Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan penyakit neurologis yang paling sering terjadi
diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan,
meliputi: otak, tengkorak ataupun kulit kepala saja (Brunner&Suddart, 2010).
Cedera kepala juga merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Price dan Wilson, 2012). Meninggal/ kematian akibat cedera kepala
sering terjadi pada usia produktif terutama di negara berkembang. Hal ini
disebabkan karena mobilitas yang tinggi di usia produktif, sedangkan kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama
yang belum benar dan rujukan terlambat (Awalludin, 2009).
Cedera kepala sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalulintas. Hal ini
disebabkan oleh tingginya kecelakaan lalu lintas terutama sepeda motor
(Mansjoer, 2012). Penyebab utama cedera kepala berat adalah kecelakaan sepeda
motor (50%), jatuh (21%) dan kekerasan (12%). Insidens tertinggi terjadi pada
rentang umur 15-24 taun dengan angka kejadian lebih banyak pada laki-laki
daripada perempuan (Bendo, 2016). Gururaj, et al. (2015), juga mengatakan
bahwa laki-laki dua kali lebih banyak mengalami trauma kepala dari pada
perempuan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Nyiemas dkk (2013), kejadian
cedera kepala didominasi oleh laki-laki 947 kasus (79,8%) sedangkan perempuan
239 kasus (20,2%).
Berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS) cedera kepala/otak dapat dibagi
menjadi tiga yaitu cedera kepala ringan bila GCS 13-15, cedera kepala sedang
bila GCS 9-12 dan cedera kepala berat bila GCS kurang dari 8 (Arif Muttaqin,
2008). Menurut Fransisca B.B (2008) kortusio serebri (cerebri cortusion)
merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar dengan
memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan (hemoragik-
hemorrhage). Terjadinya cedera kepala dapat menyebabkan gangguan
autoregulasi tekanan perfusi otak dan menyebabkan otak tidak terlindungi dari
perubahan hemodinamika tubuh. Alexander Monro dan George Kellie,

1
menyebutkan bahwa otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSS) merupakan
komponen yang tidak dapat terkompresi, peningkatan salah satu komponen
ataupun ekspansi massa di dalam tengkorak dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan intracranial.
Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh tulang-
tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu penyebab
dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala yang dapat
mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat terganggu
(Black & Hawks, 2009). Pasien dengan cedera kepala dapat secara primer
mengakibatkan kerusakan permanen pada jaringan otak atau mengalami cedera
sekunder seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia
atau ketidakseimbangan elektrolit, bahkan kegagalan bernafas dan gagal jantung
(Arifin, 2013). Dengan demikian keadaan tersebut di akibatkan oleh adanya
penurunan cerebral blood flow pada 24 jam pertama cedera kepala, meningkatnya
tekanan intrakranial, dan menurunnya perfusi jaringan serebral (Deem, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep teori dari head injury ?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan dari head injury ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami konsep teori dari head injury.
2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan keperawatan head
injury.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Teori
2.1 Definisi Head Injury
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Menurut Brain Injury
Assosiation of America (2006) cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala yang bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh
massa karena hemoragi, serta edema cerebral di sekitar jaringan
otak (B.Batticaca, 2008).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik
yang serius di antara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemik
sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

2.2 Penyebab
Cedera kepala disebabkan oleh: (Ginsberg, 2007)
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan kerja
5. Kecelakaan rumah tangga
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan bom

3
2.3 Manifestasi Klinis Cedera Kepala
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan
darah terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle),
otoreaserebrospinal (cairan cerebrospinal keluar dari telinga),
minoreaserebrospiral (cairan cerebrospinal keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing/berkunang-kunang.
7. Peningkatan TIK
8. Dilatasi pupil atau paralysis ekstremitas.
9. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

2.4 Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara
deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya
cedera kepala. (IKABI, 2004).
1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua
yaitu
a. Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu
lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi
akselerasi dan dekselerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam
rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang
tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan (IKABI,
2004).
2. Berdasarkan morfologi cedera kepala
Cedera kepala menurut Tandian (2011) dapat terjadi diarea tulang
tengkorak yang meliputi

4
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim
SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea
aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak
mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka
perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi
1). Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh
ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya
langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi
tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
2). Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura
tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan
balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur
diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid
dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
3). Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
4). Fraktur impresi

5
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada
area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat
menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika
tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
5). Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan
robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar
tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di
bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan
fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur
di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah
basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan
durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang
dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini
dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan
batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga
9 dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering
terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N.olfactorius),saraf
wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran
(N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii
meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang
mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan
makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan
sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon

6
steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/
otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.
c. Cedera kepala di area intrakranial
Menurut Tobing (2011) diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal
dan cedera otak difus. Cedera otak fokal yang meliputi.
1). Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural
hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu
ruang potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan
durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan
kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan
kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis
kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang
ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
2). Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi
akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.
Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10
prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.
3). Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang
subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom
kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit.
Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi
sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat
tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke
dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam

7
(korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan
neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler
baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi
atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan
hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan
ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk
kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara
lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang
menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat
terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik
dan kejang.
4). Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen
dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra
cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara
parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh
gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan
pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya 11
penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya
dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang
dialami.
5). Perdarahan subarahnoid traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut
sebagai perdarahan subarahnoid (PSA). Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan
memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan

8
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema
cerebri.
3. Berdasarkan beratnya
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer,
2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan
dikelompokkan menjadi
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
1). Tidak ada kehilangan kesadaran
2). Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
3). Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
4). Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
1). Amnesia paska trauma
2). Muntah
3). Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
4). Kejang
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
1). Penurunan kesadaran secara progresif
2). Tanda neorologis fokal
3). Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(Mansjoer, 2000)

2.5 Patofisiologi Cedera Kepala


Cedera kepala bervariasi dari luka kulit yang sederhana seperti gegar
otak, luka terbuka dari tengkorak, di sertai kerusakan – kerusakan otak.
Luasnya luka buka merupakan indikasi berat ringannya gangguan. Pengaruh
umum dari cedera kepala yaitu dari tingkat ringan sampai tigkat berat ialah
cedera otak, devisit sensorik dan motorik. Peningkatan tekanan intrakranial,

9
kerusakan selanjutnya timbul herniasi otak laniscemia dan hipoksia.
(Long,1996)
Pertimbangan paling penting cedera kepala manapun adalah apakah
otak tidak mengalami cedera, keadaan cedera ”minor” dapat menyebabkan
kerusakan otak bermakna cedera otak sering terjadi / tanpa fraktur tengkorak,
setelah pukulan / cedera pada kepala yang menimbulkan komosio, kotusio,
laserasi, hemoragi. Kromosio serebral setelah cedra kepala adalah hilangnya
fungsi neurologis sementara tanpa kerusakan struktur. Kromosio umumnya
meliputi sebuah periode tidaak sadarkan dir waktu yang berakhir salama
beberapa detik sampai beberapa menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan
menimbulkan pusing / berkunang – kunang, atau dapat juga kehilangan
kesadaran komplit sewaktu. Jika jaringan otak silobus rasional yang aneh,
dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia /
disorientasi. Setelah cedera kepala, darah berkumpul di daerah epidural (eksta
dural) di antara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering di akibatkan dari
fraktur tulang tengkorak yang menyebakan arteri meningkat, tengah putus
atau rusak (laserasi), di mana arteri ini berada pada dura dan terngkorak
daerah inferior menuju bagian tipis tulang tengkorak, hemoragi karena arteri
ini menyebabkan penekanan pada otak.

2.6 Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999)
pada cedera kepala meliputi :
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah 16 masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

10
2. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
3. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
system saraf yang lain
4. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin
tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

2.7 Penatalaksanaan Cedera Kepala


1. Terapi diuretik
 Diuretik osmotic (mannitol 20)
 Loop diuretic (furosemide)
2. Terapi Barbiturat (Phenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus yang tidak responsif terhadap terapi di atas.
Cara pemberian : Bolus 10 mg / kg BB IV selama ½ jam dilanjutkan 2 – 3
mg/kg BB IV selama 3 jam, lalu 1 mg/kg BB/ jam setelah TIK terkontrol <
20 mmHg. Kemudian diturunkan secara bertahap selama 3 hari.
3. Steroid
Berkhasiat mengurangi edema serebri pada tumor otak tetapi pada cedera
kepala belum terbukti.
4. Keseimbangan cairan dan elektrolit

11
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambah
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 cc / hari diberikan secara
parenteral. Sebaiknya diberikan cairan koloid seperti NaCl 0,9 %, Ringer
Laktat. Jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa karena akan
menambah edema otak.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan
: Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 -
72 jam setelah injuri.
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.

2.9 Penatalaksanaan Keperawatan


a. Pemasangan infus dengan cairan Nacl 0,9% atau RL lebih efektif

12
cairan isotoner dalam mengganti volume intravaskuler dari pada
cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
b. Pada klien dengan koma (skor GCS <8) atau pada kllien dengan
tanda herniasi lakukan tindakan berikut:
1) Elerasi kepala 30
2) Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mardatorik
intermiten dengan kecepatan 16 -20x /mnt dengan volume tidal
10 – 12ml /kg BB.
3) Pemberian manitol 20% IV dalam 20 -30 menit. Dari ulangan
dapat diberikan 4 -6 jam sampai maksimal 48 jam .
4) Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi (hematoma epidural
besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka dan fraktur
impresi).

13
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
A. Aktivitas dan Istirahat
Mayor : lemah, kaku, hilang keseimbangan
Minor : perubahan kesadaran, letargi, hemiparase, ataksia cara berjalan tak
tegap, kehilangan tonus otot
B. Sirkulasi
Mayor : perubahan tekanan darah atau nomal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi,
disritmia)
C. Integritas Ego
Mayor : perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Minor : cemas, mudah tersinggung, agitasi, bingung, depresi, impulsif
D. Eliminasi
Mayor : inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan
fungsi
E. Makanan/Cairan
Mayor : mual, muntah, dan perubahan selera makan
Minor : muntah, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
F. Neurosensori
Mayor : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar jawaban,
vertigo, sinkope, tinitus, perubahan dalam penglihatan (diplopia, fotofobia)
Minor : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi), perubahan pupil (respon
terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, kehilangan penghindraan,
wajah tidak simetri, genggaman lemah, apraksia, hemiparase, kejang,
sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan
G. Nyeri/kenyamanan
Mayor : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
Minor : wajah menyeringi, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa istirahat, merintih

14
H. Pernapasan
Mayor : perubahan pola napas, stridor, ronki, mengi positif
I. Keamanan
Mayor : trauma baru karena kecelakaan
Minor : fraktur/dislokasi, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak,
tonus otot hilang, demam

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perfusi jaringan cerebral tidak Efektif berhubungan dengan penekanan
pembuluh darah dan jaringan cerebral
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan medula oblongata
c. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan tekanan intrakranial : mual, muntah

15
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
keperawatan
Perfusi jaringan Circulation status Intrakranial Pressure (ICP)
cerebral tidak Efektif Tissue Prefusion : Monitoring (Monitor
cerebral tekanan intrakranial)
 Berikan informasi
Kriteria Hasil : kepada keluarga
1. mendemonstrasikan  Set alarm
status sirkulasi yang  Monitor tekanan
ditandai dengan : perfusi serebral
 Tekanan systole  Catat respon pasien
dandiastole dalam terhadap stimuli
rentang yang  Monitor tekanan
diharapkan intrakranial pasien dan
 Tidak ada respon neurology
ortostatikhipertensi terhadap aktivitas
 Tidak ada tanda  Monitor jumlah
tanda peningkatan drainage cairan
tekanan intrakranial serebrospinal
(tidak lebih dari 15  Monitor intake dan
mmHg) output cairan
2. mendemonstrasikan  Restrain pasien jika
kemampuan kognitif perlu
yang ditandai dengan:  Monitor suhu dan
 berkomunikasi angka WBC
dengan jelas dan  Kolaborasi pemberian
sesuai dengan antibiotik
kemampuan
 Posisikan pasien pada
 menunjukkan posisi semifowler
perhatian,
 Minimalkan stimuli
konsentrasi dan dari lingkungan
orientasi
 memproses Peripheral Sensation
informasi Management (Manajemen
 membuat keputusan sensasi perifer)
dengan benar  Monitor adanya daerah
3. menunjukkan tertentu yang hanya peka
fungsi sensori motori terhadap
cranial yang utuh : panas/dingin/tajam/tumpul
tingkat kesadaran
 Monitor adanya paretese
mambaik, tidak ada
 Instruksikan keluarga
gerakan gerakan
untuk mengobservasi kulit
involunter
jika ada lsi atau laserasi
 Gunakan sarun tangan
untuk proteksi
 Batasi gerakan pada

