Anda di halaman 1dari 10

 

LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN DASAR
KEBUTUHAN ELIMINASI

Disusun oleh :

Ilma Anugraha Herlianti E.0105.20.021


Karsidin E.0105.20.023
Mas’an Sauqi Subastian E.0105.20.024
Moh Padilah Amin Pasya E.0105.20.025
Muthia Salwa Syahiriah E.0105.20.027
Nessha Seftiyani Rahayu E.0105.20.028

PRODI DIII KEPERAWATAN TK I / II


STIKes BUDI LUHUR CIMAHI
TAHUN AJARAN 2020 – 2021
A. DEFINISI
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya
orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi
urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih
melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar,
mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi
gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi
maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke
kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

B. ETIOLOGI
1. Gangguan Eliminasi Urine
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium
mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan
pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output
urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot
kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter
untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus
dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan
mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan
karena lebih besar metabolisme tubuh.
c. Obstruksi ; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, struktur uretra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan
2. Gangguan Eliminasi Fetal
a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.
Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar
volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak
bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan
pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan
yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,
respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga
meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme.
c. Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-
penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis,
bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang
yang cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi
diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal,
yang berdampak pada konstipasi.
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak
peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum
dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses
mengeras.
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang
lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti
dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan
memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine
hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare.
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 –
3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang
dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah
atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang
dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering)
feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan
selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami
penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada
proses defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan
pada spinal cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan
stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi
kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika
dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya,
klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami
fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani.

C. TANDA dan GEJALA


1. Tanda Gangguan Eliminasi Urin
a. Retensi Urin
 Ketidak nyamanan daerah pubis.
 Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
 Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
 Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
 Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia Urin
 Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
 Pasien sering mengompol
2. Tanda Gangguan Eliminasi Fetal
a. Konstipasi
 Menurunnya frekuensi BAB
 Pengeluaran fases yang sulit, keras dan mengejan
 Nyeri rektum
b. Impaction
 Tidak BAB
 Anoreksia
 Kembung/kram
 Nyeri rektum
c. Diare
 BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
 Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
 Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa
 Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB
d. Inkontinensia Fekal
 Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
 BAB encer dan jumlahnya banyak
 Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal
cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
 Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
 Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
 Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
h. Hemoroid
 pembengkakan vena pada dinding rectum
 perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
 merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
 nyeri

D. FISIOLOGI
1. Gangguan eliminasi urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/
inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau
dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya
bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis
(CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada
persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai
syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada
medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-
otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat
lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi.
Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat
diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada
disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat
tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf
otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis
terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan
sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh
sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu
asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Gambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post
operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan
edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi,
obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik,
nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine
pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung
kemih yang adekuat.
2. Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks
defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan
dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak
menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –
sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter
anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi
muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui
saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang
meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan
tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus
spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat
menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di
absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

E. KLASIFIKASI
F. PATHWAY
G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk
berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan dikandung kemih.
Begitupula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan terjadi
reabsorpsi cairan.
2. Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine dan
defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi
frekuensi dan defekasi. Praktet eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi
keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan berkemih
dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil
kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau
adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otas kandung
kemih dan penurunan gerakan peristaltik intestinal.
5. Kondisi patologis
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter)
6. Obat-obatan, diuretik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat terjadi
retensi urine

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi
langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-
unsur yang tidak normal.

I. PENATALAKSANAAN KLINIS
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratoriumurin dan feses

J. PENGKAJIAN : keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu ,


riwayat psikososial, pemeriksaan fisik (head to toe), analisa data

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine, inkontinensi
dan enuresis.
2. Perubahan dalam eliminasi fekal berhubungan dengan konstipasi, diare,
inkontinensia usus, hemoroid, impaction
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya inkontinensi urine
4. Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria, nyeri saat mengejan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine, pemasangan kateter
6. Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi
7. Self care defisit :toileting jika klien inkontinensi
8. Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi saluran
urinary akibat proses penyakit

L. INTERVENSI

M. DAFTAR PUSTAKA
 Brunner & suddarth. 2002. Keperawatan medikal bedah Vol 3. Penerbit
Kedoteran ECG : Jakarta.
 Hamawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.
Terdapat pada : http://hermawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-
pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/
 Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. Penerbit :
MOSBY

Anda mungkin juga menyukai