Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN ELIMINASI


DI RUANG FLAMBOYAN RST SOEPRAOEN

OLEH:
ANISA
2022611002

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2022
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Dengan Gangguan Eliminasi

A. Defenisi Eliminasi
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolism tubuh baik yang berupa
urin maupun fekal. Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebaga hasil filtrasi,
hanya1-2 liter saja yang dapat berupa urin sebagian besar hasil filtrasi akan di serap kembali
di tubulus ginjal untuk di manfaatkan oleh tubuh.
Eliminasi urin merupakan salah satu dari proses metabolic tubuh yang bertujuan untuk
mengeluarkan bahan sisa dari tubuh. Eliminasi urine tergantung kepada fungsi ginjal, ureter,
kandung kemih, dan uretra. Ginjal menyaring produk limbah dan darah untuk membentuk
urin. Ureter menstraspor urine dan ginjal ke kandung kemih. Kandung kemih menyimpan
urin sampai timbul keinginan ingin berkemih. Urin keluar dari tubuh melalui ureter, semua
organ system perkemihan harus utuh dan berfungsi supaya urin berhasil dikeluarkan dengan
baik.
Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang tidak diperlukan
olehtubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu eliminasi urine dan eliminasi
fekal.Eliminasi urine berkaitan dengan sistem perkemigan, sedangkan eliminasi fekal
eratkaitannya dengan saluran pencernaan.
B. Etiologi
Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin:
 Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medullaspinalis
 Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang
 Intravesikal berupa pembesran prostat, kekakuan lehervesika, batu kecil dan
tumor.
 Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran prostat, kelainan patologi
uretra, trauma, disfungsi neurogenic kandung kemih
1) Intake cairan

2) Jumlah dan type


makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
3) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
4) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
5) banyak.
6) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
7) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
8) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
9) banyak.
10) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
11) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
12) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
13) banyak.
14) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
15) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
16) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
17) banyak.
18) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
19) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
20) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
21) banyak.
22) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
23) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
24) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
25) banyak.
26) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
27) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
28) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
29) banyak.
30) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
31) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
32) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
33) banyak.
34) Jumlah dan type
makanan merupakan
faktor utama yang
mempengaruhi output
urine
35) atau defekasi.
Seperti protein dan
sodium mempengaruhi
jumlah urine yang
keluar, kopi
36) meningkatkan
pembentukan urine
intake cairan dari
kebutuhan, akibatnya
output urine lebih
37) banyak.
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urin
atau defekasi. Seperi protein dan sodium mempengaruhi jumlah urin yang keluar,
kopi meningkatkan penmbentukan urin intake dari kebutuhan, akibatnya output urin
lebih banyak.
2) Aktivitas
3)Aktifitas sangat
dibutuhkan untuk
mempertahankan tonus
otot. Eliminasi urine
4)membutuhkan tonus
otot kandung kemih
yang baik untuk tonus
sfingter internal dan
5)eksternal.
Aktivitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urin
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan
eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan
dapat menjad tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah
urin yang di produksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolism tubuh.
3) Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur uretra
4) Infeksi
5) Kehamilan
6) Penyakit; pembesaran kelenjar prostat
7) Trauma sumsum tulang belakang
8) Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,uretra
9) Umur
10) Penggunaan obat-obatan
Gangguan eliminasi fekal:

1) Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna;


Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa,
serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada
beberapa orang sulit atau tidak bias dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat menganggu keteraturan pola
defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunya suatu
keteraturan waktu, respon fisiologis pada pemasuka makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltic di colon.
2) Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang
adekuat ataupun pengeluaran (contoh; urin, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alas
an, tubuh melanjutkan untuk mereabsorsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang
colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang
keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme
di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorsi cairan dari chyme.
3) Meningkatnya stress psikologis
Dapat dilihat bahwa stress dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu
termasuk diare kronik, seperti ulcus pada colitis, bias jad mempunyai komponen
psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yang cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltic dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yang depresi
memperlambat mobilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi.
4) Kurang aktivitas, kurang olahraga, berbaring lama
Pada pasien imobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan dapat
menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu yang lama dan terjadi
reabsorbsi cairan feses sehingga feses mengeras.
5) Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengaruh terhadap eliminasi yang
normal. Beberapa menyebabkan diareyang lan seperti dosis yang besar dari transqualizer
tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat
yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini
melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dyclomind
hydrochloride (Benttyl), menekan aktivitas peristaltic dan kadang-kadang digunakan
untuk mengobati diare.
6) Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tetapi juga pengontrolannya. Anak-
anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuscular berkembang,
biasanya antara umur 2-3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman
yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Diantaranya adalah atony
(berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat
pada melambatnya peristaltic dan mengerasnya (mongering) feses, dan menurunnya
tonus dari otot-otot polos colon yang juga menurunkan tekanan selama proses
pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan control
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi.
7) Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan
tumor. Cedera pada sumsum tulang belakang dan kepala dapat menurunkan stimulus
sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bias membatasi kemampuan klien untuk
merespon terhadap keinginan untuk defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet
atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien dapat mengalami konstipasi, atau seseorang
dapat mengalami fecal inkotinensia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani.

Faktor predisposisi/pencetus:

1) Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi


Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal berkemih atau
defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Begitu pula dengan feses
menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2) Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam haleliminasi urin dan defekasi.
Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi
dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3) Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat meningkatnya frekuensi keinginan berkemih, hal
ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan untuk berkemih dan atau meingkatnya
jumlah urine yang diproduksi.
4) Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil
kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih
sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan
penurunan gerakan peristaltic intestinal.
5) Kondisi patologis
Demam dapat menurunkan produksi urin (jumlah dan karakter)
6) Obat-obatan, diuretik dapat meningkatkan output urin. Analgetik dapat terjadi retensi
urin
C. Patofisiologi
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan diatas, masing-
masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan
usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan
dalam mengontrol urin atau inkontenensia urin. Gangguan traumatic pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatic pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi.
Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinalis. Cedera medulla spinalis (CMS)
merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan
berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogeik dikaitkan dengan cedera
medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan
depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat
cedera. Dalam kondisi ini otot-otot dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di
bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan reflex-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi reflex yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi
usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan
dekompresi usus (Brunner & Suddarth,2002). Hal ini senada disampaikan oleh
Sjamsuhidat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi
autonomy berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortotastik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan
urin dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara
normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatic. Selama fase pengisian, pengaruh sistem
saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem
simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan
tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat kontraksi yang simultan otot detrusor dan
relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmitter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase
pengisian, impuls afferent ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal
spinal sacral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sacral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul
kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra
triogonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urin
dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan
bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urin akut. Fenomena ini terjadi akibat dari
trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obsteri,
epidural anestesi, obat-obatan narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
pelvik, nyeri insisi episiotomy atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan maneuver valsava. Retensi urin post operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
D. Manifestasi Klinis
a. Retensi urin
 Ketidaknyamanan daerah pubis
 Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih
 Urin yang keluar dengan intake tidak seimbang
 Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
 Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
 Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
 Pasien sering mengompol

E. Pathway
F. Pemeriksaan penunjang
1) Pielogram intravena
Memvisoalisasi duktus dan pelvis renalis serta memperlihatkan ureter, kandung
kemih dan uretra. Prosedur ini tidak bersifat invasive. Klien perlu menerima injeksi
pewarna radiopaq secara intra vena.
2) Computerized axial tomography
Merupakan prosedur sinar X terkomputerisasi yang digunakan untuk memperoleh
gambaran terperinci mengenai struktur bidang tertentu dalam tubuh. Scanner
tomography adalah sebuah mesin yang berisi computer khusus serta sistem
pendeteksi sinar X yang berfungsi secara simultan untuk memfoto struktur internal
berupa potongan lintang transfersal yang tipis.
3) Ultra sonografi
Merupakan alat diagnostic yang nonvasif yang berharga dalam mengkaji gangguan
perkemihan. Alat ini menggunakan gelombang suara yang tidak dapat didengar,
berfrekuensi tinggi, yang memantul dari struktur jaringan.
G. Penatalaksanaan
1. Pengumpulan urin untuk bahan pemeriksaan,mengingat tujuan pemeriksaan berbeda-
beda maka pengambilan sampel urine juga dibeda-bedakan sesuai dengan tujuannya
2. Menolong untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal, menolong BAK
dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan membantu
pasien yang tidak mampu BAK sendiri dikamar kecil dengan menggunakan alat
penampung dengan tujuan menampung urin dan mengetahui kelainan urin berupa
warna dan jumlah urin yang dkeluarkan pasien
3. Melakukan kateterisasi, kateterisasi kandung kemih adalah dimasukkannya kateter
melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air seni atau urin.

Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kebutuhan Oksigenasi


A. Pengkajian
a. Identitas pasien dan identitas penanggung jawab pasien dengan format nama,
umur, jenis kelamin, status, agama, pekerjaan, suku bangsa, alamat, pendidikan,
diagnose medis, sumber biaya, hubungan antara pasien dengan penanggung
jawab.
b. Data keluhan utama merupakan keluhan yang sering menjadi alas an pasien
untuk meminta bantuan kesehatan, seperti pada gangguan sistem perkemihan,
meliputi; keluhan sistemik, antara lain gangguan fungsi ginjal (sesak nafas,
edema, malaise, pucat dan uremia)
c. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebiasaan berkemih serta hambatannya.
Frekuensi berkemih tergantung pada kebiasaan dan kesempatan.
d. Pola berkemih (frekuensi, urgensi, dysuria, polyuria, urinaria)
e. Volume urin menentukan berapa jumlah urin dalam waktu 24 jam
f. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih
g. Keadaan urin (warna, bau, berat jenis, kejernihan, protein, darah)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urin
2. Retensi urin

C. Perencanaan Keperawatan

No Diagnosa keperawatan Tujaun Intervensi Rasional

1 Gangguan pola eliminasi Setelah dilakukan tindakan 1. monitor keadaan 1. membantu


urin: inkontinensia urin keperawatan diharapkan bladder setiap 2 jam mencegah
masalah inkontinensia urin 2. tingkatkan distensi atau
dapat normal aktivitas dengan komplikasi
kolaborasi 2. meningkatkan
dokter/fisioterapi kekuatan otot
3. kolaborasi dalam ginjal
baldder training
4. hindari faktor
pencetus
inkontinensia urin
seperti cemas
5. kolaborasi dengan
dokter dalam
pengobatan dan
kateterisasi

2 Rentensi urin Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor keadaan 1. Memonitor


berhubungan dengan keperawatan 2x24 jam bladder setiap masalah
sumbatan diharapkan tanda dan gejala jam 2. Memonitor
retensi urin 2. Ukur intake dan keseimbanga
ouput cairan n cairan
setiap 4 jam 3. Menjaga
3. Berikan cairan deficit cairan
2000ml/hari
4. Kurangi minum
setelah jam 6
malam

DAFTAR PUSTAKA
Kulansi, Tania.2020.Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Ny.H dengan
Kebutuhan Dasar Eliminasi di Ruang Dahlia RSUD dr. Doris Silvanus.Palangkaraya. Di
akses 8 Desember 2022 (https://www.studocu.com/id/document/politeknik-kesehatan-
banjarmasin/kasus-hipertiroid/revisi-laporan-pendahuluan-kebutuhan-eliminasi-di-ruang-
dahlia/29413391)

Anda mungkin juga menyukai