Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

“PENYAKIT AKIBAT KERJA PADA PROFESI PERAWAT


DIRUMAH SAKIT”

Disusun oleh :
dr. ERLINA WILDA

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, penulis mengucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi
Perawat”.

Dalam penyusunan makalah ini penulis melibatkan bantuan dari berbagai


pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Tanpa bantuan semua pihak mungkin penulis akan sulit
dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis meminta maaf apabila dalam menyusun
makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan hati terbuka penulis menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir perkataan, penulis berharap semoga makalah yang berjudul


“Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat” dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi bagi pembaca maupun penulis.

Pekanbaru, 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................2

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)..........................................................4


2.2 Perilaku Tidak Aman Pada Profesi Perawat ...................................................6
2.3 Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat..............................................7
2.4 Macam-Macam Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat....................10
2.5 Penyakit atau Cidera Akibat Kecelakaan Kerja Pada Perawa.....................14
2.6 Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat................19
2.7 Ergonomi Kesehatan..............................................................................25

BAB 3. PENUTUP

3.1 Simpulan........................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) mutlak harus dilaksanakan
pada semua orang yang terlibat dalam dunia usaha dan dunia kerja. Adanya
Kesehatan dan Keselamatan Kerja ini bertujuan untuk melindungi pekerja dan
orang lain dari cidera atau penyakit akibat resiko dari setiap tindakan
pekerjaan yang dilakukan. Pada dasarnya setiap pekerjaan dapat dilakukan
dengan selamat dan tanpa menimbulkan cidera apabila bekerja sesuai prosedur
yang telah ditetapkan, dan apabila terjadi sebuah kecelakaan, pasti ada suatu
hal yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Dengan prinsip Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) ini, penyebab dari kecelakan harus dikurangi, dicegah
hingga ditiadakan.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 pasal 64 tentang
kesehatan, dijelaskan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
harus diselenggarakan pada semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang
memiliki resiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit, atau yang
memiliki karyawan paling sedikit 10 orang. Berdasarkan penjelasan dari pasal
diatas maka rumah sakit termasuk didalamnya, dimana rumah sakit adalah
sebuah tempat untuk pengobatan berbagai jenis penyakit yang beresiko
terjadinya penularan bagi semua orang khususnya tenaga kerja yang bekerja
didalamnya. Rumah sakit merupakan tempat yang berisiko terjadinya Penyakit
Akibat Kerja (PAK) serta Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan pekerja rumah
sakit mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja
industri lain untuk terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja
(Departemen Kesehatan, 2010).
Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah
Sakit tentunya beresiko mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK) serta
Kecelakaan Akibat Kerja (KAK), karena perawatlah yang mempunyai
frekuensi terbanyak dengan berkontak secara langsung dengan pasien. Perawat

1
merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan memegang
peranan penting dalam pemberian pelayanan kesehatan.
WHO (2013) mencatat, dari 39,47 juta petugas kesehatan di seluruh
dunia, 66,7%-nya adalah perawat. Di Indonesia, perawat juga merupakan
bagian terbesar dari tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit yaitu
sekitar 47,08% dan paling banyak berinteraksi dengan pasien secara
langsung (Depkes RI, 2014).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) dalam
Kepmenkes Nomor 1087/Menkes/SK/VIII/2016 mengenai K3RS, diketahui
bahwa dari 35 juta tenaga kesehatan, 3 juta terpajan patogen darah (2 juta
terpajan virus HBV, 0,9 juta terpajan HBC dan 170.000 terpajan virus
HIV/AIDS. Berdasarkan latar belakang diatas, maka pada makalah ini kami
akan membahas tentang “Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat”.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang terbentuk adalah:
1. Bagaimana pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
2. Apa saja perilaku tidak ama ada profesi perawat?
3. Bagaimana pengertian Penyakit Akibat Kerja (PAK) pada profesi
perawat?
4. Apa saja macam-macam Penyakit Akibat Kerja (PAK) pada profesi
perawat?
5. Apa saja penyakit atau cidera yang disebabkan kecelakaan kerja pada
profesi perawat?
6. Bagaimana upaya pencegahan penyakit akibat kerja pada profesi perawat?
7. Bagaimana pengertian Ergonomi Kesehatan?

1.3 Tujuan Penulisan


Dari rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
2. Mengetahui dan memahami perilaku tidak aman pada profesi perawat.

2
3. Mengetahui dan memahami pengertian Penyakit Akibat Kerja (PAK) pada
profesi perawat.
4. Mengetahui dan memahami macam-macam Penyakit Akibat Kerja (PAK)
pada profesi perawat.
5. Mengetahui dan memahami penyakit dan cidera yang disebabkan
kecelakaan akibat kerja pada profesi perawat.
6. Menjelaskan upaya pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK) pada profesi
perawat.
7. Menjelaskan Ergonomi Kesehatan.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


Menurut Warwich (2004: 2) yang dimaksud dengan kesehatan kerja
adalah kondisi bebas dari fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan
oleh lingkungan kerja. Sedangkan menurut Sama’mur (2005: 6) keselamatan
kerja adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang
aman, sehat dan nyaman sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
menurunkan tingkat efisiensi dan produktifitas kerja. Keselamatan kerja atau
Occupational Safety, dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan safety
saja, oleh American Society of Safety Engineers (ASSE) diartikan sebagai
bidang kegiatan yang ditujukan untuk mencegah semua jenis kecelakaan yang
ada kaitannya dengan lingkungan dan situasi kerja.
Materi keselamatan kerja juga diatur dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1970 yang ruang lingkupnya berhubungan dengan mesin, landasan
tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara mencegah terjadinya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja, dapat memberikan perlindungan. Keselamatan kerja
sangat diperlukan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di suatu rumah sakit,
puskesmas maupun klinik. Karena, banyaknya faktor resiko yang
menyebabkan kemungkinan seperti tertular penyakit dan cidera akibat
kecelakaan kerja.
Kecelakaan kerja menurut Manuaba (2004: 193) adalah suatu kejadian
yang tidak diinginkan dan merugikan fisik seseorang atau kerusakan hak milik
yang disebabkan kontrak dengan energi (kinetik, listrik, kimiawi dan lain-lain)
yang melewati ambang batas dari benda atau bangunan. Sedangkan
kecelakaan menurut Mangkunegara (2003: 160) sebagai suatu kejadian yang

