Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA
RPK (RESIKO PERILAKU SOSIAL)

Di Susun Oleh :

MURNI

NIM : PO0220216036

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


PRODI KEPERAWATAN POSO
T/A 2019
A. DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang
secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat
dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku
kekerasan dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau
riwayat perilaku kekerasan. Adapun beberapa definisi lain mengenai perilaku kekerasan
yaitu: Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan ditujukan pada diri sendiri/orang
lain secara verbal maupun non verbal dan pada lingkungan.
(Depkes RI, 2006) Prilaku kekerasan suatu keadaan dimensi seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahyakan, secara fisik baik pada diri sendiri maupun orang lain
(Iyus yosep, 146:2007). Prilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang di
hadapi oleh seseorang, yang di tunjukan dengan perilaku actual melakukan kekerasan
baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun
nonverbal bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
2000). .
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996
dalam Purba dkk, 2008) adalah :
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem
limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila
ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan
potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai
implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara
konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh
Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan
tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan
lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan
arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang
tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk
yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku
kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan
(Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras,
kasar dan ketus.
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
D. MEKANISME KOPING
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien
untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekspresikan
kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego
seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya.
Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga
diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul
dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau
bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan
berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain
dan lingkungan).
Selain diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik
dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga
tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau
menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik
inefektif).
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan keperawatan
dan penatalaksanaan medis.
1. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan keperawatan
dan terapi modalitas.
a. Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses keperawatan, yaitu
meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan
keperawatan serta evaluasi.
1) Terapi Modalitas
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam perawatan
kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area kedokteran, keperawatan,
dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini secara singkat menjelaskan
modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada lingkungan, rawat inap,
maupun rawat jalan.
2) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan bagi
semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas
atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan klien kesempatan
untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas juga
melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat
yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran,
serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa
aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
3) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama kelompok
individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan memberi
kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat
bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh
semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat,
mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan
masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan interpersonal yang
penting (Videbeck, 2001, hlm. 70).
4) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan klien dan
anggota keluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana dinamika keluarga
memengaruhi psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional
keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptif, dan
menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass, 1995 dalam
Videbeck, 2001, hlm. 71).
5) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu
dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini
memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari terapi
individu yaitu, memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan
personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati
atau ketidakbahagiaan. Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui
tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan
terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi
pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya
mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang
mungkin dari terapi (Videbeck, 2001, hlm. 69).
2. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode psikofarmakologi
dan metode psikososial.
a. Metode Biologik
Berikut adalah beberapa metode biologik untuk penatalaksanaan medis klien dengan
perilaku kekerasan yaitu:
1) Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan
neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara
langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi.
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang
digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a) Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines
seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan didalam kedaruratan
psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini
direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat menyebabkan
kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari
Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif.
Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan
menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala,
demensia dan ’developmental disability’.
b) Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien
yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodone,
efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan dengan cedera
kepala dan gangguan mental organik.
F. POHON MASALAH
Resiko tinggi mencedarai diri, orang lain, lingkungan

Perilaku kekerasan

PPS : Halusinasi
Isolasi sosial : menarik diri
Regimen terapeutik inefektif
Harga diri rendah kronis

Koping keluarga berduka disfungsional


Tidak efektif
(Nita Fitria, 2009. hal 146)
G. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Perilaku Kekerasan.
2. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3. Perubahan persepsi sensori.
4. Harga diri rendah kronis.
5. Isolasi sosial.
6. Berduka fungsional.
7. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
8. Koping keluarga inefektif.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, lingkungan b.d perilaku kekerasan
2. Perilaku kekerasan b.d harga diri rendah
DAFTAR PUSTAKA

1. Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI;
Jakarta.
2. Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Pelayanan Keperawatan,
2000, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan, Jakarta.
3. Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.

Anda mungkin juga menyukai