16
kepala, leher dan
punggung
 Monitor kemampuan BAB
 Kolaborasi pemberian
analgetik
 Monitor adanya
tromboplebitis
 Diskusikan mengenai
penyebab perubahan
sensasi

Pola Nafas tidak  Respiratory status : Airway Management


efektif Ventilation  Buka jalan nafas, guanakan
Definisi : Pertukaran  Respiratory status : teknik chin lift atau jaw
udara inspirasi dan/atau Airway patency thrust bila perlu
ekspirasi tidak adekuat  Vital sign Status  Posisikan pasien untuk
Kriteria Hasil : memaksimalkan ventilasi
Batasan karakteristik :  Mendemonstrasikan  Identifikasi pasien
- Penurunan tekanan batuk efektif dan perlunya pemasangan alat
inspirasi/ekspirasi suara nafas yang jalan nafas buatan
- Penurunan bersih, tidak ada  Pasang mayo bila perlu
pertukaran udara per sianosis dan  Lakukan fisioterapi dada
menit dyspneu (mampu jika perlu
- Menggunakan otot mengeluarkan  Keluarkan sekret dengan
pernafasan tambahan sputum, mampu batuk atau suction
- Nasal flaring bernafas dengan  Auskultasi suara nafas,
- Dyspnea mudah, tidak ada catat adanya suara
- Orthopnea pursed lips) tambahan
- Perubahan  Menunjukkan jalan  Lakukan suction pada
penyimpangan dada nafas yang paten mayo
- Nafas pendek (klien tidak merasa  Berikan bronkodilator bila
- Assumption of 3- tercekik, irama perlu
point position nafas, frekuensi
- Pernafasan pursed-  Berikan pelembab udara
pernafasan dalam Kassa basah NaCl Lembab

17
lip rentang normal,  Atur intake untuk cairan
- Tahap ekspirasi tidak ada suara mengoptimalkan
berlangsung sangat nafas abnormal) keseimbangan.
lama  Tanda Tanda vital  Monitor respirasi dan
- Peningkatan dalam rentang status O2
diameter anterior- normal (tekanan
posterior darah, nadi, Terapi Oksigen
- Pernafasan rata- pernafasan)  Bersihkan mulut, hidung
rata/minimal dan secret trakea
Bayi : < 25 atau >  Pertahankan jalan nafas
60 yang paten
Usia 1-4 : < 20 atau  Atur peralatan oksigenasi
> 30  Monitor aliran oksigen
Usia 5-14 : < 14 atau
 Pertahankan posisi pasien
> 25
 Observasi adanya tanda
Usia > 14 : < 11 atau
tanda hipoventilasi
> 24
 Monitor adanya kecemasan
- Kedalaman
pasien terhadap oksigenasi
pernafasan
Dewasa volume
tidalnya 500 ml saat
istirahat Vital sign Monitoring
 Monitor TD, nadi, suhu, dan
Bayi volume
RR
tidalnya 6-8 ml/Kg
- Timing rasio  Catat adanya fluktuasi
- Penurunan kapasitas tekanan darah
vital  Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
Faktor yang  Auskultasi TD pada kedua
berhubungan : lengan dan bandingkan
- Hiperventilasi  Monitor TD, nadi, RR,
- Deformitas sebelum, selama, dan setelah
tulang aktivitas
- Kelainan bentuk
dinding dada  Monitor kualitas dari nadi
- Penurunan  Monitor frekuensi dan irama
energi/kelelahan pernapasan
-  Monitor suara paru
Perusakan/pelem  Monitor pola pernapasan
ahan muskulo-skeletal abnormal
- Obesitas
 Monitor suhu, warna, dan
- Posisi tubuh
kelembaban kulit
- Kelelahan otot
pernafasan  Monitor sianosis perifer
- Hipoventilasi  Monitor adanya cushing
sindrom triad (tekanan nadi yang
- Nyeri melebar, bradikardi,
- Kecemasan peningkatan sistolik)

18
- Disfungsi  Identifikasi penyebab dari
Neuromuskuler perubahan vital sign
- Kerusakan
persepsi/kognitif
- Perlukaan pada
jaringan syaraf tulang
belakang
- Imaturitas
Neurologis

Nyeri Akut  Pain Level, Pain Management


Definisi :  Pain control,  Lakukan pengkajian nyeri
Sensori yang tidak  Comfort level secara komprehensif
menyenangkan dan Kriteria Hasil : termasuk lokasi,
pengalaman emosional  Mampu mengontrol karakteristik, durasi,
yang muncul secara nyeri (tahu frekuensi, kualitas dan
aktual atau potensial penyebab nyeri, faktor presipitasi
kerusakan jaringan atau mampu  Observasi reaksi nonverbal
menggambarkan menggunakan dari ketidaknyamanan
adanya kerusakan tehnik  Gunakan teknik
(Asosiasi Studi Nyeri nonfarmakologi komunikasi terapeutik
Internasional): serangan untuk mengurangi untuk mengetahui
mendadak atau pelan nyeri, mencari pengalaman nyeri pasien
intensitasnya dari bantuan)  Kaji kultur yang
ringan sampai berat  Melaporkan bahwa mempengaruhi respon
yang dapat diantisipasi nyeri berkurang nyeri
dengan akhir yang dengan  Evaluasi pengalaman nyeri
dapat diprediksi dan menggunakan masa lampau
dengan durasi kurang manajemen nyeri  Evaluasi bersama pasien
dari 6 bulan.  Mampu mengenali dan tim kesehatan lain
nyeri (skala, tentang ketidakefektifan
Batasan karakteristik : intensitas, frekuensi kontrol nyeri masa lampau
- Laporan secara dan tanda nyeri)  Bantu pasien dan keluarga
verbal atau non verbal
 Menyatakan rasa untuk mencari dan
- Fakta dari nyaman setelah menemukan dukungan
observasi nyeri berkurang  Kontrol lingkungan yang
- Posisi antalgic
 Tanda vital dalam dapat mempengaruhi nyeri
untuk menghindari
rentang normal seperti suhu ruangan,
nyeri
pencahayaan dan
- Gerakan
kebisingan
melindungi
 Kurangi faktor presipitasi
- Tingkah laku
nyeri
berhati-hati
- Muka topeng  Pilih dan lakukan
- Gangguan tidur penanganan nyeri
(mata sayu, tampak (farmakologi, non
capek, sulit atau farmakologi dan inter
gerakan kacau, personal)

19
menyeringai)  Kaji tipe dan sumber nyeri
- Terfokus pada untuk menentukan
diri sendiri intervensi
- Fokus  Ajarkan tentang teknik non
menyempit (penurunan farmakologi
persepsi waktu,  Berikan analgetik untuk
kerusakan proses mengurangi nyeri
berpikir, penurunan  Evaluasi keefektifan
interaksi dengan orang kontrol nyeri
dan lingkungan)  Tingkatkan istirahat
- Tingkah laku  Kolaborasikan dengan
distraksi, contoh : jalan- dokter jika ada keluhan dan
jalan, menemui orang tindakan nyeri tidak
lain dan/atau aktivitas, berhasil
aktivitas berulang-
 Monitor penerimaan pasien
ulang) tentang manajemen nyeri
- Respon autonom
(seperti diaphoresis,
 Analgesic Administration
perubahan tekanan
 Tentukan lokasi,
darah, perubahan nafas,
karakteristik, kualitas, dan
nadi dan dilatasi pupil)
derajat nyeri sebelum
- Perubahan
pemberian obat
autonomic dalam tonus
otot (mungkin dalam  Cek instruksi dokter
rentang dari lemah ke tentang jenis obat, dosis,
kaku) dan frekuensi
- Tingkah laku  Cek riwayat alergi
ekspresif (contoh :  Pilih analgesik yang
gelisah, merintih, diperlukan atau kombinasi
menangis, waspada, dari analgesik ketika
iritabel, nafas pemberian lebih dari satu
panjang/berkeluh  Tentukan pilihan analgesik
kesah) tergantung tipe dan
- Perubahan beratnya nyeri
dalam nafsu makan dan  Tentukan analgesik pilihan,
minum rute pemberian, dan dosis
optimal
Faktor yang  Pilih rute pemberian secara
berhubungan : IV, IM untuk pengobatan
Agen injuri (biologi, nyeri secara teratur
kimia, fisik, psikologis)  Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala

20
(efek samping)

Gangguan mobilitas  Joint Movement : Exercise therapy :


fisik Active ambulation
Definisi :  Mobility Level  Monitoring vital sign
Keterbatasan dalam  Self care : ADLs sebelm/sesudah latihan dan
kebebasan untuk  Transfer lihat respon pasien saat
pergerakan fisik performance latihan
tertentu pada bagian Kriteria Hasil :  Konsultasikan dengan
tubuh atau satu atau  Klien meningkat terapi fisik tentang rencana
lebih ekstremitas dalam aktivitas fisik ambulasi sesuai dengan
Batasan karakteristik :  Mengerti tujuan dari kebutuhan
- Postur tubuh yang peningkatan  Bantu klien untuk
tidak stabil selama mobilitas menggunakan tongkat saat
melakukan kegiatan rutin
 Memverbalisasikan berjalan dan cegah
harian terhadap cedera
perasaan dalam
- Keterbatasan meningkatkan  Ajarkan pasien atau tenaga
kemampuan untuk kesehatan lain tentang
kekuatan dan
melakukan keterampilan teknik ambulasi
kemampuan
motorik kasar  Kaji kemampuan pasien
berpindah
- Keterbatasan
 Memperagakan dalam mobilisasi
kemampuan untuk  Latih pasien dalam
penggunaan alat
melakukan keterampilan pemenuhan kebutuhan
Bantu untuk
motorik halus ADLs secara mandiri
mobilisasi (walker)
- Tidak ada sesuai kemampuan
koordinasi atau
 Dampingi dan Bantu
pergerakan yang pasien saat mobilisasi dan
tersentak-sentak bantu penuhi kebutuhan
- Keterbatasan ADLs ps.
ROM
 Berikan alat Bantu jika
- Kesulitan
klien memerlukan.
berbalik (belok)
 Ajarkan pasien bagaimana
- Perubahan gaya
merubah posisi dan berikan
berjalan (Misal :
bantuan jika diperlukan
penurunan kecepatan
berjalan, kesulitan
memulai jalan, langkah
sempit, kaki diseret,
goyangan yang
berlebihan pada posisi
lateral)
- Penurunan waktu
reaksi
- Bergerak
menyebabkan nafas
menjadi pendek
- Usaha yang kuat
untuk perubahan gerak

21
(peningkatan perhatian
untuk aktivitas lain,
mengontrol perilaku,
fokus dalam anggapan
ketidakmampuan
aktivitas)
- Pergerakan yang
lambat
- Bergerak
menyebabkan tremor
Faktor yang
berhubungan :
- Pengobatan
- Terapi
pembatasan gerak
- Kurang
pengetahuan tentang
kegunaan pergerakan
fisik
- Indeks massa
tubuh diatas 75 tahun
percentil sesuai dengan
usia
- Kerusakan
persepsi sensori
- Tidak nyaman,
nyeri
- Kerusakan
muskuloskeletal dan
neuromuskuler
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina
- Depresi mood
atau cemas
- Kerusakan
kognitif
- Penurunan
kekuatan otot, kontrol
dan atau masa
- Keengganan
untuk memulai gerak
- Gaya hidup yang
menetap, tidak
digunakan,
deconditioning
- Malnutrisi
selektif atau umum

22
Ketidakseimbangan  Nutritional Status :  NIC :
utrisi kurang dari food and Fluid  Nutrition Management
kebutuhan tubuh Intake  Kaji adanya alergi
 Kriteria Hasil : makanan
Definisi : Intake nutrisi  Adanya  Kolaborasi dengan ahli
tidak cukup untuk peningkatan berat gizi untuk menentukan
keperluan metabolisme badan sesuai dengan jumlah kalori dan nutrisi
tubuh. tujuan yang dibutuhkan pasien.
 Berat badan ideal  Anjurkan pasien untuk
Batasan karakteristik : sesuai dengan tinggi meningkatkan intake Fe
- Berat badan 20 % badan  Anjurkan pasien untuk
atau lebih di bawah  Mampu meningkatkan protein dan
ideal mengidentifikasi vitamin C
- Dilaporkan adanya kebutuhan nutrisi  Berikan substansi gula
intake makanan yang  Tidak ada tanda  Yakinkan diet yang
kurang dari RDA tanda malnutrisi dimakan mengandung
(Recomended Daily
 Tidak terjadi tinggi serat untuk
Allowance) penurunan berat mencegah konstipasi
- Membran mukosa badan yang berarti  Berikan makanan yang
dan konjungtiva pucat
terpilih (sudah
- Kelemahan otot
dikonsultasikan dengan
yang digunakan untuk
ahli gizi)
menelan/mengunyah
- Luka, inflamasi  Ajarkan pasien bagaimana
pada rongga mulut membuat catatan makanan
- Mudah merasa harian.
kenyang, sesaat setelah  Monitor jumlah nutrisi dan
mengunyah makanan kandungan kalori
- Dilaporkan atau  Berikan informasi tentang
fakta adanya kebutuhan nutrisi
kekurangan makanan  Kaji kemampuan pasien
- Dilaporkan adanya untuk mendapatkan nutrisi
perubahan sensasi rasa yang dibutuhkan
- Perasaan
ketidakmampuan untuk  Nutrition Monitoring
mengunyah makanan  BB pasien dalam batas
- Miskonsepsi normal
- Kehilangan BB  Monitor adanya penurunan
dengan makanan cukup berat badan
- Keengganan untuk  Monitor tipe dan jumlah
makan aktivitas yang biasa
- Kram pada abdomen dilakukan
- Tonus otot jelek  Monitor interaksi anak
- Nyeri abdominal atau orangtua selama
dengan atau tanpa makan
patologi  Monitor lingkungan
- Kurang berminat selama makan
terhadap makanan  Jadwalkan pengobatan

23
- Pembuluh darah dan tindakan tidak selama
kapiler mulai rapuh jam makan
- Diare dan atau  Monitor kulit kering dan
steatorrhea perubahan pigmentasi
- Kehilangan rambut  Monitor turgor kulit
yang cukup banyak  Monitor kekeringan,
(rontok) rambut kusam, dan mudah
- Suara usus patah
hiperaktif  Monitor mual dan muntah
- Kurangnya  Monitor kadar albumin,
informasi, misinformasi total protein, Hb, dan
kadar Ht
Faktor-faktor yang  Monitor makanan
berhubungan : kesukaan
Ketidakmampuan
 Monitor pertumbuhan dan
pemasukan atau perkembangan
mencerna makanan atau
 Monitor pucat, kemerahan,
mengabsorpsi zat-zat
dan kekeringan jaringan
gizi berhubungan
konjungtiva
dengan faktor biologis,
 Monitor kalori dan intake
psikologis atau
nuntrisi
ekonomi.
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oral.
 Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi Keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan

5. Evaluasi Keperawatan
1) Perfusi jaringan cerebral tidak Efektif
 mendemonstrasikan status sirkulasi
 mendemonstrasikan kemampuan kognitif
 menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh
2) Pola nafas tidak efektif
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)

24
3) Nyeri akut
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal
4) Gangguan mobilitas fisik
 Klien meningkat dalam aktivitas fisik
 Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
 Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
 Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
5) Ketidakseimbangan utrisi kurang dari kebutuhan tubuh
 Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
 Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda tanda malnutrisi
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

25
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak dengan
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik karena trauma tumpul
maupun trauma tajam. Deficit neurologis terjadi karena robeknya subtansi
alba,iskemia,dan pengaruh massa karena hemoragik,serta edema serebral
disekitar disekitar jaringan otak. Berdasarkan GCS cedera kepala/otak dapat
terbagi menjadi 3:
1. Cedera kepala ringan,bila GCS 13-15
2. Cedera kepala sedang,bila GCS 9-12
3. Cedera kepala berat bila GCS kurang atau sama dengan 8.

3.2 SARAN
Kami menyadari dalam makalah ini terdapat kekurangan untuk itu
diharapkan dapat menambahkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dalam makalah ini

26
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius


FK-UI, Jakarta
Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II.
Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gururaj, G., Kolluri S.V.R., Chandramouli, B.A. (2015). Traumatic Brain
Injury. India : national Institute of Mental Health & Neuro Sciences
Bangalore
Hardi. (2008). Penanganan Awal Pada Pasien Cedera Kepala. Jakarta : EGC.
Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC)
SecondEdition. Mosby.
Mc. Closkey dan Buleccheck. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. Mosby.
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
NANDA. 2015. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia:
North American Nursing Diagnosis Association.
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta : EGC

27

Anda mungkin juga menyukai