Disusun oleh:
Dwi Novitasari 1910206009
Hanif Prasetyaningtyas 1910206027
E. Manifestasi Klinis
1. Klinis inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan:
1). Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes
2). Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian
atau ditempat tidur.
Gejalanya antara lain:
1). Tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin cair atau padat,
dari perut
2). tidak sempat ke toilet untuk tidak berak di celana.
3). Berkuragnya pengontrolan oleh usus
4). pengeluaran feses yang tidak dikehendaki
F. Komplikasi
berapa komplikasi yang dapat diakibatkan oleh inkontinensia tinja, antara lain:
1. Gangguan emosional, akibat rasa malu, frustrasi, dan depresi.
2. Iritasi serta infeksi kulit, akibat kontak berulang dengan tinja.
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Penatalaksanaan
Perubahan pola makan. Jika inkontinensia tinja disebabkan oleh diare atau
konstipasi, perubahan pola makan perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi
dan mengendalikan pergerakan usus. Dokter akan menganjurkan pasien untuk
memperbanyak konsumsi makanan tinggi serat (20-30 gr per hari) agar tinja
lebih padat dan mudah dikendalikan,
Terapi obat. Beberapa jenis obat yang dapat diberikan dokter kepada penderita
inkontinensia tinja adalah:
Obat antidiare, seperti loperamide.
Laksatif atau pencahar, dengan kandungan laktulosa. Jenis obat ini biasanya
diberikan untuk inkontinensia tinja yang disebabkan oleh konstipasi kronik.
Suplemen serat, untuk mengatasi konstipasi.
Jika laksatif atau suplemen tidak dapat mengatasi konstipasi, dokter mungkin akan
memberikan jenis obat yang dimasukkan melalui dubur.
Terapi fisik. Terapi fisik dilakukan untuk mengembalikan kekuatan otot rektum,
sehingga dapat meningkatkan kendali sfingter anus dan sensasi untuk buang air
besar. Beberapa metode terapi fisik yang mungkin dilakukan, di antaranya
adalah:
o Biofeedback. Gerakan latihan sederhana untuk meningkatkan kekuatan
otot dubur, otot dasar panggul, kontraksi otot ketika sedang buang air,
dan sensasi dorongan untuk mengeluarkan kotoran. Terapi ini umumnya
dilakukan dengan bantuan manometri anal atau balon rektal.
o Balon vaginal. Alat menyerupai pompa yang dimasukkan ke dalam
vagina untuk memberikan tekanan pada area rektum.
o Latihan Kegel. Latihan untuk mengurangi inkontinensia tinja dan
menguatkan otot dasar panggul yang berperan dalam kinerja saluran
kemih, saluran cerna, dan otot pada rahim perempuan. Gerakan
Kegel dilakukan dengan cara menahan dan membiarkan urine keluar
untuk menghasilkan kontraksi pada otot. Lakukan latihan
mengencangkan otot selama 5-10 detik, kemudian lemaskan. Ulangi
latihan kontraksi 10-20 kali, setidaknya 3 kali sehari.
Latihan usus atau saluran cerna. Latihan untuk meningkatkan kendali atas otot
rektum dan anus dengan melakukan aktivitas yang dilakukan secara rutin,
seperti:
o Buang air besar secara teratur sesuai jadwal yang ditentukan, misalnya
setelah makan.
o Menstimulasi otot sfingter anus dengan jari yang telah diberi pelumas.
o Menggunakan obat supositoria (obat yang dimasukkan melalui rektum
atau vagina) untuk merangsang pergerakan usus.
Operasi. Jika terapi obat dan fisik tidak efektif, prosedur operasi dapat dilakukan
untuk menangani inkontinensia tinja. Tindakan operasi umumnya disesuaikan
dengan kondisi pasien secara keseluruhan dan penyebab inkontinensia tinja.
Beberapa pilihan jenis operasi yang dapat dilakukan adalah:
o Sphincteroplasty, yaitu prosedur operasi untuk memperbaiki otot dubur
yang lemah atau rusak. Prosedur ini umumnya dilakukan pada pasien
inkontinensia tinja yang telah menjalani proses persalinan.
o Kolostomi, yaitu prosedur pembuatan lubang pada dinding perut untuk
mengalihkan dan mengeluarkan kotoran (feses). Kotoran yang keluar dari
lubang tersebut akan ditampung di sebuah kantong khusus yang
ditempelkan dekat lubang.
o Bedah koreksi, yaitu prosedur untuk memperbaiki otot anus dan rektum
yang rusak. Tindakan ini dilakukan untuk menangani turunnya rektum,
rektokel, dan wasir, yang menyebabkan inkontinensia tinja.
o Transplantasi otot gracilis. Prosedur ini umumnya dilakukan terhadap
pasien yang kehilangan fungsi saraf di sfingter anus. Tindakan ini
dilakukan dengan cara mengambil otot dari paha bagian atas untuk
ditempatkan di sekitar otot sfingter guna memperkuat otot tersebut.
o Stimulasi saraf. Dokter akan menempatkan sebuah alat di dalam tubuh
yang akan merangsang saraf dan mengendalikan otot anus sehingga dapat
berfungsi secara normal.
DAFTAR PUSTAKA