Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Px. Tn.M DENGAN MASALAH KEPERAWATAN KEBUTUHAN


ELIMINASI URINE
DI RUANG KAMAR OPERASI RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

Disusun Oleh:

TRI SUNU PROBOLAKSONO


(202073011)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes BINA SEHAT PPNI KAB. MOJOKERTO
TA. 2020-2021

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan asuhan keperawatan ini di ajukan oleh :
Nama : Tri Sunu Probolaksnon
NIM : 202073011
Progam Studi : PROFESI NERS
Judul Asuhan Keperawatan :
Pada Px. Tn.M Dengan Masalah Keperawatan Kebutuhan Eliminasi Urine di
Ruang Kamar Operasi Rspal Dr. Ramelan Surabaya
Telah diperiksa dan disetujui sebagai tugas dalam praktik klinik keperawatan
dasar.

Surabaya, November 2020


Pembimbing Ruangan Pembimbing Akademik

(.......................................................) (.......................................................)
Mengetahui
Kepala Ruangan

(.......................................................)
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN ELIMINASI URINE

A. Definisi
Eliminasi urine adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme.
Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini
sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi seperti ginjal, ureter,
bladder, dan uretra (Hidayat, 2008).
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh
baik  berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan
kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam
terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih dan
uretra.
Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil
filtrasi dari plasma darah di glomerolus. Dari 180 liter darah yang masuk ke
ginjal untuk di filterisasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin sebagian
besar hasil filterisasi akan di serap kembali di tubulus ginjal untuk di
manfaatkan oleh tubuh.
B. Etiologi
1. Makanan
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.
Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk
memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa orang sulit
atau tidak  bisa dicerna. Ketidak mampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses.
Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur
dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,respon
fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas
peristaltik di colon.
2. Cairan Pemasukan
Ketika pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran contoh:
urine, muntah  yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal,
menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan
cairan memperlambat perjalanan chime di sepanjang intestinal,
sehinggameningkatkan reabsorbsi cairan dari chime
3. Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi.
Penyakit- penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada
collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga
bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan
aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn
depresi bisamemperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada
konstipasi
4. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan
gerak  peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju
rectumdalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga
fesesmengerase.Obat-obatan beberapa obat memiliki efek samping yang
dapat berpengeruhterhadap eliminasi yang normal. Beberapa
menyebabkan diare; yanglain seperti dosis yang besar dari tranquilizer
tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi
eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus
danmemudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan
feses,mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti
dicyclominehydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan
kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare
5. Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi
juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3
tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang dapat
mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony
(berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang
dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya
(mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga
menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa
orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus
spinkter ani yang dapat berdampak pada prosesdefekasi
6. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada
spinal cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat
menurunkanstimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa
membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan
defekasi ketikadia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan.
Akibatnya,klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa
mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari
spinkter ani
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
1. Diet dan asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
output urine. Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urine yang
dibentuk. Selain itu minum kopi dapat meningkatkan pembentukan urine.
2. Respons bagaimana awal berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat
menyebabkan urine banyak tertahan di dalam vesika urinaria, sehingga
mempengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urine.
3. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
eliminasi. Hal ini terkait dengan tersedianya toilet.
4. Stress psikologis
Meningkatnya stress dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih.
Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan
jumlah urine yang diproduksi.
5. Tingkat aktivitas.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk
fungsi sphincter. Kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.
Hilangnya tonus otot vesika urinaria dapat menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemih menurun.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat mempengaruhi pola
berkemih. Hal tersebut dapat ditimbulkan pada anak, yang lebih memiliki
kesulitan untuk mengontrol buang air kecil. Namun, kemampuan dalam
mengontrol buang air kecil meningkat dengan bertambahnya usia.
7. Kondisi penyakit
Kondisi penyakitt dapat mempeengaruhi produksi urine, seperti diabetes
meelitus.
8. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine,
seperti adanya kultur masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air
kecil di tempat tertentu.
9. Kebiasaan seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet, biasanya memiliki
kesulitan untuk berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam
keadaan sakit.
10. Tonus otot
Tonus otot yang berperann penting dalam membantu proses berkemih
adalah otot kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat
berperan dalam kontraksi sebagai pengontrolan pengeluaran urine.
11. Pembedahan
Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai dampak dari
pemberian obat anstesi sehingga menyebabkan penurunan jumlah produksi
urine.
12. Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya
peningkatan atau penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian obat
diuretic dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan obat antikolinergik
dan anti hipertensi dapat menyebabkan retensi uine.
13. Pemeriksaan diagnostik
Pemeeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan
eliminasi urine, khususnya prosedur-pprosedur yang berhubungan dengan
tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti intra venus pyelogram (IVP).
Pemeriksaan ini dapat membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi
produksi urine. Selain itu tindakan sisteskopi dapat menimbulkan edema
local pada uretra.
D. Pathway

