Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN CAIRAN

STASE KEPERAWATAN DASAR


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MANAP KOTA JAMBI

DISUSUN OLEH :

Henni Ramadhani Safitri


(G1B223032)

PEMBIMBING AKADEMIK :
Ns. Yulia Indah Permata Sari, S.Kep.,
M.Kep Ns. Rts. Netisa Martawinarti, S.Kep.,
M.Kep

PEMBIMBING KLINIK :
Ns. Julyana Situmorang, S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
KONSEP TEORI KEBUTUHAN CAIRAN
1. Definisi
Diperkirakan 45-80% dari berat badan pada individu yang sehat terdiri
dari cairan. Volume cairan ini bervariasi tergantung dari berbagai faktor
yaitu usia, jenis kelamin, dan lemak tubuh. Bayi mempunyai volume cairan
lebih banyak dari orang dewasa dan makin tua usia seseorang jumlah cairan
ini makin berkurang. Begitu pula wanita mempunyai volume cairan lebih
sedikit dari pria karena tubuh wanita mempunyai banyak lemak di banding
pria. Cairan tubuh ini terutama terdiri dari air dan zat terlarut, yaitu
elektrolit, non elektrolit dan koloid (Kusnanto, 2016).
Seorang perawat minimal harus dapat mengidentifikasi tingkat
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, mampu mengidentifikasi tanda
dan gejala ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, serta mampu
mengantisipasi faktor risiko yang menyebabkan ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit, sehingga ia akan dapat melakukan intervensi baik mandiri
ataupun kolaborasi untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk itu setiap
perawat hendaknya memahami konsep cairan dan elektrolit, dan mampu
mengaplikasikan konsep tersebut dalam membantu mengatasi masalah
pemenuhan kebutuhan klien pada berbagai kondisi (Kusnanto, 2016).

2. Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) etiologi dari masalah eliminasi
sebagai berikut:
Eliminasi Urin
1) Penurunan kapasitas kandung kemih
2) Iritasi kandung kemih
3) Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung
kemih
4) Efek tindakan medis dan diagnostic, misalnya operasi ginjal, operasi
saluran kemih, anestesi, dan obat-obatan.
5) Ketidakmampuan mengakses toilet, misalnya imobilisasi
6) Hambatan lingkungan
7) Ketidakmampuan mengkonsumsi kebutuhan eliminasi
8) Outlet kandung kemih tidak lengkap, misalnya anomaly saluran kemih
konginetal
9) Imaturitas, pada anak usia lebih dari 3 tahun.
Eliminasi Fekal
1) Kerusakan susunan saraf motorik bawah
2) Penurunan tonus otot
3) Gangguan kognitif
4) Penyalahgunaan laksatif
5) Kehilangan fungsi pengendalian sfingter rectum
6) Pascaoperasi pullthrough dan penutupan kolostomi
7) Ketidakmampuan mencapai kamar kecil
8) Diare kronis
9) Stres berlebihan.

