Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA: PERILAKU KEKERASAN,

HALUSINASI, ISOLASI SOSIAL, WAHAM, RESIKO BUNUH DIRI, DEFISIT


PERAWATAN DIRI, HARGA DIRI RENDAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Jiwa

OLEH:

RIZKI AYU KURNIYAWATI

D522016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI

BANDUNG
2023

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman.
Klien dengan perilku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditunjukkan
untuk melukai diri sendiri dan individu lain yang tidak menginginkan tingkah laku
tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang disertai dengan perlaku
mengamuk yang tidak dapat dibatasi (Kusumawati&Hartono, 2010).
Perilaku kekerasan menurut Kusumawati dan Hartono (2011) adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan dapat membahayakan secara fisik,
baik pada dirinya sendirin maupun orang lain, disertai dengan amuk dan aduh, gelisah
yang tidak terkontrol.

B. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor biologis
Beberapahal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku
kekerasan yaitu sebagai berikut:
a) Pengaruh neurofisiologis, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat implus
agresif.
b) Pengaruh biokimia yaitu berbagai neurotransmiter epineprin, noreineprin,
dopamin, asetil kolin, dan serotonin sangat berperan dalam memfasilitasi
dan menghambat implus negatif).
c) Pengaruh genetik menurut riset amurakami (2007) dalam gen manusia
terdapat doman (potensi) agresif yang sedangtidur dan akan bangun jika
terstimulasi oleh faktor eksternal.
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan gangguan
sistem serebral, tumor otak, trauma otak, penyakit enchepalits epilepsi
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan
2. Faktor psikologis
a) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai tujuan mengalamio
hambatan akan timbul serangan agresif yang memotivasi perilaku
kekerasan
b) Berdasarkan mekanisme koping individu yang masa kecil yang tidak
menyenangkan
c) Rasa frustasi
d) Adanya kekerasan dalam rumah tangga,keluarga atau lingkungan
e) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan dapat membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan yang dapat mengakibatkan citra diri serta memberi
arti dalam kehidupan
f) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal
dibanding anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik
3. Faktor sosio kultural
a) Social environment theory (teori lingkungan)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan di terima
b) Social learning theory (teori belajar sosial)
c) Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialisasi (Direja, 2011).
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetus perilaku kekerasan seringkali berkaitan
dengan:
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal,
dan lain-lain
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan diri sebagai seorang yang dewasa
4. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Dierja (2011):
a. Fisik mata melotot, pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
merah dan tegang, serta postur tubuh kaku
b. Verbal mengancam, mengumpat dengan kata-kata kasar, bicara dengan nada
keras, kasar dan ketus
c. Perilaku menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak
lingkungan, amuk atau agresf
d. Emosi tidak ade kuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkal, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan,
dan menuntut
e. Intelektual mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme
f. Spiritual merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat
g. Sosial menarik diri, pengasingan, penolakan, jekan, dan sindiran
h. Perhatian bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