4
tidak direncanakan dan tidak diharapkan bukannya suatu peristiwa kebetulan
saja, tetapi ada sebab-sebabnya.
Menurut Manuaba (2004:164) menyatakan bahwa penyebab-penyebab
kecelakaan kerja secara umum adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan manusia yang tidak aman, contohnya:


a. Melaksanakan pekerjaan tanpa wewenang atau yang
berwenang gagal mengamankan atau memperingatkan
seseorang.
b. Menjalankan alat-alat mesin diluar batas aman.
c. Menyebabkan alat-alat keselamatan kerja tidak bekerja.
d. Cara angkat, angkut menempatkan barang dan menyimpan
yang kurang baik /tidak aman.
e. Memakai sikap/posisi tubuh yang kurang baik/tidak aman.
f. Bekerja dengan alat/mesin bergerak atau berbahaya.
g. Melakukan tindakan mengacau, menyalahgunakan, dan
melampui batas.
2. Kondisi fisik dan mekanis yang tidak aman, contohnya:
a. Alat pengaman yang kurang atau bahkan tidak bekerja
dengan baik
b. Tidak ada pengaman.
c. Adanya kondisi peralatan tidak aman.
d. Design peralatan yang kurang baik.
e. Pengaturan proses kerja yang berbahaya atau mengandung
resiko seperti: badan terlalu berat, jalan yang sempit/tidak
teratur.
f. Penerangan dan ventilasi kurang baik.
g. Perencanaan yang kurang matang.

2.1.1 Dasar Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja


1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

5
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
7. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion
8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 432/ Menkes/SK/IV/2007
tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di Rumah Sakit
10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun
2016 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1087/Menkes/Sk/Viii/2010 Tentang Standar Kesehatan Dan
Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit
2.2. Perilaku Tidak Aman Pada Profesi Perawat
Perilaku tidak aman pada profesi perawat salah satunya adalah perawat
yang sedang terkena penyakit namun tidak meminta izin untuk tidak hadir di
rumah sakit dan malah memaksakan diri untuk masuk. Acuan mengetahui
tindakan aman atau tidak, sesuai atau tidak seharusnya kita menggunakan
pedoman yang telah ada contohnya "Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.66 th 2016 tentang K3RS". terdapat di pasal 1 ayat 1 pengertian K3
sebagai berikut "Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya
disingkat K3RS adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien,
pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya
pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.". Jika
seorang perawat sedang sakit kemudian memaksakan untuk pergi bekerja, sama

6
saja sedang menciptakan kondisi yang tidak aman bagi pasien yang ada dirumah
sakit karena pasien- pasien yang ada dirumah sakit rentan tertular penyakit.
Berarti dengan melakukan tindakan tersebut seorang perawat telah melanggar
aturan K3 terhadap pengunjung, kawan sejawat, pasien, dan SDM rumah sakit.
Jika perawat tersebut tetap memaksa untuk datang dan bekerja itu akan sangat
membahayakan bagi semua orang disekitarnya terutama bagi pasien. Sebaiknya
perawat tersebut harus benar-benar sehat dulu untuk datang bekerja. Jika seorang
perawat bekerja dalam keadaan tidak sehat atau kurang fit maka kinerja perawat
tidak akan optimal

2.3. Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat


Perawat merupakan salah satu profesi yang memiliki faktor resiko
terinfeksi suatu penyakit dengan kemungkinan yang cukup besar. Karena,
kewajiban pekerjaan yang membuatnya setiap hari mengalami kontak
langsung dengan pasien dalam waktu cukup lama (6-8 jam/hari), sehingga
selalu terpajan mikroorganisme patogen.

Kejadian penyakit infeksi di rumah sakit dianggap sebagai suatu


masalah serius karena mengancam kesehatan dan kesejahteraan pasien dan
petugas kesehatan secara global (Luo, et all, 2010). Hasil laporan National
Safety Council tahun 1988 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan kerja di
rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja industri lainnya.

An occupational disease is any disease contracted primarily as a result


of an exposure to risk factors arising from work activity. (Menurut WHO
penyakit akibat kerja adalah penyakit yang muncul terutama sebagai akibat
dari paparan faktor-faktor risiko yang timbul dari aktivitas kerja). Sedangkan
penyakit hubungan akibat kerja (work-related disease) memiliki banyak
penyebab, di mana faktor-faktor dalam lingkungan kerja dapat memainkan
peran, bersama dengan faktor risiko lain, dalam perkembangan penyakit
tersebut. Faktor lingkungan disini meliputi kondisi fisik, ergonomi serta
psikososial. Contohnya lingkungan yang berdebu akan menyebabkan penyakit
saluran napas. Ergonomi berperan dalam hal kemanan dan kenyamanan
meliputi alat yang digunakan. Alat yang cacat dapat menimbulkan bahaya

7
kerja. Sedangkan psikososial erat kaitannya dengan hubungan petugas
kesehatan yang satu dengan yang lain dan hubungan petugas kesehatan
dengan pasien maupun keluarga pasien.
Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan
pekerjaan diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) di
Linz, Austria, dihasilkan definisi menyangkut penyakit akibat kerja sebagai
berikut:
1. Penyakit akibat kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang
mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan
pekerjaan yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang
sudah diakui
2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Disease)
adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana
faktor pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor resiko
lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi
kompleks.
3. Penyakit yang mengenai populasi kerja (Disease of Fecting Working
Population) adalah penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa
adanya agen penyebab di tempat kerja.

Di indonesia, istilah penyakit akibat kerja (Occupational Disease) ada


2, yaitu:
1. Penyakit akibat kerja
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh suatu
pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerjanya.

2. Penyakit akibat hubungan kerja


Menurut Komite Ahli WHO (1973), Penyakit Akibat hubungan
Kerja adalah “penyakit dengan penyebab multifaktorial, dengan
kemungkinan besar berhubungan dengan pekerjaan dan kondisi
tempat kerja”.

8
Penyakit akibat kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dapat
menyerang semua tenaga kerja di rumah sakit, baik tenaga medis maupun
non medis yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu biologi, kmia, dan
fisik di dalam lingkungan kerja rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit
meupakan tempat berkumpulnya orang-orang sakit maupun sehat. Hal ini
membuat rumah sakit merupakan tempat kerja yang memiliki resiko
terhadap gangguan kesehatan dan kecelakan kerja bagi petugas. Petugas di
lingkungan rumah sakit sangat beresiko dengan kontak secara langsung
terhadap agent penyakit menular baik melalui darah, sputum maupun jarum
suntik.
Penyakit akibat kerja merupakan sesuatu hambatan pada tingkat
keamanan dalam bekerja, dalam hal ini perlu adanya upaya pencegahan,
baik untuk keselamatan maupun kesehatan para pekerja yang ada di
lingkungan rumah sakit. Dalam lingkungan kerja seseorang dapat terganggu
kesehatannya, dan gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja ini cukup
banyak terjadi. Penyakit akibat kerja salah satunya terjadi karena disebabkan
kondisi lingkungan kerja seperti udara yang dingin, panas, bising, dan
terdapat bahan kimia serta debu yang bertebaran. Gangguan kesehatan pada
pekerja juga dapat disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan
pekerjaan maupun faktor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan pada masyarakat juga
dipengaruhi pada perilaku pekerja yang tidak konsentrasi.

Berikit ini merupakan faktor penyebab penyakit akibat kerja di bidang


kesehatan yang umumnya berkaitan erat dengan:

1. Faktor Biologis
Lingkungan kerja pada pelayanan kesehatan memungkinkan
untuk berkembang biaknya strain kuman yang resisten, terutama
kuman-kuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang
bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi dan udara.
Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah dan sekreta dapat
menginfeksi pekerja, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum
yang terkontaminasi virus.

9
2. Faktor Kimia
Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis
kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi
(amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh alergi (keton). Bahan
toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup
atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau
kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan
mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang
terpapar.
3. Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya
menyerasikan alat, cara, proses dan lingkungan kerja terhadap
kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk terwujudnya
kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai
efisiensi yang setinggi-tingginya.
4. Faktor Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan kerja meliputi kebisingan,
pencahayaan yang kurang, suhu dan kelembaban.
5. Faktor Psikososial
Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium kesehatan
yang dapat menyebabkan stress meliputi pelayanan kesehatan sering
kali bersifat emergency dan menyangkut hidup mati seseorang,
pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton dan hubungan
kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama
teman kerja.
2.4. Macam-Macam Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat
Faktor-faktor resiko mulai dari factor biologi, kimia, ergonomi, fisik
hingga psikososial yang ada dapat mengantarkan perawat tersebut beresiko
untuk terkena penyakit baik menular maupun penyakit yang tidak menular.
2.4.1. Penyakit Menular pada Perawat Akibat Kerja

10
Penyakit menular merupakan permasalahan dunia kesehatan yang
sering dialami. Penyebaran penyakit tidak hanya terjadi di lingkungan
sekitar tetapi dapat pula berdampak pada tenaga kesehatan yang
menangani kasusnya, dikarenakan beberapa faktor penyebab resiko
kesehatan. Penyakit menular pada perawat akibat kerja yang sering
dijumpai, diantaranya adalah:
1. Penyakit Saluran Napas
Penyakit saluran napas sering menjadi salah satu penyakit
menular yang dapat terjadi pada perawat. Perantara virus yang
mudah menyebabkan penyakit saluran napas sering menginfeksi dan
dijumpai terjadi. Penyakit saluran napas yang sering terjadi pada
perawat akibat kerja, yaitu:
 Influenza Virus flu adalah virus yang penyebarannya
melalui kontak udara ketika orang yang terinfeksi bersin
ataupun batuk. Tiga jenis virus influenza, yang sering disebut
influenza A, B, C menyebabkan wabah flu. Virus influenza
dapat menular memalui tiga cara:
- Melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi
- Melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi
- Jika menghirup virus (serat aerosol).
 TBC Tuberkulosis (TB) yang juga dikenal dengan
singkatan TBC adalah oenyakit menular paru-paru yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tubercolosis. TB
termasuk dalam 10 besar penyakit yang menyebabkan kematian
dunia. Data WHO menunjukkan bahwa pada tahun 2015,
Indonesia termasuk dalam 6 besar negara dengan kasus baru
TB terbanyak. Sebagai perawat yang bekerja di bidang
kesehatan, bersinggungan dengan penderita TB sangatlah hal
yang lazim. Berkaitan dengan penularan TB melalui kontak
udara yang artinya sangat mudah menular, maka perawat
diharuskan melakukan persiapan yang sesuai SOP jika akan
melakukan kontak dengan pasien TB.

11
2. Penyakit kulit
Penyakit kulit yang biasa sampai dengan radang infeksi kulit
biasa dijumpai terjadi di rumah sakit. Media penularan adalah
melalui kontak tubuh (kulit).
3. HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus adalah lentivirus
(subkelompok retrovirus) yang menyebabkan infeksi HIV dan dari
waktu ke waktu berubah menjadi Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS). AIDS adalah infeksi virus yang bisa
menyebabkan kerusakan yang parah dan tidak bisa diobati pada
sistem imunitas, sehingga korbannya terbuka terhadap infeksi dan
kanker tertentu (Jonathan Weber & Annabel Ferriman). Oleh karena
HIV/AIDS belum ada obatnya, hal ini menjadikan HIV/AIDS
sebagai salah satu penyakit yang mematikan. Media penularan yang
sangat mudah langsung terpapar adalah melalui cairan darah. Data
WHO (2004) dari 35 juta pekerja kesehatan bahwa 3 juta terpajan
patogen darah (2 juta terpajan virus HBV, 0.9 juta terpajan virus
HBC dan 170.000 terpajan virus HIV/ AIDS). Probabilitas penularan
HIV setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HIV 4:
1000
4. Hepatitis
Hepatitis dalam bahasa mudahnya dikenal dengan
peradangan hati. Menurut WHO hepatitis dapat berkembang menjadi
fibrosis, sirosis atau kanker hati. Ada 5 virus hepatitis, yang disebut
tipe A, B, C, D dan E. Akan tetapi, penyebaran penyakit lebih
banyak dijumpai pada virus hepatitis B. Karena, media penularannya
melalui paparan darah infektif, air mani dan cairan tubuh. Kasus
penularan HBV pada 5 tahun silam terjadi secara besar terhadap
tenaga kesehatan dikarekan kerusakan jarum suntik. Penelitian yang
dilakukan peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Lukman Hakim Tarigan, menemukan bahwa pada tahun
2013 terdapat 7000 tenaga kesehatan yang terinfeksi HBV dan

12
sekitar 4900 di antara tenaga kesehatan yang terinfeksi disebabkan
karena kecelakaan jarum suntik, sedangkan sisanya terinfeksi dari
penderita lain.

2.4.2. Penyakit Tidak Menular pada Perawat Akibat Kerja


Menurut hasil penelitian di Cleveland Clinic Hospital dan 22
Rumah Sakit di Ohio (1993-1996) di Amerika Serikat, ditemukan
cedera sprain dan strain paling banyak pada perawat. Low back pain
merupakan keluhan terbanyak dari cedera tersebut dan lebih banyak
menimpa perawat wanita. Penyebabnya ditengarai adalah seringnya
kerja otot statik, seperti mengangkat pasien dan kerja bergilir (work
shift).
1. Sprain adalah cidera pada sendi yang melibatkan robeknya
ligamen dan kapsul sendi.
2. Strain adalah cidera otot atau tendon (urat).
3. Low back pain adalah rasa nyeri yang dirasakan pada punggung
bawah yang sumbernya tulang belakang daerah spinal, otot, saraf
atau struktur lainnya si sekitar daerah tersebut.
Sprain, strain maupun low back pain ini terjadi dikarenakan kerja
perawat yang terus bergerak aktif seperti memindahkan atau
mentransfer pasien. Perawat termasuk kedalam pekerjaan manual
material handling yang mana termasuk ke dalam pekerjaan dengan
aktivitas berat, sehingga penyakit seperti low back pain sering diderita
oleh pekerja jenis ini. Di Amerika Serikat, tenaga pelayanan kesehatan
yang memiliki tingkat tertinggi dari low back pain adalah perawat. Di
Indonesia angka kejadian pasti low back pain diperkirakan dalam
kisaran angka 7, 6-37%.
Hal ini dipertegas oleh Roupa, at all (2008) yang mengemukakan
bahwa staf perawat termasuk ke dalam kelompok profesi beresiko
tinggi untuk terkena cidera muskuloskeletal, terutama di daerah tulang
belakang thorako-lumbal yang akan mengakibatkan low back pain.
(HJS -Healt Science Journal, 2008 dalam Cahyati, 2012)

13
Selain dari sisi fisik, beban kerja perawat juga memengaruhi sisi
mental-psikologis, terkait stressor. Dalam beberapa penelitian, salah
satunya yang berjudul “Hubungan Beban Kerja dan Kondisi Penyakit
dengan Stress Kerja Perawat Pelaksana di Intensive Care Unit (ICU)
RSUD Polewali Mandar” menyatakan bahwa terdapat lima stressor
pada perawat, salah satunya beban kerja yang berlebihan (sebanya
82,2%). Sedangkan menurut PPNI (2006) terdapat 50% perawat
mengalami stress kerja yang berakibat:
1. Pusing, lelah, tidak ada istirahat, yang antara lain dikarenakan
beban kerja yang terlalu tinggi dan pekerjaan yang menyita
waktu (Agung, 2009)
2. Gangguan tidur, Tenaga perawat perlu waktu sepanjang malam
atau waktu yang tidak tentu untuk menjaga pasien, sehingga
mudah mengalami kondisi tidur pendek, tidur kurang lelap,
kesulitan tidur.

2.5. Penyakit atau Cidera Akibat Kecelakaan Kerja pada Perawat


Pengertian kecelakaan kerja menurut standar (Australian AS 1885,
1990) adalah suatu proses atau keadaan yang mengakibatkan kejadian cidera
atau penyakit akibat kecelakaan kerja. An Occupational accident is an
unexpected and unplanned occurrence, including acts of violence, arising out
of or in connection with work which results in one or more workers incurring
a personal injury, disease or death. (ILO/ international Labour
Organizational) Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak
direncanakan, termasuk tindakan kekerasan, yang timbul dari atau hubungan
dengan pekerjaan yang mengakibatkan satu atau lebih pekerja mengalami
cedera, penyakit atau kematian.

Salah satu contoh kecelakan kerja pada profesi perawat adalah tertusuk
jarum suntik. Tertusuk jarum merupakan insiden yang disebabkan oleh
perawat sendiri. Seorang perawat yang kurang berhati-hati, kurangnya
pengalaman dan keterampilan serta kurangnya pengetahuan dapat
menyebabkan kecelakan-kecelakan kecil dan bahkan bisa menyebabkan

14
kecelakan besar dan hingga menyebabkan kematian. Menurut CDC (centre of
disease control) pekerja kesehatan berisiko terpapar darah dan cairan tubuh
yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan infeksi HBV
(Hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan HIV (Human
Immunodeficiency Virus) melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka
tusuk jarum atau yang dikenal dengan istilah Needle Stick Injury atau NSI.
Sebenarnya kecelakaan tertusuk jarum pada profesi perawat dapt dicegah
apabila dalam melakukan tindakan ini sesuai dengan Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. Selain itu upaya pencegahan yang
dapat dilakukan adalah :

1. Memisahkan jarum dan spuit pada tempat yang berbeda.


2. Saat membuang jarum, jangan menggunakan tangan langsung, untuk
mencegah tertusuk, namun menggunakan sarung tangan yang tebal.
3. Menggunakan bengkok untuk menaruh jarum bekas infus setelah
pemasangan infus
4. Kehati-hatian dan konsentrasi sangat diperlukan dalam bekerja, sehingga
resiko cedera dapat dicegah
Untuk mencegah tertusuknya jarum bekas yang dicurigai dengan HBsAg
positif maka diperlukan pencegahan infeksi dengan melakukan imunisasi aktif dan
pasif. Jika telah diberikan imunisasi pasif berupa pemberian Hepatitis B
immunoglobulin (HBIG), juga harus melakukan imunisasi aktif yang diberikan
dengan vaksinasi hepatitis B.

Namun jika upaya pencegahan yang dilakukan tetap tidak membuahkan


hasil, dan perawat tetap mengalami kecelakaan akibat kerja berupa tertusuk jarum
maka pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah:
1. Segera cuci tangan dengan alcohol 70%
2. Guyur luka dibawah air yang mengalir selama 3 menit.
3. Biarkan darah keluar bersama air yang mengalir (agar virus/kuman ikut
keluar bersama darah)
4. Tenang dan jangan panik.
5. Jika tertusuk jarum suntik bekas pasien hepatitis B, maka segera lakukan
imunisasi pasif (suntikan imunoglobulin hepatitis B) maksimal 7 hari

15
setelah tertusuk jarum suntik. Sedangkan untuk HIV positif, resiko pajanan
darah 0.3%
Apabila pertolongan pertama telah dilakukan tindakan selanjutnya yang
harus dilakukan oleh perawat yang mengalami kecelakaan akibat kerja berupa
tertusuk jarum adalah melakukan pelaporan. Adapun tata cara pelaporan
kecelakaan kerja tertusuk jarum adalah sebagai berikut:
1. Setiap petugas yang mengalami inseden atau kecelakaan kerja karena tertusuk
jarum setelah tindakan pada pasien atau tertusuk jarum bekas, jarum infus, pisau
bedah dan benda tajam lainnya yang berhubungan dengan pasien segera di bawa
ke unit gawat darurat untuk diberi pertolongan pertama.
2. Setelah mendapat pertolongan dari UGD, petugas UGD memilah apakah
korban perlu dirujuk atau tidak :
 Bila korban tertusuk jarum pasien pederita HIV-AIDS maka korban perlu
dirujuk.
 Bila korban tertusuk jarum dengan pasien hepatitis atau penyakit infeksi
lain, maka petugas yang mengalami kecelakaan kerja cukup diberi
pertolongan di UGD untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan di
poli pegawai.
 Setelah mendapatkan pertolongan, petugas atau rekan korban melaporkan
kejadian kecelakaan kerja tetapi langsung pada atasan.
 Atasan korban segera membuat laporan insiden atau kecelakaan kerja
dengan formulir laporan insiden pada jam kerja ditanda tangani pelapor
dan diketahui oleh atasan langsung.
 Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan investigasi
sederhana penyebab terjadinya kecelakaan.
 Setelah selesai melakukan investigasi, laporan hasil investigasi dan
laopran insiden dilaporkan ke ketua komite mutu K3RS dalam waktu 2x24
jam setelah terjadinya insiden tau kecelakaan kerja.
 Komite mutu K3RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan
laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi
lanjutan.

16
 Hasil investigasi lanjutan, rekomnedasi dan rencana kerja dilaporkan ke
direksi.
 Rekomendasi untuk perbaikan dan pembelajaran diberikan umpan blik
kepada unit kerja terkait.
 Unit kerja membuat analisa dan trend kejadian insiden atau kecelakaan
kerja di unit kerjanya masing-masing setiap 1 bulan 1 kali.
2.5.1. Diagnosis Penegakkan Penyakit atau Cidera Akibat Kerja dan
Kecelakaan Akibat Kerja
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakan Akibat Kerja (KAK)
adalah suatu penyakit dan keadaan gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh rutinitas pekerjaan atau lingkungan kerja. PAK dan KAK dapat
ditimbulkan dari berbagai faktor pekerjaan itu sendiri, proses kerja, alat
kerja yang dipakai, lingkungan kerja dan juga bahan yang dipakai untuk
bekerja.
Dalam mendiagnosis penyakit dan kecelakaan akibat kerja harus
dilakukan 7 langkah diagnosis yang menjadi pedoman. Langkah-langkah
tersebut adalah:
1. Menentukan diagnosis klinis
Dalam mendiagnosis suatu penyakit harus melalui
beberapa tahapan yaitu: melakukan anamnesis, melakukan
pemeriksaan fisik, dan melakukan pemeriksaan penunjang.
2. Menentukan pajaan
Faktor pajaan merupakan faktor resiko atau bahaya yang
ada di tempat kerja. Bahaya potensial yang dapat
menyebabkan PAK dibagi atas faktor fisik, kimia, biologi,
ergonomic dan psikososial.

3. Menentukan hubungan antara pajaan dengan penyakit


Menentukan hubungan antara pajaan dengan penyakit
dapat dilakukan berdasarkan evidence based dan ditunjang
dengan bukti-bukti yang ada.
4. Menentukan besarnya pajaan

17
Penentu besarnya pajaan dapat dilakukan secara
kuantitatif dengan melihat data pengukuran lingkungan dan
masa kerja atau secara kualitatif dengan mengamati cara kerja.
5. Menentukan faktor peranan individu
Peranan individu yang dimaksud adalah faktor yang
mempercepat terjadinya penyakit akibat kerja atau juga yang
dapat menurunkan kemungkinan penyakit akibat kerja seperti
genetik atau kurangnya kesadaran diri untuk menggunakan
alat pelindung diri (APD).
6. Menentukan faktor lain diluar pekerjaan
Faktor lain yang dimaksud adalah pejanan selain di
tempat kerja seperti gaya hidup yang dapat menunjang atau
mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Melalui bebrapa tahapan diatas dapat dibuktikan bahwa
minimal ada satu faktor pekerjaan yang berperan sebagai
penyakit yang termasuk kategori PAK. Tanpa 7 langkah
diagnosis diatas, Penyakit Akibat Kerja tidak dapat
ditegakkan. Sehingga pemeriksaan dari segala aspek
lingkungan, penderita dan pejanan dapat saling berhubungan
hingga dapat didiagnosis sebagai penyakit akibat kerja (PAK).

2.5.2. Tata Cara Pelaporan Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakan Akibat
Kerja
Setelah melaksanakan penegakkan diagnosis penyakit akibat kerja
dan kecelakaan akibat kerja maka dapat dilakukan pengumpulan,
pengolahan dan dokumentasi data serta pelaporan kegiatan K3 terhadap
Penyakit Akibat Kerja (PAK). Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pelaporan kegiatan K3 ini adalah:
a. Menyusun prosedur pencatatan dan pelaporan serta
penanggulangan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja,

18
kebakaran dan bencana (termasuk format pencatatan dan
pelaporan yang sesuai dengan kebutuhan)
b. Pembuatan sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya
(alur pelaporan kejadian nyaris celaka dan celaka, serta SOP
pelaporan kejadian nyaris celaka dan celaka serta SOP
pelaporan, penanganan dan tindak lanjut kejadian nyaris celaka
(near miss) dan celaka)
c. Pendokumentasian data
d. Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan
pelayanan keselamatan kerja yang disampaikan kepada
Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja
Rumah Sakit.

2.6. Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat


Penyakit akibat kecelakaan kerja pada perawat umumnya berkaitan
dengan faktor biologis (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien),
faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun terus menerus seperti
antiseptik pada kulit, zat kimia atau solvent yang menyebabkan kerusakan
hati), faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah),
faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan
tinggi, radiasi), faktor psikologis (ketegangan di kamar penerimaan pasien,
gawat darurat, karantina). Upaya pengendalian risiko K3 pada perawat
dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah hierarchy of control K3 yang
disesuaikan dengan jenis tindakan keperawatan yang dilakukan (Iwan M.
Ramdan dan Abd. Rahman, 2017).

1. Faktor Biologis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan merupakan tempat
utama berkembang biaknya kuman yang resisten, terutama kuman-kuman
pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci yang bersumber dari pasien,
benda-benda yang terkontaminasi, dan udara. Virus yang menyebar
melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B)
dapat menginfeksi perawat hanya akibat kecelakaan kecil dipekerjaan,

19
misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus.
Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup
tinggi. Menurut Iwan M dan Ramdan, Abd. Rahman (2017), risiko
paparan faktor biologis dikendalikan melalui upaya eliminasi atau
substitusi seperti:
 Mengurangi tindakan injeksi yang tidak perlu
 Seluruh perawat harus mendapat pelatihan dasar tentang
kebersihan, epidemilogi dan desinfeksi
 Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk
memastikan dalam keadaan sehat, punya cukup kekebalan alami
untuk bekerja dengan bahan infeksius, dan dilakukan imunisasi
 Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang
benar
 Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan
infeksius dan spesimen secara benar
 Pengelolaan limbah infeksius dengan benar
 Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai
 Kebersihan diri dari perawat
 Menghilangkan benda tajam atau jarum yang tidak diperlukan
 Menggunakan konektor tanpa jarum
 Sosialisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
 Pemeriksaan secara berkala
 Pengawasan terhadap pelaksanaan SOP
 Membuat SOP kejadian tidak diharapkan (KTD) agar apabila
terjadi kecelakaan kerja ada pedoman yang harus dilakukan
2. Faktor Ergonomi
Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara
populer kedua pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the
Man and to fit the Man to the Job. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan
dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien
dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan
psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri

20
pinggang kerja (low back pain). Risiko ini terdapat pada sebagian besar
kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan angkat angkut, posisi duduk,
ketidaksesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Menurut
Gallagher & Sunley, (2013), upaya pengendalian untuk risiko ergonomi
dapat dilakukan seperti:

Gambar 1
Perawat yang memasang infus di pasien dengan kondisi tempat tidur terlalu
rendah bagi si perawat

Gambar 2
Perawat yang menginjeksi pasien dengan kondisi tempat tidur sesuai dengan
tinggi perawat sehingga perawat tidak terlalu menunduk

21
 Mengganti atau memperbaiki tempat tidur yang bisa diatur
ketinggiannya agar bisa disesuaikan dengan tinggi perawat
(engineering control)

Gambar 3 Gambar 4
Perawat bersiap memindahkan pasien Perawat membungkuk untuk memindahkan
pasien

 Pada saat merawat pasien apabila ada gerakan condong ke depan


sebelum membungkuk, harus dengan satu tangan sebagai tumpuan
badan untuk menghindari pinggang mendapat beban terlalu besar.
Apabila perlu memindahkan pasien, harus dengan kedua kaki
merendah sehingga pusat beban terkurang untuk menghindari
terjadinya cedera di bagian pinggang.
 Jagalah posisi duduk yang benar, bagian punggung sebaiknya
menempel di punggung kursi, untuk menghindari tulang pinggang
melengkung, dapat diganjal dengan barang tumpuan kecil atau
bantal kecil, untuk mengurangi beban di tulang pinggang.

Gambar 5
Posisi Duduk yang Benar

Sumber : www.portal.ptpn12.com

22
8. Faktor Fisik
Menurut Gallagher & Sunley (2013), upaya pencegahan paparan factor
fisik seperti:
 Pengendalian cahaya yang tepat
 Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum yang cukup
memadai
 Pengaturan jadwal kerja yang sesuai
 Filter untuk mikroskop untuk pemeriksa demam berdarah 
 Penyediaan kontainer bekas jarum infuse
 Penggunaan jarum infus yang lebih aman
9. Faktor Kimia
Perawat sering kali kontak dengan bahan kimia dan obat-obatan
seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak digunakan
dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling
karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak
negatif terhadap kesehatan mereka. Gangguan kesehatan yang paling
sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada umumnya
disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh
karena alergi (keton). Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane)
jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan
penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan
basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada
daerah yang terpapar. Menurut Gallagher & Sunley (2013), pencegahan
dari paparan factor kimia dapat dilakukan dengan:
 ”Material safety data sheet” (MSDS) dari seluruh bahan kimia
yang ada harus diketahui oleh seluruh petugas kesehatan. Zat kimia
dapat berbentuk cairan, padat, gas, dan uap. Suatu bahan kimia
yang tumpah dapat dikatakan berbahaya apabila suatu zat kimia
tersebut berdampak buruk bagi kesehatan manusia ketika kontak
fisik secara langsung baik terkena kulit maupun terhirup secara
langsung. Adapun bahan-bahan kimia yang berbahaya tersebut
antara lain: asam sulfat (H2SO4), asam klorida, asam perklorat,

23
hydrogen peroksida (H2O2), asam sianida, benzena (C6H6), dan
toluene (C6H5CH3).
Penangan yang sangat tepat dalam tumpahan zat kimia adalah
dengan mengikuti data atau petunjuk penanganan bahan dalam
MSDS. Prosedur penanganan tumpahan zat kimia secara umum
adalah:
a. Mengenali tumpahan zat kimia tersebut dan mengetahui
teknik aman penanganannya.
b. Memastikan penggunaan alat pengaman diri
c. Mencegah tumpahan meluas dan hentikan sumber
tumpahan zat kimia tersebut
d. Menangani di tempat dengan cara menetralisasi. Tumpahan
zat kimia disiram dengan air kemudian di netralisasi
menggunakan cairan basa atau soda., dan disapu ke saluran
drainase.
 Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk
mencegah tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol
 Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan,
celemek, jas laboratorium) dengan benar
 Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara
mata dan lensa
 Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar
10. Faktor Psikososial
Risiko bahaya psikologi dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa
pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut
hidup mati seseorang, untuk itu perawat dituntut untuk memberikan
pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan
keramahan-tamahan. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat
monoton. Hubungan kerja yang kurang baik antara sesama perawat,
perawat dengan pasien, maupun perawat dengan pimpinan. Beban mental
karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor formal ataupun

