Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN


PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Eleminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Eleminasi merupakan pengeluaran racun atau produk limbah dari dalam
tubuh.
a. Gangguan Eleminasi urine
Gangguan eleminasi urine adalah keadaan ketika seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eleminasi urine (Lynda
Juall Carpenitro-Moyet, Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 13, hal
582, 2010).
Gangguan eleminasi urine merupakan suatu kehilangan urine
involunter yang dikaitkan dengan distensi berlebih pada kandung kemih
(Nanda International, Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 271, 2011).
b. Gangguan Eleminasi Fekal
Gangguan eleminasi fekal adalah penurunan pada frekuensi
normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak
lengkap feses dan/ atau pengelaran feses yang keras, kering dan banyak
(Nanda International, Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 281, 2011)
2. Epidemiologi
Gangguan eliminasi fekal merupakan salah satu penyakit
gastrointestinal (GI) dimana masalah kehesehatan utama yang menyerang
lebih dari 34juta orang amerika. Kira-kira 20 juta dari mereka mengalami
gangguan kronis dan kira-kira 2 juta mengalami kecacatan permanen. Jumlah
yang meninggal setiap tahun karena penyakit GI adalah 200.000. penyakit
gastrointestinal penting karena mayoritas dari proses pencernaan tempat
terjadinya absorpsi. Jenis penyakit dan gangguan yang mempengaruhi saluran
GI sangat banyak dan bervariasi (Brunner dan Suddarth 2011).
3. Faktor Predisposisi
1) Faktor-faktor penyebab eliminasi fekal :
a. Umur
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya.Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3
tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang
dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya
adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot
polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan
mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot
perut yang juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan
lambung. Beberapa orang dewasa jugamengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses
defekasi.
b. Diet
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi
feses.Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk
memperbesar volume feses.Makanan tertentu pada beberapa orang
sulit atau tidak bisa dicerna.Ketidakmampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan
feses.Makan yang teratur mempengaruhi defekasi.Makan yang tidak
teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang
makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan
waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.
c. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
untuk mereabsorbsi air dari chime ketika ia lewat di sepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras.Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga
meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme.
d. Tonus otot
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk
defekasi.Aktivitasnya juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi
pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang lemah sering tidak
efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses
defekasi atau pada pengontrolan defekasi. Otot-otot yang lemah
merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise), imobilitas atau
gangguan fungsi syaraf.
e. Faktor psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi.Penyakit-
penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa
jadi mempunyai komponen psikologi.Diketahui juga bahwa beberapa
orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik
dan frekuensi diare.Ditambah lagi orang yang depresi bisa
memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi.
f. Gaya hidup
Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara.
Pelatihan buang air besar pada waktu dini dapat memupuk kebiasaan
defekasi pada waktu yang teratur, seperti setiap hari setelah sarapan,
atau bisa juga digunakan pada pola defekasi yang ireguler.
Ketersediaan dari fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan
kebutuhan akan privacy juga mempengaruhi pola eliminasi feses.
Klien yang berbagi satu ruangan dengan orang lain pada suatu rumah
sakit mungkin tidak ingin menggunakan bedpan karena privacy dan
kegelisahan akan baunya.
g. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang
lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti
dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi.Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan
memudahkaneliminasi feses.Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi.Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine
hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi urine
a. Jumlah air yang diminum Semakin banyak air yang diminum jumlah
urin semakin banyak. Apabila banyak air yang diminum, akibatnya
penyerapan air ke dalam darah sedikit, sehingga pembuangan air
jumlahnya lebih banyak dan air kencing akan terlihat bening dan
encer. Sebaliknya apabila sedikit air yang diminum, akibatnya
penyerapan air ke dalam darah akan banyak sehingga pembuangan air
sedikit dan air kencing berwarna lebih kuning .
b. Jumlah garam yang dikeluarkan dari darah
Supaya tekanan osmotik tetap, semakin banyak konsumsi garam maka
pengeluaran urin semakin banyak.
c. Konsentrasi hormon insulin
Jika konsentrasi insulin rendah, orang akan sering mengeluarkan urin.
Kasus ini terjadi pada orang yang menderita kencing manis.
d. Hormon antidiuretik (ADH)
Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar hipofisis bagian belakang. Jika
darah sedikit mengandung air, maka ADH akan banyak disekresikan
ke dalam ginjal, akibatnya penyerapan air meningkat sehingga urin
yang terjadi pekat dan jumlahnya sedikit. Sebaliknya, apabila darah
banyak mengandung air, maka ADH yang disekresikan ke dalam ginjal
berkurang, akibatnya penyerapan air berkurang pula, sehingga urin
yang terjadi akan encer dan jumlahnya banyak.
e. Suhu lingkungan
Ketika suhu sekitar dingin, maka tubuh akan berusaha untuk menjaga
suhunya dengan mengurangi jumlah darah yang mengalir ke kulit
sehingga darah akan lebih banyak yang menuju organ tubuh, di
antaranya ginjal. Apabila darah yang menuju ginjal jumlahnya
samakin banyak, maka pengeluaran air kencing pun banyak.
f. Gejolak emosi dan stress
Jika seseorang mengalami stress, biasanya tekanan darahnya akan
meningkat sehingga banyak darah yang menuju ginjal. Selain itu, pada
saat orang berada dalam kondisi emosi, maka kandung kemih akan
berkontraksi. Dengan demikian, maka timbullah hasrat ingin buang air
kecil.
g. Minuman alkohol dan kafein
Alkohol dapat menghambat pembentukan hormon antidiuretika.
Seseorang yang banyak minum alkohol dan kafein, maka jumlah air
kencingnya akan meningkat.

4. Patofisiologi
1) Eliminasi fekal.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum.Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.Defekasi biasanya dimulai oleh
refleks defekasi instrinsik.Ketika feses masuk kedalam rektum,
pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar
melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada
kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.Gelombang ini
menekan feses kearah anus.Begitu gelombang peristaltik mendekati anus,
spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang
maka feses keluar.Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis.Ketika serat
saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 –
4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum.
Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi
instrinsik..Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum.Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses.Cairan feses di absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.
2) Eliminasi urine
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
diatas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol
urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang
bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik
pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya
fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang,efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di
medulla spinalis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan
defekasi. Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas
reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam
kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang
ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan
refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang
merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan
ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan
dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan
Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda
gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih
dan gangguan defekasi. Proses berkemih melibatkan 2 proses yang
berbeda yaitu penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal
ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot
kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol
oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh
sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan
rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil
otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher
kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran urine secara normal
timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi
saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf
sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan
informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat
aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis
sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran
simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra
trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya
keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post
operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,
epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf
pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan
dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
5. Pathway (terlampir)
6. Gejala Klinis
a. Tanda dan gejala gangguan Eliminasi Urine
1. Retensi Urine
a) Data mayor (harus terdapat, satu atau lebih)
- Distensi kandung kemih
- Distensi kandung kemih
- Distensi kandung kemih dengan sering berkemih atau menetes
- Residu urine 100 cc atau lebih
b) Data Minor (mungkin terdapat)
- Individu menyatakan bahwa kandung kemihnya tidak kosong
setelah berkemih

2. Inkontinensia urine
a) Ketidakmampuan pasien dalam menahan BAK sebelum mencapai
toilet tepat waktu.
b) Ketidakmampuan pasien untuk mengontrol ekskresi urine
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1. Konstipasi
a) Data mayor (harus terdapat)
- Nyeri pada saat defekassi
- Feses keras dan berbentuk
- Kesulitan dalam defekasi
- Defekasi dilakukan kurang dari tiga kali seminggu
b) Data minor ( mungkin terdapat)
- Mengenjan pada saat defekasi
- Darah merah pada feses
- Massa rektal yang dapat diraba
- Mengeluh rektal terasa penuh
- Bising usus
2. Diare
a) Data mayor ( harus terdapat)
- Pengeluaran feses yang cair dan tidak berbentuk
- Peningkatan frekuensi defekasi
- Ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses
b) Data minor ( mungkin terdapat )
- Peningkatan bising usus
- Peningkatan dalam volume feses

