DISUSUN OLEH :
PEMBIMBING AKADEMIK :
Ns. Yulia Indah Permata Sari, S.Kep.,
M.Kep Ns. Rts. Netisa Martawinarti, S.Kep.,
M.Kep
PEMBIMBING KLINIK :
Ns. Julyana Situmorang, S.Kep
2. Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) etiologi dari masalah eliminasi
sebagai berikut:
Eliminasi Urin
1) Penurunan kapasitas kandung kemih
2) Iritasi kandung kemih
3) Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung
kemih
4) Efek tindakan medis dan diagnostic, misalnya operasi ginjal, operasi
saluran kemih, anestesi, dan obat-obatan.
5) Ketidakmampuan mengakses toilet, misalnya imobilisasi
6) Hambatan lingkungan
7) Ketidakmampuan mengkonsumsi kebutuhan eliminasi
8) Outlet kandung kemih tidak lengkap, misalnya anomaly saluran kemih
konginetal
9) Imaturitas, pada anak usia lebih dari 3 tahun.
Eliminasi Fekal
1) Kerusakan susunan saraf motorik bawah
2) Penurunan tonus otot
3) Gangguan kognitif
4) Penyalahgunaan laksatif
5) Kehilangan fungsi pengendalian sfingter rectum
6) Pascaoperasi pullthrough dan penutupan kolostomi
7) Ketidakmampuan mencapai kamar kecil
8) Diare kronis
9) Stres berlebihan.
4. Patofisiologi
a. Eliminasi Urin
Proses mengosongkan kandung kemih dikenal sebagai proses
buang air kecil atau berkemih. Pusat saraf yang mengatur proses buang
air kecil terletak di otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor
peregangan di kandung kemih di stimulasi saat urine terkumpul.
Seseorang dapat merasakan keinginan untuk membatalkan, biasanya
ketika kandung kemih mengisi sekitar 150-250 mL pada orang dewasa.
Tekanan didalam kandung kemih berkali-kali lebih besar selama buang
air kecil daripada saat kandung kemih mengisi. Ketika buang air kecil
dimulai, otot detrusor berkontraksi, sfingter internal rileks, dan urine
memasuki uretra posterior dan otot-otot perineum dan sfingter eksternal
rileks, otot dinding perut sedikit berkontraksi, diafragma lebih rendah,
dan terjadi buang air kecil (Taylor, 2011 dalam Risnah et al., 2022).
b. Eliminasi Fekal
Proses defekasi mengacu pada proses pengosongan usus besar.
Dua pusat mengatur refleks untuk buang air besar, satu di medulla dan
sumsum tulang belakang. Ketika stimulasi parasimpatis terjadi, sfingtes
anus interna mengendur dan kolon berkontraksi, memungkinkan massa
feses memasuki rectum. Rektum menjadi terisi oleh massa tinja, dan
terjadi stimulus utama untuk refleks buang air besar.
Distensi rektal menyebabkan peningkatan tekanan intrarektal,
menyebabkan otot meregang dan dengan demikian merangsang refleks
buang air besar dan selanjutnya keinginan untuk mengeluarkan. Sfingter
anal eskternal, yang berada dibawah kenali yang disadari. Pola eliminasi
normal dapat bervariasi secara luar di antara individu. Meski banyak
orang dewasa yang melakukan defekasi setiap hari, dan yang lainnya
lebih serign atau jarang buang air besar. Sebagaian orang hanya buang
air besar dua atau tiga kali seminggu atau dua atau tiga kali sehari
(Taylor, 2011 dalam Risnah et al., 2022).
5. Manifestasi klinis
a. Gangguan Eliminasi Urin
1) Retensi urin
Ketidaknyamanan daerah pubis
Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih
Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang
Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
Ketidaksanggupan untuk berkemih
2) Inkontinensia urin
Tidak mampu menahan keinginan BAK
Sering mengompol
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1) Konstipasi
Menurunnya frekuensi BAB
Pengeluaran feses yang sulit, keras dan perlu mengejan
Nyeri rectum
2) Impaction
Tidak BAB
Anoreksia
Kembung / kram
Nyeri rektum
3) Diare
BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk
Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
Iritasi didalam kolon
Feses menjadi encer sehingga tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB
4) Inkontinensia Fekal
Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus
BAB encer dan jumlah banya
Gangguan fungsi sfingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord dan tumor sfingter anal eskternal
5) Flatulens
Menumpuknya gas pada lumen intestinal
Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan
kram
Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus).
6) Hemoroid
Pembengkakan vena pada dinding rectum
Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
Nyeri (Rosdahl & Kowalski, 2018).
6. Pathway
7. Pemeriksaan Penunjang
Jenis pemeriksaan yang biasa dilakukan berupa Urinalisis dengan
memeriksa :
1) Warna : jernih kekuningan
2) Penampilan : jernih
3) Bau :
beraroma 4) Ph :
4,5 – 8,0
5) Berat jenis : 1,005 – 1,030
6) Glukosa : negatif
7) Keton : Negatif
8) Kultur urine : kuman pathogen negatif
9) Pemeriksaan USG
10) Pemeriksaan foto rontgen (Risnah et al., 2022).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN ELIMINASI URIN
DAN FEKAL
1. Pengkajian (Marilynn, 2000 dalam Risnah et al., 2022)
a. Riwayat kesehatan
1) Pola berkemih
a) Dribbling, urine menetes sedikit demi sedikit.
b) Nokturia, sering terbanug pada malam hari karena ingin buang air
kecil.
c) Anuria, tidak merasakan keinginan berkemih.
d) Glicosuria, terdapat kandungan glukosa pada urine.
e) Piuria, terdapat pus pada urine.
2) Gejala dari perubahan berkemih
a) Frekuensi, terjadi perubahan jumlah berkemih dalam sehari.
b) Desakan berkemih (urgensi), pasien selalu merasakan tiba-tiba
ingin berkemih.
c) Disuria, nyeri saat buang air kecil.
d) Poliuria, pasien merasakan sering buang air kecil.
e) Volume urine
No Usia Jumlah/hari
1. 1 - 2 hari 15 600 ml
2. 3 – 10 hari 100 – 300 ml
3. 10 hari – 2 bulan 250 – 400 ml
4. 2 bulan – 1 tahun 400 – 500 ml
5. 1 – 3 tahun 500 – 600 ml
6. 3 – 5 tahun 600 – 700 ml
7. 5 – 8 tahun 700 – 1000 ml
8. 8 – 14 tahun 800 – 1400 ml
9. 14 tahun – dewasa 1500 ml
10. Dewasa tua Kurang lebih 1550 ml
f) Kondisi urine
No Kondisi Normal Interpretasi
1. Warna Kekuningan Urine berwarna gelap seperti
teh merupakan efek obat,
sedangkan urine yang
berwarna merah dan kuning
pekat mengidentifikasikan
adanya penyakit.
2. Bau Aromatik Bau menyengat merupakan
akibat adanya infeksi /
konsumsi obat tertentu
3. Kejernihan Terang dan transparan Adanya kekeruhan bisa
karena adanya mucus
4. pH Ph dalam kondisi asam Menunjukkan keseimbangan
(4.5 – 7.5 asam basaa
5. Berat jenis 1.010 – 1,030 Menunjukkan kondisi normal
(cairan dan elektrolit
terpenuhi)
6. Protein Zat protein makro Menunjukkan kerusakan
seperti albumin, ginjal
hiltrogen, globulin tidak
dapat disaring melalui
ginjal urine
7. Darah Tidak terlihat jelas Hematuri dapat muncul
karena adanya trauma atau
penyakit pada system urinaria
bagian bawah
8. Glukosa Sejumlah glukosa yang Jika menetap
tidak menetap bersifat mengindikasikan penyakit
tidak berarti diabetes melitus
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untk pola eliminasi berfokus pada masalah fungsional
yang terkait dengan inkontinensia urin atau fekal dan menilai area
perineum dan perianal. Evaluasi fungsional dimulai dengan wawancara
dan berlanjut hingga pemeriksaan fisik. Status mnetal daapt dievaluasi
dengan mendengarkan respons klien terhadap pertanyaan dan dengan
mengamati interaksi dengan orang lain.
Perineum awalnya diperiksa untk menilai integritas kulit. Diantar klien
dengan inkontinensia urine yang parah, bau khas urine mungkin ada, dan
kulit mungkin menunjukkan tanda-tanda ruam monilial (makulo popular,
ruam merah dengan lesi satelit) atau dermatitis kontak ammonia (ruam
papula dengan kulit maserasi jenuh). Diantara pasien dengan inkontinensia
fekal yang parah, kulit sering gundul, merah, dan menyakitkan saat
disentuh, khususnya jika sudah terkena feses yang cair.
c. Pemeriksaan diagnostik
1. Warna : jernih kekuningan
2. Penampilan : jernih
3. Bau :
beraroma 4. Ph :
4,5 – 8,0
5. Berat jenis : 1,005 – 1,030
6. Glukosa : negatif
7. Keton : Negatif
8. Kultur urine : kuman pathogen negatif.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan (SDKI, 2017), adapun masalah keperawatan yang mungkin
muncul adalah sebagai berikut :
Masalah 1 : Gangguan Eliminasi Urine (SDKI D.0040)
Definisi :
Disfungsi eliminasi urin
Penyebab :
1. Penurunan kapasitas kandung kemih
2. Iritasi kandung kemih
3. Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih
4. Efek tindakan medis dan diagnostik (mis. operasi ginjal , operasi saluran
kemih, anestesi, dan obat-obatan)
5. Kelemahan otot pelvis
6. Ketidakmampuan mengakses toilet (mis. imobilitas)
7. Hambatan lingkungan
8. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi
9. Outlet kandung kemih tidak lengkap (mis. anomali saluran kemih
kongenital)
10. Imaturitas (pada anak usia < 3 tahun)
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif
1. Desekan berkemih (Urgensi)
2. Urin menetas (dribbling)
3. Sering buang air kecil
4. Nokturia
5. Mengompol
6. Enuresis
Objektif
1. Distensi kandung kemih
2. Berkemih tidak tuntas (Hesitancy)
3. Volume residu urin meingkat
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
(tidak tersedia).
Masalah 2 : Inkontinensia Fekal (SDKI D.0041)
Definisi :
Perubahan kebiasaan buang air besar dari pola normal yang ditandai dengan
pengeluaran feses secara involunter.
Penyebab :
1. Kerusakan susunan saraf motorik bawah
2. Penurunan tonus otot
3. Gangguan kognitif
4. Penyalahgunaan laksatif
5. Kehilangan fungsi pengendalian sfingter rektum
6. Pascaoperasi pullthrough dan penutupan klosomi
7. Ketidakmampuan mencapai kamar kecil
8. Diare kronis
9. Stres berlebihan
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif
1. Tidak mampu mengontrol pengeluaran fases
2. Tidak mampu menunda
defekasi Objektif
1. Feses keluar sedikit-sedikit dan sering
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
1. Bau feses
2. Kulit perinal kemerahan.
3. Intervensi Keperawatan
NO. DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1. Gangguan Setelah dilakukan Manajemen Eliminasi
eliminasi urine tindakan keperawatan Urin (I.04152)
(SDKI D.0040) 3x24 jam diharapkan Observasi :
eliminasi urin membaik 1. Identifikasi tanda dan gejala
(L.04034), dengan kriteria retensi atau inkontenensia urin
hasil : 2. Identifikasi faktor yang
1. Sensasi berkemih menyebabkan retensi atau
meningkat inkontinensia urin
2. Desakan berkemih 3. Monitor eliminasi urin
(urgensi) menurun (misalnya frekuensi,
3. Distensi kandung konsistensi, aroma, volume,
kemih menurun dan warna)
4. Berkemih tidak Terapeutik :
tuntas menurun 1. Catat waktu-waktu haluaran
5. Volume residu urin berkemih
menurun 2. Batasi asupan cairan, jika
6. Urin menetes perlu
Menurun 3. Ambil sampel urine tegah
7. Nokturia menurun (midstream) atau kultur
8. Mengompol menurun Kolaborasi :
9. Enuresis menurun 1. Kolaborasi pemberian obat
supositoria uretra, jika perlu
Brunner, and Suddarth. (2017). Keperawatan Medika Bedah Vol 3. Jakarta: EGC.
DeLaune and Ladner.(2011). Fundamentals Of Nursing Standards and Practice
Fourth Edition. USA : Delmor Cengage Learning.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
Risnah, Musdalifah, Amal, Nurhidayah, & Rasmawati. (2022). Asuhan
Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia. Asuhan
Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia, 15(2), 1–23.
Rosdahl,C., Kowalski, M. (2018). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC.
Tarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Jakarta.