Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN ELIMINASI

Oleh

MACHUS ROVIDA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
1. Laporan Pendahuluan
A. Definisi Gangguan Kebutuhan Eliminasi
Eliminasi adalah kebutuhan dasar manusia yang esensial dan berperan penting dalam
menentukan kelangsungan hidup manusia (Asmadi, 2008). Eliminasi adalah proses pembuangan
sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses) (Priatama dkk, 2011). Eliminasi
adalah sekresi dan ekskresi produk limbah dari tubuh (NANDA, 2014). Eliminasi dibutuhkan
untuk mempertahankan homeostasis melalu pembuangan sisa-sisa metabolism. Secara garis
besar, sisa metabolisme tersebut dibagi ke dalam dua jenis yaitu sampah yang berasal dari
saluran cerna yang dibuang sebagai feses (nondigestible waste) serta sampah metabolism yang
dibuang baik bersama feses atau melalui saluran lain seperti urine, CO2, nitrogen, dan H2O.
Eliminasi terbagi atas dua bagian utama yaitu eliminasi fekal (BAB) dan eliminasi urine (BAK)
(Asmadi, 2014).
Gangguan eliminasi urin adalah gangguan pengeluaran urine (NANDA, 2014). Gangguan
eliminasi urin dapat berupa retensi urin dan inkontinensia urin. Retensi urin adalah hambatan
urin untuk keluar dari saluran perkemihan sedangan inkontinensia urin adalah pengeluaran urin
yang tidak disengaja (NANDA, 2014).
Gangguan eliminasi fekal adalah gangguan pengeluaran feses. Gangguan eliminasi fekal
dapat berupa konstipasi dan diare. Konstipasi yaitu penurunan pada frekuensi normal defekasi
yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses yang keras, kering, serta
banyak. Sedangkan diare adalah bentuk feses yang lunak dan tidak berbentuk (NANDA, 2014).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Eliminasi
1. Gangguan Eliminasi Urine
a. Asupan atau Intake
Jumlah, tipe makanan dan minuman merupakan faktor utama yang mempengaruhi
output urine. Protein dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk, juga dapat
meningkatkan pembentukan urine.
b. Stres Psikologis
Meningkatnya sters dapat mengakibatkan pula meningkatnya produksi urine
meningkatnya frekuensi keinginan berkemih.
c. Respon keinginan awal untuk berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat mengekibatkan urineb
anyak tertahan didalam vesika urinaria sehingga dapat mempengaruhi ukuran vesika
urinaria dan jumlah urine.
d. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi, dalam
hal ini kaitannya terhadap ketersediaan fasilitas toilet.
e. Tingkat aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter. Hilangnya fungsi otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan
pengontrol keinginan berkemih, dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan
beraktifitas.
f. Kondisi penyakit
Kondisi penyakit dapat mempengaruhi meningkatnya produksi urine, seperti penyakit
Diabetes Mellitus.
g. Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan dan pertumbuhan juga mempengaruhi pola berkemih, hal
tersebut dapat ditemukan pada anak, atau pada lansia yang telah mengalami regresi,
yang cenderung lebih memiliki kesulitan untuk dapat mengontrol keinginan berkemih
h. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya
kultur pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat
tertentu.
i. Pembedahan
Efek pembedahan dapat menyebabkan penurunan produksi urine. Pemberian obat
anestesi menurunkan filtrasi glomerolus yang dapat menekan produksi urine
j. Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan
maupun penurunan proses sistem perkemihan, misal pemberian obat diuretik dapat
meningkatkan jumlah urin, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan obat anti
hipertensi dapat menyebabkan retensi urine.
2. Gangguan Elimanasi Fekal
a. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan yang memepengaruhi status eliminasi
terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih
sedikitmenyekresikan enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat yang
kompleks, ditoleransidengan buruk. Makanan melewati sakuran pencernaan dengan
cepat karena gerakan peristaltic berlangsung dengan cepat. Bayi tidak mampu
mengontrol defekasi karenakurangnya perkembangan neuromusukular.
Perkembangan biasanya tidak terjadi sampai usia2-3 tahun. Pertumbuhan usus besar
terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCLmeningkat, khususnya pada
anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi makanandalam jumlah lebih
besar.
b. Diet
Asupan makanana seriap hari secara teratur membantu memoertahankan pola
peristalticyang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu
mempengaruhi eliminasi.Serta, residu makanan yang tidak dpat dicerna,
memungkinkan terbentuknya masa dalammateri feses. Makanan pembentuk masa
mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masafese. Dinding usus tergang,
menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflexdefekasi. Usus bayi yang
belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makan berseratsambil sampai
usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masamakanan
berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan fese tetap lunak
c. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang meyebabkan kehilangan
cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus,
seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus,
memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun
memperlambat memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yagng
menurun memperlambat pergerakan makanan melalui usus. Orang dewasa harus
minum 6-8 gelas (1400-2000 ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat
dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu
dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan
menyebabkan konstipasi.
C. Etiologi
Etiologi gangguan eliminasi menurut NANDA (2014) antara lain:
- Eliminasi urin: obstruksi anatomis; gangguan sensoris atau motorik; infeksi saluran kemih;
keterbatasan neuromuskular; kelemahan struktur penyokong panggul; efek samping obat
antikoligernik; impaksi fekal; kerusakan neurologis; obesitas; defisiensi sfingter uretra.
- Eliminasi fekal: kelemahan otot abdomen; kebiasaan menahan atau mengabaikan desakan
untuk defekasi; defekasi tidak adekuat; aktivitas fisik yang tidak memadai; kebiasaan
defekasi yang tidak teratur; depresi; hemoroid
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala gangguan eliminasi adalah
1. Eliminasi Urin:
- Disuria (rasa sakit atau kesulitan untuk berkemih)
- Sering berkemih
- Mengalami kesulitan untuk berkemih
- Inkontinensia (ketidaksanggupan otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urin
dari kandung kemih)
- Nokturia (kencing tiap malam hari)
- Retensi (penumpukan urin di dalam kandung kemih)
- Distensi kandung kemih
2. Eliminasi Fekal:
- Nyeri abdomen
- Anoreksia
- Perasaan penuh atau tertekan pada rectum
- Kelelahan umum
- Indigesti
- Mual
- Muntah
- Darah merah segar menyertai pengeluaran feses
- Penurunan volume feses
- Feses kering, keras dan padat
- Perubahan pola defekasi (NANDA, 2014)
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada gangguan eliminasi adalah
1. Eliminasi urin
Obat-obatan seperti diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih
sehingga bila seseorang tidak dapat menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge
incontinence. Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya atonia
sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. Sedatif, seperti
benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan menyebabkan confusion dan inkontinensia
sekunder, terutama pada usila. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat
influenza, akan meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih;
sebaliknya obat-obatan ini sering bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress
incontinence. Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat
menurunkan kemampuan penutupan uretra dan menyebabkan stress incontinence
2. Eliminasi fekal
- Konstipasi
Penatalaksanaan medis konstipasi ditujukan pada penyebab dasar konstipasi. Salah
satunya adalah penghentian penyalahgunaan laksatif. Laksatif dipakai untuk
mengeluarkan feses. Adapun penatalaksanaan lain meliputi anjuran memasukan serat
dalam diet dengan peningkatan asupan cairan dan pembuatan program latihan rutih untuk
memperkuat otot abdomen. Jika penggunaan laksatif diperlukan, salah satu dari hal
berkut ini dapat dilakukan: preparat pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik,
lubrikan, stimulan atau pelunak feses. Osmotik laktasif mecakup garam atau salin,
laktulose dan glieserin. Garam hiperosmolar menarik air ke kolon dan meningkatkan air
di dalm tinja untuk menambah bentuk sehingga meningkatkan peristaltik.
- Diare
Derival opioid (loperamide, difenoksilat-atropin dan tinkur opium). Bismuth subsalisilat
dapat digunakan terapi kontraindikasi pada pasien HIV karena dapat menimbulkan
ensefalopati bismuth. Obat antimotilitas harus hati-hati pada pasien disentri yang panas
(e.g infeksi Shigella) bila tanpa anti mikroba karena dapat memperlama penyembuhn
penyakit. 2) obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tab/hari, smectite 3 x 1 saset
diberikan tiap diare encer sampai diare berhenti. 3) obat anti sekretorik/anti
enkephalinase: Hidrasec 3 x 1 tab/hari.
2. Konsep Asuhan Kebidanan
A. Pengumpulan Data
No Data Penunjang
A. S:
Klien mengatakan,”saya pusing, mual dan
muntah terus gak bisa makan mbak. Saya
belum BAB mulai hari Minggu, mungkin
karena gak makan ya mbak.”
B. O:
- Klien terlihat lemah
- Anoreksia (+)
- Klien tidak mampu untuk BAB
- Perkusi abdomen redup (+) karena terjadi
penumpukan kotoran
- konjungt iva anemis (+)
- TTV: TD: 140/100 mmHg, Suhu: 37,9 oC,
RR: 20x/i, N: 82x/i
C. Analisa Data
1. Konstipasi berhubungan dengan kebiasaan defekasi yang tidak teratur yang ditandai oleh
perasaan penuh atau tekanan pada rectum dan penurunan volume feses
C. Penatalaksanaan
1. Manajemen konstipasi:
- Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai diet nutrisi
- Observasi asupan cairan dan nutrisi klien
- Anjurkan keluarga untuk memotivasi klien makan dalam porsi sedikit tapi sering
- Ajarkan klien untuk mengurangi kecemasan akibat tidak bisa BAB
- Ajarkan klien untuk latihan ambulasi dengan bantuan keluarga
- Kolaborasi dengan tim medis pemberian terapi per-oral untuk mengatasi konstipasi klien
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Penerbit Salemba

Bulechek et. al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Oxford: Elsevier

Endyarni, B. 2004. Konstipasi Fungsional. Jakarta: FIK UI

Moorhead et. al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Oxford: Elsevier

NANDA. 2014. Nursing Diagnose: Definitions and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell

Pinem, L.H. 2009. Efektifitas “Paket Latihan Mandiri”. Jakarta: FIK UI

Priatama dkk. 2011. Konsep Dasar Kebutuhan Eliminasi. Singkawang: POLITEKNIK


KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PONTIANAK

Putri, W.H., Jurnalis, Y. D. dan Edison. 2015. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian
Konstipasi pada Siswa SD di Kecamatan Padang Barat, Sumatera Barat, Indonesia.
Padang: Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai