Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR MANUSIA : ELIMINASI


DI RUANG ASTER RSUD dr.HARYOTO LUMAJANG

Disusun Oleh :

NAMA : Magdevyababa
NIM : 21101054

PROGRAM STUDI PRODI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER

2021/2022
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

1. PENGERTIAN ELIMINASI
Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan Eliminasi Urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
atau beresiko mengaami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami
gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan
selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan
urine.
Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air
besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya
dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan
hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
2. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output
urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang
keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal
dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi
jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme
tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan

2. Gangguan Eliminasi Fekal


a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya
selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses.
Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna.
Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian
jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan
yang tidak teratur dapat

mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang
sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.

b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan
yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk
beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia
lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal,
menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan
reabsorbsi cairan dari chyme

c. Meningkatnya stress psikologi


Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit
tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai
komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau
marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi
orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada
konstipasi

d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.


Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic
dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama
dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi
yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar
dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan
codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi
eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan
eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi.
Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan
aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare

f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga


pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai
sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang
dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses
pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang
normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya
peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-
otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung.
Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus
spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi.

g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal


cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus
sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien
untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan
toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau
seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya
fungsi dari spinkter ani

3. Klasifikasi
a. Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine menurut (Ambarwati, 2014)
1. Pertumbuhan dan perkembangan.
Jumlah urine yang di ekskresikan dapat di pengaruhi oleh usia dan berat badan
seseorang. Bayi dan anak-anak mengekskresikan 400-500 ml urine/hari sedangkan
orang dewasa mengekskresikan 1500-1600 ml urine/hari.
2. Asupan cairan dan makanan.
Kebiasaan mengkonsumsi jenis makanan atau minuman tertentu (teh, kopi,
ciklat dan alkohol) dapat meningkatkan ekskresi urine karna dapat menghambat
hormon antidiuretik (ADH).
3. Kebiasaan atau gaya hidup.
Seseorang yang terbiasa BAK di sungai atau di alam bebas akan mengalami
kesulitan ketika harus berkemih di toilet atau menggunakan pispot pada saat sakit.
4. Faktor psikologis.
Kondisi stress dan kecemasan dapat menyebabkan peningkatan stimulus
berkemih, di samping stimulus BAB sebagai upaya kompensasi.
5. Aktivitas dan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan kerja (kontraksi) otot-otot kandung kemih,
abdomen dan pelvis. Jika terjadi gangguang padatonus otot maka dorongan untuk
berkemih juga akan berkurang.
6. Kondisi patologis
a) Demam
b) Inflamasi
c) Iritasi
7. Medikasi.
Penggunaan obat-obat diuretik dapat meningkatkan keluaran urine dan
antikolinergik dapat menyebabkan retensi urine.
8. Prosedur pembedahan.
Tindakan pembedahan dapat menyebabkan stres yang akan memicu sindrom
adaptasi umum.
b. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal menurut (Hidayat, 2006)
1. Usia
Setiap tahap perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol defekasi
yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam
buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki kemampuan mengontrol
secara penuh, dan pada usia lanjut proses pengontrolan tersebut mengalami
penurunan.
2. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu
proses percepatan defekasi dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat
mempengaruhi.
3. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang akan menyebabkan feses menjadi lebih keras,
disebabkan oleh absorpsi cairan yang meningkat.
4. Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas tonus
otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi,
sehingga proses gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik dan
memudahkan dalam membantu proses kelancaran proses defekasi.
5. Pengobatan
Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, dapat mengakibatkan diare
dan konstipasi, seperti penggunaan laksansia atau antasida yang terlalu sering.
6. Gaya hidup
Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara teratur,
fasilitas buang air besar, dan kebiasaan menahan buang air besar. Kebiasaan atau
gaya hidup dapat memengaruhi proses defekasi. Hal ini dapat terlihat pada
seseorang yang memiliki gaya hidup sehat/kebiasaan melakukan buang air besar
di tempat yang bersih atau toilet. Maka, ketika orang tersebut buang air besar di
tempat yang terbuka atau tempat yang kotor, ia mengalami kesulitan dalam proses
defekasi.
7. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi, biasanya penyakit-
penyakit yang berhubungan langsung pada sistem pencernaan, seperti
gastroenteristis atau penyakit infeksi lainnya.
8. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk berdefekasi,
seperti pada beberapa kasus hemoroid, fraktur ospubis, dan episiotomy akan
mengurangi keinginan untuk buang air besar.
9. Kerusakan Sensoris dan Motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses
defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam
berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang
atau kerusakan saraf lainnya.
4. Manifestasi Klinis
1. Tanda Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1). Ketidak nyamanan daerah pubis.
2). Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3). Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4). Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5). Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
1). pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
2). pasien sering mengompol

