Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

1. Defenisi
Inkontenensia alvi (inkontinensia feses) adalah kondisi ketika tubuh tidak mampu
mengendalikan buang air besar. Kondisi ini menyebabkan tinja keluar secara tiba-tiba,
tanpa disadari oleh penderitanya. Inkontinensia tinja dipengaruhi oleh usus bagian akhir
(rektum), anus (dubur), dan sistem saraf yang tidak berfungsi secara normal. Kondisi ini
dapat dialami oleh lansia (di atas 65 tahun).
Inkontinensia dapat juga diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mengontrol buang
air besar, menyebabkan tinja (feses) bocor tak terduga dari dubur. Inkontinensia tinja juga
disebut inkontinensia usus. Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi sesekali saat duduk
hingga sampau benar-benar kehilangan kendali.
2. Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkotinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan
pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum.
Konstipasi atau sembelit merupakan kejadian yang paling sering timbul pada pasien
geriatri dan bila menjadi kronik akan menyebabkan timbulnya inkontinensia alvi. Skibala
akan mengiritasi rektum dan menghasilkan mukus dan cairan. Cairan ini akan membanjiri
tinja yang mengeras dan mempercepat terjadinya inkontinensia. Konstipasi sulit untuk
didefinisikan dan secara teknik biasanya diindentikkan dengan buang air besar sebanyak tiga
kali dalam seminggu.
3. Penyebab Inkontinensia Alvi
Inkontinensia tinja dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah:
 Kerusakan sfingter anus, yaitu cincin otot yang terletak di ujung lubang anus (dubur).
Kondisi ini dapat disebabkan oleh episiotomi atau prosedur pembedahan vagina yang
dilakukan setelah persalinan normal.
 Kerusakan saraf yang mengendalikan sfingter anus. Kondisi ini dapat terjadi akibat
persalinan, perenggangan berlebihan saat buang air, atau cedera saraf tulang belakang.
Kondisi medis, seperti diabetes dan multiple sclerosis, juga dapat merusak fungsi
saraf dan menyebabkan inkontinensia tinja.
 Tindakan pembedahan. Prosedur bedah untuk menangani wasir (hemoroid) atau
kondisi lain yang berkaitan dengan anus atau rektum, berisiko mengakibatkan
kerusakan saraf.
 Rectal prolapse, yaitu kondisi ketika rektum turun hingga ke anus.

1
 Rectocele, yaitu kondisi ketika rektum menonjol ke luar hingga area vagina pada
wanita.
 Terbatasnya ruang pada rektum untuk menampung kotoran. Kondisi ini terjadi akibat
adanya jaringan parut pada dinding rektum, sehingga fleksibilitas rektum berkurang.
 Konstipasi kronis. Kondisi ini menyebabkan kotoran mengeras, sehingga sulit
bergerak melewati rektum dan dikeluarkan dari tubuh. Kondisi ini dapat
menyebabkan kerusakan saraf dan otot yang memicu inkontinensia tinja.
 Diare. Diare menyebabkan tinja lebih berair, sehingga dapat memperburuk
inkontinensia tinja.
 Penggunaan obat pencahar dalam jangka panjang.
 Kondisi medis lainnya, seperti stroke, demensia, dan penyakit Alzheimer.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok :
 Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari
masa feses yang keras (skibala). Masa feses yang tidak dapat keluar ini akan
menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut
ano rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus,
cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merebes keluar.
Skibala yang terjadi dapat juga menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan
terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang
impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia feses.
 Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar.
Inkontinensia feses simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari
macam-macam kelainan patologis yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini
mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia
dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan
gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang
cair.
Penyebab yang paling umum dari diare pada usia lanjut adalah obat-obatan
antara lain yang mengandung unsur besi atau memang akibat obat pencahar
 Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi
(inkontinensia neurogenik).

2
Inkontinensia neurogenic terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari
korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Proses normal dari defekasi
melalui reflex gastro kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden kea rah rectum. Distensi rectum
akan diikuti relaksasi sfinger interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak
terjadikontraksi intrinsic dari rectum pada orang dewasa normal, karena adanya
inhibisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri.
 Inkontinensia alvi karena hilangnya refleks anal.
Inkontinensia feses terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan
otot-otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip
oleh Brocklehurst dkk,1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang berfungsi
motorik pada otot-otot daerah sfingter dan purbo rektal. Keadaan ini menyebabkan
hilangnya refleksi anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus
anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia feses pada peningkatan tekanan
intraabdomen dan prolaps dari rektum.
3. Tanda dan Gejala
Gejala Inkontinensia Tinja

Gejala yang muncul umumnya berbeda, tergantung kepada jenis inkontinensia tinja
yang dialami penderita. Inkontinensia mendesak (urge incontinence) ditandai ketika
penderita merasakan dorongan secara tiba-tiba untuk buang air besar dan sulit untuk
dikendalikan. Sementara, inkontinensia tinja pasif ditandai dengan kotoran yang keluar
tanpa disadari atau tanpa dorongan untuk buang air. Terkadang, kotoran juga keluar ketika
penderita buang angin.
Gejala lain yang mungkin dialami penderita inkontinesia tinja adalah:
 Nyeri atau kram perut
 Perut kembung
 Konstipasi
 Diare
 Anus terasa gatal atau mengalami iritasi
 Inkontinensia urine.
Segera hubungi dokter jika terjadi perdarahan atau muncul bercak darah. Kondisi ini
mungkin menunjukkan gejala peradangan di dalam usus besar dan rektum, seperti kolitis
ulseratif, penyakit Crohn, atau tumor rektum.

3
4. Pencegahan
Pencegahan Inkontinensia Tinja
Inkontinensia tinja adalah kondisi yang tidak dapat dicegah dengan mudah karena
ditentukan oleh penyebabnya. Namun, beberapa langkah berikut dapat dilakukan untuk
mencegah inkontinensia tinja atau mengurangi gejala yang dialami. Di antaranya adalah:
 Mengonsumsi makanan tinggi serat dan memperbanyak minum cairan untuk
mengurangi risiko konstipasi.
 Berolahraga secara teratur.
 Tidak mengejan saat buang air besar. Mengejan dapat melemahkan otot dubur atau
merusak saraf yang berujung pada inkotinensia tinja.
 Menghindari penyebab diare dengan menjaga kebersihan tangan sebelum dan setelah
makan, serta kebersihan makanan yang dikonsumsi.
 Menggunakan pakaian dalam berbahan katun sehingga aliran udara tetap terjaga dan
tidak terjadi iritasi.
Penderita inkontinensia tinja biasanya mengalami masalah dengan kepercayaan
diri dan kesulitan ketika sedang berada di luar rumah. Berikut adalah beberapa hal yang
bisa dilakukan oleh penderita inkontinensia tinja untuk menjaga kenyamanan dan
meningkatkan kepercayaan diri terkait kondisi yang diderita.
 Buang air besar sebelum melakukan perjalanan.
 Gunakanlah pembalut atau popok dewasa saat menempuh perjalanan jarak jauh.
 Jangan lupa mempersiapkan alat pembersih dan pakaian ganti cadangan sesuai dengan
kebutuhan.
 Segera cari lokasi toilet sesampainya di tujuan.
 Gunakan pil penghilang bau (fecal deodorant) untuk mengurangi aroma tidak sedap
dari kotoran atau gas (kentut).
5. Pengobatan
Langkah pertama untuk memperbaiki keadaan ini adalah berusaha untuk memiliki
kebiasaan defekasi (buang air besar) yang teratur, yang akan menghasilkan bentuk tinja yang
normal. Melakukan perubahan pola makan, berupa penambahan jumlah serat. Jika hal-hal
tersebut diatas tidak membantu, diberikan obat yang memperlambat kontraksi usus, misalnya
loperamid.

4
Melatih otot-otot anus (sfingter) akan meningkatkan ketegangan dan kekuatannya dan
membantu mencegah kekambuhan. Dengan biofeedback, penderita kembali melatih
sfingternya dan meningkatkan kepekaan rektum terhadap keberadaan tinja. Jika keadaan ini
menetap, pembedahan dapat membantu proses penyembuhan. Misalnya jika penyebabnya
adalah cedera pada anus atau kelainan anatomi di anus.
Pilihan terakhir adalah kolostomi, yaitu pembuatan lubang di dinding perut yang
dihubungkan dengan usus besar. Anus ditutup (dijahit) dan penderita membuang tinjanya ke
dalam kantong plastik yang ditempelkan pada lubang tersebut.
Metode pengobatan inkontinensia tinja ditentukan berdasarkan penyebabnya. Ada
beberapa langkah pengobatan yang dapat dilakukan, yaitu:
 Perubahan pola makan. Jika inkontinensia tinja disebabkan oleh diare atau
konstipasi, perubahan pola makan perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan
mengendalikan pergerakan usus. Dokter akan menganjurkan pasien untuk
memperbanyak konsumsi makanan tinggi serat (20-30 gr per hari) agar tinja lebih
padat dan mudah dikendalikan, serta memperbanyak konsumsi cairan.
 Terapi obat. Beberapa jenis obat yang dapat diberikan dokter kepada penderita
inkontinensia tinja adalah:
 Obat antidiare, seperti loperamide.
 Laksatif atau pencahar, dengan kandungan laktulosa. Jenis obat ini biasanya
diberikan untuk inkontinensia tinja yang disebabkan oleh konstipasi kronik.
 Suplemen serat, untuk mengatasi konstipasi.

Jika laksatif atau suplemen tidak dapat mengatasi konstipasi, dokter mungkin akan
memberikan jenis obat yang dimasukkan melalui dubur.

 Terapi fisik. Terapi fisik dilakukan untuk mengembalikan kekuatan otot rektum,
sehingga dapat meningkatkan kendali sfingter anus dan sensasi untuk buang air besar.
Beberapa metode terapi fisik yang mungkin dilakukan, di antaranya adalah:
o Biofeedback. Gerakan latihan sederhana untuk meningkatkan kekuatan otot
dubur, otot dasar panggul, kontraksi otot ketika sedang buang air, dan sensasi
dorongan untuk mengeluarkan kotoran. Terapi ini umumnya dilakukan dengan
bantuan manometri anal atau balon rektal.
o Balon vaginal. Alat menyerupai pompa yang dimasukkan ke dalam vagina
untuk memberikan tekanan pada area rektum.

5
o Latihan Kegel. Latihan untuk mengurangi inkontinensia tinja dan
menguatkan otot dasar panggul yang berperan dalam kinerja saluran kemih,
saluran cerna, dan otot pada rahim perempuan. Gerakan Kegel dilakukan
dengan cara menahan dan membiarkan urine keluar untuk menghasilkan
kontraksi pada otot. Lakukan latihan mengencangkan otot selama 5-10 detik,
kemudian lemaskan. Ulangi latihan kontraksi 10-20 kali, setidaknya 3 kali
sehari.
 Latihan usus atau saluran cerna. Latihan untuk meningkatkan kendali atas otot
rektum dan anus dengan melakukan aktivitas yang dilakukan secara rutin, seperti:
o Buang air besar secara teratur sesuai jadwal yang ditentukan, misalnya setelah
makan.
o Menstimulasi otot sfingter anus dengan jari yang telah diberi pelumas.
o Menggunakan obat supositoria (obat yang dimasukkan melalui rektum atau
vagina) untuk merangsang pergerakan usus.
 Operasi. Jika terapi obat dan fisik tidak efektif, prosedur operasi dapat dilakukan
untuk menangani inkontinensia tinja. Tindakan operasi umumnya disesuaikan dengan
kondisi pasien secara keseluruhan dan penyebab inkontinensia tinja. Beberapa pilihan
jenis operasi yang dapat dilakukan adalah:
o Sphincteroplasty, yaitu prosedur operasi untuk memperbaiki otot dubur yang
lemah atau rusak. Prosedur ini umumnya dilakukan pada pasien inkontinensia
tinja yang telah menjalani proses persalinan.
o Kolostomi, yaitu prosedur pembuatan lubang pada dinding perut untuk
mengalihkan dan mengeluarkan kotoran (feses). Kotoran yang keluar dari
lubang tersebut akan ditampung di sebuah kantong khusus yang ditempelkan
dekat lubang.
o Bedah koreksi, yaitu prosedur untuk memperbaiki otot anus dan rektum yang
rusak. Tindakan ini dilakukan untuk menangani turunnya rektum, rektokel,
dan wasir, yang menyebabkan inkontinensia tinja.
o Transplantasi otot gracilis. Prosedur ini umumnya dilakukan terhadap pasien
yang kehilangan fungsi saraf di sfingter anus. Tindakan ini dilakukan dengan
cara mengambil otot dari paha bagian atas untuk ditempatkan di sekitar otot
sfingter guna memperkuat otot tersebut.

6
o Stimulasi saraf. Dokter akan menempatkan sebuah alat di dalam tubuh yang
akan merangsang saraf dan mengendalikan otot anus sehingga dapat berfungsi
secara normal.

6. Penatalaksanaan
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan
dapat menghindari kejadian inkontinensia alvi. Langkah utama dalam penanganan sembelit
pada pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya sembelit. Jika sembelit yang timbul pada pasien geriatri merupakan suatu keluhan
yang baru, maka kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh penyakit kolon, gangguan
endokrin dan metabolik, deperesi atau efek samping obat-obatan.
Untuk pencegahan konstipasi, lansia sebaiknya mengkonsumsi diet yang cukup
cairan dan serat. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram serat kasar sehari (hal ini bisa
did apatkan dari 3-4 sendok the biji-bijian).
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkotinensia alvi adalah
dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh
ketika sedang melakukan buang air besar di toilet. Defekasi sebaiknya dilakukan ditempat
yang khusus, lingkungan yang tenang, dan pada saat timbulnya refleks gastrokolik yang
biasanya timbul lima menit setelah makan.
Pada inkotinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan syaraf, terapi latihan
otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien geriatrik
dengan dimensia tidak dapat menjalani terapi tersebut. Pada pasien dengan demensia tahap
akhir dengan inkotinensia alvi, program penjadwalan ke toilet dan penjadwalan penggunaan
obat pencahar secara teratur dapat dilakukan dan efektif untuk mengontrol defekasi. Usaha
terakhir yang dapat dilakukan dalam penanganan inkontinensia alvi pada pasien ini adalah
dengan menggunakan pampers yang dapat mencegah dari komplikasi.

7
DAFTAR PUSTAKA

W. Sudoyo, Aru. 2006. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM. JILID III, EDISI IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indoneesia.

Alimul Aziz.2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Alimul Aziz.2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik untuk Kebidanan. Edisi 2. Jakarta:
Salemba Medika

Mubarak Iqbal. 2002. Kebutuhan dasar manusia. Jakarta : EGC

Saryono, dkk. 2010. Kebutuhan dasar manusia. Yogyakarta : Salemba medika

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan
Praktik;. Volume 2. Jakarta : EGC.

Smeltzer, C. Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Volume 2.
Jakarta: EGC.

https://www.alodokter.com/inkontinensia-tinja. Diakses tanggal 29 maret 2019 pukul


22.00 wib

Anda mungkin juga menyukai