Proses Infeksi pada Tumor/neoplasma Pembesaran pada


infeksi uretra di sekitar ureter uterus pada saat
atau uretra kehamilan
Metabolisme Peradangan
meningkat Kompresi pada Kompresi pada
ureter/uretra saluran kemih
Terbentuknya
Panas/demam jaringan parut

HIPERTERMI
Obstruksi Urine yang GANGGUAN
sebagian atau keluar sedikit POLA
Obstruksi akut
total aliran karena ada ELIMINASI
penyempitan URINE
Kolik renalis/nyeri ureter/uretra
pinggang Urine mengalir
balik

NYERI
hidroureter
Peningkatan
ureum dalam
Urine reflak ke darah
pelvis ginjal
Bersifat
Penekanan racun dalam
pada medulla tubuh
ginjal/ pada
sel-sel ginjal Sistem
pencernaan
Gangguan
fungsi ginjal
Lambung

Kerusakan sel- Ureum


sel ginjal bertemu
dengan HCL
Gagal ginjal
Mual muntah

Kegagalan ginjal
untuk membuang GANGGUAN
limbah metabolik NUTRISI
KURANG DARI
KEBUTUHAN
TUBUH
E. Masalah Eliminasi Urine
1. Retensi urine
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung
kemih. Hal ini menyebabkan distensia vesika urinaria atau merupakan
keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung kemih yang
tidak lengkap. Dalam keadaan distensi vesika urinaria dapat menampung
urine sebanyak 3.000 – 4.000 ml urine.
Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang
mengalami kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau trauma
dari dasar kandung kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor
predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia, pada
gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih , dan trauma traktus
genitalis, khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria.
Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran
pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien;
setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38
%. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara otot
detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang
kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak
dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya
akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.
Ketika kandung kemih menjadi sangat mennggembung diperlukan
kateterisasi, kateter folley ditinggal dalam kanndung kemih selama 24 –
48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dann memungkinkan
kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi (Hidayat,
2008).
Tanda klinis retensi :
a. Ketidaknyamanan daerah pubis.
b. Distensi vesika urinaria.
c. Ketidaksanggupan untuk berkemih.
d. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50 ml).
e. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan
asupannya.
f. Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.
g. Adanya urine sebanyak 3.000- 4.000 ml dalam kandung kemih.
Penyebab :
a. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis, vesika urinaria.
b. Trauma sumsum tulang belakang.
c. Tekanan uretra yang tinggi karena otot detrusor yang lemah.
d. Sphincter yang kuat.
e. Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat)
2. Inkontinensia urine
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter
eksternal sementara atau menetap untuk menetap unttuk mengontrol
ekskresi urine. Secara umum penyebab dari inkontinensia urine adalah:
proses penuaan (aging process), pembesaran kelenjar prostat, serta
penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik (Hidayat, 2008).
3. Enuresis
Enuresis merupakan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol sphincter eksterna. Biasanya
enurisis terjadi pada anak atau orang jompo. Umumnya enurisis terjadi
pada malam hari (Hidayat, 2008).
Faktor penyebab enurisis :
a. Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari normal.
b. Anak-anak yang tidurnya bersuara dari tanda-tanda dari indikasi
keinginan berkemih tidak diketahui. Hal itu mengakibatkan
terlambatnya bangun tidur untuk untuk ke kamar mandi.
c. Vesika urinaria peka rangsang, dan seterusnya, tidak dapat
menampung urine dalam jumlah besar.
d. Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah.
e. Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan
mengatasi kebiasaannya tanpa dibantu dengan mendidiknya.
f. Infeksi saluran kemih, perubahan fisik, atau neurologis sistem
perkemihan.
g. Makanan yang banyak mengandung garam mineral.
h. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi.
F. Perubahan pola eliminasi urine
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang yang
mengalami gangguan pada eliminasi urine karena obstruksi anatomis,
kerusakan motorik, sensorik, dan infeksi saluran kemih (Hidayat, 2008).
Perubahan pola eliminasi terdiri atas :
a. Frekuensi
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalm sehari.
Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah
cairan yang masuk. Frekuensi yang tinggi ttanpa suatu tekanan asupan
cairan dapat disebabkan sistisis. Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga
pada keadaan stress/hamil.
b. Urgensi
Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia
jika tidak berkemih. Pada umumnya anak kecil memiliki kemampuan
yang buruk dalm mengontrol sphincter eksternal. Biasanya perasaan
ingin segera berkemih terjadi pada anak karena kurangnya kemampuan
pengontrolan pada sphincter.
c. Disuria
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering
ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur
uretra.
d. Poliuria
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh
ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan cairan. Biasanya, ditemukan
pada penyakit diabetes dan GGK.
e. Urinari Supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urie secara mendadak.
Secara normal, urine diproduksi oleh ginjal pada kecepatan 60 – 120
ml/jam secara terus menerus.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN ELIMINASI URINE

1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Pola berkemih
2) Gejala dari perubahan berkemih
3) Faktor yang memengaruhi berkemih
b. Pemeriksaan fisik
1) Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus.
2) Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi
jaringan vagina.
3) Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, tenderness, adanya pembesaran skrotum
c.    Intake dan output cairan
1) Kaji intake dan ouput cairan dalam sehari (24 jam)
2) Kebiasaan minum dirumah
3) Intake : cairan infus, oral, makanan, NGT
4) Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui
ketidakseimbangan cairan.
5) Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy,
sistostomi.
6) Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau, kepekatan.
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan urine (urinalisis)
2) Warna : (N : jernih)
3) Penampilan : (N : jernih)
4) Bau (N : beraroma)
5) pH : (N : 4,5-8,0)
6) Berat jenis  (N : 1,005 – 1,030)
7) Glukosa  (N : negatif)
8) Keton  (N : negatif)
9) Kultur urine (N: kuman patogen negatif)
2. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan pola eliminasi urine : inkontinensia
a. Definisi : kondisi di mana seseorang tidak mampu mengendalikan
pengeluaran urine.
b. Kemungkinan berhubungan dengan :
1) Gangguan neuromuskuler
2) Spasme bladder
3) Trauma pelvic
4) Infeksi saluran kemih
5) Trauma medulla spinalis
c. Kemungkinan data yang ditemukan :
1) Inkontinensia
2) Keinginan berkemih yang segera
3) Sering ke toilet
4) Menghindari minum
5) Spasme bladder
6) Setiap berkemih kurang gizi dari 100 ml atau lebih dari 550
ml.
d. Tujuan yang diharapkan :
1) Klien dapat mengontrol pengeluaran urine setiap 4 jam.
2) Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urine.
3) Klien berkemih dalam keadaan rileks
e. Intervensi
1. Monitor keadaan bladder setiap 2 jam
R: membantu mencegah distensi atau komplikasi
2. Tingkatkan aktivitas dengan kolaborasi dokter/fisioterapi
R: meningkatkan kekuatan otot ginjal dan fungsi bladder.
3. Kolaborasi dalam bladder training
R: menguatkan otot dasar pelvis
4. Hindari faktor pencetus inkontinensia urine seperti cemas
R: mengurangi / menghindari inkontinensia
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pengobatan dan kateterisasi
R: mengatasi faktor penyebab
6. Jelaskan tentang : pengobatan,    kateter, penyebab, tindakan
lainnya
R: meningkatkan pengetahuan dan diharapkan pasien lebih
kooperatif.
b) Retensi urine
a. Definisi : kondisi di mana seseorang tidak mampu mengosongkan
bladder secara tuntas..
b. Kemungkinan berhubungan dengan :
a) Obstruksi mekanik
b) Pembesaran prostat
c) Trauma
d) Pembedahan
e) Kehamilan
d. Kemungkinan data yang ditemukan :
a) Tidak tuntasnya pengeluaran urine
b) Distensi bladder
c) Hipertropi prostat
d) Kanker
e) Infeksi saluran kemih
f) Pembedahan besar abdomen
e. Tujuan yang diharapkan :
a) Pasien dapat mengontrol pengeluaran bladder setiap 4 jam
b) Tanda dan gejala retensi urine tidak ada
f. Intervensi
1. Monitor keadaan bladder setiap 2 jam
R: Menentukan masalah
2. Ukur intake dan output cairan setiap 4 jam
R: memonitor keseimbangan cairan
3. Berikan cairan 2.000 ml/hari dengan kolaborasi
R: menjaga defisit cairan
4. Kurangi minum setelah jam 6 malam
R: mencegah  nokturia
5. Kaji dan monitor analisis urine elektrolit dan berat badan
R: membantu memonitor keseimbangan cairan
6. Lakukan latihan pergerakan
R: meningkatkan fungsi ginjal dan bladder
7. Lakukan relaksasi ketika duduk berkemih
R: relaksasi pikiran dapat meningkatkan kemampuan
berkemih.
8. Ajarkan teknik latihan dengan kolaborasi dokter/fisioterapi
R: menguatkan otot pelvis
9. Kolaborasi dalam pemasangan kateter
R: mengeluarkan urine
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A.Aziz, dkk. 2008. Ketrampilan Dasar Praktek Klinik Untuk Kebidanan
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Nanda International. 2009. Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan klasifikasi.


Jakarta: EGC

Potter, P.A dan Perry. A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC

Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses


Keperawatan. Edisi 4. Salemba Medika : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai