OLEH :
KELOMPOK 7
2023
I. KONSEP TEORI
Kelenjar Prostat Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron.
Dalam sel-sel kelenjar prostat, hormone akan tumbuh menjadi Dihidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim αreduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu mRNA dalam
sel-sel kelenjar prostat yaitu sejenis hormon yang memacu sintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria
yang berusia 80 tahun. Pemebesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran
urine sehingga menimbulkan gangguan miksi.
B. Definisi
BPH (Benign Prostatic Hyperthropy) atau bisa disebut Hipertrofi Prostat Jinak
merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran
zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat. BPH adalah pembesaran prostat yang
mengenai uretra dan menyebabkan gejala uritakaria. Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna
adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50
tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius
(Nuari, 2017). Selain itu menurut Budaya (2019), BPH dikarakteristikkan sebagai
peningkatan jumlah sel-sel stroma dan epitel prostat di area periuretra yang merupakan suatu
hyperplasia dan bukan hipertrofi, selain itu secara etiologi pada BPH terjadi peningkatan
jumlah sel akibat dari proliferasi sel-sel stroma dan epitel prostat atau terjadi penurunan
kematian sel-sel prostat yang terprogram. Menurut Brunner (2013) kelenjar prostat
membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih dan menghambat aliran keluarnya urine.
Berkemih yang tidak tuntas dan retensi urine yang memicu stasis urine dapat menyebabkan
hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi saluran kemih. Dimana penyebab gangguan tersebut
tidak dipahami dengan baik, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal. BPH
sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40 tahun.
C. Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan menjadi empat, yaitu:
1. Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis, masih terasa kira-kira 60- 150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau dysuria
dan menjadi nocturia.
3. Staudium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan, urine menetes
secara periodic ontinen
D. Etiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui, namun beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan kadar
dihidrotestoteron (DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia antara lain:
1. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat pentng
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam
sel prostat oleh 5αreduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-
RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek 9 klinis dengan pemberian 5α-
reduktase inhibitor yang menghambat perubahan testosteron menjadi
dihidrotestosteron, dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume
prostat 20-30%.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Diketahui bahwa estrogen di
dalam prostat berperan pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat terhadap rangsangan hormone
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian terprogram sel-sel prostat (apoptosis). Sehingga meskipun rangsangan
terbentuknya selsel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan
epitel.
4. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis)
sel prostat Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa,
penambahan jumlah sel prostat seimbang dengan sel yang mengalami apoptosis.
Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan
jumlah sel prostat meningkat sehingga terjadi pertambahan massa prostat.
5. Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel
baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel punca yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang
meningkat 10 mengakibatkan proliferasi sel transit. Kehidupan sel ini sangat
bergantung pada keberadaan hormone androgen sehingga jika hormone ini
kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, akan menyebabkan
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan
pada sel stroma maupun sel epitel.
6. Teori inflamasi kronis
Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS)
menunjukkan bahwa volume prostat dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih
cepat dibandingkan dengan tanpa inflamasi.
E. Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasi, sejalan dengan pertambahan usia. Jika
prostat membesar, maka akan meluas ke atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam
akan mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan tersebut
dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra
prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat
memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus akan menyebabkan perubahan
anatomi dari kandung kemih berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sekula, dan divertikel kandung kemih. Dimana tekanan intravesikel yang tinggi diteruskan ke
seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan tersebut jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Muttaqin, 2011).
Untuk mengkaji berat/ringannya gejala BPH dapat menggunakan grading
International Prostatic Symptom Score (IPSS), sebagai berikut:
Produksi berlebihan
BPH
hidroureter
Terbentuknya selula ,sekula, dan Tekanan
diventrikel buli buli mekanis
Hidronefrosis
LUTS Merangsang
nosiseptor
Gejala obstruktif :
Medulla
Intermitten, hesitensi, spinalis
terminal dribbling, pancaran
lemah, BAK tidak puas
Hipotalamus
Otak
Persepsi
nyeri
Nyeri akut
Kurang terpapar informasi Tindakan invasive
tentang prosedur
pembedahan
Ansietas
Resiko infeksi
Perdarahan
Tidak terkontrol
Resiko perdarahan
F. Manisfestasi Klinis
Menurut Nuari 2017, manifestasi klinis yang timbulkan oleh BPH disebut sebagai syndroma
prostatisme. Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, antara lain:
1. Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destructor buli-buli memerlukan waktu beberapa
lama meningkatkan tekanan intravesikel guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan intravesikel sampai
berakhirnya miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran destrussor memerlukan
waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
2. Gejala iritasi
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
b. Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam
hari (nocturia) dan pada siang hari
c. Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing
I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nuari 2017, pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien BPH adalah
antara lain:
1. Sedimen urin
Untuk mncari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi slauran kemih.
2. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
3. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urine.
4. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
5. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
6. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat prostat ke dalam rectum
J. Komplikasi
Komplikasi BPH dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu komplikasi pada traktus
urinarius dan komplikasi di luar traktus urinarius. Di dalam traktus urinarius komplikasi BPH
meliputi retensi urine berulang atau kronis, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, batu
kandung kemih, perubahan patologi pada kandung kemih (trabekulasi, sakulasi divertikel),
hidroureteronefrosis bilateral dan gagal ginjal. Sedangkan 16 komplikasi di luar traktus
urinarius adalah hernia dan hemoroid (Budaya, 2019)
Selain itu menurut Harmilah (2020), komplikasi pembesaran prostat meliputi:
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi urine). Pasien
memerlukan kateter yang dimasukkan ke kandung kemih untuk
menampung urine. Beberapa pria dengan pembesaran prostat
membutuhkan pembedahan untuk meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK).
Ketidakmampuan untuk mengososngkan kandung kemih dapat
meningkatkan resiko infeksi saluran kemih.
c. Batu empedu.
Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk sepenuhnya
mengosongkan kandung kemih. Batu kandung kemih daoat menyebabkan
infeksi, iritasi kandung kemih, adanya darah dalam urine, dan obstruksi
saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih.
Kandung kemih yang tidak dikosongkan sepenuhnya dapat meregang dan
melemah seiring waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih tidak lagi
berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal.
Tekanan di kandung kemih dari retensi urine langsung dapat merusak
ginjal atau memungkinkan infeksi kandung kemih mencapai ginja
K. Penatalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH tergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH antara lain:
a. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan biasanya pasien dianjurkan
untuk mengurangi minum, setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat- 17 obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan
kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.
b. Terapi medikamentosa
a) Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin): menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan tekanan
pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala
berkurang
b) Penhambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil
c. Terapi bedah Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk
terapi bedah yaitu:
a) Retensi urine berulang
b) Hematuria
c) Tanda penurunan fungsi ginjal
d) Infeksi saluran kemih berulang
e) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f) Ada batu saluran kemih Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang
dilakukan antara lain sebagai berikut:
1) Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas mikro-gelombang
transuretra (Transurethral Microwave Heat Treatment /TUMT), kompres panas
ke jaringan prostat, ablasi jarum transuretra (Transurethral Needle
Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang ditempatkan di dalam kelenjar
prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk pasien retensi kemih dan untuk pasien
yang memiliki resiko bedah yang buruk).
2) Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/ TURP (Transurethral
Resection of The Prostate) yang merupakan standar terapi bedah, insisi prostat
transuretra/ TUIP (Transurethral Incision of The Prostate), elektrovaporisasi
transuretra, terapi laser, dan prostatektomi terbuka.
d. Kateterisasi urine Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang mengalami
gangguan perkemihan karena retensi urine. Kateterisasi urine adalah tindakan
memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih.
Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara continue pada pasien yang
tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada
saluran kemih
1. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Menurut Siregar (2021), pengkajian keperawatan merupakan langkah pertama dalam
proses keperawatanyang mencakup pengumpulan data yang sistematis, verifikasi data,
pengorganisasian data, intepretasi data, dan melakukan dokumentasi data dan
dilakukan oleh perawat yang professional di bidang kesehatan. Menurut Diyono
(2019), pengkajian keperawatan meliputi antara lain:
1) Riwayat keperawatan
BPH biasanya tidak langsung menimbulkan masalah yang berat pada pasien.
Secara umum gejala yang dikeluhkan pasien hanyalah sulit buang air kecil dan
beberapa waktu 19 kemudian dapat berkurang dan baik lagi. Untuk mengkaji
berat/ringannya gejala BPH dapat menggunakan grading International Prostatic
Symptom Score (IPSS), sebagai berikut:
2) Keluhan utama Adanya retensi urine atau gejala komplikasi harus diidentifikasi
dengan cermat. Perawat dapat menanyakan kepada pasien dan keluarga tentang
keluhan yang dirasakan seperti tidak bias berkemih, badan lemas, anoreksia,
mual muntah, dan sebagainya.
3) Persepsi dan manajemen kesehatan Kaji dan identifikasi pola penanganan
penyakit yang dilakukan pasien dan keluarga. Termasuk dalam hal apa yang
dilakukan jika keluhan muncul.
4) Pola eliminasi Kaji masalah berkemih seperti retensi urine, nokturia, hesistensi,
frekuensi, urgensi, anuria, hematuria.
5) Pola aktivitas dan latihan Bagaiamana pola aktivitas pasien terganggu dengan
masalah BAK, misalnya kelelahan akibat tidak bias tidur, sering ke kamar
mandi, dan sebagainya.
6) Pola tidur Identifikasi apakah gangguan berkemih sudah mengganggu istirahat
tidur.
7) Pola peran Apakah peran dan fungsi keluarga terganggu akibat gangguan
berkemih.
8) Pemeriksaan fisik Identifikasi retensi urine, lakukan palpasi suprapubic. Periksa
ada tidaknya gejala komplikasi seperti udem, hipertensi, dan sebagainya.
9) Pemeriksaan diagnostik Amati hasil pemeriksaan USG, BNO, IVP dan hasil
laboratorium. Perhatikan adanya kesan pembesaran prostat, hidroureter,
hidronefrosis, hipeureki, peningkatan kratinin, leukosit, anemia, dan sebagainya.
10) Program terapi Kelola dengan baik program operasi, pemasangan kateter,
monitoring laboratorium, dan sebagainya.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau
komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan actual atau potensial yang
membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan (Siregar, 2021). Adapun diagnosa
keperawatan yang muncul adalah:
a. Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peingkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
b. Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasive
3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembedahan
3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan merupakan tahapan ketiga dalam proses keperawatan, dimana
perencanaan adalah fase dalam proses keperwatan yang melibatkan pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah yang mengacu dari hasil pengkajian dan diagnosis
keperawatan (Siregar, 2021).
4. Implementasi
Menurut Siregar (2021), implementasi merupakan pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan yang dikembangkan selama tahap perencanaan. Implementasi mencakup
penyelesaian tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya dan menilai pencapaian atau kemajuan dari kriteria hasil pada diagnosa
keperawatan. Implementasi bertujun untuk membantu pasien mencapai kesehatan yang
optimal dengan promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi pasien mengatasi fungsi tubuh yang berubah dalam berbagai fasilitas
kesehatan seperti pelayanan kesehatan di rumah, klinik, rumah sakit, dan lainnya.
Implementasi juga mencakup pendelegasian tugas dan pendokumentasian tindakan
keperawatan.
5. Evaluasi
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan proses seberapa jauh
keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Evaluasi dilakukan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencenaan, membanduingkan hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian,
perencanaan dan pelaksanaan. Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:
- S: keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga atau pasien setelah
diberikan implementasi keperawatan.
- O: keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan
yang objektif.
- A: analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif meliputi
masalah teratasi (perubahan tingkah laku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan
kriteria pencapaian yang sudah ditetapkan), masalah teratasi sebagian (perubahan dan
perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian yang sudah
ditetapkan), masalah belum teratasi (sama sekali tidak menunjukkan perubahan
perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan muncul masalah baru).
- P: perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, C. P. 2017. Analisis Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Resiko
Pendarahan Post Transurethral Resection Prostate (TURP) Di Ruang Edel Weis Rumah Sakit Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Gombang: Program Studi Ners Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombang. Diakses tanggal 12 Oktober 2019.
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/741/1/CAHYA%20PUJI%20ANGGR AENI%20NIM.
%20A31600879.pdf.
Annisa, N. N,. 2017. Asuhan Keperawatan Klien Post OP BPH Dengan Resiko Infeksi di Ruang
Flamboyan RSUD Dr. Harjono. Ponorogo: Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Arifianto, et.al. (2019). The Effect of Benson Relaxation Technique on a Scale Of Postoperative Pain
in Patients with Benign Prostat Hyperplasia at RSUD dr. H Soewondo Kendal, Media Keperawatan
Indonesia, Volume 2, No.1. Diakses pada tanggal 02 Juni 2020.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/MKI/article/download/4509/pdf
Aspiani, R. Y. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan Aplikasi NANDA. NIC. NOC . Jakarta: Trans Info Medika.
Atoilah, E. M., & Engkus, K. 2013. Askep Pada Klien Dengan Gangguan Kebutuhan Dasar Manusia.
Garut: Penerbit IN MEDIA.
Jitowiyono, S. & Weni, K. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi Pendekatan Nanda, NIC,NOC.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Muttaqin, A. (2011). Pengkajian Keperawaan Aplikasi Pada Praktik Klinik. Jakarta: Salemba
Medika.
Nurarif, Amin H. dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan nanda nic-noc, Edisi revisi jilid 1. Jokjakarta: Mediaction.
Olfah, Y. 2016. Dokumentasi Keperawatan. Jakarta Selatan : Pusdik SDM Kesehatan. Di Akses
tanggal 26 Oktober 2019 http:/bppsdmk.kemkes.go.id.
Prabowo, E., & Andi Eka P,. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Rosdahl, C.B dan Kawalski, M.T. 2015. Buku Ajar Keperawatan Dasar Edisi 10 Volume 3. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
Smeltzer S. C,. & Brenda G. Bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth’s Edisi 8 Vol 2 Alih Bahasa Kuncana, H. Y. et.al. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Solehati, T., & Kosasih, C. E. (2015). Konsep & Aplikasi Relaksasi dalam Keperawatan Maternitas.
Bandung: Refika Aditama.
Sueb & Triwibowo, Cecep. 2016. Relaksasi benson dapat menurunkan nyeri paska Trans-Uretral
Resection of the Prostate (TURP), Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 11, No.2. Diakses pada tanggal 21 Desember 2019.
http://www.jks.fikes.unsoed.ac.id/index.php/jks/article/view/647/391