D. KLASIFIKASI
Perilaku kekerasan dapat dibagi menjadi:
a. Berdasarkan bentuknya
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah suatu kekerasan yang terjadi secara nyata atau
dapat dilihat dan dirasakan oleh tubuh langsung. Kekerasan fisik ini seringkali
meninggalkan bekas luka bagi penerima kekerasan atau korban tindak
kekerasan, sehingga ketika ingin melakukan tindak kekerasan ini akan divisum
terlebih dahulu. Adapun wujud dari kekerasan fisik, seperti pemukulan,
pembacokan, bahkan hingga menghilangkan nyawa seseorang.
Kekerasan fisik inin bisa juga disebut dengan kekerasan langsng
karena bisa langsung menyebabkan luka pada korbannya. Kekerasan fisik ini
bukan hanya terjadi di lingkungan luar rumah saja, tetapi bisa juga terjadi di
lingkungan keluarga, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
2. Kekerasan struktural
Kekerasan struktural ini bisa di bilang sebagai kekerasan yang sangat
kompleks karena bukan hanya berkaitan dengan individu saja, tetapi juga
sering terjadi dengan suatu kelompok. Kekerasan struktural adalah jenis
kekerasan yang dapat terjadi dan pelakunya bisa kelompok atau seseorang
dengan cara memakai sistem hukum, sistem ekonomi, atau norma-norma yang
terjadi pada lingkungan masyarakat.
Maka dari tu, kekerasan struktural ini seringkali menyebabkan
terjadinya ketimpangan sosial, keahlian, pengambil keputusan, dan sumber
daya. Dari hal-hal itu bisa memberikan pengaruh terhadap jiwa dan fisik
seseorang. Kekerasan strukturalada yang bisa diselesaikan dengan cara
bermusyawarah atau melalui jalur hukum.
3. Kekerasan psikologis
Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dimana dilakukan untuk
melukai mental atau jiwa seseorang, sehingga bisa menyebabkan seseorang
menderita gangguan jiwa. Kekerasan psikologis ini lebih dikenal oleh
masyarakat banyak dengan nama kekerasan psikis. Bentuk dari kekerasan
psikologis biasanya, seperti ucapan yang menyakitkan hati, melakukan
penghinaan terhadap seseorang atau kelompok, melakukan ancaman, dan
sebagainya.
Kekerasan psikologis ini bukan hanya bisa menimbulkan ketakutan
saja, tetapi bisa juga menyebabkan seseorang mendapatkan trauma secara
psikis. Jika korban kekerasan psikis sudah cukup parah, maka ia perlu dibawa
ke psikiater atau psikolog. Selain itu, orang-orang di sekitarnya harus t6etap
mendukungnya agar dapat keadilan.
b. Berdasarkan pelakunya
1. Kekerasan Individual
Kekerasan individual adalah jenis kekerasan yang dimana kekerasannya
dilakukan oleh seseorang kepada seseorang lainnya atau bisa juga lebih dari
seorang. Biasanya kekerasan individual ini terjadi dalam bentuk kekerasan,
seperti pemukulan, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain. Kekerasan
individual ini bisa jadi terjadi di lingkungan terdekat kita, sehingga kita perlu
selalu waspada agar tidak menjadi korban kekerasan.
2. Kekerasan kolektif
Kekerasan kolektif adalah kekerasan yang dimana dilakukan oleh sebuah
kelompok atau massa. Biasanya kekerasan ini terjadi karena adanya
perselisihan antar kelompok, sehingga memicu tawuran, bentrokan, dan lain-
lain. Kekerasan kolektif ini bisa merugikan infrastruktur yang ada di
sekitarnya, lebih parahnya kekerasan ini bisa menimbulkan korban jiwa. .
Maka dari itu, ketika kekerasan kolektif terjadi biasanya baru diselesaikan
oleh pihak berwajib.

E. MEKANISME KOPING
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping klien
sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Mekanisme koping yang umum
digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displencement, sublimasi,
proyeksi, depresi, dan reaksi formasi
a. Displancement, melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang
begitu seperti pada mulanya yang membangkitkan emosinya
b. Proyeksi, menyalahkan orang lain mengenai keinginannya yang tidak baik
c. Depresi, menekan perasaan yang menyakitkan atau konflik ingatan dari kesadaran
yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya
d. Reaksi formasi, pembentukkan sikap kesadaran dan pola perilaku yang
berlawanan dengan apa yang benar-benar dilakukan orang lain

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, Ermawati. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans info Medika

Damaiyati, M & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Retika ADITAMA: Bandung

Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Iyus, Yosep. 2011. Keperawatan Jiwa, Edisi 4. Jakarta: Refika Aditama

Yosep, Igus. 2010. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: Refika Adiutama
LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SENSORI PERSEPSI: HALUSINASI

A. DEFINISI
Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indera
tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melalui panca indera tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Prabowo, 2014:129).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan yang
nyata.Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang
yanvg berbicara (Kusumawati&Hartono, 2012:53).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damaiyanti, 2012:53).

B. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasie tidak mampu mandiri sejak kecil.
mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap stress
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak di terima di lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebih dialami seseorang makan di dalam tubuh akan dihasilkan zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
mengakibatkan teraktivitasnya neurotransmitter otak
4. Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adaptif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan pasien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini (Prabowo, 2014: 132-133)
b. Faktor Presipitasi
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan
2. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku
3. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stress
4. Perilaku
Respon klien terhadap dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman,
gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak
a. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohl dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama
b. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebiha atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi dari hasulinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap letakutan tersebut
c. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
implus yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruy perhatian klien dan tidak
jarang akan mengontrol semua perilaku klien
d. Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dalam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan hasulinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi
dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung
e. Dimensi Spiritual
Secara spiritual halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dabn jarang berupaya secara spiritual
untuk menyucikan diri, irama sirkadiannya terganggu (Damaiyanti,
2012:57-58)

C. TANDA DAN GEJALA


Perilaku pasien yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakkan mata cepat, dan respom verbal
lambat
c. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari driri dari orang lain
d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata
e. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
f. Perhatian dengan lingkungannya kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya
g. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya) dan
takut
h. Sulit berhubungan dengan orang lain
i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah
j. Tdak mampu mengikuti perintah
k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton (Prabowo,
2014: 133-134)

D. KLASIFIKASI
Menurut Stuart(2007) dalam Yusalia (2015) klasifikasi halusinasi antara lain:
a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70%
Karakteristik ditandai dengan mendegar suara, terutama suara orang-orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannyadan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (visual) 20%
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambar kartun dan/panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenanvkan atau menakutkan
c. Halusinasi penghidung (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bauyang menjijikan
seperti: darah, urine atau feses. Kadang-kadang bau harum. Biasanya dengan
stroke, tumor, kejang, dan dementia
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enaktanpa stimulus yang
terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang lain
e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan,
merasa mengecap rasa seperti rasa darh, urine atau feses.
f. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
g. Halusinasi kineshetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak
E. MEKANISME KOPING
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis maladapif (Stuart,2006):
a. Regresi berhubunga dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas, yang mensisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup sehari-hari
b. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA

Keliat BA, Ria UP, Novy H. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2.
Jakarta EGC.
Maramis WF. 1998. Catatan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart&Sudeen.1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta:EGC
Stuart GW. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan individu dimana mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba dkk, 2018).
Isolalsi sosial adalah gangguan dalam berhungan yang merupakan mekanisme
individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari
interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami dkk, 2019)
Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang diterima
sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif atau
mengancam (Wilkinson, 2017).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang
karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (twondsend,
2016).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat
dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga
adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang,
perhatian dan kehangatan dari ibu/ pengasuh pada bayi akan memberikan
rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri.
Rasa ketidak percayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga
pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang
hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan
sebagai objek.
Menurut Purba dkk (2018) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan antara lain:
a) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. konsistensi hubungan antara
ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang
mendasar. Hal ini sngat penting karena akan mempengaruhi
hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang
mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa
ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain
pada masa berikutnya
b) Masa Kanak-Kanak
Anak mulain mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri,
mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina
hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah
lakunya dibatasi atau dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi,
kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya komunikasi
terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi
individu yang interdependen. Orang tua harus dapat memberikan
pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun
sistem nilai yang harus ditetapkan pada anak, karena pada saat ini anak
mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
c) Masa Pra Remaja dan Remaja
Pada pra remaja individu mengembangkan hubungan yang intim
dengan teman sejenis, yang manahubungan ini akan mempengaruhi
idividu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang
ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis
akan berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada
masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih
berarti daripada hubunganya dengan orang tua. Konflik akan terjadi
apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan
tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun
tergantung pada remaja
d) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua.
Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan
pada orang lain dan menerima persaan orang lain serta peka terhadap
kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan
baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik
hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan
menerima (mutuality)
e) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-
anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan
individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat
meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagian akan dapat diperoleh
dengan tetap mempertahankan hubunga yang interdependen antara
orang tua dan anak
f) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan
fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan
atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada
orang lain akan meningkat, namun kemandirian masih dimiliki hharus
dapat dipertahankan
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjdai kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku
a. Sikap bermusuhan/hostilitas
b. Sikap mengancam, merendahkan, dan menjelek-jelekan anak
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan umtuk
mengungkapkan pendapatnya
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan
anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurangtegur sapa,
komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak
diselesaikan secara terbuka dengan bermusyawarah
e. Ekspresi emosi yang tinggi
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemsannya meningkat)
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkn oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti anggota
tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial
4. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluaganya
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot
apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan
kembar dizigot presentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran vetrikel,penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur
limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia
5. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
a. Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penuruan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan
orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena
ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit atau dipenjara. Semua inu dapat
menimbulkan isolasi sosial.
b. Stresor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik sertabtractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat menuunkan indikasi terjadinya
skizofrenia
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
pasien skizofrenia. Demikian pula prolatiktin mengalami penurunan
karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya
peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali
dikaitkan dengan tingkah laku psikotik
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah
struktur sel-sel otak
c. Stresor Endokrin
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis
d. Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego
tidak dapat menaha tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang
berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas
untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius
antar hubungan ibu dan anak pada fase simbotik sehingga perkembangan
psikologis individu terhambat.
Menurut Purba dkk (2018) strategi koping digunakan pasien sebagai
usaha mengatasi kecemasan yang meupakan suatu kesepian nyata yang
mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-
masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
 Tingkah laku curiga: proyeksi
 Depedency: reaksi formasi
 Menarik Diri: regrasi, depresi dan isolasi
 Curiga, waham, halusinasi, proyeksi, denial
 Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
 Skizofrenia: displacement, projeksi, kondensasi, isolasi, represi,
dan regrasi

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Purba, dkk (2018) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan
dengan wawancara, antara lain:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan watu
5. Pasien merasa tidak berguna
6. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

D. KLASIFIKASI
1. Menarik Diri, menemukan kesulitan dalam membina hubungan dengan orang
lain
2. Dependen, sangat bergantung dengan orang lain sehingga individu mengalami
kegagalan dalam mengembangkan rasa percaya diri
3. Manipulasi, individu berorientasi pada diri sendiri dan tujuan hendak
dicapainya tanpa memperdulikan orang lain dan lingkungan, cenderung
menjadikan orang lain objek

E. MEKANISME KOPING
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering
digunakan pada isolasi sosial adalah: (Damaiyanti, 2012: 84)
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diterima
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.

Mekanisme koping yang muncul:


a. Perilaku curiga: regresi, represi
b. Perilaku dependen: regresi
c. Perilaku manipulatif: regresi, represi
d. Isolasi/ menarik diri: regresi, represi, isolasi (Prabowo, 2014: 113)

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Isolasi sosial b/d Gangguan psikiatrik (misalnya depresi mayor) d/d menarik diri
(D.0121)
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Promosi Sosialisasi (I.13498)
- Identifikasi kemampuan melakukan melakukan interaksi dengan orang lain
- Identifikasi hambatan melakukan interaksi dengan orang lain
- Motivasi berpatisipasi dalam aktivitas baru dan kegiatan kelompok
- Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
- Latihan bermain peran untuk meningkatkan keterampilan komunikasi
2. Terapi Aktivitas (I. 05186)
- Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
- Monitor respon emosional, fisik, sosial dan spiritual terhadap aktivitas
- Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
- Libatkan dalam permainan kelompok yang tidak kompetitif, terstruktur dan
aktif
- Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi
DAFTAR PUSTAKA

Anna Budi Keliat, SKp. 2016. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri.
Jakarta; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Keliat Budi Ana. 2017. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi I. Jakarta: EGC
Kusumawati & Hartono. 2013. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Rasmun. 2014. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga.
Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta:
Fajar Interpratama
LAPORA PENDAHULUAN
WAHAM

