Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan


ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum
pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fascia
di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus
dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai
penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang
baik.1
Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya,
antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang
memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah
inkontinensia urin, dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu
yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati.2 Oleh karena
itu, angka kejadian bervariasi. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta
orang dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita
segala usia. Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya
umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang
pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada
wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada
wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita
dengan 5 anak.3, 4,5
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya
keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan
jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan
miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum
mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis
inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.
Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai

1
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering
didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.1,4,5
Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang
memahami tatalaksana inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak
mengetahui bahwa inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dan
dapat diselesaikan.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kandung Kemih dan Uretra


Vesika dan uretra dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dengan
pertumbuhannya yang berasal dari jaringan sekitar sinus urogenitalis.3,4 Oleh
karena itu lapisan otot polos keduanya sama, lapisan dalam merupakan lapisan
longitudinal dan lapisan luar membentuk anyaman sirkuler yang mengelilingi
lubang uretra. Anyaman sirkuler ini yang berperan pada keadaan tekanan istirahat
atau tekanan penutupan dalam uretra.6
Anyaman otot vesika ini menjadi satu lapisan dengan kelanjutan serabut-
serabutnya ditemukan pula di dinding uretra sebagai otot-otot uretra, dikenal
sebagai muskulus sfingter vesicae internus atau muskulus lisosfingter. Otot-otot
tersebut terletak di bawah lapisan jaringan yang elastis dan tebal dan disebelah
luar dilapisi jaringan ikat. Di dalam lapisan elastis yang tebal ditemukan lapisan
mukosa dengan jaringan submukosa yang spongius.3
Disamping muskulus sfingter vesikae internus dan lebih ke distal sepanjang 2
cm, uretra dilingkari oleh suatu lapisan otot tidak polos dikenal sebagai muskulus
sfingter uretra ekstranus atau muskulus rabdosfingter eksternus. Otot ini dapat
meningkatkan fungsi sfingter vesika dengan menarik uretra ke arah proksimal
sehingga uretra lebih menyempit. Otot-otot polos vesika dan uretra berada
dibawah pengaruh saraf para simpatis dan dengan demikian berfungsi serba
otonom. Muskulus rabdo sfingter merupakan sebagian dari otot-otot dasar
panggul sehingga kekuatannya dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan dasar
panggul tertentu. Muskulus bulbokaver-norsus dan ishiokavernosus juga dapat
aktif ditutup bila vesika penuh dan ada perasaan ingin berkemih, sehingga tidak
terjadi inkontinensia.3,5

3
Gambar 1. A. uretra tertutup B. uretra terbuka
1. Jar. Spongius 2. M. lisosfingter 3. M. Rabdosfingter3

Terdapat 3 komponen anatomis dari mekanisme kontinensia, yaitu penyangga


uretra, sfingter internus dan eksternus. Sfingter internus yang terletak setinggi
leher vesika, bila terganggu menimbulkan inkontinensia stres walaupun
penyangga normal, sedang sfingter eksternus mempunyai kemampuan untuk
kontraksi volunter.7,8,9
Bila vesika berisi urine maka otot dinding vesika mulai direnggangkan dan
perasaan ini disalurkan melalui saraf sensorik ke bagian sakral sumsum tulang
belakang. Disini rangsangan disalurkan ke bagian motorik yang kemudian dapat
menimbulkan kontraksi ringan pada otot dinding vesika atau muskulus detrusor.7,8
Bila isi vesika hanya sedikit maka kontraksi ringan itu tidak menimbulkan
pengeluaran kemih, akan tetapi bila vesika terus direnggangkan maka muskulus
detrusor berkontraksi lebih kuat dan urine dikeluarkan dengan deras adalah antara
25-30 cmH2O. Pada keadaan patologik tekanan intravesika itu dapat naik sampai
150-250 cmH2O untuk mengatasi rintangan di sfingter vesikae dan sfingter
urethra. Muskulus lisosfingter melingkari bagian atas uretra dan menentukan
sudut antara urethra dan dasar vesika. Otot-otot dasar panggul seperti muskulus
levator ani ikut menentukan posisi leher vesika. Bila dasar panggul mengendor
maka uretra dan leher vesika akan bergeser ke belakang dan vesika dapat
dikosongkan. Bila uretra ditarik ke depan maka mulut vesika ditutup.4,7,9
Pada wanita dalam posisi berdiri, leher vesika terletak di atas lig. pubouretra.
Ligamen ini merupakan jaringan fibrous diantara tulang pubis dan jaringan
parauretra. Posisi uretra proksimal dan leher vesika adalah mobil dan dipengaruhi

4
oleh muskulus dan relaksasinya pada waktu miksi menghilangkan sudut vesiko
uretra bagian posterior. Secara klinis hubungan uretra proksimal yang mobil dan
dipengaruhi oleh levator ani dengan uretra distal yang terfiksasi terdapat pada
separuh panjang uretra dan disebut “lutut uretra”. Daerah ini tempat masuk uretra
ke dalam membran perinei dan terfiksasi pada struktur tersebut.8
Mekanisme yang berperan dalam penyanggaan leher vesika dan uretra
proksimal meliputi 3 struktur yaitu arkus tendineus fasia pelvis, otot levator ani
dan fasia endopelvik yang mengelilingi uretra dan vagina.8
Tekanan dalam uretra meningkat bila tekanan abdomen meningkat, misalnya
pada waktu batuk. Fenomena ini disebut transmisi tekanan. Ini berarti uretra
proksimal terletak di atas dasar pelvis. Disini peningkatan tekanan intraabdominal
akan menyebabkan peingkatan secara simultan tekanan uretra, sedang di bawah
dasar panggul peningkatan tekanan tidak berpengaruh pada uretra. Dengan
demikian, inkotinensia stres akan terjadi bila leher vesika turun di bawah dasar
pelvis. Pada pelvis bagian depan di dekat uretra, lapisan yang membatasi dinding
vagina anterior membentuk fasia endopelvik. Stabilisasi lapisan ini yang
menunjukkan dimana uretra dipengaruhi oleh tekanan intraabdominal. Uretra
abdominal cenderung bergerak ke dorsal dan kaudal. Gerakan ini dibatasi oleh
tahanan pada dinding vagina anterior dan fasia endopelvik.6
Inkontinensia stres tidak hanya tergantung pada penyangga elemen fibrous
saja, akan tetapi diduga otot lurik, yaitu bagian pubovaginal otot levator ani juga
berperanan. Memang otot lurik tidak dapat secara refleks berkontraksi cukup
cepat pada keadaan batuk, akan tetapi karena tekanan batuk diteruskan oleh
kontraksi otot lurik thorakoabdominopelvik, kontraksi diagfragma pernafasan,
interkostal dan otot dinding perut adalah mungkin.6,8
Peningkatan tekanan intraabdominal bisa meningkatkan atau menurunkan
aliran urine. Hal ini tergantung pada berkontraksi tidaknya otot levator ani. Posisi
leher vesika akan berubah dengan kontraksi dan relaksasi levator ani. Terjadi
penebalan jaringan ikat endopelvis yang terletak disekitar leher vesika, disebut
ligamen pubovesikal, yang menunjukkan kombinasi muskulus pubovesikal
dengan jaringan fibrous yang menyertainya.8

5
Leher vesika dan uretra proksimal turun pada saat mulai miksi. Perubahan
posisi ini menyebabkan lig. Pubovesikal menarik leher vesika ke arah lebih
anterior, sehingga mempermudah pembukaan. Penutupan leher vesika dapat
terjadi dengan kompresi leher vesika melawan lig. pubovesikal ketika posisi
retropubik normal. 8,9
Pada sfingter interna terdapat beberapa struktur yang dapat mempengaruhi
penutupannya. Cekungan bentuk U dari muskulus detrusor (the detrussor loop)
mengelilingi bagian anterior leher vesika dan membantu terjadinya penutupan. 9
Di antara lapisan ini dan lumen uretra terdapat cincin otot polos dan elastis
yang dikenal sebagai trigonal ring, yang berfungsi membantu mekanisme
penutupan leher vesika. 9
Aktifitas sfingter eksterna berasal dari 3 elemen yang berbeda. Otot polos, otot
lurik dan elemen vaskuler menyokong tekanan penutupan uretra pada keadaan
istirahat. Lapisan luar urethra distal dibentuk oleh otot lurik sfingter
urethrovaginal atau ke dalam daerah di atas membran perineal sebagai kompresor
uretra. Otot ini memelihara tonus kontinensia. 8,9
Otot polos uretra terdiri dari lapisan longitudinal dan sirkuler dan terletak di
dalam otot lurik sfingter urogenital, terdapat pada 4/5 bagian uretra proksimal.
Konfigurasi otot ini berperan dalam konstriksi lumen. Di dalam uretra juga
terdapat pleksus vaskuler, yang mempunyai beberapa AV anastomose. Hal ini
membantu penutupan urethra. 9

Gambar 2. 1. Uretra terbuka, 2. Uretra ditutup dalam posisi berdiri, 3. Uretra


ditutup dalam posisi berbaring 3

6
Gambar 3. 1. m. bulbokavernosus, 2. m. iskiokavernosus, keduanya memperkuat
m.rabdosfingter3

B. Fungsi Normal Kandung Kemih dan Uretra


Pada orang dewasa sehat, kerja kandung kemih dapat dibagi dalam dua fase;
fase pengisian, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang
masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih
befungsi sebagai pompa serta menuangkan urine melalui uretra dalam waktu
relatif singkat.1,5,9
Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine,
walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti
sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih
memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak
terjadi kebocoran di luar kesadaran. 1,5
Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali.
Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut
kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. 5
Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih
tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di
dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan
mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka
uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat
karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme
penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada
semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase

7
pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak
boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).1,4,5
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa
kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol
volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih
dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol system saraf otonom, yang
mungkin dimodulasi oleh korteks otak. 4,5
Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf
diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan
subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan
kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang
mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung berlanjut, rasa
penggembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal),
bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan
subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda
pengeluaran urin.5
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan
melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari
saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi
pengosongan kandung kemih. Interfensi aktivitas kolinergik saraf pelvis
menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh
saraf pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin.
Prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi
kandung kemih juga calcium-channel dependent. Oleh karena itu, calcium
channel blockers dapat juga menggangu kontraksi kandung kemih. 1,5
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh reflex-refleks yang berpusat di
medulla spinalis segmen sacral yng dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase
pengisian (penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf
otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi
dinding kandung kemih, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan

8
mempertahankan inervasi somatic pada otot dasar panggul. Pada fase
pengosongan, aktivitas simpatis dan somatic menurun, sedangkan parasimpatis
meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung
kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh system saraf yang lebih tinggi yaitu
batang otak, korteks serebri, dan serebelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini
beroperasi dalam proses miksi belum diketahui dengan jelas. Umumnya dikatakan
bahwa peranan korteks serebri adalah menghambat sedangkan batang otak dan
supraspinal memfasilitasi.2

Gambar 4. Komponen-komponen struktural proses berkemih normal.10

C. Proses Menua dan Inkontinensia Urin


Kejadian inkontinensia urin meningkat seiring dengan lanjutnya usia. Usia
lanjut bukan penyebab terjadinya inkontinensia urin, artinya sindrom ini bukan
merupakan kondisi normal pada usia lanjut melainkan merupakan faktor
predisposisi (kontributor) terjadinya inkontinensia urin.2
Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui
mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada system
urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan
menurunnya kadar estrogen pada perempuan dan hormone androgen pada laki-

9
laki. Secara singkat perubahan anatomik dan fisiologik saluran urogenital bagian
bawah dapat dilihat pada tabel berikut.2

Tabel 1. Perubahan-perubahan Fisiologik Terkait Proses Menua pada Saluran


Kemih Bawah 2
Kandung Kemih Perubahan Morfologis
 Trabekulasi
 Fibrosis
 Saraf autonom
 Pembentukan divertikula
Perubahan Fisiologis
 Kapasitas
 Kemampuan menahan kencing
 Kontraksi involunter
 Volume residu pasca berkemih
Uretra Perubahan Morfologis
 Komponen seluler
 Deposit Kolagen
Perubahan Fisiologis
 Tekanan penutupan
 Tekanan akhiran keluar
Prostat Hiperplasi dan membesar
Vagina Komponen selular
Mukosa atrofi
Dasar Panggul Deposit kolagen
Rasio jaringan ikat-otot
Otot melemah

Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan


kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah

10
terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi
submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya
tekanan outflow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar
prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan
timbulnya eritema atau petekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta
berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya PH lingkungan vagina. Telah
diketahui dengan baik bahwa dasar panggul mempunyai peran penting dalam
dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen.2

D. Faktor Risiko Inkontinensia Urin


Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia.
Inkontinensia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Usia lanjut seringkali memiliki kondisi medic yang dapat mengganggu proses
berkemih yang secara langsung mempengaruhi fungsi saluran berkemih,
perubahan status volume dan ekskresi urin, atau gangguan kemampuan untuk
jamban. Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan
depresi, transient ischaemic attacks dan strok, gagal jantung kongestif konstipasi,
dan inkontinensia feses, obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik,
dan gangguan mobilitas.2
Risiko inkontinensia urin meningkat pada perempuan dengan nilai indeks
massa tubuh yang lebih besar, dengan riwayat histerektomi, infeksi urin, dan
trauma perineal. Melahirkan per vaginam akan meningkatkan risiko inkontinensia
urin tipe stress dan tipe campuran.2

E. Penyebab dan Tipe Inkontinensia Urin


Empat penyebab pokok inkontinensia urin, yaitu gangguan urologik,
neurologis, fungsional/psikologis, dan iatrogenic/ lingkungan. Ada pula
inkontinensia urin akut dan kronik (persisten). Inkontinensia akut terjadi secara
mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik
yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan.
Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan

11
dengan kondisi akut/ iatrogenic dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia
urin akut dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2. Akronim untuk penyebab reversible inkontinensia urin akut2
Akronim Untuk Penyebab Reversibel Inkontinensia Urin Akut
D Delirium or acute confusional state
I Infection, urinary
A Atrophic vaginitis or urethritis
P Pharmaceutical
 Sedative hypnotic
 Loop diuretics
 Anti-cholinergic agents
 Alpa-adrenergic agonist and antagonist
 Calcium channel blockers
P Psychologic disorders : depression
E Endocrine disorders
R Restricted Mobility
S Stoolimpaction

F. Inkontinensia Urin Kronik-Persisten


Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih bawah yang
melatarbelakangi inkontinensia persisten, yaitu kegagalan menyimpan urin dalam
kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung kemih atau
lemahnya tahanan saluran keluar, dan kegagalan pengosongan kandung kemih
akibat lemahnya kontraksi otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran keluar.2
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urin persisten, di sini
hanya dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu : 1
1. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.
Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga
atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.

12
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena
itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan
keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi
sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam
dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah
pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan
keluhan inkontinensia ini.1
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml.
Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan
meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran
urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu
sama lain. 1
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini.
Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan
vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel
hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti
maka ini menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi
kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan sistometri,
sistoskopi serta kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan
stenosis.1,6
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut terbelakang
vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut ini sekitar 1200.
Gambaran ini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan badan.1

13
Gambar 5. Anatomi Sudut Vesikouretra3
a. Normal : Sudut vesikouretra 1200
1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 1200
b. Patologik : Sudut vesikouretra 1800
1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 1800

Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah


interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan keputusan yang
tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat
kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat
ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog.1
Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4
pembalut sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan
senam untuk otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia
stres bersifat operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat
memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada
prinsip yang sama yaitu menarik dinding vagina ke arah ventral untuk
menghilangkan sistokel dan mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 1200
seperti semula. Ini dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada
periosteum tulang pubis (teknik Marshall-Marchetti); dengan mengikatkan
dinding vagina lebih lateral pada lig. Pouparti (teknik Burch); atau dengan bedah
‘sling’, menarik uretra ke atas memakai selembar fasia atau bahan yang tidak
dapat diresorpsi serta diikatkan pada fasia abdominalis.1,6
Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti
ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi sistometri dan

14
pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa
pembentukan sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di atas,
maka pola keluhan semula dapat lebih mengikat.1
Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan
sisa urine segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah ini bersifat sementara
dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang
ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini
memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa kateterisasi. Komplikasi
lain biasanya berasal dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih dengan
kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis
pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz merupakan komplikasi yang jarang
terjadi.1

2. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)


Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkan
dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi).9 Biasanya terjadi
akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi
tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung
kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya
kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi,
frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.4,5,11
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan
pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan
inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia
pada keadaan kontraksi yang tidak stabil.11,12
Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi
motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi
sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan
dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi
pada vagina dan serviks.4Burnett3, menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada
susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada

15
sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis
interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik
lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa
dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.5

3. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)


Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi
kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor.12,13 Terjadi pada keadaan kandung
kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan
kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya
urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes. 13
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera
vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma
kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis.13
Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda,
tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung
kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi
pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot polos
dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi. 9
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting
mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari
pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di
dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan
kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.9
Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan
simpatis dari ganglion yang termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis
gangguan pada fungsi kandung kemih yaitu :1

16
Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi
kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi
sebenarnya lenyap.
Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung
refleks yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap
pusat miksi. Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih.
Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang otomatis
tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih atas. Sering
kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot kandung kemih
sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot kandung kemih tidak
lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat dikosongkan.

Gambar 6. Persarafan kandung kemih, uretra dan otot-otot periuretral. Otot polos
uretra digambar bertitik ; Otot lurik dasar panggul dan uretra digambar lurik.3

Terdapat beberapa macam tes untuk memeriksa aktifitas refleks pada segmen
sakral medula spinalis. Bila ada aktifitas sakral, mungkin lesi jenis supranuklear.1
- Refleks anus : kulit di dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum. Kontraksi
pada sfingter anus bagian luar membuktikan bahwa refleks ini ada. Jari yang
dimasukan di dalam rektum merasakan bahwa sfinger anus menegang.
- Refleks bulbokavernosus : sewaktu klitoris dipijit pada pemeriksaan rektal
terjadi kontraksi otot bulbo dan iskiokavernosus.

17
- Refleks ketok abdomen : ketokan pada dinding perut diatas simfisis
menyebabkan tegangnya sfingter ani. Ini dapat diraba dengan jari didalam
rektrum.
- Tes air es : kandung kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-90 ml air
es. Jika dalam waktu satu menit kateter beserta air es tertekan keluar lagi, terbukti
adanya gangguan fungi kandung kemih jenis supranuklear.

4. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi,
atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus
lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan
jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan
kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi
plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat
menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah
dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak
metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi
melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila
ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah,
maka penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila jaringan sekitar fistula sudah
tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan.3

G. Diagnosis
Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak
selalu diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm
memilih test diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya keluhan penderita
yaitu:14

18
- Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.
- Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.
- Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.
Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal,
pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa
didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia
luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps
genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca
histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.14
Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu
dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab test’)14,
merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati.
Penderita disuruh mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung. Kemudian
spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine dari kencing dan kateter
merupakan volume kandung kemih. Volume residual menguatkan diagnosis
inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke laboratorium. 14,15
Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging.
Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat
dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test
urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri merupakan test yang
paling penting, karena dapat menunjukan keadaan kandung kemih yang
hiperaktif, normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan
dan IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti
fistel/tumor) dan kelainan anatomi (ureter ektopik). 14
Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu ‘Pessary Pad
Test’. Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung
kemih. Setelah ½ jam, penderita melakukan latihan selama 45 menit dengan cara :
berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali), joging di tempat (11 kali), mengambil
benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air mengalir selama 1 menit.
Test positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini dapat

19
menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan kandung kemih
yang tidak stabil. 15

H. Tatalaksana Inkontinensia Urin Persisten


1. Penanganan Konservatif
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan
tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif.
Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain
itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.9,13,14,15.
a) Latihan Otot Dasar Panggul (‘Pelvic Floor Exercises’)
Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia
urin tipe stress atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai
lima kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji
klinik menunjukka bahwa 56-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka
pendekdengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan
bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak 10 tahun. Latihan
dilakukan dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul.
Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan
kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani
pasien, harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk
menetapkan apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.
b) Bladder training
Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi non
farmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih
yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi
berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat
menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih
diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stress, namun

20
untuk itu diperlukan motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan
keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu saja.
c) Habit training
Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar
jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini
sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan
keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan
dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini digunakan bila pasien tidak dengan gangguan fungsi kognitif.
d) Terapi biofeedback
Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol/menahan
kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback
mempunyai kendala karena penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup
untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus
mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan
untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama.
e) Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin
digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan
kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai implant/non-implant
(anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi
stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari selama beberapa
bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini
tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi.
Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan
baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan
elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, Hodge pessary, silindris.

21
f) Alat Mekanis (‘Mechanical Devices’)
Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila
kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus
menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.
Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada
penderita dg inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi
ulserasi vagina.
Bonnas’s Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup
dapat mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.
g) Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter)
Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan
secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi
saluran kemih bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter
menetap ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga
menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kateter intermiten
merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengososngkan kandung
kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan
kandung kemih. Nemun demikian, teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi
saluran kemih.
Tabel 3. Piihan terapi untuk inkontinensia urin9,14
Pilihan Terapi Untuk Inkontinensia Urin
 Modalitas suportif non-spesifik
 Edukasi
 Memakai subsitusi toilet
 Manipulasi lingkungan
 Pakaian tertentu dan pads
 Modifikasi intaks cairan dan obat
 Intervensi Behavioral
 Bergantung pasien
1. Latihan otot pelvis

22
2. Bladder training
3. Bladder retraining
 Bergantung caregiver
1. Penjadwalan miksi
2. Latihan kebiasaan
3. Prompted voiding
4. Obat
o Relaksan kandung kemih
o Agonis α
o Antagonis α
o Estrogen
o Periuretral infeksi
o Operasi
o Peralatan mekanik
o Kateter

Tabel 4. Terapi primer untuk berbagai tipe inkontinensia urin 9, 14


Terapi Primer Untuk Berbagai Tipe Inkontinensia Urin
Tipe inkontinensia Terapi primer
Stres o Latihan Kagel
o Agonis adrenergik α
o Estrogen
o Injeksi periuretral
o Operasi bagian leher kandung kemih
Urgensi o Relaksan kandung kemih
o Estrogen
o Bladder training
Luber (overflow) o Operasi untuk menghilangkan sumbatan
o Bladder training
o Kateterisasi intermitten

23
o Kateterisasi menetap
Fungsional o Intervensi behavioral
o Manipulasi lingkungan
o Pads

I. Obat-obatan 2,9,13,14,15
1. Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor yang
menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan urethra
obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek
samping relatif ringan.
2. Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan
noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia
stress karena meningkatkan tekanan sfingter uretra, sehingga menghambat
pengeluaran urin. Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan
insomnia oleh karena stimulasi SSP. Penyalahgunaannya harus amat hati-hati
pada pasien dengan hipertensi, aritmia jantung, dan angina. Dengan demikian,
penggunaannya jarang ditemui paa orang usia lanjut.
3. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan
efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama
obat influensa dalam kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik. Dosis
50 mg dua kali sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita
inkontinensia stres mengalami perbaikan.
4. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek
meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen
dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan
bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan
penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat.

24
Tabel 5. Obat-obat yang dipakai untuk inkontinensia urin
Obat-obat yang Dipakai Untuk Inkontinensia Urin
Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek samping
Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urge atau campuran Mulut kering, mata
kabur, glaucoma,
delirium,
konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi dan OAB Mulut kering,
konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Delirium, hipotensi
ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stres Skit kepala,
takikardi, tekanan
darah tinggi
Topikal Urgensi dan Stres Iritasi lokal
estrogen
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan urgensi Hipotensi postural
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8
mg
Terazosin 4 x 1-5 mg

2. Penanganan Operatif 5,13,14,15


Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan
dengan beberapa cara meliputi :
a) Kolporafi anterior
b) Uretropeksi retropubik
c) Prosedur jarum
d) Prosedur sling pubovaginal
e) Periuretral bulking agent
f) Tension vaginal tape (TVT)

25
Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan
baik pada penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi
tindakan ini tetap ada.
Kolporaphy anterior apakah dilakukan sebagai prosedur yang terpisah atau
bersamaan dengan pembedahan ginekologi yang lain umumnya merupakan
operasi ginekologi. Operasi ini merupakan operasi definitif untuk mengkoreksi
stes inkontinensia. Bagaimanapun selama dua dekade teknik operasi ini telah
teruji secara cermat dan terbukti lebih spesifik untuk menangani kasus ini.
Gambaran klasik telah dipublikasikan oleh Kelly (1913). Teknik operasi
termasuk penjahitan pada robekan fascia dari uretra dan kandung kemih yang
kemudian dimodifikasi oleh Kennedy (1937). Selanjutnya sejumlah modifikasi
minor telah dilakukan.
Melakukan kolporaphy anterior memerlukan pemahaman tepat tentang
anatomi dan fisiologi struktur dasar panggul. Beberapa hal yang harus
diidentifikasi adalah :
1. Mukosa vagina
2. Peritoneum vesikouterina
3. Fascia pubovesikalis-servikalis
4. Uretrovesical junction
5. Uretra
6. Vena-vena pleksus uterovaginal

26
BAB III
KESIMPULAN

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Prevalensi


inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia. Inkontinensia urin lebih
banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Empat penyebab pokok
inkontinensia urin, yaitu gangguan urologik, neurologis, fungsional/psikologis,
dan iatrogenic/ lingkungan. Ada pula inkontinensia urin akut dan kronik
(persisten). Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan
dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika bila
kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan. Inkontinensia persisten
merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi akut/
iatrogenic dan berlangsung lama.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur
diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan
diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine persisten yang utama yaitu
inkontinensia stres, desakan, luapan dan fistula urine. Penatalaksanaan
konservatif dilakukan pada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi
bedah. Penanganan konservatifnya berupa latihan otot dasar panggul (‘Pelvic
Floor Exercises’), Bladder training, Habit training, Terapi biofeedback, Stimulasi
Elektrik, Alat Mekanis, Penggunaan kateter menetap, Obat-obatan. Sedangkan
penanganan opertaif berupa Kolporafi anterior, Uretropeksi retropubik, Prosedur
jarum, Prosedur sling pubovaginal, Periuretral bulking agent, Tension vaginal tape
(TVT).

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrianto, P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 2011 : 175-186.


2. Sudoyo, A, et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. UI.
Jakarta, 2017 ; 1392-1398.
3. Prawirohardjo S. Ilmu kandungan. Edisi III. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta,
2011 : 379-386.
4. Burnnet LS. Relaxations, Malpositions, Fistulas, and Incontinence. In : Jones
HW, Wentz AC, Burnnet LS. Novak’s Texbook of Gynecology. Eleventh Ed.
William & Wilkins, 2015 ; 467-478.
5. Marchant DJ. Urinary Incontinence. Obsterics and Gynecology Annual, 2014 ;
9 : 261-2.
6. Richardson AC, Edmonds PB, Williams NL. Treatment of Stress Incontinence
due to Paravaginal Fascial Defect. Obstet Gynecol 2011 ; 57 : 357-362.
7. De Lancey JL. Correlative Study of Paraurehtral Anatomy. Obstet Gynecol
2012; 68 :91-97
8. Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of
Retropubic Urethropexy on Detrusor Instability. Obstet Gynecol 2013 ; 71 :
818-822.
9. Purnomo, Dasar-dasar Urologi.Edisi 3. FK Brawijaya, Malang 2011; 106-119.
10. Urinary System Normal Anatomy and Physiology. Diunduh dari
http://www.as.miami.edu.
11. Low JA, Mauger GM, Dragovic J. Diagnosis of the Unstable Detrusor :
Comparison of an Incremental and Continuous Infusion Technique. Obstet
Gynecol 2015 ; 65 : 99-103.
12. Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of
Retropubic Urethropexy on Detrusor Instability. Obstet Gynecol 2011 ; 71 :
818-822.
13. Shawn.A.S. Incontinence, Prolapse, and Disorder of The Pelvis Floor.. In :
Jonathan, Rebecca, Paula Third. Ed. William % Wilkins, 2012 ; 654-680.

28
14. Josoprawiro. Inkontinensia Urin dan Gejala Uroginetal Terkait Pada Wanita
Usia Lanjut. PIT X, Padang. 30Juni-3Juli 2012.
15. Junizaf. Buku Ajar Uroginekologi. FK.UI. Jakarta, 2002 ; 90-96.

29

Anda mungkin juga menyukai