Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ELIMINASI

DISUSUN OLEH:
Rizki Fideani
2226050008

PRECEPTOR AKADEMIK PRECEPTOR KLINIK

(Ns. Dian dwiana,S.Kep,.M.Kep) (Ns. Suzanawati, S.Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2023
A. Latar Belakang
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin
atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung
kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah
ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu
: Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas
nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang
disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih
atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk
berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini
bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Kandung kemih dipersarafi araf saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf sensori dari
kandung kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4) kemudian diteruskan ke
pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi mengirim signal pada kandung kemih
untuk berkontraksi. Pada saat destrusor berkontraksi spinter interna berelaksasi dan
spinter eksternal dibawah kontol kesadaran akan berperan, apakah mau miksi atau
ditahan. Pada saat miksi abdominal berkontraksi meningkatkan kontraksi otot kandung
kemih, biasanya tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam kandung kemih yang diusebut
urine residu. Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu, biasanya
miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur., Normal miksi sehari 5 kali.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa
kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap
orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap
kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh
yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada
gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada
keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang
berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk memelihara kebiasaan
eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari mereka sesuai dengan program
yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan
fasilitas toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien
dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk
menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti proses eliminasi yang
normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi

B. Tujuan
1. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi urin
2. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi fekal
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan
eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan selang
kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air
besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan
huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui
anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

B. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi

1. Masalah-masalah dalam eliminasi urin :


a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak
sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter
eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih.
c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari
(nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500
ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine

2. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:


a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB
disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang
keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di
intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan
feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan
feses sampai pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon
merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara
dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan
fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor
spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan
kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung
pada perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang
dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut
(sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus
adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan,
pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal
atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung
dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding
pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien
merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat
BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

C. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output
urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang
keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal
dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi
jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme
tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan

2. Gangguan Eliminasi Fekal


a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya
selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses.
Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna.
Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian
jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan
yang tidak teratur dapat

mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang
sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.

b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan
yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk
beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia
lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal,
menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan
memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan
reabsorbsi cairan dari chyme

c. Meningkatnya stress psikologi


Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit
tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai
komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau
marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi
orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada
konstipasi

d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.


Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic
dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama
dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi
yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar
dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan
codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi
eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan
eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi.
Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan
aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare

f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga


pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai
sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 –
saw#3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat
mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony
(berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat
berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan
menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama
proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami
penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada
proses defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal
cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus
sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien
untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan
toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau
seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya
fungsi dari spinkter ani

D. Faktor predisposisi/Faktor pencetus


1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkemih
atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Begitu pula dengan
feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine dan defekasi.
Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi
dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan
berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan berkemih dan atau
meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil
kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih
sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan
penurunan gerakan peristaltik intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat terjadi retensi
urine.

E. Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien
dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan
gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi.
Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS)
merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan
berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal
merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah
tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen
medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-
refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih
dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat
diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan
Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi
autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan
bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan
pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian,
pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah
dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh
hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis
yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama
fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal
spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul
kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot
uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine
dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan
bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari
trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,
epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa
kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap
orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum,
saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan
untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi
instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi
suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang
peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini
menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal
interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum
dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke
kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar
panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah
dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal,
maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas
untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras
dan terjadi konstipasi.

F. Tanda dan gejala


1. Tanda Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1). Ketidak nyamanan daerah pubis.
2). Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3). Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4). Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
5). Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
1). pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
2). pasien sering mengompol

2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal


a. Konstipasi
1). Menurunnya frekuensi BAB
2). Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3). Nyeri rektum
b. Impaction
1). Tidak BAB
2). anoreksia
3). Kembung/kram
4). nyeri rektum
c. Diare
1). BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2). Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3). Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
4). feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1). Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2). BAB encer dan jumlahnya banyak
3). Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan
tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1). Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2). Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1). pembengkakan vena pada dinding rectum
2). perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3). merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4). nyeri

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

H. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat menentukan pola
defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu gambaran feses normal dan
beberapa perubahan yang terjadi dan mengumpulkan informasi tentang beberapa
masalah yang pernah terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pola eliminasi.

Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
c. Masalah eliminasi
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu, diet, cairan,
aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi,
auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi
dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan
rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi
feses klien terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya
unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan
penyebab

Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu


kecoklatan (obstruksi empedu);
pemeriksaan
Bayi : diagnostik
kekuningan menggunakan
barium

Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA


(lambung, usus
halus); diet tinggi
buah merah dan
sayur hijau tua (spt.
Bayam)

Merah PSPB (spt. Rektum),


beberapa makanan
spt bit.

Pucat Malabsorbsi lemak; diet


tinggi susu dan
produk susu dan
rendah daging.

Orange atau Infeksi usus


hijau
Konsistensi Berbentuk, lunak, Keras, kering Dehidrasi, penurunan
agak cair / motilitas usus akibat
lembek, basah. kurangnya serat,
kurang latihan,
gangguan emosi dan
laksantif abuse.

Diare Peningkatan motilitas


usus (mis. akibat
iritasi kolon oleh
bakteri).

Bentuk Silinder (bentuk Mengecil, Kondisi obstruksi rektum


rektum) dgn Æ bentuk pensil
2,5 cm u/ atau seperti
orang dewasa benang

Jumlah Tergantung diet


(100 – 400
gr/hari)

Bau Aromatik : Tajam, pedas Infeksi, perdarahan


dipenga-ruhi
oleh makanan
yang dimakan
dan flora
bakteri.

Unsur pokok Sejumlah kecil Pus Infeksi bakteri


bagian kasar
makanan yg Mukus Konsidi peradangan
tdk dicerna,
Parasit Perdarahan
potongan bak-
gastrointestinal
teri yang mati, Darah
sel epitel, Malabsorbsi
lemak, protein, Lemak dalam
unsur-unsur jumlah besar Salah makan
kering cairan
pencernaan Benda asing
(pigmen
empedu dll)

3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi langsung /
tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-unsur yang tidak
normal.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine, inkontinensi dan
enuresis
2. Perubahan dalam eliminasi fekal berhubungan dengan konstipasi, diare, inkontinensia
usus, hemoroid, impaction
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya inkontinensi urine
4. Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria, nyeri saat mengejan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine, pemasangan kateter
6. Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi
7. Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi
8. Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi saluran urinary
akibat proses penyakit

Daftar Pustaka

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Eliminasi. Terdapat pada :


http://911medical.blogspot.com/2007/06/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
masalah.html

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. penerbit Kedokteran
EGC: Jakarta.

Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal. Terdapat


pada : http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-
kebutuhan-eliminasi-fecal/

Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada: www.kiva.org

Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC: Jakarta.
Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan

Andi Visi Kartika. Retensi Urin Pospartum. Http://www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-


urine-post-partum

Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi Ilmu
Keprawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT: MOSBY

Anda mungkin juga menyukai