Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

DENGAN INKONTENSIA DEFEKASI


DI BANGSAL DAHLIA 6 RSUP DR SARDJITO
YOGYAKARTA

Disusun oleh:
Dwi Novitasari 1910206009
Hanif Prasetyaningtyas 1910206027

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
A. Definisi
Inkontinensia alvi atau inkontinensia tinja adalah suatu kondisi ketika tubuh
seseorang tidak dapat mengendalikan buang air besar. Kondisi ini menyebabkan
tinja keluar secara tiba-tiba, tanpa disadari oleh pengidapnya. Inkontinensia tinja
dipengaruhi oleh usus bagian akhir, anus (dubur), dan sistem saraf yang tidak
berfungsi secara normal.
B. Etiologi
1. Kerusakan sfingter anus, yaitu cincin otot yang terletak di ujung lubang
anus (dubur). Kondisi ini dapat disebabkan oleh episiotomi atau prosedur
pembedahan vagina yang dilakukan setelah persalinan normal.
2. Kerusakan saraf yang mengendalikan sfingter anus. Kondisi ini dapat
terjadi akibat persalinan, perenggangan berlebihan saat buang air, atau
cedera saraf tulang belakang. Kondisi medis, seperti diabetes dan
multiple sclerosis, juga dapat merusak fungsi saraf dan menyebabkan
inkontinensia tinja.
3. Tindakan pembedahan. Prosedur bedah untuk menangani wasir
(hemoroid) atau kondisi lain yang berkaitan dengan anus atau rektum,
berisiko mengakibatkan kerusakan saraf.
4. Rectal prolapse, yaitu kondisi ketika rektum turun hingga ke anus.
Rectocele, yaitu kondisi ketika rektum menonjol ke luar hingga area
vagina pada wanita.
5. Terbatasnya ruang pada rektum untuk menampung kotoran. Kondisi ini
terjadi akibat adanya jaringan parut pada dinding rektum, sehingga
fleksibilitas rektum berkurang.
6. Konstipasi kronis. Kondisi ini menyebabkan kotoran mengeras, sehingga
sulit bergerak melewati rektum dan dikeluarkan dari tubuh. Kondisi ini
dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otot yang memicu inkontinensia
tinja.
7. Diare. Diare menyebabkan tinja lebih berair, sehingga dapat
memperburuk inkontinensia tinja.
8. Penggunaan obat pencahar dalam jangka panjang.
9. Kondisi medis lainnya, seperti stroke, demensia, dan penyakit
Alzheimer.
C. Klasifikasi
1. Inkontinensia defekasi akibat konstipasi.
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau
impaksi dari massa fesesyang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat
keluar ini akan menyumbat lumen bawah darianus dan menyebabkan
perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpuldan
tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses
yang cair akanmerembes keluar (broklehurst dkk, 1987).
Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan
terjadi produksicairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari
feses yang impaksi akan keluar danterjadi inkontinensia defekasi (kane dkk,
1989).
2. Inkontinensia defekasi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada
usus besar
Inkontinensia defekasi smtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari
macam – macam kelainanpatologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan
ini mungkin dipermudah dengan adanyaperubahan berkaitan dengan
bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi
sfingterterhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas
dalam membedakan flatusdan feses yang cair (broklehurst dkk,
1987)Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat –
obatan, antara lain yangmengandung unsur besi, atau memang akibat
pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert – Thomson)
3. Inkontinensia defekasi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensianeurogenik)inkontinensia alvi neurogenik terjadi
akibat gangguann fungsi menghambat dari korteks serebri saatterjadi
regangan atau distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek
gastro-kolon.Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster,
akan menyebabkan pergerakan fesesdari kolon desenden ke arah rekum.
Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya
kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang
dewasanormal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri
(broklehurst dkk, 1987).
4. Inkontinensia defekasi karena hilangnya reflek analInkontinensia alvi ini
terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot
seranlintang.Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip
oleh broklehurst dkk, 1987),menunjukkan berkurangnya unit – unit yang
berfungsi motorik pada otot – otot daerah sfingter danpubo-rektal, keadaan
ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi pada
anusdisertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia
defekasi pada peningkatantekanan intra abdomen dan prolaps dari rektum.
Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkanpada ahli progtologi
untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).
D. Patofisiologi
Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasarpanggul
membantu mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektumadalah tabung
muskuler terdiri dari lapisan otot longitudinal kontinyu yangmenyatu dengan otot
sirkuler yang mendasarinya. Komposisi otot yangunik tersebut memungkinkan
rektum berperan baik sebagai reservoir bagifeces maupun sebagai pompa untuk
mengosongkan feces. Anus adalahtabung muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang
saat istirahat membentuksudut dengan sumbu rektum. Pada saat istirahat, sudut
anorektal adalahsekitar 90 derajat, saat berkontraksi secara volunter sudut
tersebut menjadilebih kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih
tumpul,sekitar 110-130 derajat.Secara anatomi, sfingter ani terdiri dari
dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri otot polos dan sfingter
ani eksterna yangberasal dari otot lurik. Sfingter ani interna, memiliki ketebalan
0,3-0,5 cmyang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler rektum, dan
sfingterani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi dari
ototlevator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah
danheterogen.Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat
membantu penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuatterjadi
kontinensia, selama 24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter anieksterna akan
membantu sfingter ani interna pada saat-saat tertentu yangmendadak; dimana
tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk,berbangkis dan
sebagainya. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna inisangat terbatas, karena
otot ini akan menjadi lelah dalam waktu 60 menitkemudian. Kerja sama sfingter
ani interna dan eksterna akan membentukdaerah yang secara fisiologi
mempunyai daerah dengan tekanan tinggi,sepanjang 4 cm.Otot puborektalis
membentuk sudut anorektal dengan slingsekeliling pada posterior dari
hubungan antara anus dengan rektum adalahhal yang mungkin berperan penting
untuk mengontrol feces yang padat.Kontraksi yang terus menerus dari sfingter
ani interna, berperan pentinguntuk mengontrol feces yang cair.Bantalan anus
yang dapat memberikan sejumlah faktor yang tetappada tekanan anus
menurut aliran darah yang mengalir padaarteriovenusus, berperan
penting dalam mengontrol flatus. Kerjasamaantara sfingter anal yang
komplek dengan fungsi rektal yang normaldibutuhkan untuk
mempertahankan kontinen yang wajar. Dinding rektummengembung untuk
menampung feces selama feces masuk rektum dan inimengurangi peningkatan
tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan tekanantinggi daerah sfingter ani
berfungsi untuk menampung feces yang padatdan menunda pengeluaran sampai
waktu yang tepat.Suatu kenyataan kontinensia tergantung atas koordinasi
dariaktifitas saluran gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani
sertakontrol dari susunan saraf pusat. Kebanyakan waktu
kontinensiadipertahankan oleh keadaan dibawah sadar (sub consious), tetapi
kontrolvolunter juga mempunyai peranan penting dalam penundaan
pengeluranfeces selama keadaan tak menyenangkan.

E. Manifestasi Klinis
1. Klinis inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan:
1). Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes
2). Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian
atau ditempat tidur.
Gejalanya antara lain:
1). Tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin cair atau padat,
dari perut
2). tidak sempat ke toilet untuk tidak berak di celana.
3). Berkuragnya pengontrolan oleh usus
4). pengeluaran feses yang tidak dikehendaki

F. Komplikasi
berapa komplikasi yang dapat diakibatkan oleh inkontinensia tinja, antara lain:
1. Gangguan emosional, akibat rasa malu, frustrasi, dan depresi.
2. Iritasi serta infeksi kulit, akibat kontak berulang dengan tinja.
G. Pemeriksaan Penunjang

1) Kultur tinja, yaitu prosedur pemeriksaan laboratorium melalui sampel


tinja untuk mendeteksi adanya infeksi penyebab diare dan
inkontinensia.
2) USG anorektal, yaitu pemeriksaan terhadap struktur sfingter anus
dengan menggunakan instrumen menyerupai tongkat yang
dimasukkan ke dalam anus dan rektum.
3) MRI, untuk memperoleh gambar detail kondisi sfingter anus dan
melihat kondisi otot anus.
4) Barium enema, yaitu pemeriksaan dengan menggunakan foto
Rontgen dan cairan barium untuk memeriksa saluran pencernaan
bagian bawah, termasuk usus besar dan rektum.
5) Proktografi, yaitu pemeriksaan untuk mengukur banyaknya kotoran
yang dapat dikeluarkan tubuh dan mengukur kekuatan rektum dalam
menahan kotoran agar tidak merembes. Tes ini menggunakan sinar
X untuk menghasilkan rangkaian gambar bergerak, dan dilakukan
ketika pasien buang air besar di toilet khusus.
6) Elektromiografi (EMG), untuk memeriksa fungsi dan koordinasi otot
dan saraf di sekitar anus dan rektum.
7) Kolonoskopi, untuk memeriksa seluruh bagian usus menggunakan
selang fleksibel berkamera yang dimasukkan melalui anus.

H. Penatalaksanaan

 Perubahan pola makan. Jika inkontinensia tinja disebabkan oleh diare atau
konstipasi, perubahan pola makan perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi
dan mengendalikan pergerakan usus. Dokter akan menganjurkan pasien untuk
memperbanyak konsumsi makanan tinggi serat (20-30 gr per hari) agar tinja
lebih padat dan mudah dikendalikan,
 Terapi obat. Beberapa jenis obat yang dapat diberikan dokter kepada penderita
inkontinensia tinja adalah:
 Obat antidiare, seperti loperamide.
 Laksatif atau pencahar, dengan kandungan laktulosa. Jenis obat ini biasanya
diberikan untuk inkontinensia tinja yang disebabkan oleh konstipasi kronik.
 Suplemen serat, untuk mengatasi konstipasi.
Jika laksatif atau suplemen tidak dapat mengatasi konstipasi, dokter mungkin akan
memberikan jenis obat yang dimasukkan melalui dubur.
 Terapi fisik. Terapi fisik dilakukan untuk mengembalikan kekuatan otot rektum,
sehingga dapat meningkatkan kendali sfingter anus dan sensasi untuk buang air
besar. Beberapa metode terapi fisik yang mungkin dilakukan, di antaranya
adalah:
o Biofeedback. Gerakan latihan sederhana untuk meningkatkan kekuatan
otot dubur, otot dasar panggul, kontraksi otot ketika sedang buang air,
dan sensasi dorongan untuk mengeluarkan kotoran. Terapi ini umumnya
dilakukan dengan bantuan manometri anal atau balon rektal.
o Balon vaginal. Alat menyerupai pompa yang dimasukkan ke dalam
vagina untuk memberikan tekanan pada area rektum.
o Latihan Kegel. Latihan untuk mengurangi inkontinensia tinja dan
menguatkan otot dasar panggul yang berperan dalam kinerja saluran
kemih, saluran cerna, dan otot pada rahim perempuan. Gerakan
Kegel dilakukan dengan cara menahan dan membiarkan urine keluar
untuk menghasilkan kontraksi pada otot. Lakukan latihan
mengencangkan otot selama 5-10 detik, kemudian lemaskan. Ulangi
latihan kontraksi 10-20 kali, setidaknya 3 kali sehari.
 Latihan usus atau saluran cerna. Latihan untuk meningkatkan kendali atas otot
rektum dan anus dengan melakukan aktivitas yang dilakukan secara rutin,
seperti:
o Buang air besar secara teratur sesuai jadwal yang ditentukan, misalnya
setelah makan.
o Menstimulasi otot sfingter anus dengan jari yang telah diberi pelumas.
o Menggunakan obat supositoria (obat yang dimasukkan melalui rektum
atau vagina) untuk merangsang pergerakan usus.
 Operasi. Jika terapi obat dan fisik tidak efektif, prosedur operasi dapat dilakukan
untuk menangani inkontinensia tinja. Tindakan operasi umumnya disesuaikan
dengan kondisi pasien secara keseluruhan dan penyebab inkontinensia tinja.
Beberapa pilihan jenis operasi yang dapat dilakukan adalah:
o Sphincteroplasty, yaitu prosedur operasi untuk memperbaiki otot dubur
yang lemah atau rusak. Prosedur ini umumnya dilakukan pada pasien
inkontinensia tinja yang telah menjalani proses persalinan.
o Kolostomi, yaitu prosedur pembuatan lubang pada dinding perut untuk
mengalihkan dan mengeluarkan kotoran (feses). Kotoran yang keluar dari
lubang tersebut akan ditampung di sebuah kantong khusus yang
ditempelkan dekat lubang.
o Bedah koreksi, yaitu prosedur untuk memperbaiki otot anus dan rektum
yang rusak. Tindakan ini dilakukan untuk menangani turunnya rektum,
rektokel, dan wasir, yang menyebabkan inkontinensia tinja.
o Transplantasi otot gracilis. Prosedur ini umumnya dilakukan terhadap
pasien yang kehilangan fungsi saraf di sfingter anus. Tindakan ini
dilakukan dengan cara mengambil otot dari paha bagian atas untuk
ditempatkan di sekitar otot sfingter guna memperkuat otot tersebut.
o Stimulasi saraf. Dokter akan menempatkan sebuah alat di dalam tubuh
yang akan merangsang saraf dan mengendalikan otot anus sehingga dapat
berfungsi secara normal.
DAFTAR PUSTAKA

 Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan.


Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.
 Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
https://www.halodoc.com/kesehatan/inkontinensia-alvi

Anda mungkin juga menyukai