3. Faktor yang mempengaruhi pola eliminasi


Menurut (DeLaune, 2011 dalam Risnah et al., 2022), faktor yang dapat
mempengaruhi pola eliminasi adalah sebagai berikut :
a. Usia
Usia atau tingkat perkembangan klien akan mempengaruhi kontrol atas
pola berkemih dan defekasi. Kontrol atas kandung kemih dan buang air
besar dapat dimulai sejak usia 18bulan tetapi biasanya tidak dikuasai
sampai usia 4 tahun. Kontrol eliminasi pada malam hari biasanya lebih
lama untuk dicapai, dan anak laki-laki biasanya membutuhkan waktu
lebih lama untuk mengembangkan kontrol atas eliminasi daripada anak
perempuan. Kontrol eliminasi umumnya konstan sepanjang tahun-tahun
dewasa, dengan pengecualian tahap-tahap penyakit dan kehamilan,
ketika kehilangan kontrol, urgensi, dan retensi sementara dapat terjadi.
Dengan meningkatnya usia, hilangnya tonus otot dan karenanya kontrol
kandung kemih, dapat mempengaruhi pada pola eliminasi.
b. Pola Diet
Asupan cairan dan serat yang adekuat adalah faktor penting bagi
kesehatan saluran kemih dan defekasi klien. Asupan cairan yang tidak
adekuat merupakan penyebab utama konstipasi, seperti konsumsi
makanan yang menyebabkan sembelit seperti produk susu tertentu.
Diare
dan perut kembung (pelepasan gas dari rectum) adalah akibat langsung
dari makanan yang dicerna, dan klien perlu dididik tentang makanan dan
cairan yang mempromosikan eliminasi yang sehat dan makanan mana
yang dapat menghambatnya.
c. Latihan / Aktivitas
Latihan / aktivitas dapat meningkatkan tonus otot, yang mengarah pada
kontrol kandung kemih dan sfingter yang lebih baik. Peristaltik juga
dibantu oleh aktivitas, sehingga dapat membantu pola eliminasi yang
sehat.
d. Pengobatan
Obat-obatan dapat berdampak pada kesehatan dan pola eliminasi klien
dan harus dinilai selama wawancara riwayat kesehatan. Klien dengan
penyakit jantung, biasanya diresepkan obat diuretic, yang meningkatkan
produksi urine. Antidepresan dan antihipertensi dapat menyebabkan
retensi urine. Beberapa obat yang tanpa ada resep (OTC), terutama
antihistamin juga dapat menyebabkan retensi urine. Obat-obatan OTC
lainnya dirancang secara khusus untuk meningkatkan eliminasi usus atau
untuk melunakkan feses, perawat perlu menanyakan tentang semua obat
yang diminum untuk memberikan perawatan yang tepat bagi klien yang
mengalami perubaahn dalam pola eliminasi.

4. Patofisiologi
a. Eliminasi Urin
Proses mengosongkan kandung kemih dikenal sebagai proses
buang air kecil atau berkemih. Pusat saraf yang mengatur proses buang
air kecil terletak di otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor
peregangan di kandung kemih di stimulasi saat urine terkumpul.
Seseorang dapat merasakan keinginan untuk membatalkan, biasanya
ketika kandung kemih mengisi sekitar 150-250 mL pada orang dewasa.
Tekanan didalam kandung kemih berkali-kali lebih besar selama buang
air kecil daripada saat kandung kemih mengisi. Ketika buang air kecil
dimulai, otot detrusor berkontraksi, sfingter internal rileks, dan urine
memasuki uretra posterior dan otot-otot perineum dan sfingter eksternal
rileks, otot dinding perut sedikit berkontraksi, diafragma lebih rendah,
dan terjadi buang air kecil (Taylor, 2011 dalam Risnah et al., 2022).
b. Eliminasi Fekal
Proses defekasi mengacu pada proses pengosongan usus besar.
Dua pusat mengatur refleks untuk buang air besar, satu di medulla dan
sumsum tulang belakang. Ketika stimulasi parasimpatis terjadi, sfingtes
anus interna mengendur dan kolon berkontraksi, memungkinkan massa
feses memasuki rectum. Rektum menjadi terisi oleh massa tinja, dan
terjadi stimulus utama untuk refleks buang air besar.
Distensi rektal menyebabkan peningkatan tekanan intrarektal,
menyebabkan otot meregang dan dengan demikian merangsang refleks
buang air besar dan selanjutnya keinginan untuk mengeluarkan. Sfingter
anal eskternal, yang berada dibawah kenali yang disadari. Pola eliminasi
normal dapat bervariasi secara luar di antara individu. Meski banyak
orang dewasa yang melakukan defekasi setiap hari, dan yang lainnya
lebih serign atau jarang buang air besar. Sebagaian orang hanya buang
air besar dua atau tiga kali seminggu atau dua atau tiga kali sehari
(Taylor, 2011 dalam Risnah et al., 2022).

5. Manifestasi klinis
a. Gangguan Eliminasi Urin
1) Retensi urin
 Ketidaknyamanan daerah pubis
 Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih
 Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang
 Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
 Ketidaksanggupan untuk berkemih
2) Inkontinensia urin
 Tidak mampu menahan keinginan BAK
 Sering mengompol
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1) Konstipasi
 Menurunnya frekuensi BAB
 Pengeluaran feses yang sulit, keras dan perlu mengejan
 Nyeri rectum
2) Impaction
 Tidak BAB
 Anoreksia
 Kembung / kram
 Nyeri rektum
3) Diare
 BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk
 Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
 Iritasi didalam kolon
 Feses menjadi encer sehingga tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB
4) Inkontinensia Fekal
 Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus
 BAB encer dan jumlah banya
 Gangguan fungsi sfingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord dan tumor sfingter anal eskternal
5) Flatulens
 Menumpuknya gas pada lumen intestinal
 Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan
kram
 Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus).
6) Hemoroid
 Pembengkakan vena pada dinding rectum
 Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
 Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
 Nyeri (Rosdahl & Kowalski, 2018).
6. Pathway
7. Pemeriksaan Penunjang
Jenis pemeriksaan yang biasa dilakukan berupa Urinalisis dengan
memeriksa :
1) Warna : jernih kekuningan
2) Penampilan : jernih
3) Bau :
beraroma 4) Ph :
4,5 – 8,0
5) Berat jenis : 1,005 – 1,030
6) Glukosa : negatif
7) Keton : Negatif
8) Kultur urine : kuman pathogen negatif
9) Pemeriksaan USG
10) Pemeriksaan foto rontgen (Risnah et al., 2022).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN ELIMINASI URIN
DAN FEKAL
1. Pengkajian (Marilynn, 2000 dalam Risnah et al., 2022)
a. Riwayat kesehatan
1) Pola berkemih
a) Dribbling, urine menetes sedikit demi sedikit.
b) Nokturia, sering terbanug pada malam hari karena ingin buang air
kecil.
c) Anuria, tidak merasakan keinginan berkemih.
d) Glicosuria, terdapat kandungan glukosa pada urine.
e) Piuria, terdapat pus pada urine.
2) Gejala dari perubahan berkemih
a) Frekuensi, terjadi perubahan jumlah berkemih dalam sehari.
b) Desakan berkemih (urgensi), pasien selalu merasakan tiba-tiba
ingin berkemih.
c) Disuria, nyeri saat buang air kecil.
d) Poliuria, pasien merasakan sering buang air kecil.
e) Volume urine
No Usia Jumlah/hari
1. 1 - 2 hari 15 600 ml
2. 3 – 10 hari 100 – 300 ml
3. 10 hari – 2 bulan 250 – 400 ml
4. 2 bulan – 1 tahun 400 – 500 ml
5. 1 – 3 tahun 500 – 600 ml
6. 3 – 5 tahun 600 – 700 ml
7. 5 – 8 tahun 700 – 1000 ml
8. 8 – 14 tahun 800 – 1400 ml
9. 14 tahun – dewasa 1500 ml
10. Dewasa tua Kurang lebih 1550 ml
f) Kondisi urine
No Kondisi Normal Interpretasi
1. Warna Kekuningan Urine berwarna gelap seperti
teh merupakan efek obat,
sedangkan urine yang
berwarna merah dan kuning
pekat mengidentifikasikan
adanya penyakit.
2. Bau Aromatik Bau menyengat merupakan
akibat adanya infeksi /
konsumsi obat tertentu
3. Kejernihan Terang dan transparan Adanya kekeruhan bisa
karena adanya mucus
4. pH Ph dalam kondisi asam Menunjukkan keseimbangan
(4.5 – 7.5 asam basaa
5. Berat jenis 1.010 – 1,030 Menunjukkan kondisi normal
(cairan dan elektrolit
terpenuhi)
6. Protein Zat protein makro Menunjukkan kerusakan
seperti albumin, ginjal
hiltrogen, globulin tidak
dapat disaring melalui
ginjal urine
7. Darah Tidak terlihat jelas Hematuri dapat muncul
karena adanya trauma atau
penyakit pada system urinaria
bagian bawah
8. Glukosa Sejumlah glukosa yang Jika menetap
tidak menetap bersifat mengindikasikan penyakit
tidak berarti diabetes melitus
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untk pola eliminasi berfokus pada masalah fungsional
yang terkait dengan inkontinensia urin atau fekal dan menilai area
perineum dan perianal. Evaluasi fungsional dimulai dengan wawancara
dan berlanjut hingga pemeriksaan fisik. Status mnetal daapt dievaluasi
dengan mendengarkan respons klien terhadap pertanyaan dan dengan
mengamati interaksi dengan orang lain.
Perineum awalnya diperiksa untk menilai integritas kulit. Diantar klien
dengan inkontinensia urine yang parah, bau khas urine mungkin ada, dan
kulit mungkin menunjukkan tanda-tanda ruam monilial (makulo popular,
ruam merah dengan lesi satelit) atau dermatitis kontak ammonia (ruam
papula dengan kulit maserasi jenuh). Diantara pasien dengan inkontinensia
fekal yang parah, kulit sering gundul, merah, dan menyakitkan saat
disentuh, khususnya jika sudah terkena feses yang cair.

c. Pemeriksaan diagnostik
1. Warna : jernih kekuningan
2. Penampilan : jernih
3. Bau :
beraroma 4. Ph :
4,5 – 8,0
5. Berat jenis : 1,005 – 1,030
6. Glukosa : negatif
7. Keton : Negatif
8. Kultur urine : kuman pathogen negatif.

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan (SDKI, 2017), adapun masalah keperawatan yang mungkin
muncul adalah sebagai berikut :
Masalah 1 : Gangguan Eliminasi Urine (SDKI D.0040)
Definisi :
Disfungsi eliminasi urin
Penyebab :
1. Penurunan kapasitas kandung kemih
2. Iritasi kandung kemih
3. Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih
4. Efek tindakan medis dan diagnostik (mis. operasi ginjal , operasi saluran
kemih, anestesi, dan obat-obatan)
5. Kelemahan otot pelvis
6. Ketidakmampuan mengakses toilet (mis. imobilitas)
7. Hambatan lingkungan
8. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi
9. Outlet kandung kemih tidak lengkap (mis. anomali saluran kemih
kongenital)
10. Imaturitas (pada anak usia < 3 tahun)
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif
1. Desekan berkemih (Urgensi)
2. Urin menetas (dribbling)
3. Sering buang air kecil
4. Nokturia
5. Mengompol
6. Enuresis
Objektif
1. Distensi kandung kemih
2. Berkemih tidak tuntas (Hesitancy)
3. Volume residu urin meingkat
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
(tidak tersedia).
Masalah 2 : Inkontinensia Fekal (SDKI D.0041)
Definisi :
Perubahan kebiasaan buang air besar dari pola normal yang ditandai dengan
pengeluaran feses secara involunter.
Penyebab :
1. Kerusakan susunan saraf motorik bawah
2. Penurunan tonus otot
3. Gangguan kognitif
4. Penyalahgunaan laksatif
5. Kehilangan fungsi pengendalian sfingter rektum
6. Pascaoperasi pullthrough dan penutupan klosomi
7. Ketidakmampuan mencapai kamar kecil
8. Diare kronis
9. Stres berlebihan
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif
1. Tidak mampu mengontrol pengeluaran fases
2. Tidak mampu menunda
defekasi Objektif
1. Feses keluar sedikit-sedikit dan sering
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
1. Bau feses
2. Kulit perinal kemerahan.

Masalah 3 : Konstipasi (SDKI D.0049)


Definisi :
Penurunan defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak
tuntas serta fases kering dan banyak
Penyebab :
Fisiologis
1. Penurunan motilitas gastrointestinal
2. Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi
3. Ketidakcukupan diet
4. Ketidakcukupan asupan serat
5. Ketidakcukupan asupan cairan
6. Aganglionik (mis. penyakit Hircsprung)
7. Kelemahan otot abdomen
Psikologis
1. Konfusi
2. Depresi
3. Gangguan
emosional Situasional
1. Perubahan kebiasaan makan (mis. jenis makanan, jadwal makan)
2. Ketidakadekuatan toileting
3. Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan
4. Penyalahgunaan laksatif
5. Efek agen farmakologis
6. Ketidakteraturan kebiasaan defekasi
7. Kebiasaan menahan dorongan defekasi
8. Perubahan lingkungan
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif
1. Defekasi kurang dari 2 kali seminggu
2. Pengeluaran feses lama dan sulit
Objektif
1. Feses keras
2. Peristalitik usus menurun
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
1. Mengejan saat defekasi
Objektif
1. Distensi abdomen
2. Kelemahan umum
3. Teraba massa pada rektal.

