Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN & ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN RETENSI URIN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktik Keperawatan Dasar

Dosen pembimbing : Dastono Susantoro, S.KP

Reno Oktaviansyah (P27901119041)

JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG


PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
TAHUN 2021
A. Konsep Gangguan Kebutuhan Eliminasi Urine dan Fekal
1. Definisi
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa
urine atau bowel (feses). Eleminasi juga merupakan pengeluaran racun atau
produk limbah dari dalam tubuh. Gangguan Eliminasi  pada manusia
digolongkan menjadi 2 macam yaitu:
a. Gangguan Eliminasi Urine
Gangguan eleminasi urine adalah keadaan ketika seorang individu 
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eleminasi urine  (Lynda
Juall Carpenitro-Moyet, Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 13, hal
582, 2010). Sedangkan menurut Nanda International (hal 271, 2011).
Gangguan eleminasi urine merupakan suatu kehilangan urine involunter
yang dikaitkan dengan distensi berlebih pada kandung kemih
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eleminasi fekal adalah penurunan pada frekuensi normal
defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses
dan/ atau pengelaran feses yang keras, kering dan banyak (Nanda
sInternational, Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 281, 2011).

2. Etiologi
a. Gangguan Eliminasi Urine
1) Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan
sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan
pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output
urine lebih banyak.
2) Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot
kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter
untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus
dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah
merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih
berat akan mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini
disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh.
- Berbagai macam penyebab gangguan eliminasi urine lainnya :
a) Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal,
struktur urethra
b) Infeksi
c) Kehamilan
d) Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
e) Trauma sumsum tulang belakang
f) Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
g) Umur
h) Penggunaan obat-obatan
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1) Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.
Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar
volume feses. Makanan tertentu pada beberapa orang sulit atau tidak
bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan
pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan
yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,
respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.

2) Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga
meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme
3) Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-
penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis,
bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa
beberapa orang yang cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas
peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa
memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi
4) Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak
peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum
dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses
mengeras.
5) Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang
lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti
dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan
memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine
hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare
6) Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 –
3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang
dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya
adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot
polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan
mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot
perut yang juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan
lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses
defekasi.
7) Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan
pada spinal cord dan tumor.

3. Patofisologi
a. Gangguan eliminasi urine
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah
dijelaskan di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh
etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang
menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan
dalam mengkontrol urine/ inkontinensia urine. Gangguan traumatik pada
tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.
Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama
dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada
tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata
di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah
satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan
berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas
reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam
kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang
ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan
refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang
merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Hal senada disampaikan
Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda
gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung
kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urine dikontrol oleh
sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh
sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan
rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan
urine dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas
kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot
dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi
oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama
yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls
afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal
spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf
dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan
relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet
dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi
saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan
bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini
terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat
tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan
kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih
yang adekuat.
Pathway Eliminasi Urine

Urine masuk kandung kemih

Terjadi peregangan serat otot dinding kemih

Implus berjalan melalu serabut aferen

Menuju pars lumbalis medula spinalis dan


transmisikan ke korteks serebri

Miksi dikontrol saraf aferen menuju kandung


kemih, implus berjalan menuju saraf parasimpatis
sakralis dan menyebabkan :

Otot dinding kandung kemih berkontraksi sfingter


Timbul rangsangan ingin BAK
berkontraksi

Pengeluaran urin

b. Gangguan eliminasi fekal


Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks
defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan
dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden,
kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses
kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal
interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses
keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal
– sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi
instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter
anus eksternal tenang dengan sendirinya
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.

4. Manifestasi Klinik
a. Gangguan eliminasi urine
 Retensi Urine
a)       Data mayor (harus terdapat, satu atau lebih)
-       Distensi kandung kemih
- Disuria/Urinearia
-       Sering berkemih atau menetes
-       Residu urine 150 cc atau lebih
b)      Data Minor (mungkin terdapat)
- Individu menyatakan bahwa kandung kemihnya tidak kosong
setelah berkemih.
 Inkontinensia urine
a) Ketidakmampuan pasien dalam menahan BAK sebelum
mencapai toilet tepat waktu.
b) Ketidakmampuan pasien untuk mengontrol ekskresi urine
b. Gangguan eliminasi fekal
 Konstipasi
a.       Data mayor (harus terdapat)
-          Nyeri pada saat defekassi
-          Feses keras dan berbentuk
-          Kesulitan dalam defekasi
-          Defekasi dilakukan kurang dari tiga kali seminggu
b.      Data minor ( mungkin terdapat)
-          Mengenjan pada saat defekasi
-          Darah merah pada feses
-          Massa rektal yang dapat diraba
-          Mengeluh rektal terasa penuh
-          Bising usus
 Diare
a.       Data mayor (harus terdapat)
-          Pengeluaran feses yang cair dan tidak berbentuk
-          Peningkatan frekuensi defekasi
-          Ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses
b.      Data minor ( mungkin terdapat )
-          Peningkatan bising usus
-          Peningkatan dalam volume feses

5. Penatalaksanaan
a. Gangguan eleminasi urine
1.      Penatalaksanaan medis inkontinensia urine yaitu:
a) Pemanfaatan kartu berkemih
b) Terapi non famakologi
c) Terapi farmakologi
d) Terapi pembedahan
e) Modalitas lain
2.      Penatalaksanaan medis retensio urine yaitu
a) Kateterisasi urethra
b) Dilatasi urethra dengan boudy
c) Drainage suprapubik
b. Gangguan eliminasi fekal
1.      Penatalaksanaan medis konstipasi
a) Pengobatan non-farmakologis
b) Pengobatan farmakologis
2.      Penatalaksanaan medis diare
a) Pemberian cairan
b) Pengobatan dietetik  (cara pemberian makanan)
c) Obat- obatan

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Gangguan eleminasi urine
Pemeriksaan sistem perkemihan dapat mempengaruhi berkemih.
Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan
saluran kemih seperti IVY (intra uenus pyelogram), yang dapat
membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi produksi urine.Klien
tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi cairan per oral sebelum tes
dilakukan. Pembatasan asupan cairan umumnya akan mengurangi
pengeluaran urine. Selain itu pemeriksaan diagnostic seperti  tindakan
sistoskop yang melibatkan visualisasi langsung struktur kemih dapat
menimbulkan edema lokal pada uretra dan spasme pada sfingter kandung
kemih. Klien sering mengalami retensi urine setelah menjalani prosedur
ini dan dapat mengeluarkan urine berwarna merah atau merah muda
karena perdarahan akibat trauma pada mukosa uretra atau mukosa
kandung kemih. Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan sebagai
berikut :
1.      Pemeriksaan urine ( urinealisis)
         Warna urine normal yaitu jernih
         pH normal yaitu 4,6-8,0
         glukosa dalam keadaan normal negatif
         Ukuran protein normal sampai 10 mg/100ml
         Keton dalam kondisi normal yaitu negatif
         Berat jenis yang normal 1,010-1,030
         Bakteri dalam keadaan normal negatif
2.      Pemeriksaan darah meliputi : HB, SDM, kalium, natrium, pencitraan
radionulida, klorida, fosfat dan magnesium meingkat.
3.      Pemeriksaaan ultrasound ginjal
4.      Arteriogram ginjal
5.      EKG
6.      CT scan
7.      Enduorologi
8.      Urografi
9.      Ekstretorius
10.  Sistouretrogram berkemih
b. Gangguan eliminasi fekal
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur
saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien
tidak diizinkan untuk makan atau minum stelah tengah malam jika
esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang
menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah, atau
serangkaian pemeriksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan
barium enema atau endoskopi, klien biasanya menerima katartik dan
enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien
dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan
masalah tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI.
Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien
harus menerimakatartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah
prosedur dilakukan. Klien yang menglami kegagalan dalam
mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan
dengan menggunakan enema. Adapun pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan pada gangguan eleminasi fekal yaitu :
a.       Anuskopi
b.      Prosktosigmoidoskopi
c.       Rontgen dengan kontras
d.      Pemeriksaan laboratorium feses

7. Komplikasi
a. Gangguan Eliminasi Urine
1) Retensi Urine
Urine yang tertahan di dalam saluran kencing berpotensi
menimbulkan infeksi dan batu saluran kemih. Selain itu, retensi urine
akan menyebabkan peningkatan tekanan kandung kemih yang
selanjutnya juga mempengaruhi ureter dan ginjal. Kandung kemih
akan bekerja lebih keras secara terus menerus untuk mengeluarkan
urine. Hingga akhirnya otot kandung kemih menjadi lemah dan dapat
terbentuk kantong-kantong (divertikel) yang berisiko infeksi. Tekanan
akan diteruskan ke saluran ureter dan ginjal yang akan membengkak
(hidroureter dan hidronefrosis).
2) Inkontinensia urine
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat inkontinensia urine
kronis, antara lain:
- Masalah kulit, seperti ruam, infeksi kulit dan luka.
- Infeksi saluran kemih. Inkontinensia bisa meningkatkan risiko
terjadinya infeksi saluran kemih berulang.
- Mengganggu kehidupan sosial. Inkontinensia urine merupakan
masalah yang memalukan, sehingga bisa memengaruhi hubungan
sosial, pekerjaan, dan hubungan pribadi .
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1) Konstipasi
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah:
 Hemoroid atau wasir, yaitu pembengkakan dinding anus akibat
pelebaran pembuluh darah yang biasanya disebabkan oleh proses
mengejan yang terlalu lama.
 Fisura ani. Mengejan terlalu lama dan tinja yang keras atau besar
dapat mengakibatkan fisura atau robeknya kulit pada dinding
anus dan buang air besar berdarah.
 Impaksi feses, yaitu menumpuknya tinja yang kering dan keras di
rektum akibat konstipasi yang berlarut-larut.
 Prolaps rektum. Pada kondisi ini, rektum pindah dari posisinya di
dalam tubuh dan menonjol keluar dari anus akibat terlalu lama
mengejan.
2) Diare
Beberapa komplikasi yang diakibatkan diare, antara lain:
 Dehidrasi ringat hingga berat.
 Sepsis, infeksi berat yang bisa menyebar ke organ lain.
 Malnutrisi terutama pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun,
yang dapat mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh anak.
 Ketidakseimbangan elektrolit karena elektrolit ikut terbuang
bersama air yang keluar saat diare, yang dapat ditandai dengan
lemas, lumpuh, hingga kejang.
 Kulit di sekitar anus mengalami iritasi karena pH tinja yang asam.

B. Asuhan Keperawatan
 Gangguan Kebutuhan Eliminasi Urin
1. Pengkajian
a) Tanyakan riwayat keperawatan klien tentang pola berkemih, gejala
dari perubahan berkemih, dan faktor yang mempengaruhi berkemih.
b) Pemeriksaan fisik klien meliputi
- abdomen, pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena,
distensi bladder, pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness,
bissing usus,
- genetalia: wanita, inflamasi, nodul, lesi, adanya secret dari
meatus, kesadaran, antropi jaringan vagina, dan genetalia
laki-laki: kebersihan, adanya lesi, tenderness, adanya
pembesaran skrotum.
c) Identifikasi Intake dan output cairan dalam (24 jam) meliputi
pemasukan minum dan infuse, NGT, dan pengeluaran perubahan
urine dari urinal, cateter bag, ainage ureternomy, karakter urine:
warna, kejernihan, bau, kepekatan.
d) Pemeriksaan diagnostic : Pemeriksaan urine (urinalisis): Warna:
(jernih kekuningan), Penampilan (N: jernih), Bau (N: beraroma),
pH (N: 4,5-8,0), Berat jenis (N: 1,005-1,030), Glukosa (N:
negatif), Keton (N: negatif), Kultur urine (N: kuman petogen
negatif).
2. Diagnosa Keperawatan
Retensi urine :
Kondisi di mana seseorang tidak mampu mengosongkan bladder secara
tuntas.
Kemungkinan penyebab (berhubungan dengan): Obtruki mekanik,
pembesaran prostat, trauma, pembedahan, kehamilan.
Kemungkinan klien mengalami (data yang ditemukan): tidak tuntasnya
pengeluaran urine, distensi bladder, hipertropi prostat, kanker, infeksi
saluran kemih, pembesaran besar abdomen.
3. Intervesi Keperawatan

Intervensi Rasional

1. Monitor keadaan bladder Menentukan masalah


setiap 2 jam
2. Ukur intake dan output Memonitor keseimbangan cairan
cairan setiap 4 jam

3. Berikan cairan 2.000 Menjaga defisit cairan


ml/hari dengan kolaborasi

4. Kurangi minum setelah Mencegah nokturia


jam 6 malam

5. Kaji dan monitor analisis Membantu keseimbangan cairan


urine elektrolit dan berat dan membantu mengembalikan
badan energi

6. Lakukan latihan Menguatkan fungsi bladder dan


pergerakan dan lakukan menguatkan otot pelvis
relaksasi ketika duduk
berkemih

7. Kolaborasi dalam Mengeluarkan urine


pemasangan kateter

4. Implementasi
Implementasi atau tindakan keperawatan dilakukan sesuai dengan
intervensi atau rencana yang telah di susun.
5. Evaluasi
Setelah membantu untuk klien lakukan evaluasi: Klien mampu
mengontrol pengeluaran bladder setiap 4 jam, tanda dan gejala retensi
urine tidak ada.

 Gangguan Kebutuhan Eliminasi Fekal


1. Pengkajian
a) Riwayat Keperawatan
Tanyakan pada pasien tentang kebiasaan atau pola defikasi seperti
frekuensi, waktunya, perilaku defikasi, seperti penggunaan laksatif,
kapan berakhir BAB, karakteristik feses seperti: warna bau dan
tekstur, diet yang biasa dimakan dan yang dihindari, cairan yang di
minum baik jenis maupun jumlah, aktivitas yang dilakukan,
penggunaan obatobatan, stres yang berkepanjangan dan riwayat
pembedahan dan penyakit.
b) Pemeriksaan Fisik
Periksalah pasien pada abdomen apakah terjadi distensi, simetris,
gerakan peristaltik dan adanya massa pada perut, sedangkan pada
rectum dan anus meliputi tanda-tanda inflamasi, perubahan warna, lesi
fistula, hemorraid dan adanya massa.
c) Keadaan Feses
Lakukan identifikasi feses meliputi konsistensi, bentuk, bau, warna,
jumlah dan unsur abnormal. Warna: bayi (kuning), dewasa (coklat).
Bau : khas, tergantung dari tipe makanan. Konsistensi: padat, lunak.
Frekuensi: tergantung individunya, biasanya bayi (4-6 kali sehari),
bayi PASI (1-3 kali sehari), dewasa (1-3 kali per minggu). Jumlah:
150 gram sehari (dewasa). Ukuran: tergantung diameter rectum.
d) Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostic
Endoskopi, protoksigmoidodkopi merupakan prosedur pemeriksaan
dengan memasukan alat ke dalam cerna bagian bawah untuk
mengevaluasi kolon dan sekum terhadap peradangan, perdarahan dan
diare.
2. Diagnosa Keperawatan
Konstipasi (aktual atau risiko)
Definisi : Seorang mengalami perubahan pola defikasi dengan
karakteristik penurunan frekuensi buang air besar dan feses yang keras,
Kemungkinan penyebabnya (berhubungan dengan): immobilisasi,
aktivitas menurun, ileus, stress, mobilisasi intestinal menurun dan
pembatasan diet, kemungkinan klien mengalami, anemi, hipotiroidisme,
dialysis ginjal, pembedaan, paralisis, cedera spinal cord,
Kemungkinan tanda-tanda yang ditemukan pada klien: bising usus
menurun, mual, nyeri abdomen, massa pada abdomen kiri bawah,
perubahan konsistensi feses, frekuensi BAB.
Tujuan yang diharapkan : Pasien kembali ke pola normal dari fungsi
bowel dan perubahan pola hidup untuk menurunkan faktor penyebab
konstipasi, kriteria Evaluasi: konsistensi feces lunak, pola defekasi
normal, distensi abdomen tidak ada, flatus, defekasi nyaman.

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi Rasional

1. Monitor keadaan bladder Tingkatkan kekuatan otot bladder


setiap 2 jam. dan kolaborasi
dalam bladder training

2. Hindari faktor pencetus Mengurangi atau menghindari


inkontinensia urine seperti inkontinensia
cemas

3. Kolaborasi dengan dokter Menghindari faktor penyebab


dalam pengobatan dan
kateterisasi

4. Berikan penjelasan tentang: Meningkatkan pengetahuan dan


pengobatan, kateter, pasien lebih kooperatif
penyebab dan tindakan
lainnya

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi atau tindakan keperawatan dilakukan sesuai dengan
intervensi atau rencana yang telah di susun.
5. Evaluasi Keperawatan
Setelah membantu untuk klien lakukan evaluasi : Klien mampu
mengontrol pengeluaran bladder setiap 4 jam, tanda dan gejala
inkontinensian urine berkurang atau tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA

Kasiati. Rosmalawati, Ni Wayan Dwi. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia 1.


Jakarta : PPSDMK Kemenkes RI

Gusniani, Enno Dian. 2012. Laporan Pendahuluan KDM Eliminasi. Karya tulis
ilmiah. Di fakultas kedokteran dan ilmu ilmu kesehatan Universitas Soedirman.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

https://www.halodoc.com/kesehatan/diare#:~:text=Komplikasi
%20Diare,mengakibatkan%20menurunnya%20kekebalan%20tubuh%20anak

https://www.alodokter.com/konstipasi/pencegahan

https://www.halodoc.com/kesehatan/inkontinensia-urine

http://annurhospital.com/web/index.php?
option=com_content&view=article&id=199:retensi-urinetidak-bisa-kencing-
penyebab-dan-tatalaksananya&catid=47:artikel-depan&Itemid=120
I. PENGKAJIAN
Identitas Klien
Nama Klien : Tn. A
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Marital : Menikah
Alamat : Jl. Palka KM 34 Padarincang, Serang-Banten.
No. Medrec : 2910052001
Tanggal Masuk RS : Rabu, 20 Februari 2021
Tanggal Pengkajian : Rabu, 20 Februari 2021
Diagnosis Medis : Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH)

Penanggung Jawab
Nama : Ny. A
Umur : 59 tahun
Alamat : Pandeglang, Banten.
Hub dengan Klien : Istri

Keluhan Utama :
Pasien mengeluhkan susah buang air kecil (BAK), terasa nyeri saat BAK dan
kandung kemih terasa penuh.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengatakan awal bulan Desember 2020 mengeluh nyeri saat berkemih
serta tidak tuntas saat berkemih. Pada tanggal 02 Januari 2021 pasien datang ke
RS karena tidak dapat BAK sama sekali. Pada tanggal 03 Februari 2021 pasien
datang ke RS untuk menjalani operasi TURP pertama. pada tanggal 20
Februari 2021 datang lagi untuk melakukan operasi TURP ke dua karena
pasien mengalami sakit lagi saat BAK.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu :
Pasien mengatakan pernah menjalani operasi BPH.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Klien mengatakan di keluarga tidak ada yang menderita penyakit berat.

Data Psikososial :
Klien dapat berkomunikasi dengan perawat maupun orang lain sangat baik dan
lancar serta menjawab pertanyaan yang diajukan oleh perawat. Orang yang
paling dekat dengan Klien adalah istrinnya. Ekspresi Klien terhadap penyakit
nya yaitu tidak ada masalah. Klien mengatakan interaksi dengan orang lain
baik dan tidak ada masalah. Reaksi saat interaksi dengan Klien kooperatif dan
tidak ada gangguan konsep diri.

Data Personal Hygiene dan Personal :


Saat di rumah Klien memiliki kebiasaan mandi sebanyak 2 kali sehari, sikat
gigi sebanyak 3 kali sehari, keramas sebanyak 1 kali sehari, dan memotong
kuku seminggu sekali. Saat ini Klien tidak merokok lagi, ia mengatakan sudah
berhenti sejak 2 tahun yang lalu dan tidak meminum minuman beralkohol.

Spiritual :
Sebelum sakit Klien sering beribadah begitupun selama ia sakit dan selalu
berdoa agar segera diangkat penyakitnya.

Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum : Sedang tampak terpasang infus RL pada tangan sebelah
kanan.
Kesadaran : Compos Mentis , GCS : E4 M6 V5.
TTV : - Tekanan Darah : 120/90 mmhg
- Nadi : 89x/menit
- Suhu : 36,50C
- RR : 16x/menit
Pemeriksaaan Kepala
- Rambut
Bentuk kepala Klien oval, tidak ditemukan adanya penonjolan pada tulang
kepala Klien, fingerprint di tengah frontal terhidrasi, kulit kepala bersih,
penyebaran rambut tidak merata merata, warna hitam beruban (dominan
putih), mudah patah, tidak bercabang.
- Mata
Mata lengkap dan simetris kanan dan kiri, tidak ada pembengkakan pada
kelopak mata, sclera putih, konjungtiva anemia, palpebra tidak ada edema,
kornea jernih, reflek +, pupil isokor
- Hidung
Tidak ada pernafasan cuping hidung, posisi septum nasi di tengah, tidak
ada secret atau sumbatan pada lubang hidung, ketajaman penciuman
normal, dan tidak ada kelainan
- Rongga mulut
Bibir berwarna cokelat gelap, terdapat 2 gigi geraham yang berlubang,
lidah berwarna merah muda, mukosa lembab, tonsil tidak membesar
- Telinga
Telinga simetris kanan dan kiri, ukuran sedang, kanalis telinga bersih
kanan dan kiri, tidak ada benda asing dan bersih pada lubang telinga, Klien
dapat mendengar suara gesekan jari.

Pemeriksaan Leher : Tidak ada lesi jaringan parut, tidak ada


pembengkakan kelenjar tiroid, Tidak teraba adanya massa di area leher,
tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar
limfe.

Pengkajian persistem

- Sistem Pernafasan : Tidak ada sesak, tidak ada batuk. Bentuk dada
simetris, pola nafas normal, frekuensi 16x/menit, tidak ada pernafasan
cuping hidung, tidak ada otot bantu nafas, suara perkusi sonor, suara nafas
vesikuler, suara ucapan jelas, tidak ada cuara tambahan nafas.
- Sistem Kardiovaskuler : tidak ada nyeri dada,CRT < 2deti, ujung jari tidak
tabuh. Ictus cordis tidak tampak teraba di ICS V Linea midclavikularis kiri
selebar 1 cm, Basic jantung terletak di ICS III sternalis dan ICS III
sternalis kiri, suara perkusi redup, pinggang jantung terletak di ICS III
sampai V sternalis kanan suara perkusi redup, apeks jantung redup, apeks
jantung terletak di ICS V midclavikularis kiri suara perkusi redup. Bunyi
jantung I dan bunyi jantung II terdengar dup. Tidak ada bunyi jantung
tambahan.
- Sistem Persyarafan : Status memori panjang, perhatian dapat mengulang,
bahasa baik, dapat berorientasi pada orang, tempat dan waktu, tidak ada
keluhan pusing, istirahat tidur 5-6 tidur jam/hari. Pasien sering terbangun
ketika nyeri di saat berkemih Pada pemeriksaan saraf kranial, nervus I
Pasien dapat membedakan bau, nervus II Pasien dapat melihat dan dan
membaca tanpa memakai kacamata, nervus III Pasien dapat menggerakkan
bola mata kebawah dan kesamping, nervus IV pupil mengecil saat
dirangsang cahaya, nervus V Pasien dapat merasakan sensasi halus dan
tajam, nervus VI Pasien mampu melihat benda tanpa menoleh, nervus VII
menoleh, nervus VII Pasien bisa senyum dan menutup kelopak mata
dengan tahanan, nervus VIII Pasien dapat mendengar gesekan jari, nervus
IX uvula berada ditengah dan simetris, nervus X Pasien dapat menelan,
nervus XI Pasien bisa melawan tahanan pada pipi dan bahu, dan nervus
XII Pasien dapat menggerakkan lidah. Pada pemeriksaan refleks fisiologis
lidah ditemukan adanya gerakan fleksi pada Pada tangan kanan dan tangan
kiri. saat dilakukan pemeriksaan refleks bisep dan ditemukan adanya
gerakan ekstensi saat dilakukan pemeriksaan refleks trisep. Pada
pemeriksaan refleks patella ditemukan adanya gerakan tungkai ke depan
pada kaki kanan kaki kiri. Pada pemeriksaan refleks patologis berupa
refleks babinsky ditemukan adanya gerakan fleksi pada jari jari.
- Sistem Perkemihan : Bersih, keluhan berkemih. Produksi 800 urine
ml/hari, warna kuning jernih dan bau khas. Ada nyeri tekan dan
pembesaran pada kandung kemih.
- Sistem Pencernaan dan Nutrisi :
BB : 65 kg
TB : 166 cm
IMT : 23,9 (kategori : berlebih)
total skor parameter : 0
Klien BAB 1x selama sakit, jenis diet tinggi kalori tinggi protein
(TKTP),nafsu makan baik dengan frekuensi 3x sehari, porsi makan habis.
Abdomen : Bentuk abdomen datar, tidak ada benjolan/masa, tidak ada
bayangan vena, peristaltic usus 6x/menit terdengar lambat, palpasi
abdomen teraba keras, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar,
tidak ada nyeri tekan pada Mc.Berney, suara abdomen tympani, tidak ada
asites
- Sistem Muskoleskeletal dan Integumen : pergerakan sendi bebas, otot
simetris kanan dan kiri. Pada pemeriksaan tangan kanan, tangan kiri dan
kaki kanan serta kaki kiri didapatkan kekuatan otot 5.
- Sistem Endokrin : tidak ada pembesaran pada kelenjar tiroid, tidak tedapat
pembesaran kelenjar getah bening bag leher, tidak dapat hipoglikemia dan
hiperglikemia. Tidak terdapat riwayat luka sebelumnya dan tidak terdapat
riwayat amputansi sebelumnya.
- Sistem Seksualitas dan Reproduksi : Tidak ada benjolan pada axila dan
clavicula, klien sudah disunat, ada pembesaran pada kelenjar prostat

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Lengkap : - Hemoglobin: 13.9 g/Dl (13.0 18.0)
- Leukosit: 8.7 10^3/Ul (400-10.00)
- Eriteosit: 4.87 10^6/Ul (4.50-6.20)
- Hematokrit : 40% (40.0-54.0)
- Trombosit: 278 10^3/Ul (150-450)

Elektrolit darah :- kalsium (ion) 1.40 mmol/L (1.12-1.32)

- Natrium 134 mmol/L (136-146)


- Kalium 3.8 mmol/L (3.5-5.1)
- SGOT (AST) 16 U/L (<=40)
- SPGT (ALT) 40 U/L (<=41)
- Ureum darah 32.9 mg/dL (16.6-48.5)
2. Ultrasonografi :
USG VU : besar bentuk, dinding melebar irreguler, batu (-), tampak
bayangan masa padat di pole bawah VU: batas kasar, echo struktur
heterogen.
Kesan : USG tampak massa di pole bawah VU.
Ed/DD/ : Prostat Hypertropia
-

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


A. Analisa Data
Nama : Tn. A
No.CM : 2910052001

No Data Etiologi Masalah

1. DS : Benigna Prostatic Retensi Urin


- Pasien mengeluh susah Hyperplasia
buang air kecil (BAK), (BPH)
- Adanya sensasi penuh
pada kandung kemih
Pembesaran
kelenjar prostat
DO :

- Disuria
- Pengeluaran urine < Menyebabkan
1500 ml/hari obstruksi kandung
kemih
- Distensi kandung kemih

Distensi kandung
kemih

Retensi Urin

B. Diagnosis Keperawatan
Retensi urine berhubungan dengan (b.d) peningkatan tekanan uretra
dibuktikan dengan (d.d) pasien mengalami sensasi penuh pada kandung
kemih, disuria/ anuria.

III. PERENCANAAN/INTERVENSI KEPERAWATAN


Nama Klien/Umur : Tn. A/60 Tahun
No. CM : 2910052001

No//hari/ Diagnosa PERENCANAAN

Keperawatan
Tgl Tujuan Intervensi Rasional

Selasa, 23 Retensi urine Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1. Untuk mengetahui apa


berhubungan perencanaan penyebab retensi penyebab retensi urin
Februari
dengan (b.d) keperawatan selama 2 x urin misalnnya seperti
2021
peningkatan 24 jam, maka eliminasi 2. Monitor intake dan peningkatan tekanan
tekanan uretra. di urine membaik, dengan uretra, kerusakan arkus
buktikan dengan Kriteria hasil : output cairan refleks,
(d.d) pasien 3. Monitor distensi 2. Dengan memonitor
1. Distensi kandung
mengalami kandung kemih frekuensi dapat
kemih menurun
sensasi penuh dengan palpasi/ mengetahui intake dan
2. Disuria/anuria
pada kandung perkusi output cairan.
menurun
kemih, disuria/ 4. Pasang kateter 3. Dengan memonitor
3. Frekuensi BAK
anuria. 5. Edukasi tentang distensi kandung kemih
membaik
retensi urin dapat mengetahui nyeri
masih ada atau tidak
4. Dengan dipasang
kateter urin, dapat
membantu BAK.
5. Dengan diberi edukasi
tentang retensi urin
dapat meningkatkan
pengetahuan klien
mengenai penyakitnya.

Rabu, 24 6. Dengan memonitor


6. Monitor kepatenan kepatenan kateter dapat
Februari
kateter urine mengetahui kelancaran
2021 7. Monitor kebocoran aliran kateter.
kateter, selang dan 7. Dengan memonitor
kantung urine. kebocoran kateter,
8. Gunakan teknik selang, dan kantung
aseptik selama urin dapat mencegah
perawatan kateter hal yang tidak
urine. diinginkan.
9. Pastikan selang 8. Dengan menggunakan
kateter dan teknik aseptik dapat
kantung urine mencegah infeksi pada
terbebas dari tempat pemasangan
lipatan.
10. Pastikan kantung kateter
urine diletakkan di 9. Dengan memastikan
bawah ketinggian kateter dan kantung
kandung kemih urin terbebas dari
dan tidak dilantai. lipatan maka akan
11. Ganti kateter dan mencegah terjadinya
kantung urine obstruksi
secara rutin sesuai 10. Dengan memastikan
protokol atau kantung urin berada
sesuai indikasi ditempat yang tepat
agar urin dapat
mengalir ke kantung
urin
11. Dengan mengganti
kantong urin sesuai
indikasi dapat
menurunkan tingkat
infeksi.

IV. IMPLEMENTASI/TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Klien/Umur : Tn. A/60 Tahun

No. CM : 291005 2001

Hari,
Paraf dan nama
Tanggal, Diagnosa Keperawatan Tindakan keperawatan dan hasil
jelas
waktu

Selasa, 21 Retensi urine berhubungan 1. Mengidentifikasi penyebab


Februari dengan (b.d) peningkatan retensi urin
2020 tekanan uretra di buktikan Respon/hasil :
dengan (d.d) pasien Klien mengeluhkan nyeri saat
mengalami sensasi penuh berkemih dan nyeri tekan saat
pada kandung kemih,
disuria/ anuria. palpasi VU
2. Memonitor intake dan output
cairan
Respon/hasil :
Klien merasa puas
3. Memonitor distensi kandung
kemih dengan palpasi/ perkusi
Respon/hasil :
Klien mengatakan skal nyeri
berkurang

4. Memasang kateter urin


Respon/hasil :
Klien bersedia dipasang kateter
urin, dan tampak tenang
5. Mengedukasi tentang retensi
urin
Respon/hasil :
Pasien memperhatikan dan
paham tehadap penjelasan

Rabu, 23
Februari
2021 6. Memonitor kepatenan kateter
urine
Respon/hasil :
Klien terlihat tenang dan aliran
kateter urin terlihat lancar
7. Memonitor kebocoran kateter,
selang dan kantung urine.
Respon/hasil :
Tidak ada kebocoran kateter,
selang, dan kantung urine
8. Menggunakan teknik aseptik
selama perawatan kateter urine.
Respon/hasil :
Klien bersedia bekerjasama
dalam melakukan teknik aseptik
dan tidak ada mikroorganisme
yang masuk kedalam tubuh
pasien
9. Memastikan selang kateter dan
kantung urine terbebas dari
lipatan.
Respon/hasil :
Klien bersedia bekerjasama
untuk memastikan selang kateter
tidak terlipat
10. Memastikan kantung urine
diletakkan di bawah ketinggian
kandung kemih dan tidak
dilantai.
Respon/hasil :
Kantung urine berada di bawah
ketinggian kandung kemih dan
tidak dilantai.
11. Ganti kateter dan kantung urine
secara rutin sesuai protokol atau
sesuai indikasi.
Respon/hasil :
Klien bersedia diganti kateter
dan kantung urin setiap
seminggu sekali.
V. CATATAN PERKEMBANGAN

Tanggal/ Diagnosa Tanda


Catatan Perkembangan
Jam Keperawatan Tangan

Kamis, 24 Retensi urine S : Klien mengatakan masih sulit untuk BAK


Februari berhubungan dengan dan masih nyeri saat BAK.
2021 (b.d) peningkatan
O:
tekanan uretra di
buktikan dengan (d.d) - Terpasang kateter (+)
pasien mengalami - Urine ± 2500 cc
sensasi penuh pada - Nyeri saat buang air kecil
kandung kemih,
A : Masalah teratasi sebagian
disuria/ anuria.
P : Lanjutkan intevensi

- Monitor intake dan output = urine dalam


batas normal
- Monitor derajat distensi bladder = hasil
mengurangi rasa nyeri
- Instruksikan pada pasien dan keluarga
untuk mencatat output urine

Anda mungkin juga menyukai