2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal


a. Konstipasi
1). Menurunnya frekuensi BAB
2). Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3). Nyeri rektum
b. Impaction
1). Tidak BAB
2). anoreksia
3). Kembung/kram
4). nyeri rektum
c. Diare
1). BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2). Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3). Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
4). feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1). Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2). BAB encer dan jumlahnya banyak
3). Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan
tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1). Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2). Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1). pembengkakan vena pada dinding rectum
2). perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3). merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4). nyeri

5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses.
6. Diagnosa Banding
Gangguan Eliminasi urine
Konstipasi
Infeksi Saluran Kemih
Diare
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urine sangat tergantung pada jenis dan penyebab
inkontinensia yang dialami. Penatalaksanaan etiologi merupakan hal yang pertama kali
dilakukan karena pada beberapa kasus, inkontinensia urine dapat membaik ketika etiologi
pendasarnya telah teratasi.

Apabila inkontinensia urine tetap terjadi setelah etiologi diatasi, pilihan terapi mencakup
modalitas nonfarmakologi, farmakologi, dan pembedahan sesuai jenis inkontinensia urine.
Tata laksana yang dapat dilakukan berdasarkan jenis inkontinensia antara lain:

1) Inkontinensia stres: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau pembedahan


2) Inkontinensia urgensi: modifikasi diet dan gaya hidup, menurunkan berat badan,
terapi perilaku, farmakoterapi, atau pembedahan
3) Inkontinensia luapan: kateterisasi intermiten, tata laksana sesuai etiologi, latihan
otot pelvis
4) Inkontinensia campuran: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau
pembedahan, bladder training
5) Inkontinensia fungsional: tata laksana faktor etiologi yang mendasari

Perlu diingat bahwa tujuan utama tata laksana inkontinensia urine adalah mengurangi
gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Merujuk pasien inkontinensia urine ke dokter
spesialis urologi atau bidang lain yang diperlukan juga merupakan komponen penting dalam
tata laksana.

Penatalaksanaan Eliminasi Fekal

Penatalaksanaan medis pasien dengan gangguan umum eliminasi fekal bermacam-macam

tergantung pada gangguan yang ia alami. Pada tulisan ini, akan dibahas mengenai

penatalaksanaan medis pasien dengan abnormalitas eliminasi fekal yaitu diare, konstipasi

dan obstipasi.

Diare
Abnormalitas berupa kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih
dari 3 kali/hari) serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 g/hari) dan konsistensi (feses cair)
disebut dengan diare (Brunner & Suddarth, 1996). Penatalaksanaan medis diarahkan pada
pengendalian atau pengobatan penyakit dasar. Obat tertentu dapat mengurangi beratnya diare
dan penyakit (cari dosis obat diare). Dalam penatalaksanaan untuk diare ringan, cairan oral
harus segera ditingkatkan dan glukosa oral serta larutan elektrolit dapat diberikan untuk
rehidrasi pasien. Pada diare sedang sebagai akibat dari sumber non-infeksius, obat tidak
spesifik seperti difenoksilat (Lomotil) dan loperamid (Imodium) diberikan untuk
menurunkan motilitas. Bila diare sangat berat atau preparat infeksius teridentifikasi
maka preparat antimikrobial diberikan. Untuk hidrasi yang cepat, mungkin diperlukan juga
terapi cairan intravena (biasanya pada anak kecil atau lansia). Adapun penatalaksanaan pada
diare akut menurut (Sudoyo & Setiyohadi, 2006) terdiri dari rehidrasi, diet, obat anti-diare
dan obat antimikroba.
8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat inkontinensia urine kronis, antara lain:
Masalah Kulit. seperti ruam, infeksi kulit dan luka. Infeksi Saluran Kemih.
Gangguan eliminasi fekal : inkontinensia. Definisi : Kondisi dimana pasien mengalami
perubahan pola dalam buang air besar dengan karakteristik tidak terkontrolnya pengeluaran
feses.
9. Proses Keperawatan
1. PENGKAJIAN
k. Pengkajian eliminasi urine
Riwayat keperawatan :
Tanyakan pada klien secara cermat dan menyeluruh (Ambarwati, 2014)
1. Pola perkemihan
Pertanyaan terkait pola berkemih sifatnya individual. Ini bergantung pada
individu apakah pola berkemihnya termasuk dalam kategori normal atau
apakah ia merasa ada perubahan pada pola berkemihnya.
2. Frekuensi berkemih
a) 5 kali / hari, tergantung kebiasaan seseorang.
b) 70% miksi pada siang hari, sedangkan sisanya dilakukan pada malam
hari, menjelang dan sesudah bangun tidur.
c) Berkemih dilakukan saat bangun tidur dan sebelum tidur.
3. Volume berkemih
Kaji perubahan volume berkemih untuk mengetahui adanya
ketidakseimbangan cairan dengan membandingkannya dengan volume
berkemih normal.
4. Asupan dan haluaran cairan
a) Catat haluaran urine selama 24 jam
b) Kaji kebiasaan minum klien setiap hari
c) Catat asupan cairan peroral, lewat makanan, lewat cairan infus, atau
NGT jika ada.
l. Pengkajian eliminasi fekal
1. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin dapat membantu
menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu
gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan
mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi
berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
c. Masalah eliminasi
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu, diet,
cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat
merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan
palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien terhadap warna,
konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya unsur-unsur
abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL

Karakteristik Normal Abnorma Kemungkinan


l penyebab

Warna Dewasa : Pekat / Adanya


kecoklatan putih pigmen
empedu
Bayi :
(obstruksi
kekuningan
empedu);
pemeriksaan
diagnostik
menggunakan
barium

Hitam / Obat (spt. Fe);


spt ter. PSPA
(lambung, usus
halus); diet
tinggi buah
merah dan
sayur hijau tua
(spt. Bayam)
Merah PSPB (spt.
Rektum),
beberapa
makanan spt
bit.

Pucat Malabsorbsi
lemak; diet
tinggi susu dan
produk susu
dan rendah
daging.

Orange Infeksi usus


atau hijau

Konsistensi Berbentuk, Keras, Dehidrasi,


lunak, agak kering penurunan
cair / motilitas usus
lembek, akibat
basah. kurangnya
serat, kurang
latihan,
gangguan
emosi dan
laksantif
abuse.

Diare Peningkatan
motilitas usus
(mis. akibat
iritasi kolon
oleh bakteri).

Bentuk Silinder Mengecil, Kondisi


(bentuk bentuk obstruksi
rektum) dgn pensil rektum
Æ 2,5 cm u/ atau
orang seperti
dewasa benang

Jumlah Tergantung
diet (100 –
400 gr/hari)

Bau Aromatik : Tajam, Infeksi,


dipenga-ruhi pedas perdarahan
oleh
makanan
yang
dimakan dan
flora bakteri.

Unsur pokok Sejumlah Pus Infeksi bakteri


kecil bagian
Mukus Konsidi
kasar
peradangan
makanan yg Parasit

tdk dicerna, Perdarahan


Darah
potongan gastrointestinal
Lemak
bak-teri Malabsorbsi
dalam
yang mati,
jumlah Salah makan
sel epitel,
besar
lemak,
protein, Benda
unsur-unsur asing
kering cairan
pencernaan
(pigmen
empedu dll)

2. DIAGNOSAKEPERAWATAN
a. Gangguan eliminasi urine (D.0040)
b. Inkontinensia urine berlebih (D.0043)
c. Inkontinensia urine refleks (D.0045)
d. Inkontinensia fekal (D.0041)
e. Inkontinensia berlanjut (D.0042)
f. Konstipasi (00011)
g. Retensi urin (D.0050)
10. Perencanaan
1. Kriteria hasil
 Eliminasi Urine (L.04034)
 Kontinensia urine (L.04036)
 Kontrol gejala (L.14127)
2. Intervensi
 Manajemen cairan (I.03098)
a) Monitor status hidrasi
b) Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
c) Kolaborasikan pemberian diuretik
 Perawatan retensi urin (I.04165)
a) Monitor intake dan output cairan
b) Sediakan privasi untuk berkemih
c) Jelaskan penyebab retensi urine
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, F. R. (2014). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta: Dua Satria Offset.

Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar vManusia : Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan, Definisi & klasifikasi 2015-2017 edisi 10. Jakarta:
EGC.

Gloria M. belecheck, dkk. Nursing Interventions Clasifications edisi keenam

Sue Moorhead, dkk Nursing Outconme Clasifications edisi kelima

Hidayat, A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Potter&Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik.
Edisi 4 Volume 2. Jakarta : EGC.

Tarwoto&Watonah. (2010). KebutuhanDasar Manusia dan Preoses Keperawatan. Jakarta :


Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai