak kekerasan menyerang
orang lain (assault), agresivitas terhadap diri sendiri (self aggression) serta
penyalahgunaan narkoba (drugs abuse) untuk melupakan persoalan hingga tindakan
bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi.
Perilaku kekerasan atau perilaku agresi merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
definisi ini, maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan
secara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat,
2010). Resiko perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang berisiko
membahayakan secara fisik, emosi dan/atau seksual pada diri sendiri atau orang lain
(SDKI, 2016).
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diekspresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan. Respons
tersebut biasanya muncul akibat adanya stresor. Respons ini dapat menimbulkan
kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Keliat, dkk,
2011:180).
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun
orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Kusumawati,
dkk. 2010:81).
2. Teori Perilaku Agresi
Menurut Muhith (2015) ada beberapa teori mengenai perilaku agresi, yaitu:
a. Instinct theory, mengasumsikan bahwa perilaku agresi merupakan suatu
insting naluriah setiap manusia. Menurut teori tersebut, setiap manusia
memiliki insting kematian (tanatos) yang diekspresikan lewat agresivitas
pada diri sendiri maupun orang lain. Saat ini teori ini telah banyak ditolak.
b. Drive theory, menekankan bahwa dorongan agresivitas manusia dipicu oleh
faktor pencetus eksternal untuk survive dalam mempertahankan
eksistensinya. Menurut teori tersebut, tanpa agresi kita dapat punah atau
dipunahkan orang lain, namun teori ini pun banyak disangkal.
c. Social learning theory, menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil
pembelajaran seseorang sejak masa kanak-kanaknya yang kemudian menjadi
pola perilaku (learned behavior). Dalam perkembangan konsep teori ini
mengasumsikan juga bahwa pola respon agresi seseorang memerlukan
stimulus (impuls) berupa kondisi sosial lingkungan (faktor psikososial)
untuk memunculkan perilaku agresi. Namun bentuk stimulus yang sama
tidak selalu memunculkan bentuk perilaku agresi yang sama pada setiap
orang. Dengan kata lain, pola perilaku agresi seseorang dibentuk oleh faktor
pengendalian diri individu tersebut (internal control) serta berbagai stimulus
dari luar (impulses). Saat keseimbangan antara kemampuan pengendalian
diri dan besarnya stimulus terganggu, maka akan membangkitkan perilaku
agresi.
Agresi sendiri dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu:
a. Irritable aggression merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan
marah. Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek
pada proses penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas
emosional tinggi (directed against an available target).
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai
alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk mencapai suatu
tujuan politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang dilakukan secara
sengaja dan terencana; seperti peristiwa penghancuran menara kembar WTC
di New York, tergolong dalam kekerasan instrumental).
c. Mass aggression adalah tindakan agresi yang dilakukan oleh massa akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat massa
berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan individualitas orang-
orang yang membentuk kelompok massa tersebut. Manakala massa tersebut
telah solid, maka bila ada seseorang memelopori tindak kekerasan, maka
secara otomatis semua akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin
meninggi karena saling membangkitkan.
3. Rentang Respon Marah
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri-
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu
orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya, perawat harus
pula mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah.
Secara umum, rentang respon adapatif dan maladaptif merupakan bagian dari
rentang respon sosial, dimana pembagian adalalah sebagai berikut: 
a. Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat dan
individu dalam menyelesaikan masalahnya, dengan kata lain respon adaptif
adalah respon atau masalah yang masih dapat di toleransi atau masih dapat
di selesaikan oleh kita sendiri dalam batas yang normal.
b. Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam
menyelesaikan masalahnya menyimpang dari norma - norma dan
kebudayaan suatu tempat atau dengan kata lain di luar batas individu
tersebut.

Adaptasi Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk


rentang respon marah yaitu:
a. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena
tidak reakstis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan.
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, pasien
tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa
kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang
tampak dapat berupa : muka kusam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai
kekerasan.
e. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan
kontrol diri, individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
4. Penyebab Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut Muhith (2015), penyebab perilaku kekerasan ada dua faktor antara lain.
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya. Sesorang
yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam
dan cemas. Jika tidak mampu mengendalikan frustasi tersebut maka dia
meluapkannya dengan cara kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorngan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang
berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku
agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada neukleus
periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing
mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya
berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, hendak
menerkam tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi, terjadi
kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal
(untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi
indera penciuman dan memori). Neurotransmiter yang sering dikaitkan
dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepineprin, asetilkolin,
dan asam amino GABA. Faktor-faktor yang mendukung adalah ; 1)
masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan, 2) sering mengalami
kegagalan, 3) kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan 4) lingkungan
yang tidak kondusif (bising, padat).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang
yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku
kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri,
tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana
gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan
dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Intraksi social yang
provokatif dan konflik dapat pula memicu tindakan kekerasan.

5. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan


Agresi seseorang mempunyai dasar biologis, psikososial, dan budaya yang rumit
dan tidak menentu. Perilaku kekerasan berhubungan dengan lesi pada korteks
prefrontal (sindrom lobus frontal) dan stimulasi amigdala dan sistem limbic, dan
adanya peningkatakan hormone andogren dan norepinefrine cairan cerebrospinal dan
penurunan serotonin dalam cairan cerebrospinal (mirip bunuh diri dalam kekerasan)
dan GABA (Gama Amino Butirat Acid). Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap
orang dapat bertindak keras tapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi:
pria berusia 15-25 tahun, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol.
Faktor neurotransmiter dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan
dua neutransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
Norepinefrin berhubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara
turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis
memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak
reseptor-reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron dilepaskan.
Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur
jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering berhubunga dengan
patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gammaaminobutyric acid
(GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan
dalam patofisiologi gangguan mood.
Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino. Asam
amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama dari
asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate. GABA
adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedang glutamate adalah asam amino
eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak adalah dengan melihat
keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut. Bila oleh karena suatu hal,
misalnya subsentivitas reseptor-reseptor pada membran sel paskasinaptik,
neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin menurut kadarnya pada
celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi. Demikianlah pula bila terjadi disregulasi
asetilkholin yang menyebabkan menurunya kadar neurotrnasmiter asetilkolin di celah
sinaptil, terjadinya gejala depresi.
6. Tanda dan Gejala Risiko Perilaku Kekerasan
Tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
7. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping klien
sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Mekanisme koping yang umum
digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti:
a. Displacement
Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu
seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik.
c. Depresi
Menekan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik ingatan dari
kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.
d. Reaksi formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan
apa yang benar-benar dilakukan orang lain.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Medis
1) Terapi Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Jenis obat
psikofarmaka adalah:
a) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, mania
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa
kecil.
b) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles
de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-6 mg
sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat. Kontraindikasinya
depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping nya sering
mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
c) Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
b. Terapi Somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik. Beberapa jenis terapi
somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien.
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan
khusus.
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan
dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar
ruangan).
4) ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples.Therapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

c. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi :
1) Terapi Modalitas
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua pasien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan
seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film,
atau diskusi informal memberikan pasien kesempatan untuk
membicarakan peristiwa atau isu ketika pasien tenang. Aktivitas
juga melibatkan pasien dalam proses terapeutik dan meminimalkan
kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan pasien menunjukkan
perhatian perawat yang tulus terhadap pasien dan kesiapan untuk
mendengarkan masalah pikiran serta perasaan pasien. Mengetahui
apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman pasien.
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi bersama
dalam kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama
dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk
membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain.
Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua
anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok, pasien
dapat mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping
atau menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari
keterampilan interpersonal yang penting.
c) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi pasien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional
keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang
maladaptive, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah
keluarga.
d) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal
antara ahli terapi danpasien .Tujuan dari terapi individu yaitu
memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan
personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas
dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara pasien dan ahli terapi terbina melalui tahap
yang sama dengan tahap hubungan perawat-pasien yaitu introduksi,
kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan
oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain
mendorong upaya mempercepat pasien ke fase kerja sehingga
memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi.
d. Hal-hal yang Dapat dilakukan Apabila Mempunyai Keluarga dengan Risiko
Perilaku Kekerasan
1) Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung potensi dan
minat bakat anggota keluarga yang mengalami perilaku
kekerasansehingga diharapkan dapat meminimalisir kejadian perilaku
kekerasan.
2) Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan pihak-pihak
terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW dalam membantu
menyelesaiakan konflik sebelum terjadi tindakan kekerasan.
3) Mengadakan kontrol khusus dengan perawat /dokter yang dapat
membahas dan melaporkan perkembangan anggota keluarga yang
mengalami risiko pelaku kekerasan terutama dari segi kejiwaan antara
pengajar dengan pihak keluarga terutama orangtua.

e. Peran Keluarga dalam Penanganan Risiko Perilaku Kekerasan


1) Mencegah terjadinya perilaku amuk :
a) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota
keluarga
b) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota keluarga
yang berada dalam kesulitan
c) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
d) Menjalin keterbukaan
e) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
f) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan berusaha
memperbaiki kekurangan tersebut
g) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi kesempatan pada
anggota keluarga untuk mengugkapkan perasaannya untuk membantu
kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
h) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan minum obat
anggota dengan risiko pelaku kekerasan dan mendiskusikan tentang
pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
i) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas kegiatan
yang telah dilatih di rumah sakit.
j) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan pasien untuk
mengendalikan marah.
k) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan anggota
keluarga risiko pelaku kekerasan.
l) keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar meminimalisir
kesempatan melakukan perilaku kekerasan
2) Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan pasien :
a) Menarik nafas dalam
b) Memukul-mukul bantal
c) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan pasien mengucapkan apa
yang tidak disukai pasien
d) Melakukan kegiatan keagamaan seperti sembahyang.
e) Mendampingi pasien dalam minum obat secara teratur.
3) Bila pasien dalam Perilaku Kekerasan
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk membantu membawa
pasien ke rumah sakit jiwa terdekat. Sebelum dibawa usahakan dan
utamakan keselamatan diri pasien dan penolong.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Risiko Perilaku Kekerasan


1. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa factor
presipitasi, penilaian stressor, suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan
pengkajian, tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian
meliputi:
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
pekerjaan, pendidikan, tangggal MRS, informan, tangggal pengkajian, No
Rumah klien dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi
dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari – hari, dependen.
c. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan / frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya;
perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus
dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu
karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan, tituduh kkn, dipenjara tiba –
tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif
terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Rambut: Keadaan kesuburan rambut, keadaan rambut yang mudah
rontok, keadaan rambut yang kusam, keadaan tekstur.
2) Kepala: Adanya botak atau alopesia, ketombe, berkutu, kebersihan.
3) Mata: Periksa kebersihan mata, mata gatal atau mata merah
4) Hidung: Lihat kebersihan hidung, membran mukosa
5) Mulut: Lihat keadaan mukosa mulut, kelembabannya, kebersihan
6) Gigi: Lihat adakah karang gigi, adakah karies, kelengkapan gigi
7) Telinga: Lihat adakah kotoran, adakah lesi, adakah infeksi
8) Kulit: Lihat kebersihan, adakah lesi, warna kulit, teksturnya,
pertumbuhan bulu.
9) Genetalia: Lihat kebersihan, keadaan kulit, keadaan lubang uretra,
keadaan skrotum, testis pada pria, cairan yang dikeluarkan
e. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
f. Aspek Psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau
tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan
terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif
tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang,
mengungkapkan keputusasaan, mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan
tidak mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya:
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat,
mencederai diri, dan kurang percaya diri.
3) Hubungan social
Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat, hambatan dalam
berhubungan dengan orang lain.
4) Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan beribadah.
g. Status mental
Kontak mata klien kurang/ tidak dapat mepertahankan kontak mata,
kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang
mampu berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan keputusasaan dan
kurang berharga dalam hidup.
h. Kebutuhan persiapan pulang
1) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC,
membersikan dan merapikan pakaian.
3) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas didalam
dan diluar rumah
5) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
i. Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya
pada orang orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri).
j. Masalah psikososial dan lingkungan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. Pada tiap
masalah yang dimilki klien, beri uraian spesifik, singkat dan jelas.
k. Pengetahuan
Data dapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. Pada tiap
item yang dimiliki oleh klien simpulkan dalam masalah.
l. Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy Psikofarmaka, ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK, dan rehabilitas.
Analisa Data
Data Fokus Masalah Keperawatan
Data Subjetif : Risiko Perilaku Kekerasan
- Pasien mengatakan pernah
melakukan tindak kekerasan
- Pasien mengatakan sering
merasa marah
- Suara keras dan bicara ketus
- Nada suara tinggi
Data Objektif
- Pasien tampak tegang saat
bercerita
- Pembicaraan pasien kasar jika
menceritakan marahnya
- Mata melotot, Pandangan tajam
- Nada suara tinggi
- Tangan mengepal
- Berteriak
- Mudah tersinggung
Data Subjektif Gangguan Persepsi Sensori
- Mendengar suara bisikan atau
melihat bayangan.
- Merasakan sesuatu melalui
indera perabaan, penciuman,
penglihatan, pendengaran.
- Menyatakan kesal.
Data Objektif
- Distorsi sensori.
- Respon tidak sesuai.
- Sikap seolah melihat,
mendengar, mengecap, meraba,
dan mencium sesuatu.
- Menyendiri.
- Melamun.
- Konsentrasi buruk.
- Disorientasi waktu, tempat,
orang, atau situasi.
- Curiga.
- Melihat ke satu arah.
- Mondar-mandir.
- Bicara sendiri.
Data Subjektif Perilaku Kekerasan
- Mengancam
- Mengumpat dengan kata-kata kasar
- Suara keras
- Bicara ketus
Data Objektif
- Menyerang orang lain
- Melukai diri sendiri atau orang lain
- Merusak lingkungan
- Perilaku agresif atau amuk
- Mata melotot/pandangan tajam
- Tangan mengepal
- Rahang mengatup
- Wajah memerah
- Postur tubuh kaku

Pohon Masalah
Perilaku Kekerasan Effect

Risiko Perilaku Kekerasan Core Problem

Gangguan Persepsi Sensori cause


Daftar Masalah
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada perilaku
kekerasan yaitu :
a. Risiko Perilaku Kekerasan
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi.
c. Perilaku kekerasan
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko Perilaku Kekerasan
3. Intervensi
Tgl/ Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan Rasional
Waktu Kep. Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko TUM : Pasien dapat Setelah diberikan 1) Bina Hubungan Saling 1) Agar pasien
Perilaku mengendalikan perilakunya tindakan keperawatan Percaya mampu
Kekerasan TUK 1 : …. x …. menit 2) Identifikasi penyebab menceritakan
Pasien dapat diharapkan pasien tanda dan gejala serta semua masalah
mengidentifikasi dapat mengidentifikasi akibat perilaku yang mendorong
penyebab dan tanda penyebab dan tanda kekerasan yang pasien melakukan
perilaku kekerasan perilaku kekerasan dirasakan pasien. perilaku
yang dirasakan pasien. dengan kriteria hasil : 3) Latih cara mengalihkan kekerasan.
1. Pasien diri saat mendengar 2) Mengetahui
menyebutkan suara aneh penyebab tanda
a. Penyebab 4) Latih cara melakukan dan gejala serta
perilaku teknik nafas dalam. akibat perilaku
kekerasan 5) Masukkan dalam kekerasan yang
b. Tanda dan gejala jadwal harian pasien dilakukan pasien.
perilaku 3) Melatih pasien
kekerasan, mengatur rasa
c. Akibat dari marahnya dengan
perilaku teknik nafas dalam
kekerasan
2. Pasien dapat 4) Untuk
memperagakan membiasakan
cara mengontrol pasien untuk
perilaku kekerasan mengatur rasa
dengan cara marah dengan
melakukan teknik teknik nafas dalam
nafas dalam.
TUK 2 : Setelah diberikan 1) Evaluasi kegiatan yang 1) Untuk mengetahui
- Menyebutkan jenis- tindakan keperawatan lalu (SP 1) perkembangan
jenis perilaku … x … menit 2) Latih cara fisik II pasien dalam
kekerasan yang diharapkan pasien (pukul kasur atau mengontrol rasa
pernah dilakukan dapat menyebutkan bantal) marah
jenis-jenis perilaku 3) Masukkan dalam 2) Untuk
kekerasan yang pernah jadwal harian pasien menyalurkan rasa
dilakukan dengan marah pasien
kriteria hasil : secara fisik
1. Pasien dapat 3) Mengatur waktu
menyebutkan pasien dalam
kegiatan yang mengulang cara
sudah dilakukan untuk mengontrol
2. Pasien dapat rasa marahnya.
memperagakan
cara fisik untuk
mengontrol
perilaku
kekerasan.

TUK 3 : Setelah SP 3 : 1) Untuk mengetahui


Menyebutkan akibat dari diberikan 1) Evaluasi kegiatan yang bagaimana
perilaku kekerasan yang tindakan lalu ( SP 1 dan SP 2) kemampuan pasien
dilakukan keperawatan … 2) Latih secara sosial atau dalam mengontrol
x … menit verbal rasa marahnya.
diharapkan 3) Masukkan dalam 2) Untuk membantu
pasien mampu jadwal harian pasien pasien dalam
menyebutkan mengontrol rasa
akibat dari marah secara
perilaku verbal
kekerasan yang 3) Mengatur waktu
dilakukan pasien dalam
dengan kriteria mengulang cara
hasil : untuk mengontrol
1. Menyebutkan rasa marahnya.
kegiatan yang
sudah dilakukan
2. Memperagakan
cara sosial atu
verbal untuk
mengontrol prilaku
kekerasan