7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Gangguan Eliminasi Urine
Pemeriksaan sistem perkemihan dapat mempengaruhi berkemih.
Prosedur, seperti suatu tindakan pielogram intravena atau urogram, tidak
memperbolehkan klien mengonsumsi cairan per oral sebelum tes
dilakukan. Pembatasan asupan cairan umumnya akan mengurangi
haluaran urine. Pemeriksaan diagnostik (mis., sistoskopi) yang
melibatkan visualisasi langsung struktur kemih dapat menyebabkan
timbulnya edema lokal pada jalan keluar uretra dan spasme pada sfingter
kandung kemih. Klien sering mengalami retensi urine setelah menjalani
prosedur ini dan dapat mengeluarkan urine berwarna merah atau merah
muda karena perdarahan akibat trauma pada mukosa uretra atau mukosa
kandung kemih. Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan yaitu :
A. Pemeriksaan urine(urinalisis)
a) Warna : (N : jernih)
b) Penampilan : (N : jernih)
c) Bau (N : beraroma)
d) pH : (N : 4,5-8,0)
e) Berat jenis (N : 1,005 – 1,030)
f) Glukosa (N : negatif)
g) Keton (N : negatif)
h) Kultur Urine (N : Kuman patogen negatif)
B. Pemeriksaan darah meliputi : HB, SDM, kalium, Natrium,
pencitraan radionuklida, dan Klorida, fosfat, dan magnesium
meningkat.
C. Pemeriksaan ultrasound ginjal
D. Arteriogram ginjal
E. EKG
F. CT Scan
G. Endourologi
H. Urografi ekskretorius
I. Sistouretrogram berkemih

2) Gangguan Eliminasi Fekal


Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan yang melibatkan visualisasi
struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian
usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum stelah tengah
malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan
yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah,
atau serangkaian pemeriksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus
penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya menerima
katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi
sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah
tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini
dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus
menerimakatartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur
dilakukan. Klien yang menglami kegagalan dalam mengevakuasi semua
barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan
enema.
8. Tindakan Penanganan
A. Gangguan Eliminasi urine
1. Penatalaksanaan medis inkontinensia urine yaitu:
a. Pemanfaatan kartu berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan
jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun
yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non famakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic
agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi
urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Selama melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa
alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti
urinal, komod dan bedpan.
2. Penatalaksanaan medis retensio urine yaitu
a. Kateterisasi urethra.
b. Dilatasi urethra dengan boudy.
c. Drainage suprapubik.

B. Gangguan Eliminasi Fekal


1. Penatalaksanaan medis diare
a. Pemberian cairan, pemberian cairan pada anak diare dengan
memperhatikan derajat dehidrasinya dan keadaan umum. Bila
anak hanya menalami dehidrasi ringan dan sedang, rehidrasi
dapat diberikan peroral berupa cairan yang berisikan NaCL dan
NaHC03, Kcl dan glucose. Cairan rehidrasi oral diberikan sedikit
tapi sering (5 sampai 15 ml) meski terdapat muntah. Dalam hal ini
dehidrasi berat, anak dihospitalisasi untuk mendapatkan terapi
intravena (IV) jumlah dehidrasi dihitung dan cairan diganti dalam
24 jam. Jika ada syok segera dilakukan resusitasi cairan (20 ml /
kg larutan salin normal atau larutan ringer laktat ulangi jika
perlu). Bila pemasangan jalur IV tidak berhasil, rute intra venosus
dapat dipakai untuk memberika cairan dalam keadaan darurat
pada anak yang berusia kurang dari 6 tahun, formula sederhana
(tidak lengkap) hanya mengandung NaCL dan sukrosa atau
karbohidrat lain, misalnya larutan gula garam, larutan air tajin
garam, larutan tepung berasgaram dan sebagainya
untukpengobatan pertama di rumah pada semua anak dengan
diare akut baik sebelum ada dehidrasi maupun setelah ada
dehidrasi ringan.
b. Pengobatan dietetik (cara pemberian makanan). Untuk anak
dibawah 1 tahun dan diatas 1 tahun dengan berat badan kurang
dari 7 kg jenis makanan :
1) Susu (ASI dan susu formula yang mengandung laktosa
rendah dan asam lemak tidak jenuh, misalnya LLM, Almiron,
atau sejenis lainnya.
2) Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi
tim) bila anak tidak mau minum susu karena dirumah sudah
biasa di beri makanan padat.
3) Susu khusus yaitu susu yang tidak mengandung laktosa atau
susu dengan asam lemak berantai sedang/tidak jenuh, sesuai
dengan kelainan yang di temukan.
c. Obat- obatan, Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan
cairan yang hilang melalui tinja dengan atau tanpa muntah,
dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau
karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras dan sebagainya).
Obat anti sekresi seperti asetosal dosis : 25 mg/tahun dengan
dosis minimum 30 mg, klorpromazin dosis :0,5 – 1 mg/kg
BB/hari, obat anti spasmolitik pada umumnya obat anti
spasmolitik seperti papaverine, ekstrak beladona, opium dan
sebagainya tidak diperlukan untuk mengatasi diare akut obat
pengeras tinja seperti kaolin, pektin, charcoal, tabonal dan
sebagainya tidak ada manfaatnya untuk mengatasi diare, pada
umumnya anti biotika tidak diperlukan untuk mengatasi diare
akut.

2. Penatalaksanaan medis konstipasi


Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi
konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara
simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan
pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka
panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus
dibatasi.
a. Pengobatan non-farmakologis
1) Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk
latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi
yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan
mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini
adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan
kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap
terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak
menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2) Diet: peran diet penting untuk mengatasi konstipasi
terutama pada golongan usia lanjut. data epidemiologis
menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam
penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan
kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat
feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk
mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan
cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi
untuk asupan cairan.
3) Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga
membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari
kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan
pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk
memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada
penderita dengan atoni pada otot perut
b. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan
terapi farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan
pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
1) memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain :
Cereal, Methyl selulose, Psilium.
2) melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor,
golongan dochusate.
3) golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman
untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara
lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4) merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas
usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu
diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk
jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan
berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil,
Fenolptalein.

Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat


diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan
tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan
anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat
dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya
serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa
umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya
volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Data Umum : Tanggal Masuk Jam, No. CM, Tanggal
Pengkajian Jam, Diagnosa Medis .
b. Identitas klien : Nama, Tempat Tanggal Lahir, umur, Jenis
kelamin, Agama, Pendidikan, Pekerjan, Suku / Bangsa, Status,
No. CM, Alamat
c. Identitas Penanggungjawab : Nama, Tempat Tanggal Lahir,
Umur, Jenis kelamin, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Suku /
Bangsa, Status, Alamat, Hub.dg klien
d. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasanya muncul adalah BAK lidak
lancar, BAK menetes, sakit perut yang menjalar ke pinggang
belakang dan sebagainya.
b) Riwayat penyakit sekarang
Perlu dikasi warna urine, bercampur darah, tentukan
frekuensinya. Perlu dikaji kelancaran BAK, apakah
berhenti ditengah saat berkemih, atau kencing menetes, waktu
terjadinya sakit, kapan mulai terjadi keluhan dan seberapa
sering atau frekuensinya yang dirasakan, proses terjadinya
sakit, upaya yang telah dilakukan selama sakit, hasil
pemeriksaan sementara / sekarang
c) Riwayat penyakit dahulu.
Perlu dikaji apakah pasien pernah mengalami keluhan
mengenai perkemihan sebelumnya, pemakian antibiotik atau
kortikosteroid jangka panjang (perubahan candida albicans dari
saprofit menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK, OMA
campak.

d) Riwayat kesehatan keluarga.


Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang mengalami
sakit seperti pasien sebelumnya, apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami penyakit seperti saat ini.
e) Riwayat kesehatan lingkungan klien
Perlu dikaji penyimpanan makanan, apakah pada suhu kamar,
kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat tinggal.
f) Genogram
Adalah gambar bagan riwayat keturunan atau struktur anggota
keluarga dari atas hingga ke bawah yang didasarkan atas tiga
generasi sebelum pasien. Berikan keterangan manakah simbol
pria, wanita, keterangan tinggal serumah, yang sudah
meninggal dunia serta pasien yang sakit.
e. Pola Kesehatan (GORDON)
1. Persepsi Terhadap Kesehatan – Manajemen Kesehatan
1) Tingkat pengetahuan kesehatan / penyakit meliputi
sebelum sakit dan selam sakit

2) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan meliputi


sebelum sakit dan selam sakit

3) Faktor-faktor resiko sehubungan dengan kesehatan

2. Pola Aktivitas Dan Latihan


Menggunakan tabel aktifitas meliputi makan, mandi
berpakaian, eliminasi, mobilisaasi di tempat tidur,
berpindah, ambulansi, naik tangga, serta berikan keterangan
skala dari 0 – 4 yaitu : 0 : Mandiri
1 : Di bantu sebagian
2 : Di bantu orang lain
3 : Di bantu orang dan peralatan
4 : Ketergantungan / tidak mampu

Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi ditempat tidur √
Berpindah √
Ambulansi √
Naik tangga √
3. Pola Istirahat Tidur
Ditanyakan :
1) Jam berapa biasa mulai tidur dan bangun tidur

2) Sonambolisme

3) Kualitas dan kuantitas jam tidur

4. Pola Nutrisi - Metabolic


Ditanyakan :
1) Berapa kali makan sehari

2) Makanan kesukaan

3) Berat badan sebelum dan sesudah sakit

4) Frekuensi dan kuantitas minum sehari

5. Pola Eliminasi
1) Frekuensi dan kuantitas BAK dan BAB sehari

2) Nyeri

3) Kuantitas

Konsistensi, bentuk, bau, warna, jumlah, unsur


abnormal dalam feses, lendir.

Pola berkemih
1) Frekuensi: meningkatnya frekuensi berkemih tanpa
intake cairan yang meningkat, biasanya terjadi
pada cystitis, stres dan wanita hamil.
2) Urgency: perasaan ingin segera berkemih dan
biasanya terjadi pada anak-anak karena
kemampuan spinter untuk mengontrol berkurang.
3) Dysuria: rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih
misalnya pada infeksi saluran kemih, trauma dan
striktur uretra.
4) Polyuria (diuresis): produksi urine melebihi
normal, tanpa peningkatan intake cairan misalnya
pada pasien DM.
5) Urinary suppression: keadaan di mana ginjal tidak
memproduksi urine secara tiba-tiba. Anuria (urine
kurang dari 100 ml/24 jam), olyguria (urine
berkisar 100-500 ml/jam).
- Gejala dari perubahan berkemih
- Faktor yang memengaruhi berkemih

6. Pola Kognitif Perceptual


Adakah gangguan penglihatan, pendengaran (Panca Indra)

7. Pola Konsep Diri


1) Gambaran diri

2) Identitas diri

3) Peran diri

4) Ideal diri

5) Harga diri

8. Pola Koping
Cara pemecahan dan penyelesaian masalah

9. Pola Seksual – Reproduksi


Ditanyakan : adakah gangguan pada alat kelaminya.

10. Pola Peran Hubungan


1) Hubungan dengan anggota keluarga

2) Dukungan keluarga
3) Hubungan dengan tetangga dan masyarakat.

11. Pola Nilai Dan Kepercayaan


1) Persepsi keyakinan
2) Tindakan berdasarkan keyakinan

f. Riwayat keperawatan
 Pola berkemih
 Gejala dari perubahan berkemih
 Faktor yang memengaruhi berkemih

g. Pemeriksaan fisik
1) Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus, distensi
simetris, gerakan peristaltik, adanya massa pada perut,
tenderness.

2) Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan
atropi jaringan vagina.
3) Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, terderness, adanya pembesaran
skrotum.
4) Rektum dan anus : tanda-tanda inflamasi, perubahan warna,
lesi, fistula, hemoroid, adanya massa, tenderness.

h. Intake dan output cairan


 Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam).
 Kebiasaan minum di rumah.
 Intake, cairan infus, oral, makanan, NGT.
 Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui
ketidakseimbangan cairan.
 Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy,
sistostomi.
 Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau, kepekatan.

i. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan urine (urinalisis):
 Warna (N : jernih kekuningan)
 Penampilan (N: jernih)
 Bau (N: beraroma)
 pH (N:4,5-8,0)
 Berat jenis (N: 1,005-1,030)
 Glukosa (N: negatif)
 Keton (N:negatif)
 Kultur urine (N: kuman patogen negatif)

2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Eliminasi Urine
1. Retensi urine

Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplet.

Batasan karakteristik

 Tidak ada haluaran urine


 Distensi kandung kemih
 Menetes
 Disuria
 Sering berkemih
 Inkotinensia aliran berlebih
 Residu urine
 Sensasi kandung kemih penuh
 Berkemih sedikit

Faktor yang berhubungan

 Sumbatan
 Tekanan ureter tinggi
 Inhibisi arkus refleks
 Sfingter kuat
2. Gangguan pola eliminasi urine: inkontinensia berhubungan dengan:
a. Gangguan neuromuskuler
b. Spasme bladder
c. Trauma pelvic
d. Infeksi saluran kemih
e. Trauma medulla spinalis

Gangguan Eliminasi fekal


1. Konstipasi
Definisi : penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh
kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses dan/ atau pengeluaran
feses yang keras, kering, dan banyak.

Batasan Karakteristik :
 Nyeri abdomen
 Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot.
 Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot.
 Anoreksia
 Penampilan tidak khas pada lansia (misal, perubahan pada status
mental, inkontinensia urinarius, jatuh yang tidak ada penyebabnya,
peningkatan suhu tubuh
 Borborigmi
 Darah merah pada feses.
 Perubahan pada pola defekasi
 Penurunan frekuensi.
 Penurunan volume feses.
 Distensi abdomen
 Rasa rektal penuh.
 Rasa tekanan rektal.
 Keletihan umum
 Feses keras dan berbentuk
 Sakit kepala
 Bising usus hiperaktif.
 Bising usus hipoaktif.
 Peningkatan tekanan abdomen
 Tidak dapat makan.
 Mual.
 Rembesan feses cair.
 Nyeri pada saat defekasi.
 Masa abdomen yang dapat diraba.
 Masa rektal yang dapat diraba.
 Adanya feses lunak, seperti pasta di dalam rektum.
 Perkusi abdomen pekak.
 Sering flatus.
 Mengejan pada saat defekasi.
 Tidak dapat mengeluarkan feses.
 Muntah.

Faktor yang berhubungan

Fungsional

 Kelemahan otot abdomen


 Kebiasaan mengabaikan dorongan defekasi.
 Ketidakadekuatan toileting (misal, batasan waktu, posisi untuk
defekasi, privasi).
 Kurang aktivitas fisik.
 Kebiasaan defekasi tidak teratur.
 Perubahan lingkungan saat ini.

Psikologis

 Depresi.
 Stres emosi.
 Konfusi mental.

Farmakologis

 Antasida mengandung aluminium.


 Antikolinergik.
 Antikonvulsan.
 Antidepresan.
 Agens antilipemik.
 Garam bismuth.
 Kalsium karbonat.
 Penyekat saluran kalsium.
 Diuretik.
 Garam besi.
 Penyalahgunaan laksatif.
 Agens antiinflamasi.
 Nonsteroid.
 Opiat.
 Penotiazid.
 Sedatif.
 Simpatomimetik

Mekanis

 Ketidakseimbangan elektrolit.
 Hemoroid
 Penyakit Hirschsprung.
 Gangguan neurologis
 Obesitas
 Obstruksi pasca bedah
 Kehamilan
 Pembesaran prostat
 Abses rektal
 Fisura anal rektal
 Striktur anal rektal
 Prolaps rektal
 Ulkus rektal
 Rektokel
 Tumor

Fisiologis

 Perubahan pola makan


 Perubahan makanan
 Penurunan motilitas traktus gastrointestinal
 Dehidrasi
 Ketidakadekutan gigi geligi
 Ketidakadekuatan higiene oral
 Asupan serat tidak cukup
 Asupan cairan tidak cukup
 Kebiasaan makan buruk
2. Diare

Definisi : pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk

Batasan karakteristik

 Nyeri abdomen
 Sedikitnya tiga kali defekasi perhari
 Kram
 Bising usus hiperaktif
 Ada dorongan

Faktor yang berhubungan

Psikologis

 Ansietas
 Tingkat stres tinggi

Situasional

 Efek samping obat


 Penyalahgunaan alkohol
 Kontaminan
 Penyalahgunaan laksatif
 Radiasi
 Toksin
 Melakukan perjalanan
 Selang makan

Fisiologis

 Proses infeksi
 Inflamasi
 Iritasi
 Malabsorpsi
 Parasit

Anda mungkin juga menyukai