3. Intervensi Keperawatan
NO. DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1. Gangguan Setelah dilakukan Manajemen Eliminasi
eliminasi urine tindakan keperawatan Urin (I.04152)
(SDKI D.0040) 3x24 jam diharapkan Observasi :
eliminasi urin membaik 1. Identifikasi tanda dan gejala
(L.04034), dengan kriteria retensi atau inkontenensia urin
hasil : 2. Identifikasi faktor yang
1. Sensasi berkemih menyebabkan retensi atau
meningkat inkontinensia urin
2. Desakan berkemih 3. Monitor eliminasi urin
(urgensi) menurun (misalnya frekuensi,
3. Distensi kandung konsistensi, aroma, volume,
kemih menurun dan warna)
4. Berkemih tidak Terapeutik :
tuntas menurun 1. Catat waktu-waktu haluaran
5. Volume residu urin berkemih
menurun 2. Batasi asupan cairan, jika
6. Urin menetes perlu
Menurun 3. Ambil sampel urine tegah
7. Nokturia menurun (midstream) atau kultur
8. Mengompol menurun Kolaborasi :
9. Enuresis menurun 1. Kolaborasi pemberian obat
supositoria uretra, jika perlu

2. Inkontinensia Setelah dilakukan Latihan eliminasi fekal


Fekal (SDKI tindakan keperawatan (I.04150)
D.0041) 3x24 jam diharapkan Observasi :
kontinensia fekal 1. Monitor peristaltik usus secara
membaik (L.04035), teratur
dengan kriteria hasil : Terapeutik :
1. Kemampuan 1. Anjurkan waktu yang
mengontrol konsisten untuk buang air
pengeluaran fese besar
meningkat 2. Berikan privasi,
2. Kemampuan menunda kenyamanan, dan posisi
pengeluaran feses yang meningkatkan proses
membaik defekasi
3. Frekuensi BAK 3. Gunakan enema rendah, jika
membaik perlu
4. Anjurkan dilatasi rektal
digital, jika perlu
5. Ubah program Latihan
eliminasi fekal, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan mengkonsumsi
makanan tertentu, sesuai
program, atau hasil
konsultasi
2. Anjurkan asupan cairan yang
adekuat sesuai kebutuhan
3. Anjurkan olahraga sesuai
toleransi
Kolaborasi :
1. Kolaborasi penggunaan
supositoria, jika perlu

3. Konstipasi Setelah dilakukan Manajemen Konstipasi


(SDKI D.0049) tindakan keperawatan (I.04155)
3x24 jam diharapkan Observasi :
eliminasi fekal membaik 1. Periksa tanda dan gejala
(L.04033), dengan kriteria konstipasi
hasil : 2. Periksa pergerakan usus,
1. Kontrol pengeluaran karakteristik feses
feses meningkat (konsistensi, bentuk,
2. Keluhan defekasi volume, dan warna)
lama dan sulit 3. Identifikasi faktor risiko
menurun konstipasi (mis: obat-obatan,
3. Mengejan saat tirah baring, dan diet rendah
defekasi menurun serat
4. Konsistensi feses 4. Monitor tanda dan gejala
membaik rupture usus dan/atau
5. Frekuensi BAB peritonitis
membaik Terapeutik :
6. Peristaltik usus 1. Anjurkan diet tinggi serat
membaik 2. Lakukan masase abdomen,
jika perlu
3. Lakukan evaluasi feses secara
manual, jika perlu
4. Berikan enema atau irigasi,
jika perlu
Edukasi :
1. Jelaskan etiologi masalah
dan alasan Tindakan
2. Anjurkan peningkatan
asupan cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
3. Latih buang air besar secara
teratur
4. Ajarkan cara mengatasi
konstipasi/impaksi
Kolaborasi :
1. Konsultasi dengan tim medis
tentang
penurunan/peningkatan
frekuensi suara usus
2. Kolaborasi penggunaan obat
pencahar, jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, and Suddarth. (2017). Keperawatan Medika Bedah Vol 3. Jakarta: EGC.
DeLaune and Ladner.(2011). Fundamentals Of Nursing Standards and Practice
Fourth Edition. USA : Delmor Cengage Learning.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
Risnah, Musdalifah, Amal, Nurhidayah, & Rasmawati. (2022). Asuhan
Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia. Asuhan
Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia, 15(2), 1–23.
Rosdahl,C., Kowalski, M. (2018). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC.
Tarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai