4. Patofisiologi
1) Eliminasi fekal.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum.Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.Defekasi biasanya dimulai oleh
refleks defekasi instrinsik.Ketika feses masuk kedalam rektum,
pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar
melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada
kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.Gelombang ini
menekan feses kearah anus.Begitu gelombang peristaltik mendekati anus,
spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang
maka feses keluar.Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis.Ketika serat
saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 –
4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum.
Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi
instrinsik..Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum.Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses.Cairan feses di absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.
2) Eliminasi urine
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
diatas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol
urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang
bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik
pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya
fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang,efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di
medulla spinalis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan
defekasi. Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas
reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam
kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang
ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan
refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang
merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan
ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan
dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan
Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda
gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih
dan gangguan defekasi. Proses berkemih melibatkan 2 proses yang
berbeda yaitu penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal
ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot
kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol
oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh
sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan
rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil
otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher
kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran urine secara normal
timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi
saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf
sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan
informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat
aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis
sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran
simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra
trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya
keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post
operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,
epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf
pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan
dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
5. Pathway (terlampir)
6. Gejala Klinis
a. Tanda dan gejala gangguan Eliminasi Urine
1. Retensi Urine
a) Data mayor (harus terdapat, satu atau lebih)
- Distensi kandung kemih
- Distensi kandung kemih
- Distensi kandung kemih dengan sering berkemih atau menetes
- Residu urine 100 cc atau lebih
b) Data Minor (mungkin terdapat)
- Individu menyatakan bahwa kandung kemihnya tidak kosong
setelah berkemih
2. Inkontinensia urine
a) Ketidakmampuan pasien dalam menahan BAK sebelum mencapai
toilet tepat waktu.
b) Ketidakmampuan pasien untuk mengontrol ekskresi urine
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1. Konstipasi
a) Data mayor (harus terdapat)
- Nyeri pada saat defekassi
- Feses keras dan berbentuk
- Kesulitan dalam defekasi
- Defekasi dilakukan kurang dari tiga kali seminggu
b) Data minor ( mungkin terdapat)
- Mengenjan pada saat defekasi
- Darah merah pada feses
- Massa rektal yang dapat diraba
- Mengeluh rektal terasa penuh
- Bising usus
2. Diare
a) Data mayor ( harus terdapat)
- Pengeluaran feses yang cair dan tidak berbentuk
- Peningkatan frekuensi defekasi
- Ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses
b) Data minor ( mungkin terdapat )
- Peningkatan bising usus
- Peningkatan dalam volume feses
7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Gangguan Eliminasi Urine
Pemeriksaan sistem perkemihan dapat mempengaruhi berkemih.
Prosedur, seperti suatu tindakan pielogram intravena atau urogram, tidak
memperbolehkan klien mengonsumsi cairan per oral sebelum tes
dilakukan. Pembatasan asupan cairan umumnya akan mengurangi
haluaran urine. Pemeriksaan diagnostik (mis., sistoskopi) yang
melibatkan visualisasi langsung struktur kemih dapat menyebabkan
timbulnya edema lokal pada jalan keluar uretra dan spasme pada sfingter
kandung kemih. Klien sering mengalami retensi urine setelah menjalani
prosedur ini dan dapat mengeluarkan urine berwarna merah atau merah
muda karena perdarahan akibat trauma pada mukosa uretra atau mukosa
kandung kemih. Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan yaitu :
A. Pemeriksaan urine(urinalisis)
a) Warna : (N : jernih)
b) Penampilan : (N : jernih)
c) Bau (N : beraroma)
d) pH : (N : 4,5-8,0)
e) Berat jenis (N : 1,005 – 1,030)
f) Glukosa (N : negatif)
g) Keton (N : negatif)
h) Kultur Urine (N : Kuman patogen negatif)
B. Pemeriksaan darah meliputi : HB, SDM, kalium, Natrium,
pencitraan radionuklida, dan Klorida, fosfat, dan magnesium
meningkat.
C. Pemeriksaan ultrasound ginjal
D. Arteriogram ginjal
E. EKG
F. CT Scan
G. Endourologi
H. Urografi ekskretorius
I. Sistouretrogram berkemih
Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi ditempat tidur √
Berpindah √
Ambulansi √
Naik tangga √
3. Pola Istirahat Tidur
Ditanyakan :
1) Jam berapa biasa mulai tidur dan bangun tidur
2) Sonambolisme
2) Makanan kesukaan
5. Pola Eliminasi
1) Frekuensi dan kuantitas BAK dan BAB sehari
2) Nyeri
3) Kuantitas
Pola berkemih
1) Frekuensi: meningkatnya frekuensi berkemih tanpa
intake cairan yang meningkat, biasanya terjadi
pada cystitis, stres dan wanita hamil.
2) Urgency: perasaan ingin segera berkemih dan
biasanya terjadi pada anak-anak karena
kemampuan spinter untuk mengontrol berkurang.
3) Dysuria: rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih
misalnya pada infeksi saluran kemih, trauma dan
striktur uretra.
4) Polyuria (diuresis): produksi urine melebihi
normal, tanpa peningkatan intake cairan misalnya
pada pasien DM.
5) Urinary suppression: keadaan di mana ginjal tidak
memproduksi urine secara tiba-tiba. Anuria (urine
kurang dari 100 ml/24 jam), olyguria (urine
berkisar 100-500 ml/jam).
- Gejala dari perubahan berkemih
- Faktor yang memengaruhi berkemih
2) Identitas diri
3) Peran diri
4) Ideal diri
5) Harga diri
8. Pola Koping
Cara pemecahan dan penyelesaian masalah
2) Dukungan keluarga
3) Hubungan dengan tetangga dan masyarakat.
f. Riwayat keperawatan
Pola berkemih
Gejala dari perubahan berkemih
Faktor yang memengaruhi berkemih
g. Pemeriksaan fisik
1) Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus, distensi
simetris, gerakan peristaltik, adanya massa pada perut,
tenderness.
2) Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan
atropi jaringan vagina.
3) Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, terderness, adanya pembesaran
skrotum.
4) Rektum dan anus : tanda-tanda inflamasi, perubahan warna,
lesi, fistula, hemoroid, adanya massa, tenderness.
i. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan urine (urinalisis):
Warna (N : jernih kekuningan)
Penampilan (N: jernih)
Bau (N: beraroma)
pH (N:4,5-8,0)
Berat jenis (N: 1,005-1,030)
Glukosa (N: negatif)
Keton (N:negatif)
Kultur urine (N: kuman patogen negatif)
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Eliminasi Urine
1. Retensi urine
Batasan karakteristik
Sumbatan
Tekanan ureter tinggi
Inhibisi arkus refleks
Sfingter kuat
2. Gangguan pola eliminasi urine: inkontinensia berhubungan dengan:
a. Gangguan neuromuskuler
b. Spasme bladder
c. Trauma pelvic
d. Infeksi saluran kemih
e. Trauma medulla spinalis
Batasan Karakteristik :
Nyeri abdomen
Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot.
Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot.
Anoreksia
Penampilan tidak khas pada lansia (misal, perubahan pada status
mental, inkontinensia urinarius, jatuh yang tidak ada penyebabnya,
peningkatan suhu tubuh
Borborigmi
Darah merah pada feses.
Perubahan pada pola defekasi
Penurunan frekuensi.
Penurunan volume feses.
Distensi abdomen
Rasa rektal penuh.
Rasa tekanan rektal.
Keletihan umum
Feses keras dan berbentuk
Sakit kepala
Bising usus hiperaktif.
Bising usus hipoaktif.
Peningkatan tekanan abdomen
Tidak dapat makan.
Mual.
Rembesan feses cair.
Nyeri pada saat defekasi.
Masa abdomen yang dapat diraba.
Masa rektal yang dapat diraba.
Adanya feses lunak, seperti pasta di dalam rektum.
Perkusi abdomen pekak.
Sering flatus.
Mengejan pada saat defekasi.
Tidak dapat mengeluarkan feses.
Muntah.
Fungsional
Psikologis
Depresi.
Stres emosi.
Konfusi mental.
Farmakologis
Mekanis
Ketidakseimbangan elektrolit.
Hemoroid
Penyakit Hirschsprung.
Gangguan neurologis
Obesitas
Obstruksi pasca bedah
Kehamilan
Pembesaran prostat
Abses rektal
Fisura anal rektal
Striktur anal rektal
Prolaps rektal
Ulkus rektal
Rektokel
Tumor
Fisiologis
Batasan karakteristik
Nyeri abdomen
Sedikitnya tiga kali defekasi perhari
Kram
Bising usus hiperaktif
Ada dorongan
Psikologis
Ansietas
Tingkat stres tinggi
Situasional
Fisiologis
Proses infeksi
Inflamasi
Iritasi
Malabsorpsi
Parasit