Anda di halaman 1dari 18

Laporan Pendahuluan Dengan Gangguan Eliminasi Urine

1. Pengertian

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.

Pembuangan dapat melalui urine dan bowel (tarwoto, wartonah, 2006).

Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak

diperlukan oleh tubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu eliminasi urine

dan eliminasi fekal. Eliminasi urine berkaitan dengan sistem perkemigan,

sedangkan eliminasi fekal erat kaitannya dengan saluran pencernaan.

2. Anatomi Fisiologi

1) Eliminasi urine

Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem perkemihan.

Dimana sistem ini terdiri darri ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses

pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu: filtrasi, reabsorbsi, dan

sekresi.

 Filtrasi

Proses filtrasi berlangsung di glomelurus, proses ini terjadi karena

permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen

 Reabsorbsi

Proses reabsorbsi terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,

sodium, klorida, fosfat, dan ion karbonat


 Sekresi

Pada proses sekresi ini sisa reabsorbsi diteruskan keluar.

2) Eliminasi fekal

 Mulut

Gigi berfungsi untuk menghancurkan makanan pada awal proses

pencernaan. Mengunyah dengan baik dapat mencegah terjadinya luka

parut pada permukaan saluran pencernaan. Setelah dikunyah lidah

mendorong gumpalan makanan ke dalam faring, dimana makanan

bergerak ke esofagus.

 Esofagus

Esofagus adalah sebuah tube yang panjang. Sepertiga bagian atas adalah

terdiri dari otot yang bertulang dan sisanya adalah otot yang licin.

Permukaannya diliputi selaput mukosa yang mengeluarkan secret mukoid

yang berguna untuk perlindungan.

 Lambung

Pergerakan makanan melalui lambung dan usus dimungkinkan dengan

adanya peristaltic, yaitu gerakan kontraksi dan relaksasi secara bergantian

oleh otot yang mendorong substansi makanan dalam gerakan menyerupai

gelombang. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengosongkan

kembali lambung setelah makan adalah 2 sampai 6 jam.

 usus halus
usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Usus menerima

makanan yang sudah berbentuk chyme (setengah padat) dari lambung

untuk mengabsorbsi air, nutrient, potassium, bikarbonat, dan enzim.

 usus besar kolon terdiri dari sekum yang berhubungan langsung dengan

usus halus, kolon ascendent, transversum, descendent, sigmoid, dan

rectum.Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan nutrien, proteksi

dengan mensekresikan mucus yang akan melindungi dinding usus trauma

oleh feses dan aktivitas bakteri, dan menghantarkan sisa makanan sampai

ke anus dengan cara berkontraksi.

 anus.

Anus berfungsi dalam proses eliminasi zat sisa. Proses eliminasi fekal

adalah suatu upaya pengosongan intestin. Pusat refleks ini terdapat pada

medula dan spinal cord. Refleks defekasi timbul karena adanya feses

dalam rektum.

3. Etiologi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Menurut Wijayaningsih (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi batu

saluran kemih diantaranya sebagai berikut :

1) Faktor intrinsik

Herediter (keturunan), umur 30-50 tahun, jenis kelamin lai-laki lebih besar dari

pada perempuan.

2) Faktor ekstrinsik

Geografis, iklim dan temperature, asupan air, diet (banyak purin, oksalat dan

kalsium mempermudah terjadinya batu).


Menurut Purnomo (2011) dalam Wardani (2014), Terbentuknya batu

saluran kemih diduga ada hubungannya gangguan aliran urine, gangguan

metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan lain yang masih belum

terungkap (idiopatik).

1) Eliminasi urin

 Diet dan asupan (intake)

Jumlah dan tipe makanan mempengaruhi output urine, seperti protein dan

sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar.

 Respon keinginan awal untuk berkemih

Kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkmeih dan hanya pada

akhir keinginan berkemih mejadi lebih kuat mengakibatkan urine banyak

tertahan di kandung kemih, sehingga kapasitas kandung kemih lebih dari

normal

 Gaya hidup

Ketersediaan fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi

eliminasi urin

 Stres psikologis

Meningkatnya stres seseorang dapat meningkatkan frekuensi keinginan

berkemih.

 Tingkat aktivitas

Aktifitas sangat dibutuhkan dibutuhkan dalam mempertahankan tonus

otot. Eliminasi urin membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik

untuk tonus sfingter internal dan eksternal.


 Tingkat perkembangan

Misal pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena

adanya tekanan dari fetus

 Kondisi penyakit

Saat seorang sakit, produksi urin nya sedikit hal ini disebabkan oleh

keinginan yntuk minum sedikit.

2) Eliminasi fekal

 Usia dan perkembangan : pada bayi sistem pencernaannya belum

sempurna, sedangkan pada lansia proses mekaniknya berkurang karena

berkurangnya kemampuan fisiologis

 Diet : ini bergantung pada kualitas, frekuensi, dan jumlah makanan yang

dikonsumsi

 Pemasukan cairan, normalnya 2000-3000 ml/hari. Asupan cairan yang

kurang menyebabkan feses menjadi keras

 Aktifitas fisik:merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus

meningkat

 Faktor psikologik : perasaan cemas atau takut akan menmpengaruhi

peristaltik atau motilitas usus sehingga dapat menyebabkan diare

 Tonus otot, tonus otot terutama abdomen yang ditunjang dengan aktivitas

yang cukup akan membantu defekasi.

 Kehamilan: menekan rektum

 Operasi dan anestesi

 Obat-obatan
Beberapa obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif dan katartik

dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristlatik.

 Test diagnostik: barium enema dapat menyebabkan konstipasi

 Kondisi patologis

Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare dan konstipasi.

4. Jenis Gangguan/ Masalah

1) Eliminasi urin

 retensi urin : akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih akibat

ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih

 dysuria : adanya rasa sakit atau kesulitan berkemih

 polyuria : produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti

2500 ml/hari tanpa adanya intake cairan.

 Inkontinensia urine : ketidaksanggupan sementara atau permanen oto

sfingter eksternal untuk mengontrol keluarnya urine dari kantong kemih 5)

Urinari supresi : berhenti memproduksi urine secara mendadak.

a. Eliminasi fekal

 Konstipasi : penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran

feses yang lama atau keras dan kering

 Impaksi : merupakan akibat dari konstipasi yang tidak diatasi. Impaksi

adalah kumpulan feses yang mengeras, mengendap di dalam rektum, yang

tidak dapat dikeluarkan.


 Diare : peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses yang

cair dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang

mempengaruhi proses pencernaan, absorbsi, dan sekresi di dalam saluran

GI.

 Inkontinensia: ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan gas dari

anus

 Flatulen : penyebab umum abdomen menjadi penuh, terasa nyeri, dan

kram. 6)

 Hemoroid : vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan rectum

5. Patofisiologi

1) Gangguan Eliminasi Urin

Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di

atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda.

Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal,

akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin.

Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada

medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi

bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang

nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang

nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu

penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan

defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan

dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal.

Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis

(areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang

dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi

paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini

mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi

usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan

dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan

Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan

fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi

ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.

Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan

penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan

dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal

penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan

somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap

kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi

saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis

dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan

otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan

otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf

parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu


agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf

sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan

ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis

dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih,

hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot

detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi

pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus

pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.

Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post

operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi

urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema

sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat

narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi

episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung

kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya

membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai

rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat

disertai mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan

factor lainnya seperti ansietas,kelainan patologi urethra, trauma dan lain

sebagainya. Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa

kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan

parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot
detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot

spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,

intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur,

batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan

terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat

mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi

glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa

kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat

meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat

relaksasi dengan baik.

Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian

terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya

terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan,

salah satunya berupa kateterisasi urethra.


6. Pathway
7. Penatalaksanaan medis
Menurut Putri & Wijaya (2013), tujuan penatalaksanaan batu saluran kemih

adalah menghilangkan obstruksi, mengobati infeksi, menghilangkan rasa nyeri,

serta mencegah terjadinya gagal ginjal dan mmengurangi kemungkinan terjadinya

rekurensi. Adapun mencapai tujuan tersebut, dapat dilakukan langkah-langkah

sebagai berikut :

Diagnosis yang tepat mengenai adanya batu, lokasinya, dan besarnya batu

1) Menentukan adanya akibat-akibat batu saluran kemih seperti : rasa nyeri,

obstruksi disertai perubahan-perubahan pada ginjal, infeksi dan adanya

gangguan fungsi ginjal.

2) Menghilangkan obstruksi, infeksi dan rasa nyeri.

3) Mencari latar belakang terjadinya batu.

4) Mengusahakan penceghan terjadinya rekurensi

Penatalaksanaan secara umum pada obstruksi saluran kemih bagian bawah

diantaranya sebagai berikut :

1) Cystotomi ; salah satu usaha untuk drainase dengan menggunakan pipa

sistostomy yang ditempatkan langsung didalam kandung kemih melalui insisi

supra pubis.

2) Uretrolitotomy ; tindakan pembedahan untuk mengangkat batu yang berada di

uretra.

Menurut Purnomo dalam Wardani (2014) pemeriksaan penunjang yang

dapat dilaukan yaitu Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) merupakan

tindakan non-invasif dan tanpa pembiusan, pada tindakan ini digunakan

gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk memecah batu dan

Tindakan endourologi merupakan tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan

BSK yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari
saluran kemih melalui alat yang dimasukan langsung kedalam saluran kemih. Alat

tersebut dimasukan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit.

8. Pengkajian

1) identitas klien

Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan identitas

penanggung jawab.

2) keluhan utama (alasan dirawat di rumah sakit)

Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan mengganggu oleh klien

pada saat perawat mengkaji, dan pengkajian tentang riwayat keluhan utama

seharusnya mengandung unsur PQRST (Paliatif/Provokatif, Quality, Regio,

Skala, dan Time)

2) riwayat kesehatan sekarang

Kaji status kesehatan pasien saat dilakukannya pengkajian.

3) riwayat kesehatan dahulu (perawatan di rs terakhir)

Riwayat kesehatan dahulu terutama yang berkaitan dengan gangguan

pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan fekal. Ataupun riwayat dirawat di

rumah sakit atau pembedahan.

4) riwayat kesehatan keluarga mengkaji riwayat kesehatan keluarga untuk

mengetahui apakah ada penyakit keturunan di keluarga pasien

5) pola persepsi dan penanganan kesehatan kaji persepsi pasien terhadap

penyakitnya, dan penggunaan tembakau, alkohol, alergi, dan obat-obatan yang

dikonsumsi secara bebas atau resep dokter


6) pola nutrisi/metabolisme mengkaji diet khsusus yang diterapkan pasien,

perubahan BB, dan gambaran diet pasien dalam sehari untuk mengetahui

adanya konsumsi makanan yang mengganggu eliminasi urin atau fekal

7) pola eliminasi kaji kebiasaan defekasi dan/atau berkemih serta masalah yang

dialami. Ada atau tidaknya konstipasi, diare, inkontinensia, retensi, dan

gangguan lainnya. Kaji penggunaan alat bantu.

8) pola aktivitas/ olahraga pola aktivitas terkait dengan ketidakmampuan pasien

yang disebabkan oleh kondisi kesehatan tertentu atau penggunaan alat bantu

yang mempengaruhi kebiasaan eliminasi pasien.

9) pola istirahat tidur kebiasaan tidur pasien dan masalah yang dialami

10) pola kognitif – perseptif

Kaji status mental pasien, kemampuan bicara, ansietas, ketidaknyamanan,

pendengaran dan penglihatan.

11) pola peran hubungan

12) Kaji pekerjaan pasien, sistem pendukung, ada/tidaknya masalah keluarga

berkenaan dengan masalah di rumah sakit.

13) pola seksualitas/ reproduksi kaji adanya masalah seksualitas pasien.

14) pola koping – toleransi stres keadaan emosi pasien, hal yang dilakukan

jika ada masalah, dan penggunaan obat untuk menghilangkan stres.

15) pola keyakinan-nilai agama yang dianut pasien dan pengaruhnya terhadap

kehidupan.

9. Pemeriksaan fisik

1) Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder, pembesaran

ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus.

2) Genetalia wanita

Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi jaringan

vagina.

3) Genetalia laki-laki

Kebersihan, adanya lesi, terderness, adanya pembesaran skrotum.

4) Intake dan output cairan

 Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam).

 Kebiasaan minum di rumah.

 Intake, cairan infus, oral, makanan, NGT.

 Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidakseimbangan cairan.

 Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy, sistostomi.

 Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau, kepekatan.

10. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan urine (urinalisis):

 Warna (N : jernih kekuningan)

 Penampilan (N: jernih)

 Bau (N: beraroma)

 pH (N:4,5-8,0)

 Berat jenis (N: 1,005-1,030)

 Glukosa (N: negatif)


 Keton (N:negatif)

 Kultur urine (N: kuman patogen negatif).

11. Terapi

Terapi yang diberikan baik oral maupun parenteral yang diberikan dalam

pemenuhan atau gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan fekal

12. Diagnosa Keperawatan

1. Retensi urine

2. Diare

3. Konstipasi

13. Implementasi

Pencegahan, pengaturan posisi dan intervensi mandiri. Tindakan

keperawatan mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi

Tindakan mandiri : aktivitas perawat yang dilakukan atau yang didasarkan

pada kesimpulan sendiri dan bahan petunjuk dan perintah tenaga kesehatan lain

Tindakan kolaborasi: tindakan yang dilaksanakan atas hasil keputusan

bersama dengan dokter dan petugas kesehatan lain.

14. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang

merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana ksehatan pasien dengan

tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien.

S = subjektif

O = objektif
A = Analisa

P = Planning

Anda mungkin juga menyukai