Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI

OLEH :

FITRIYAH HASAN

NIM: 751440121055

PROGRAM STUDI DIPLOMA-III KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKKES GORONTALO

T.A 2022
A. Definisi
Menurut kamus bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran, penghilangan,
penyingkiran, penyisihan.dalam bidang kesehatan, Eliminasi adalah proses pembuangan
sisametabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses). Eliminasi pada manusia
digolongkanmenjadi 2 macam, yaitu:
1. Defekasi
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk
membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem
pencernaan (Dianawuri, 2018).
2. Miksi
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Miksi ini sering
disebut buang air kecil.

B. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
b. Aktivitas
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan

2. Gangguan Eliminasi Fekal


a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
b. Cairan
c. Meningkatnya stress psikologi
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
e. Obat-obatan
f. Usia
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord
dan tumor.

C. Patofisiologi (pathway)
a) Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas. Masing-
masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia
tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam
mengkontrol urin atau inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang
nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di
medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan
fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan denga cedera
medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan
depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera.
Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di
bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.
Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus
dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi
usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada
komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena
tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan
urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara
normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem
saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis
dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari
leher kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor
dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase
pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal
sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi
otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra
trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan
otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi
saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang
terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi,
obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya
dengan manuver Valsalva. Retensi urine post operasi biasanya membaik sejalan dengan
waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
b) Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik.
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal
yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada
kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah
anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan
bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang,
signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 - 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden,
kolon sigmoid dan rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang
peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan
sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar
panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah
dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal,
maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan
terjadi konstipasi.

D. Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)


1) Gangguan Eliminasi Urin
a. Retensi Urin
 Ketidak nyamanan daerah pubis.
 Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
 Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
 Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
 Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia Urin
 pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
 pasien sering mengompol
2) Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
 Menurunnya frekuensi BAB
 Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
 Nyeri rektum
b. Impaction/impaksi
 Tidak BAB
 Anoreksia
 Kembung/kram
 Nyeri rektum

c. Diare
 BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
 Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
 Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
 Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.
d. Inkontinensia Fekal
 Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
 BAB encer dan jumlahnya banyak
 Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal
cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
 Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
 Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
 Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
 Pembengkakan vena pada dinding rectum
 Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
 Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
 Nyeri

E. Komplikasi
 Masalah Kulit. seperti ruam, infeksi kulit dan luka.
 Infeksi Saluran Kemih. Inkontinensia bisa meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran
kemih berulang.
 Mengganggu Kehidupan Sosial. Inkontinensia urine merupakan masalah yang
memalukan, sehingga bisa memengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, dan hubungan
pribadi pengidapnya.
 Prolaps. Bagian dari vagina, kandung kemih, dan terkadang uretra dapat jatuh ke pintu
masuk vagina. Hal ini biasanya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul.

F. Pemeriksaan Penunjang
a) Pielogram Intravena
b) Computerized Axial Tomography
c) Ultra Sonografi
d) Prosedur Invasif
1. Sistoscopy
2. Biopsi Ginjal
3. Angiography (arteriogram)
e) Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoureterogram)
f) Arteriogram Ginjal
g) Pemeriksaan Urine
h) Tes Darah

G. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan pada eliminasi fekal (PPNI, 2018):
1) Konstipasi
 Periksa tanda dan gejala konstipasi
 Periksa pergerakan usus, karakteristik feses
 Identifikasi factor risiko konstipasi
 Monitor tanda dan gejala rupture usus dan/atau peritonisis
 Anjurkan diet tinggi serat
 Lakukan massage abdomen
 Lakukan evakuasi feses secara manual
 Berikan enema atau irigasi
 Jelaskan etiologi masalah dan alasan tindakan
 Anjurkan peningkatan asupan cairan
 Latih buang air besar secara teratur
 Ajarkan cara mengatasi komstipasi/impaksi
 Konsultasi dengan tim medis tentang penurunan/peningkatan frekuensi suara usus
 Kolaborasi penggunaan obat pencahar
2) Diare
 Identifikasi penyebab diare
 Identifikasi riwayat pemberian makanan
 Identifikasi gejala invaginasi-Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja.
 Monitor tanda dan gejala hipovolemia
 Monitor iritasi dan ulserasi kulit didaerah perineal
 Monitor jumlah pengeluaran diare
 Monitor keamanan penyiapan makanan
 Berikan asupan cairan oral
 Pasang jalur intravena
 Berikan cairan intravena
 Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
 Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
 Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
 Anjurkan menghindari makanan, pembentuk gas, pedas, dan mengandung
laktosa-
 Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
 Kolaborasi pemberian obat antispasmodic/ spasmolitik
 Kolaborasi pemberian obat pengeras feses
b. Penatalaksanaan inkontinensia urine yaitu:
a) Pemanfaatan kartu berkemih
b) Terapi non farmakologi
c) Terapi farmakologi
d) Terapi pembedahan
e) Modalitas lain
c. Penatalaksanaan medis retensi urine yaitu :
a. Menggunakan urinal untuk berkemih, dalam memenuhi kebutuhan eliminasi
perkemihan.
b. Kateterasi Perkemihan, untuk menghilangkan ketidaknyamanan karena distensi
kandung kemih.
c. Memasang kondom kateter bagi pasien pria, untuk mempertahankan hygene parineal
pasien inkontinensia.

Anda mungkin juga menyukai