KEBUTUHAN ELIMINASI
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Menurut Tarwoto & Wartonah (2015), menyatakan bahwa eliminasi merupakan
proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik yang melalui ginjal berupa urin
maupun melalui gastrointestinal yang berupa fekal.
a. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah disfungsi eliminasi urin (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2017).
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Menurut (NANDA 2012), eliminasi fekal adalah kondisi dimana seseorang
mengalami perubahan pola yang normal dalam berdefekasi dengan karakteristik
tidak terkontrolnya buang air besar.
2. Etiologi
a. Gangguan Eliminasi Urine
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) etiologi gangguan eliminasi urin
sebagai berikut:
6) Hambatan lingkungan
kongenital
b. Inkontinensia urin
1) Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC.
2) Pasien sering mengompol.
2. Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
1) Menurunnya frekuensi BAB
2) Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3) Nyeri rectum
b. Impaction
1) Tidak BAB
2) Anoreksia
3) Kembung/kram
4) Nyeri rektum
c. Diare
1) BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2) Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3) Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
4) Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1) Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2) BAB encer dan jumlahnya banyak
3) Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord
dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1) Menumpuknya gas pada lumen intestinal
2) Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
3) Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1) Pembengkakan vena pada dinding rectum.
2) Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang.
3) Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi.
4) Nyeri.
3. Patofisiologi
a. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada
pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan
menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan
traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.
Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya
fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera
medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf
termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal
merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di
bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian
segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid,
dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang
fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh
depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth,
2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal
terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris
pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang
otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih
sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot
uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine
dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum
merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini
terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau
trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan
drainase kandung kemih yang adekuat.
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon
sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi
instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati
anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka
feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum
dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke
kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang
akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada
dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal
dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan
posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks
defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi
secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan
feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.
5. Komplikasi
a. Gangguan Eliminasi Urine
Masalah kulit, seperti ruam, infeksi kulit dan luka.
Infeksi saluran kemih. Inkontinensia bisa meningkatkan risiko terjadinya infeksi
saluran kemih berulang.
Mengganggu kehidupan sosial. Inkontinensia urine merupakan masalah yang
memalukan, sehingga bisa memengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, dan
hubungan pribadi kamu.
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Hemoroid atau wasir, yaitu pembengkakan dinding anus akibat pelebaran
pembuluh darah yang biasanya disebabkan oleh proses mengejan yang terlalu
lama.
Fisura ani. Mengejan terlalu lama dan tinja yang keras atau besar dapat
mengakibatkan fisura atau robeknya kulit pada dinding anus dan buang air besar
berdarah.
Impaksi feses, yaitu menumpuknya tinja yang kering dan keras di rektum akibat
konstipasi yang berlarut-larut.
Prolaps rektum. Pada kondisi ini, rektum pindah dari posisinya di dalam tubuh
dan menonjol keluar dari anus akibat terlalu lama mengejan.
6. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
1) Pemeriksaan USG
2) Pemeriksaan foto rontgen
3) Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
7. Manajemen Medik
a. Manajemen Eliminasi Urine
1) Observasi
Identifkasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urine
Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia urine
Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi, konsistensi, aroma, volume, dan
warna)
2) Terapeutik
Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
Batasi asupan cairan, jika perlu
Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur
3) Edukasi
Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
Anjurkan mengambil specimen urine midstream
Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih
Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot pinggul/berkemihan
Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi
Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat suposituria uretra jika perlu
b. Manajemen Eliminasi Fekal
1) Observasi
Identifikasi penyebab diare (mis. Inflamasi gastrointestinal, iritasi
gastrointestinal)
Identifikasi riwayat pemberian makanan
Identifikasi gejala invaginasi
Monitor warna, volume, frekwensi, dan konsistensi tinja.
Monitor tanda dan gejala hipovolemia
Monitor iritasi dan ulserasi kulit didaerah perineal
Monitor jumlah pengeluaran diare
Monitor keamanan penyiapan makanan
2) Terapeutik
Berikan asupan cairan oral
Pasang jalur intravena
Berikan cairan intravena
Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
3) Edukasi
Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
Anjurkan menghindari makanan, pembentuk gas, pedas, dan mengandung
lactose
Anjurkan melanjutkan pemberian ASI
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
Kolaborasi pemberian obat antispasmodic/ spasmolitik
Kolaborasi pemberian obat pengeras feses.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Abdul Aziz Alimul. (2011). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Mubarak, W.I., Chayatin, N. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan Aplikasi
dalam praktik. EGC: Jakarta
TIM Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Dewan
Pengurus Pusat: Jakarta