A. DEFINISI
Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak
sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diunah secara logis
oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan
kontrol (Direja, 2011).
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus
internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham yaitu
keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realistis.
Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengn tingkat intelektual dan latar
belakang budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis. Selain itu
keyakinan tersebut diucapkan berulang kali (Kusumawati, 2010).
Gangguan orientasi realistis adalahh ketidakmampuan memulai dan berespon
pada realitas. Klien tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan sehingga
muncul perilaku yang sukar untuk dimenberti dan menakutkan. Gangguan ini
biasanya ditemukan pada pasien skizofrenia dan psikotik lainnya. Waham
merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada isi pikir dan pasien
skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya yang
tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam hidupnya. Misalnya: harga diri, rasa aman,
hukuman yang terkait dengan perasaan yang bersalah atau perasaan takut mereka
tidak dapat mengoreksi dengan alaan atau logika (Kusumawati, 2010).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
a. Biologi
Waham dari bagian manifestasi psikologi dimana abnormalitas otak yang
menyebabkan respon neurologis yang maladaptif yang baru dimulai
dipahami, ini termasuk hal-hal berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak
yang luas dan dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada area
frontal, temporal dan limbik paling berhubungan dengan perilaku
psikotik
b) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil penelitian
sangat menunjukkan hal-hal berikut ini:
- Dopamin neurotransmitter yang belrebihan
- Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
- Masalah-masalah pada sistem respon dopamin
b. Psikologi
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologik yang
maladaptif belum didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik
terdahulu menyalahkan keluarga sebagai penyebab utama gangguan
sehingga menimbulkan kurangnya rasa percaya.
c. Sosial Budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik tetapi tidak tidak diyakini sebagai penyebab utama
gangguan. Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbulnya waham (Direja, 2011).
2. Faktor Presipitasi
a. Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang
maladaptif termasuk:
- Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses
informasi
- Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan
b. Stress Lingkungan
Stress biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku
c. pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang sering menunjukkan
episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada respon
neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan.
Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2011).
C. TANDA DAN GEJALA
Menurut Kusumawati (2010) yaitu:
a. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat), cara berfikir nangis dan
primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan pengorganisasian bicara (tangesnsial,
neogolisme, sirkumtansial)
b. Fungsi persepsi, depersonalisasi dan halusinasi
c. Fungsi motorik, afek tumpul kurang respon emosioal, afek datar, afek tidak
sesuai, reaksi berlebihan, ambivilen
d. Fungsi motorik, imflusif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik
gerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang
jelas, katatonia
e. Fungsi sosial kesepian, isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah
f. Dalam tatanan keperawatan jiwa respon neurobiologis yang sering muncul
adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP:halusinasi
Tanda dan gejala menurut Direja (2011) yaitu:
a. Terbiasa menolak makan
b. tidak ada perhatian pada perawatan diri
c. Ekspresi wajah sedih dan ketakutan, gerakan tidak terkontrol
d. Mudah tersinggung
e. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan
f. Menghindari dari orang lain
g. Mendominasi pembicaraan
h. Berbicara kasar
i. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan

D. KLASFIKASI
Waham dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja (2011)
yaitu:

Jenis Waham Pengertian Waham Perilaku Klien


Waham Kebesaran Keyakinan secara “Saya ini penjabat di
berlebihan bahwa dirinya kememtrian Semarang”
memiliki kekuatan khusus ‘Saya punya perusahaan
atau kelebihan yang berbeda paling besar lho’’
dengan orang lain,
diucapkan berulang-
ulangtetapi tidak sesuai
dengan kenyataan
Waham Agama Keyakinan terhadap suatu “ Saya adalah tuhan yang
agama secara berlebihan, bisa menguasai dan
diucapkan berulang-ulang mengendalikan semua
tetpi tidak sesuai dengan makhuk’’
kenyataan
Waham Curiga Keyakinan seseorang atau “Saya tahu mereka maun
sekelompok orang yang menghancurkan saya,
mau merugikan atau karena iri dengan
mencederai dirinya, kesuksesan saya”
diucapkan berulang-ulang
tetpi tidak sesuai dengan
kenyataan
Waham Somatik Keyakinan seseorang bahwa “Saya menderita kanker”
tubuh atau sebagian Padahal hasil pemeriksaan
tubuhnya terserang lab tidak ada sel kanker
penyakit, diucapkan pada tubuhnya
berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan
Waham Nihlistik Keyakinan seseorang bahwa Íni saya berada dialam
dirinya sudah meninggal kubur ya, semua yang ada
dunia, diucapkan berulang- disini adalah oh-rohnya”
ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan

E. MEKANISME KOPING
Menurut Dirja (2011), perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri
dari pengalaman berhubungan dengan respon neurobiologi:
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal untuk
aktivitas hidup sehari-hari
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA

Aditama Keliat, Budi Anna. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Damaiyanti, M Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refiak
Keliat dkk. 2009. Modul IC-CMHN. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Kusumawati, F & Hartono, Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba.
Purba dkk. 2018. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Yusuf A, Fitryasari R & Tristiana D. 2019. Kesehatan Jiwa: Pendekatan Holistik dalam
Asuhan Keperawatan (1st ed). Jakarta: Mitra Wacana Media.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

A. DEFINISI
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress
yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah
(Damaiyanti & Iskandar, 2014).
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri untuk melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku dekstrutif terhadap diri sendiri
yang tidak dicegah dapat mengaruh kepada kematian. Perilaku destruktif diri yang
mencangkup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai suatu yang diinginkan (Damaiyanti & Iskandar, 2014).
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada
kematian. Resiko bunuh diri adalah rentan terhadap menyakiti diri sendiri dan cedera yang
mengancam diri (Keliat dkk, 2015).

B. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
5 faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif diri
sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90%orang dewasa yang mengkhiri hidupnya dengan cara bunuh diri
mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat
individu beresiko untuk melakukan tindakan bunuh iri adalah gangguan efektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia
2. Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh diri
alah antipati, implusif, dan depresi
3. Lingkungan psikososial
faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman
kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam hidup,
penyaki kronis, [perpisahanm atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial
sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik. dengan terlebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respon dalam menghadapi masalah tersebut.
4. Riwayat keluarga
Riwayat Keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor penting
yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa klien dengan resiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-
zat kimia yang terdapat dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine.
Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Elektro
Encephalo Graph (EEG)
b. Faktor presipitasi
Perilaku destriktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami oleh
individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor
lain yang dapat menjadi pencetus adalahmelihat atau membaca melalui media
mengenai orang yang melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Bagi individu
yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan
c. Perilaku koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar meminta untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak
faktor, baik faktor sosial maupun budaya. Struktur sosial dari kehidupan bersosial
dapat menolong atau bahkan mendorong klien melakukan bunuh diri. Seseorang
yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan
menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat
mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Damaiyanti & Iskandar (2014) tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusan
d. Implusif
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biaanyamenjadi sangat patuh)
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan)
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri)
i. Kesehatan mental (secara klinis klien terlihat sebagai orangyang depresi, psikosis dan
menyalahgunakan alkohol)
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau terminal)
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier)
l. Umur 15-19 tahun atau 45 tahun
m. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)
n. Pekerjaan
o. Konflik interpersonal
p. Latar belakang keluarga
q. Orientasi seksual
r. Sumber-sumber personal

D. KLASIFIKASI
Menurut Damiyanti&Iskandar (2014), bunuh diri dibagi menjadi:
a. Bunuh diri egoistik (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integritasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah atau lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan mereka yang menikah. Contohnya orang yang putus cinta atau putus
harapan kerap membuat seseorang mengakhiri hidupnya
b. Bunuh diri allturuistik (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok. Ia merasa kelompok tersebut
sangat mengharapkan contohnya konsep kehormatan dapat mendorong seseorang
untuk melakukan ritual bunuh diri jika mereka percaya bahwa mereka telah
membawa aib pada kelompok sosial utama mereka

c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)


Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integritas antara individu dan
masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya contohnya angka bunuh diri cenderung meningkat
karena individu gagal menghadapi perubahan yang cukup drastis yang menimpa
dirinya

E. MEKANISME KOPING
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yamg berhubungan
dengan perilaku bunuh diri. Termasuk denial, rasionalization, regrassion, dan magical
thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa
memberikan koping alternatif (Damiyanti & Iskandar, 2014).

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA

Azizah LM & Zainuri I. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi
Praktik. Yogyakarta: Indonesia pustaka.
Damaiyanti M&Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Keliat BA&Akemat. 2019. Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: ECG.
Yosep I&Sutini T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung: PT. Refika Aditama
Yusuf AHF&Nihayati H. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. DEFINISI
Perawat diri merupakan salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan jehidupan, kesehatan, dan
kesejahteraan sesuai dengan kesehatannya (Sulastri, 2012). Menurut Herdman (2012)
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri, mandi, berpakaian, dan
berhias untuk diri sendiri aktivitas makan sendiri, dan aktivitas eliminasi sendiri.
Herdman (2012) membagi defisit perawatan diri menjdi 4 kegiatan: mandi,
berpaikan/berhias, makan, dan toileting.
Menurut Sutejo (2016) Defisit perawatan diri adalah keadaan seseorang
mengalami kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan pasien untuk
mandi secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan
penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang
timbul pada pasien gangguan jiwa.

B. ETIOLOGI
a. Faktor predisposisi
1. Perkembangan keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
2. Biologis penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
3. Kemampuan realistis turun klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkunngan termasuk
perawatan diri
4. Sosial kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi yang dpat menimbulkan defisit perawatan diri adalah penurunan
motivasi, kerusakan kognitif atau persepsi, cemas, lelah, yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Sedangkan menurut Potter dan Perry (didalam buku Sutejo, 2016) terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi personal hygiene yaitu:
1. Citra tubuh
Gambaranindividu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri.
Perubahan fisik akibat operasi bedah, misalnya dapat memicu individu untuk
tidak memperdulikan kebersihannya
2. Status sosial ekonomi
Sumber penghasilan atau sumber ekonomi mempengaruhi jenis dan tingkat
praktik keperawatan diri yang dilakukan. Perawat harus menentukan apakah
pasien mencukupi perlengkapan keperawatan diri yang peting seperti sabun,
pasta gigi, sikat gigi, sampo.
3. Pengetahuan
pengetahuan tentang perawatan diri sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Kurangnya pengetahuan tentang
pentingnya perawatan diri dan implikasinya bagi kesehatan dapat
mempengaruhi praktik keperawatan diri
4. Variabel kebudayaan
Kepercayaan diri akan nilai kebudayaan dan nilai diri mempengaruhi
perawatan diri. Orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda mengikuti
praktik keperawatan yang berbeda pula
5. Kondisi fisik
Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan memperlakukan bantuan. Biasanya pasien dengan keadaan fisik yang
tidak sehat lebih memilih untuk tidak melakukan perawatan diri

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Fitria di dalam buku Mukhripah & Iskandar (2012) defisit perawatan diri
memiliki tanda dan gejala sebgai berikut:
a. Mandi/Hygiene
Pasien menglami ketidak mampuan dalam membersihkan badan, memperoleh
atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi
b. Berpakaian/berhias
Pasien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Pasien
juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan
pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu
c. Makan
Pasien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, mendapatkan makanan,
mengambil makanan cangkir atau gelas, serta mencerna makanan dengan aman
d. Eliminasi
Pasien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan kamar
kecil, duduk atau bangkit dari closet, memanipulasi pakaian untuk toileting,
membersihan diri dari setelah BAB/BAK dengan tepat, dan enyiram toilet atau
kamar kecil
Menurut Depkes (2012), tanda dan gejala pasien dengan defisit perawatan diri adalah:
a. Fisik
1. Badan bau, pakaian kotor
2. Rambut dan kulit kotor
3. Kuku panjang dan kotor
4. Gigi kotor disertai mulut bau
5. Penampilan tidak rapi
b. Psikologis
1. Malas, tidak ada inisiatif
2. Menarik diri
3. Merasa tidak berdaya, rendah diri dan merasa hina
c. Sosial
1. Interaksi kurng
2. Kegiatan kurang
3. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
4. Cara makan tidak teratur, BAB dan BAK disembarang tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu sendiri
Menurut Sulastri (2016) tanda dan gejala defisit perawatan diri dapat dinilai dari
pernyataan pasien tentang kebersihan diri, berdandan dan berpakaian, makan dan
minum,BAB dan BAK dan didukung dengan data hasil observasi
a. Data Subjektif
Pasien mengatakan tentang:
1. Malas mandi
2. Tidak mau menyisir rambut
3. Tidak mau menggososk gigi
4. Tidak mau menggunting kuku
5. Tidak mau berhias/ berdandan
6. Tidak bisa/ tidak mau menggunakan alat mandi/kebersihan diri
7. Tidak menggunakan alat makan dan minum saat makan dan minum
8. BAB dan BAK sembarangan
9. Tidak membersihkan driri dan tempat BAB dan BAK setelah BAB dan BAK
10. Tidak mengetahui cara perawatan diri yang benar
b. Data Objektif
1. Badan bau, kotor, berdaki, rambut kotor, gigi kotor, kuku panjang, tidak
menggunakan alat-alat mandi, tidak mandi dengan benar
2. Rambut kusut, berantakan, kumis dan jenggot tidak rapi, tidak mampu
berdandan memilih, mengambil dan memakai pakaian, memakai sendal
sepatu, tidak pandai memakai resleting, memakai barang-barang yang perlu
dalam berpakaian, melepas barang-barang yang perlu dalam berpakaian
3. Makan dan minum sembarangan, berceceran, tidak menggunakan alat makan,
tidk mampu (menyiapkan makanan, memindahkan makanan ke alat makan,
memegang alat makan, membawa makanan dari piring ke mulut, mengunyah,
menelan makanan secara aman, menyelesaikan makanan)
4. BAB dan BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri setelah BAB
dan BAK, tidak mampu (menjaga kebersihan toilet, menmyiram toilet)

D. KLASIFIKASI
Menurut Nanda (2012), klasifikasi perawatan diri terdiri dari:
a. Defisit perawatan diri: mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/beraktivitas
perawatan diri untuk diri sendiri
b. Defisit perawatan diri: berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian
diri berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri: makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
d. Defisit perawatan diri: eliminasi/toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi
sendiri

E. MEKANISME KOPING
Stuart (2016) mengungkapkan pada fase gangguan jiwa aktif, pasien menggunakan
beberapa mekanisme pertahanan yang tidak didasari sebgai upaya untuk melindungi
diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan oleh penyakit mereka
a. Regresi: berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan pengeluaran
sejumlah besr tenaga dalam upaya untuk mengelola ansietas, menyisakan sedikit
tenaga untuk aktivitas sehari-hari
b. Proyeksi: Upaya untuk menjelaskan persepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lsin atau sesuatu
c. Menarik diri: berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan
dengan pengalaman internal
d. Penyingkiran: sering digunakan oleh klien dan keluarga. Mekanisme koping ini
adalah sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali seseorang menerima
informasi yang menyebabkan rasa takut dan ansietas

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti dkk. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PTRefika Aditama


Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:CMHN (Basic
Course). Jakarta: EGC
Stuart, W Gail. 2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier
Yusuf AH, Rizky Fitryasari PK & Hanik EH. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai