NIM : 1720190020
LAPORAN PENDAHULUAN
2. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan yaitu
:
a. Faktor psikologis
Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
anusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang di ekspresikan
dengan seksualitas dan kedua insting kematian yang di ekspresikan dengan
agresivitas.
Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh pengikut
freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai
suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang
pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai
orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang
melakukan tindakan agrresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini
menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping
yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
1) Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak mampu untuk
menyelesaikan secara efektif.
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak,atau seduction parental, yang mungkin telah merusak
hubungan saling percaya dan harga diri.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse
atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola
pertahanan atau koping.
b. Faktor soosial budaya
Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh Bandura (1977)
dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan
respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap
kebangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau eksternal.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima
atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk
mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agrsif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang
ternyata menimbulkan perilaku agresif. Rangsangan yang diberikan terutama
pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing
mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis dll.
Jika kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku),
lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus temporal. Neurotransmiter
yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin,
norepineprine, acetilkolin dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
1) Masa kanak-kanak yang mendukung
2) Sering mengalami kegagalan
3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif
4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising,
padat)
3. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap
4. Jenis
a. Kekerasan fisik: yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa
melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya
adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak,
melempar dengan barang, dll.
b. Kekerasan non fisik: yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa
langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi
sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Kekerasan non fisik ini dibagi
menjadi dua, yaitu;
1) Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya:
membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah,
menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata kata kasar, mempermalukan
didepan umum dengan lisan, dll
2) Kekerasan psikologis/psikis : kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh,
contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan,
mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir dan
memelototi.
5. Fase Fase
Fase- fase perilaku kekerasan
a. Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor
yang dapat menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, responterhadap
kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran
batas terhadap jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini
klien dan keluarga baru datang.
b. Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan respon
fight or flight. Pada fase escalasi kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi
tindakan kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik
bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan penggunaan zat,
kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak efektif.
c. Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation gagal
mencapai tujuannya. Pada fase ini klien sudah melakukan tindakan kekerasan.
d. Settling phase
Klien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya.
Mungkin masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
e. Post crisis depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus pada
kemarahan dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan
kelelahan.
6. Rentang Respon
Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat
yang ekstrim dari marah atau ketakutan ( panik ).
Respon Adaptif Respon Maladaptif Asertif
Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai
kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang
lain dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak
dapat menemuka alternatif.
c. Pasif : individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya
kontrol. Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian
pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin
menyampaikan pesan bahwa ia ”tidak setuju, tersinggung, merasa tidak
dianggap, merasa tidak dituruti atau diremehkan.” Rentang respon
kemarahan individu dimulai dari respon normal (asertif) sampai pada
respon yang tidak normal (maladaptif).
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/ keinginan tidak
baik.
c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan
dengan melebihkansikap atau perilaku yang berlawanan.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan
dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan bermusuhan pada
objek yang berbahaya.
f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang dianggap
berpangaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat
menyebabkan seseorang harga diri rendah (HDR), sehingga sulit untuk
bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain
tidak dapat diatasi maka akan muncul halusinasi berupa suara-suara atau
bayang- bayangan yang meminta klien untuk melakukan kekerasan. Hal ini
data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko mencederai
diri, orang lain dan lingkungan).
g. Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat mempengaruhi
perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini yang
menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan
karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif).
No Data Masalah
1 Subjektif Resiko perilaku
- Mengatakan pernah melakukan tindak kekerasan kekerasan
- Infornasi dari keluarga tentang tindak kekerasan yang
dilakukan oleh pasien
- Mendengar suara suara
- Merasa orang lain mengancam
- Menganggap orang lain jahat
Objektif
- Ada tanda / jejas perilaku kekerasan pada anggota
tubuh
- Tampak tegang saat bicara
- Pembicaraan kasar ketika menceritakan marahnya
VI. SUMBER
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan SP .
Jakarta: Selemba Medika
Said, S.2013. Laporan Pendahuluan Perilaku Kekerasan.
Sembiring, E.2011.Perilaku Kekerasan.
Sertiawan, L. B.2013.Keperawatan Jiwa :
Yosep. 2009. Keperawatan jiwa edisi refisi. Bandung: PT.Refika
Aditama
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN RESIKO PERILAKU
KEKERASAN
(SP 1)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
a. Data Subjektif (DS) :
Keluarga pasien mengatakan di rumah pasien marah-marah, sering membanting
barang, mengeluarkan kata-kata kotor dan mengancam akan membakar rumah
Pasien mengatakan malas minum obat karena bosan minum obat teratur pun
tidak sembuh-sembuh
Pasien mengatakan sudah tau cara mengontrol marah
Pasien mengatakan malas melakukannya karena tidak ada pengaruh
b. Data Objektif (DO) :
Mata pasien tampak melotot
Suara pasien tampak tinggi serta sering berteriak serta memaki orang yang
melihatnya
Penampilan pasien tampak tidak rapih, berbau dan rambut acak-acakan
2. Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku Kekerasan
3. Tujuan khusus
Membantu pasien melatih mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama.
4. Tindakan Keperawatan
a. Mengidentifikasi penyebab PK
b. Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
c. Mengidentifikasi PK yang dilakukan
d. Mengidentifikasi akibat PK
e. Menyebutkan cara mengontrol PK
f. Membantu pasien mempraktekan latihan cara mengontrol fisik I (tarik nafas dalam)
dan fisik II (Pukul bantal/kasur)
g. Menganjurkan pasien memasukan dalam kegiatan harian
TERMINASI
1. Evaluasi
a. Evaluasi Klien (Subjektif)
“Bagaimana perasaan ibu setelah berbincang-bincang tentang kemarahan ibu?”
b. Evaluasi Perawat (Objektif)
” Ada berapa cara yang sudah kita latih? Coba sebutkan lagi. Bagus!”
2. Rencana tindak Lanjut
“Sekarang mari kita masukkan jadwal latihan tarik nafas dalam dan memukul bantal
dalam aktivitas ibu. Lalu bila ada keinginan marah sewaktu-waktu segera gunakan
kedua cara tadi ya bu.”
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
a. Data Subjektif (DS):
Keluarga pasien mengatakan di rumah pasien marah-marah, sering membanting
barang, mengeluarkan kata-kata kotor dan mengancam akan membakar rumah
Pasien mengatakan malas minum obat karena bosan minum obat teratur pun
tidak sembuh-sembuh
Pasien mengatakan sudah tau cara mengontrol marah
Pasien mengatakan malas melakukannya karena tidak ada pengaruh
b. Data Objektif (DO) :
Mata pasien tampak melotot
Suara pasien tampak tinggi serta sering berteriak serta memaki orang yang
melihatnya
Penampilan pasien tampak tidak rapih, berbau dan rambut acak-acakan
2. Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku Kekerasan
3. Tujuan khusus
Membantu pasien dengan menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan
minum obat
4. Tindakan Keperawatan
a. Mengavaluasi jadwal kegiatan pasien
b. Melatih pasien mengontrol PK dengan minum obat
c. Mengajurkan pasien memasukan jdalam jadwal kegiatan harian
TERMINASI
1. Evaluasi
a. Evaluasi Klien (Subjektif)
“Bagaimana perasaan ibu setelah berbincang-bincang tentang cara minum obat
bu?”
b. Evaluasi Perawat (Objektif)
“ coba ibu sebutkan obat dan aturan minum obat ibu yang tadi apakah ibu masih
ingat? Iyaa bagus benar ibu “
2. Rencana tindak Lanjut
“Nah nanti ibu bisa pelajari tentang obatnya saya berikan catatan untuk ibu
memepelajarinya yah”
3. Kontrak topik yang akan datang
a. Topik
”Baik ibu besok saya akan kembali lagi ke sini, berbincang bincang dan kita
akan mempraktekan bagaimana caranya melatih ibu secara verbal”
b. Waktu
“untuk waktunya nanti jam 08.00 pagi ya bu, bagaimana apakah ibu bersedia?
c. Tempat
“untuk tempatnya nanti kita bisa melakukannya disini lagi.”
“kalau begitu saya permisi dulu ya bu, Assalamualaikum wr.wb
2. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan ibu saat ini, masih ada rasa kesal atau marah?” bagaimana kita
kalau berbincang bincang kembali seperti apa yang akan kita bicarakan kemarin?
3. Kontrak
a. Topik
“Baiklah, kita akan berbincang-bincang tentang cara bicara yah bu.”
b. Waktu
“Berapa lama ibu mau kita berbincang-bincang? Bagaimana jika 15 menit?”
c. Tempat
“ibu ingin berbincang-bincang dimana? Bagaimana jika kita berbincang-bincang di
taman?
d. Tujuan interaksi
“Tujuan kita berbincang – bincang saat ini adalah agar ibu mampu mengatasi atau
mengendalikan resiko perilaku kekerasan yang pernah dilakukan dengan cara
bicara”
TERMINASI
1. Evaluasi
a. Evaluasi Klien (Subjektif)
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita berbincang-bincang tentang cara
mengendalikan marah dengan cara melakukan kegiatan ibadah?”
b. Evaluasi Perawat (Objektif)
“Coba ibu sebutkan berapa cara mengendalikan marah yang sudah kita pelajari?
Bagus sekali.”
2. Rencana tindak Lanjut
a. “Sekarang mari kita masukan kegiatan ibadah ke dalam jadwal ya bu. Berapa kali ibu
ingin melakukan sholat? Baiklah kita masukin sholat … dan sholat ....” (sesuai
kesepakatan klien)
b. “Setelah ini coba ibu lakukan jadwal kegiatan beribadah sesuai jadwal ya bu.”
c. “Baik bu, saya rasa cukup berbincangnya. Jangan lupa mengisi jadwal kegiatan
hariannya. Sudah mengerti kan cara mengisinya? Ya bagus!”
d. “Kalau begitu saya permisi dulu ya bu, ibu bisa istirahat kembali. Permisi bu,
assalamualaikum.”
3. Kontrak topik yang akan datang
a. Topik
“Baiklah bu saya besok akan kembali lagi untuk jadwal kegiatan harian ibu dan sejauh
mana ibu dapat mencegah rasa marah.”
b. Waktu
“Jam berapa kita akan berbincang? Bagaimana kalau jam 10.00?”
c. Tempat
“Dimana Ibu mau kita berbincang? Bagaimana kalau di taman belakang?”
“Baik Bu, besok kita bertemu di taman belakang Jam 10.00. Sampai jumpa besok ya
bu. Assalamualaikum.”