24
informal. Risiko psikologi akan memberikan pengaruh pada perilaku atau
semangat kerja perawat sehingga produktivitasnya akan menurun.
Upaya pengendalian yang dilakukan untuk risiko ini adalah dengan
mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff, dan pimpinan pada
acara-acara bersama yang bertujuan agar terjalin komunikasi dengan baik.
Sehingga secara psikologi hal ini berdampak baik pada proses
pengakraban, dengan harapan risiko bahaya psikologi dapat ditekan
seminimal mungkin.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa perawat di instalasi gawat
darurat berisiko untuk mengalami gangguan terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja yang bersumber dari aktivitas asuhan keperawatan
yang dilakukannya, untuk itu diperlukan berbagai upaya pengendalian
risiko. Langkah awal agar pengendalian berbagai risiko kesehatan dan
keselamatan kerja untuk perawat di Rumah Sakit agar berhasil optimal
maka perlu dibudayakan K3 di berbagai bagian di Rumah Sakit. Sesuai
dengan pendapat Mulyati dkk. (2016) bahwa budaya keselamatan dan
kesehatan kerja di Rumah Sakit merupakan kunci untuk tercapainya
peningkatan kesehatan dan keselamatan kerja dalam organisasi.

2.7. Ergonomi Kesehatan


Ergonomi berasal dari bahasa yunani, yaitu “ergon” yang berarti kerja
dan “nomos” yang berarti ilmu yang mempelajari. Dengan kata lain ergonomi
dapat diterjemahkan sebagai ilmu yang mempelajari tentang pekerjaan atau
sistem kerja, termasuk di dalamnya adalah pekerja, peralatan kerja dan tempat
kerja dari pekerja (Occupational Health and Safety second edition, 1994).
Ergonomi adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan
kerjanya, yaitu keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, organisasi
atau metode kerjanya dan sekitar lingkungan kerjanya (Suyatno, 1985). Selain
itu menurut Corlett dan Clark (1995), ergonomi merupakan ilmu yang
mempelajari kharakteristik dan kemampuan manusia yang mempengaruhi
desain pekerjaan, peralatan, dan sistem kerja.

25
Manuaba (2000) mendefinisikan ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan
seni untuk menserasikan alat, cara kerja dan lingkungan pada kemampuan,
kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan
lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai
produktivitas setinggi-tingginya. Dengan ergonomi kita mampu menekan
dampak negatif pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan hendaknya
ergonomi dimasukkan sedini mungkin bahkan dari mulai rancangan sehingga
dapat menekan kesalahan sesedikit mungkin.
Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
ergonomi merupakan penerapan ilmu multidisiplin yang mempelajari interaksi
antara manusia dalam hal ini adalah kemampuan dan kapasitasnya, alat kerja
dan lingkungan kerja agar terciptanya kesesuaian diantaranya sehingga
terciptanya efisiensi dan produktivitas kerja yang maksimal.
2.7.1. Tujuan Ergonomi
Secara umum, tujuan ergonomi adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya
pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan
beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan
kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan
kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja
secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik
selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak
produktif.
3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek
yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari
setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas
kerja dan kualitas hidup yang tinggi.

Napitupulu Natassia (2009) mengungkapkan bahwa tujuan dalam


penerapan ergonomi antara lain:

 Meminimalisir angka cedera dalam melakukan pekerjaan


 Mengurangi biaya penanganan kecelakaan atau kesakitan

26
 Mengurangi kunjungan berobat
 Meningkatkan produktivitas/ kualitas dan keselamatan kerja
 Pekerja merasa nyaman dalam bekerja
 Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental
 Meningkatkan kesejahteraan social
 Menciptakan keseimbangan rasional antara aspek teknis,
ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja.

2.7.2. Ruang Lingkup Ergonomi


Ergonomi bersangkutan dengan keilmuan lain diantaranya meliputi
ilmu anatomi, psikologi dan karakter psikologi seeorang yang
mempengaruhi atau menetapkan desain dan kegunaan dari tempat kerja,
posisi bekerja, dan atau suatu pengoprasian dan dengan memastikan
bahwa desain tersebut yang berhubungan dengan tugas, peralatan,
perlengkapan serta prosedur yang sesuai dengan keterbatasan manusia
dan kapasitas penggunaannya (Fraser & Pityn, 1994).Jika dilihat dari
sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja
harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi
kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan pekerjaan tidak boleh terlalu
rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload),
karena keduanya dapat menyebabkan stress. Konsep keseimbangan antara
kapasitas kerja dengan tuntutan tugas dapat diilustrasikan pada gambar
dibawah ini:

27
Dalam hal ini ergonomi bisa dibagi menjadi beberapa bagian untuk
memudahkan pemahamannya. Ruang lingkup ergonomi antara lain:

 Ergonomi fisik: berkaitan dengan anatomi tubuh manusia,


anthropometri, karakteristik fisiologi dan biomekanika yang
berhubungan dengan aktifitas fisik.
 Ergonomi kognitif: berkaitan dengan proses mental manusia,
termasuk di dalamnya; persepsi, ingatan, dan reaksi, sebagai
akibat dari interaksi manusia terhadap pemakaian elemen sistem.
 Ergonomi organisasi: berkaitan dengan optimasi sistem
sosioleknik, termasuk sturktur organisasi, kebijakan dan proses.
 Ergonomi lingkungan: berkaitan dengan pencahayaan,
temperatur, kebisingan, dan getaran. (Napitupulu Natassia, 2009)

2.7.3. Metode Ergonomi

28
Beberapa metode dalam artikel ergonomi dari departemen
kesehatan Republik Indonesia, dalam menilai ergonomis atau tidaknya
suatu lingkungan kerja, yaitu:
1. Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja,
inspeksi tempat kerja penilaian fisik pekerja, uji pencahayaan,
ergonomik checklist dan pengukuran lingkungan kerja lainnya.
Variasinya akan sangat luas mulai dari yang sederhana sampai
kompleks.
2. Treatment, pemecahan masalah ergonomi akan tergantung data
dasar pada saat diagnosis. Kadang sangat sederhana seperti
merubah posisi meubel, letak pencahayaan atau jendela yang
sesuai.
3. Follow-up, dengan evaluasi yang subyektif atau obyektif, subyektif
misalnya dengan menanyakan kenyamanan, bagian badan yang
sakit, nyeri bahu dan siku, keletihan, sakit kepala dan lain-lain.
Secara obyektif misalnya dengan parameter produk yang ditolak,
absensi sakit, angka kecelakaan dan lain-lain.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Keselamatan kerja atau Occupational Safety, dalam istilah sehari-hari
sering disebut dengan safety saja, oleh American Society of Safety Engineers
(ASSE) diartikan sebagai bidang kegiatan yang ditujukan untuk mencegah
semua jenis kecelakaan yang ada kaitannya dengan lingkungan dan situasi
kerja. Keselamatan kerja sangat diperlukan bagi tenaga kesehatan yang
bekerja di suatu rumah sakit, puskesmas maupun klinik. Karena, banyaknya

29
faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan seperti tertular penyakit dan
cidera akibat kecelakaan kerja.
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan,
alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian,
penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made
disease. Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat lain yang menyatakan
bahwa Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani
maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja
atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan. Ada banyak faktor-faktor
resiko yang dapat menimbulkan penyakit dan cidera akibat kerja, mulai dari
faktor biologi, kimia, ergonomi, fisik hingga psikososial yang ada dapat
mengantarkan perawat beresiko terkena penyakit baik menular maupun
penyakit yang tidak menular.
Upaya pengendalian risiko kesehatan dan keselamatan kerja pada
perawat dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah hierarchy of control K3
yang disesuaikan dengan jenis tindakan keperawatan yang dilakukan (Iwan M.
Ramdan dan Abd. Rahman, 2017). Mulai dari pengendalian faktor biologis
seperti lingkungan, faktor kimia, faktor fisik, faktor ergonomi hingga faktor
psikososial.

DAFTAR PUSTAKA

Evryanti.2012.Kajian Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Petugas


Kesehatan dan Petugas Kebersihan Klinik X Tahun 2012. Skripsi. Tidak
Diterbitkan.

Ningsih, Kusiah Warti. 2017. Keluhan Low Back Pain pada Perawat Rawat Inap
RSUD Selasih Pangkalan Kelinci. Jurnal IPTEKS Terapan V11.i1 (75-88).
(https://doi.org/10.22216/jit.2017.v11i1.1466)

30
Anies. 2005. Seri kesehatan umum: penyakit akibat kerja. Elex media
komputindo. Jakarta

Tukatman; Sulistiawati; Puwaningsih; Nursalam. 2015. Analysis of Nurse’s


Occupational Health in Managing Patients in Benyamin Guluh Hospital
Kolaka Regency. Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 (343–347)
Candrawati, Erlisa; Joko, Wiyono; Silvia, Maria, P. 2015. Kejadian Kecelakaan
Kerja Perawat Berdasarkan Tindakan Tidak Aman. Jurnal Care Vol 3 No. 2
Australian Standard. (1990). Australian Standard AS 1885.1-1990: Workplace
Injury and Disease Recording Standard.
Heinrich, HW. Petersen, DC, Roos, NR., Hazlett, S., 1980. Industrial Accident
Prevention: A Safety Management Approach. NY: McGraw-Hill
Adzim, HI. (2013). Penyakit Akibat Kerja.
(http://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.com/2013/10/penyakita
kibat-kerja-pak.html . 11.24. 7.39)
Khunder SA, Schaub EA Bisesi MS, Krabill ZT. Injuries and Illness Among
Hospital Workers in Ohio. A study worker’s Compensation Claims from
1993 to 1996. JOEM, 41; 1999: 53-8.
Iwan M. Ramdan, Abd. Rahman. 2017. Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) pada Perawat. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5, 239-240.

Gallagher, R., & Sunley, K. (2013). Sharps safety. RCN Guidance to support the
implementation of the health and safety. UK: Royal College of Nursing.

Mulyati, L., Rachman, D., & Herdiana, Y. 2016. Fakor Determinan yang
Memengaruhi Budaya Keselamatan Pasien di RS Pemerintah Kabupaten
Kuningan. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(2).

Napitupulu Natassia. 2009. Gambaran Penerapan Ergonomi Dalam Penggunaan


Komputer pada Pekerja di PT.X. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia: Jakarta, diakses 31 Agustus 2018,
(http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/126790-S-5669-Gambaran
%20penerapan-Literatur.pdf)

31
Manuaba, A.2000. Ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Editor: Sritomo
Wignyosubroto an Stefanus Eko Wiranto. Proceeding Seminar Nasional
Ergonomi 2000, Guna Wijay, Surabaya: 1-4, diakses 31 Agustus 2018,
(http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/1085/1167)

Laraswati Hervita. 2009. Analisis Risiko Musculuskeletal Disorders (MSDs) pada


Pekerja Laundry Tahun 2009 (Studi Kasus pada 12 Laundry Sektor Usaha
Informal di Kecamatan Beji Kota Depok). Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia: Jakarta, diakses 31 Agustus 2018,
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126049-S-5687-Analisis%20resiko-
Literatur.pdf)

Ekie Gilang Permata, Abdurrahman Husni. 2016. Analisi Gangguan


Muskuloskletal Terhadap Perawat Berdasarkan Tingkat Paparan dengan
Menggunakan Metode Movement and Assistance of Hospital Patients
(mapo) Index. Jurnal Hasil Penelitian dan Karys Ilmiah dala Bidang
Teknik Industri, Vol.2 (1).

Binarfika Magfiroh Nuryaningtyas dan Tri Martiana. 2014. Analisa Tingkat


Risiko Muskuloskletal Disorders (MSDs) Dengan The Rapid Upper Limbs
Assessment (RULA) Dan Karakteristik Individu Terhadap Keluhan MSDs.
The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 3 (2).

32

Anda mungkin juga menyukai