TUK 4 : Setelah diberikan 1) Evaluasi kegiatan yang 1) Untuk mengetahui


Menyebutkan cara tindakan keperawatan lalu ( SP 1, SP 2 dan perkembangan
mengontrol prilaku … x … menit SP 3) pasien dalam
kekerasan. diharapkan pasien 2) Latih secara spiritual mengontrol rasa
mampu menyebutkan berdoa dan tri sandya marah.
cara mengontrol 3) Masukkan dalam 2) Menganjurkan
perilaku kekerasan jadwal harian pasien. pasien untuk
dengan kriteria hasil : berdoa dan tri
1. Pasien mampu sandya untuk
menyebutkan mengontrol rasa
kegiatan yang sudah marah.
dilakukan 3) Mengatur waktu
2. Pasien dapat pasien dalam
memperagakan cara mengulang cara
spiritual untuk mengontrol
rasa marahnya.
TUK 5 : Setelah diberikan 1) Evaluasi kegiatan yang 1) Untuk mengetahui
Mengontrol perilaku tindakan keperawatan lalu (SP 1,2,3 dan 4) perkembangan
kekerasan dengan cara … x … menit 2) Latih patuh obat pasien dalam
psikofarmaka ( obat) diharapkan pasien pasien: minum obat mengontrol rasa
mampu mengontrol secara teratur dengan marah.
perilaku kekerasan prinsip 5 B dan susun 2) Menekan rasa
dengan cara jadwal minum obat marah pasien
psikofarmaka (obat) secara teratur dengan cara
perilaku kekerasan 3) Masukkan dalam psikofarmaka
dengan kriteria hasil : jadwal harian pasien. 3) Mengatur waktu
1. Pasien pasien dalam
menyebutkan mengulang cara
kegiatan yang untuk mengontrol
sudah dilakukan rasa marahnya.
2. Pasien
memperagakan
cara patuh obat
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi
SP 1.
1. Mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala serta akibat perilaku kekerasan.
2. Melatih cara fisik 1 : tarik nafas dalam.
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien.
SP 2.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 ).
2. Melatih cara fisik 2 : pukul kasur / bantal.
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien.
SP 3.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 dan SP 2 ).
2. Melatih secara sosial / verbal.
3. Menolak dengan baik.
4. Meminta dengan baik.
5. Mengungkapkan dengan baik.
6. Memasukan dalam jadwal harian pasien.
SP 4.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1, 2 & 3 ).
2.Melatih secara spiritual.
a. Berdoa.
b. Sembahyang.
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien.
SP 5.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1, 2, 3, & 4 ).
2. Melatih patuh obat :
a. Meminum obat secara teratur dengan prinsip 5B.
b. Menyusun jadwal minum obat secara teratur.
3. Memasukan dalam jadwal harian pasien.
SP 1.
1. Mengidentifikasi masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
2. Menjelaskan tentang perilaku kekerasan :
a. Penyebab.
b. Akibat.
c. Cara merawat.
3. Melatih cara merawat.
4. RTL keluarga / jadwal untuk merawat pasien.
SP 2.
1. Mengevaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1 ).
2. Melatih ( simulasi ) 2 cara lain untuk merawat pasien.
3. Melatih langsung ke pasien.
4. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat pasien.
SP 3.
1. Mengevaluasi SP 1 dan SP 2.
2. Melatih langsung ke pasien.
3. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat pasien.
SP 4.
1. Mengevaluasi SP 1, 2, & 3.
2. Melatih langsung ke pasien.
3. RTL keluarga.
a. Follow Up.
b. Rujukan.

5. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi di bagi menjadi 2 yaitu :
a. Evaluasi proses (Formatif) dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
b. Evaluasi hasil (Sumatif) dilakukan dengan membandingkan respon klien
pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan dengan perawatan
SOAP
Hasil yang ingin dicapai pada klien yaitu :
1. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab dan tanda perilaku kekerasan
yang dirasakan pasien.
2. Menyebutkan jenis-jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukan
3. Menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan
4. Menyebutkan cara mengontrol prilaku kekerasan.
5. Menyebutkan cara mengontrol prilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
CV Andi Offset.
Nurhalimah. 2016. “Modul Bahan Ajar Cetak Keperatawan: Keperawatan Jiwa”.
Hlm162-171. Jakarta: Kemenkes RI.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai