Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Jiwa
Dosen Tri Admadi S. Kep, Ns. M. Kes

Disusun Oleh:
KELOMPOK 5 KELAS 3C
1. Arif Purwanto
2. Dwi Ratnasari
3. Eko Wahyu Vitrianto
4. Herlina Wulan Sari
5. Iin Rahmawati
6. Riwayati Astuti
7. Silvia Ayu Kurniawati

AKADEMI KEPERWATAN PEMERINTAH


KABUPATEN NGAWI
2017
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik secara diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam
Harnawati, 1993).
Suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai
secara fisik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain (Towsend, 1998).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan
klien sendiri, lingkungan, termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara
verbal dan fisik (Ketner et al., 1995).
Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko
menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain (Carpenito,
2000).
Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat
merusak lingkungan.

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan
oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter
juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses
impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan
meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya
gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat
keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara
konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
b) Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif
dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika
masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan
anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila
individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat
terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan
yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan
sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian
masal dan sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
f) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

C. TANDA DAN GEJALA


1. Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan
dan menuntut.
5. Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral
dan kreativitas terhambat.
7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
(Nita Fitria, 2009. hal 140)

D. MEKANISME KOPING
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam
mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi,
represif, denial dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat
berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat
menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul
dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi
akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien
untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan berdampak pada keselamatan
dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang
kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan
klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering
keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak
maksimal (regimen terapeutik inefektif).
(Nita Fitria, 2009. hal 145)
E. Pohon masalah

menurut keliet dkk (2005), pohon masala merupakan suatu gambaran


dari sejumlah masalah klien yang saling ber hubungan. Ada tiga komponen
pokok masalah, yaitu penyebab (causa), masalah utama (core problem) dan
akibat (effect)
Resiko tinggi menciderai , orang lain, dan Lingkungan

PPS : Halusinasi
Perilaku Kekerasan

Aaku Isolasi Sosial :


Regimen Terapeutik Harga diri rendah konis
Menarik Diri

Koping keluarga
Berduka disfungsional
Tidak efektif

Sumber : Fitria (2009)


F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi
penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis.
1. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan
keperawatan dan terapi modalitas.
a) Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses
keperawatan, yaitu meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,
rencana tindakan keperawatan serta evaluasi.
1) Terapi Modalitas
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini
dalam perawatan kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area
kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini
secara singkat menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik
pada lingkungan, rawat inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001, hlm.
69).
(a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan
seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film,
atau diskusi informal memberikan klien kesempatan untuk
membicarakan peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas juga
melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan
kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian
perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan
masalah, pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang
diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001,
hlm. 259).
(b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi
bersama kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama
dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk
membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain.
Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua
anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat,
mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau
menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari
keterampilan interpersonal yang penting (Videbeck, 2001, hlm. 70).
(c) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional
keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptif,
dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass,
1995 dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).
(d) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara
pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara
ahli terapi dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami
diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan personal,
memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit
hati atau ketidakbahagiaan. Hubungan antara klien dan ahli terapi
terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-
klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya
yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga
asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja
sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi
(Videbeck, 2001, hlm. 69).
2. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu
metode psikofarmakologi dan metode psikososial.
a) Metode Biologik
Berikut adalah beberapa metode biologik untuk
penatalaksanaan medis klien dengan perilaku kekerasan yaitu:
(1) Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan
neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP)
secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran,
dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang
digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
- Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut.
Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan
didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien.
Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat
menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
memperburuk gejala depresi. Selanjutnya pada beberapa klien yang
mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat
mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat
Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang
berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan
menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala,
demensia dan ’developmental disability’.
- Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku
agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan
Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan
dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
(Dr.Budi Anna Keliat, Dkk. 2005)

G. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Perilaku Kekerasan.
2. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3. Perubahan persepsi sensori.
4. Harga diri rendah kronis.
5. Isolasi sosial.
6. Berduka fungsional.
7. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
8. Koping keluarga inefektif.
(Nita Fitria, 2009. hal 146)

H. DATA YANG PERLU DIKAJI

1. Masalah keperawatan:
a) Perilaku kekerasan / amuk
2. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan
Masalah Data yang perlu di kaji
Keperawatan
Perilaku Subyektif :
kekerasan / · Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
amuk · Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
· Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Obyektif
· Mata merah, wajah agak merah.
· Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
· Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
· Merusak dan melempar barang-barang

(Nita Fitria, 2009. hal 147)

I. Rencana Tindakan
Diagnosa 1: perilaku kekerasan
Tujuan Umum : Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b) Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c) Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.


Tindakan:
a) Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b) Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c) Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan
sikap tenang.

3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.


Tindakan :
a) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b) Observasi tanda perilaku kekerasan.
c) Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami klien.

4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.


Tindakan:
a) Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b) Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
c) Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"

5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.


Tindakan:
a) Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c) Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan :
a) Diskuiskan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
b) Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa di lakukan klien
c) Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah
perilaku kekerasan, yaitu : tarik nafas dalam dan pukul kasur serta bantal

7. Klien dapat mendemostrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan


Tindakan :
a) Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
b) Beri contoh cara berbicara yang baik
c) Minta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik
d) Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang dapat
dilatih diruangan

8. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap


kemarahan.
Tindakan :
a) Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
b) Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang
kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
c) Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
d) Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk
diberi kesabaran.

9. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.


Tindakan:
a) Bantu memilih cara yang paling tepat.
b) Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c) Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d) Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e) Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.

10. Klien mendapat dukungan dari keluarga.


Tindakan :
a) Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan
keluarga.
b) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
11. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
a) Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping).
b) Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c) Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

(Nita Fitria, 2009. hal 148)


DAFTAR PUSTAKA

Budi Anna, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Ed.2 . Jakarta : EGC

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba

Anda mungkin juga menyukai