RAHAYU RAHMATIKA
2022207209243
FAKULTAS KESEHATAN
2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran,
penghilangan, penyingkiran, penyisihandalam bidang kesehatan, eliminasi
adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau boel
(feses). Eliminasi pada manusia digolongkan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Defekasi
Buang Air Besar (BAB) atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses
makhluk idup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah
padat yang berasal dari sistem pencernaan.
2. Miksi
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.
Miksi ini sering disebut dengan Buang Air Kecil (BAK).
B. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urine
a. Intake Cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi
jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake
cairan dari kebutuhan, akibatnya output urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktivitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi
urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus
sfingter internal dari eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih
terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk periode waktu
yang lama. Karena urine secara terus menerus dialirkan keluar kandung
kemih, otot-otot tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak
berfungsi. Aktivitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine
yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme
tubuh.
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, struktur urethra.
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar prostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, uretra
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan
C. Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urine
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
diatas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengontrol urine dan
inkontinensial urine. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur
atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinalis.
Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan
fungsi saraf termasuk pada penyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan
dengan cedera medulla spinalis yang umunya dikaitkan sebagai syok spinal.
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflek pada medulla
spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot
yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat
lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsangfungsi berkemih dan
defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks
yang dapat diatasi dengan dekompresi usus.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung
kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urine dikontrol oleh sistem
saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf
simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan
meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urine dikoordinasikan
oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang
dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan ototdetrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oelh
sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu
asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan informasikan kebatang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pielogram intravena
2. Computerized axial tomography
3. Ultasonografi
4. Prosedur invasif
5. Sitoure terogram pengosongan
6. Arteriogram ginjal
7. Pemeriksaan Urine
8. Tes darah
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pada eliminasi fekal
a. Konstipasi
1) periksa tanda dan gejala konstipasi
2) periksa pergerakan usus, karakteristik feses
3) identifikasi faktor resiko konstipasi
4) moitor tanda dan gejala rupture usus dan peritonisis
5) anjurkan diet tinggi serat
6) lakukan massage abdomen
7) lakukan evakuasi feses secara manual
8) berikan enema atau irigasi
9) jelaskan etiologi masalah dan alasan tindakan
10) anjurkan peningkatan asupan cairan
11) latih buang air besar secara teratur
12) ajarkan cara mengatasi konstipasi/impaksi
13) konsultasi dengan tim medis tentang penurunan/peningkatan
frekuensi suara usus
14) kolaborasi penggunaan obat pencahar
b. Diare
1) Identifikasi penyebab diare
2) Identifikasi riwayat pemberian makanan
3) Moitor tanda dan gejala hipovolemia
4) Monitor iritasi dan ulserasi kulit didaerah perineal
5) Monitor jumlah pengeluaran diare
6) Erikan asupan cairan oral
7) Pasang jalur intravena
8) Berikan cairan intravena
9) Kolaborasi pemberian obat pengeras feses
2. Penatalaksanaan medis urine
a. Menggunakan urinal untuk berkemih, dalam memenuhi kebutuhan
eliminasi perkemihan
b. Kateterisasi perkemihan, untuk menghilangkan ketidaknyamanan karena
distensi kadung kemih
c. Memasang kateter bagi pasien pria, untuk mempertahankan hygiene
perineal pasien inkontinensia.
G. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Eliminasi Urine
2. Inkontinensia Fekal
3. Inkontinensia Urine Refleks
Kolaborasi:
1. Kolaborasi penggunaan
supositoria, jika perlu
3. Inkontinensia L.04036 1.04148
Urine Refleks Setelah dilakukan Observasi:
(D.0045) tindakan 1. Periksa kondisi pasien
keperawatan (mis. Kesadaran, TTV,
selama 1x24 jam daerah perineal, distensi
diharapkan kandung kemih,
kontinensia urine inkontinensia urin,
membaik dengan refleks berkemih)
kriteria hasil:
1. Nokturia Terapeutik:
menurun 1. Siapkan peralatan,
2. Residu volume bahan-bahan dan
urine setelah ruangan tindakan
berkemih 2. Siapkan pasien:
menurun bebaskan pakaian bawah
3. Distesi kandung dan posisikan dorsal
kemih menurun recumben (wanita) dan
4. Dribbling supine (laki-laki)
menurun 3. Pakai sarung tangan
5. Frekuensi 4. Bersihkan daerah
berkemih perineal atau preposium
membaik dengan cairan NaCl atau
aquades
5. Lakukan insersi kateter
urin dengan menerapkan
prinsip aseptik
6. Sambungkan kateter urin
dengan urin bag
7. Isi balon dengan NaCl
0,9% sesuai anjuran
pabrik
8. Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
9. Pastikan kantung urin
ditempatkan lebih rendah
dari kandung kemih
10. Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urine
2. Anjurkan menarik napas
saat insersi selang
kateter
DAFTAR PUSTAKA
Uliyah, Musrifatul, dkk. (2019). Keperawatan Dasar 1. Surabaya: UMSurabaya
Publishing.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2019), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Salemba Medika.