Di susun oleh:
FEIBY BIDIASTUTI
NIM.14420212139
CI INSTITUSI CI LAHAN
(…………………………….) (…………………………)
Ketidakpatenan aktivitas
sel punca Hyperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar
prostat
Produksi berlebihan
BPH
BPH
Kontraksi otot
Peningkatan kontraksi
Retensi Kontraksi tidak suprapubik
otot destrusor,
urine adekuat
trabekulasi
Tekanan mekanis
hidronefrosis
LUTS Medulla spinalis
perdarahan
Tidak terkontrol
Resiko perdarahan
5. Manisfestasi klinik
Menurut (Nuari, 2017), manifestasi klinis yang timbulkan oleh BPH
disebut sebagai syndroma prostatisme. Sindroma prostatisme ini dibagi
menjadi dua, antara lain:
a. Gejala obstruktif
1) Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destructor
buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikel guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
2) Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
mempertahankan tekanan intravesikel sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
b. Gejala iritasi
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang hari.
3) Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
6. Kamplikasi
Komplikasi BPH dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu komplikasi
pada traktus urinarius dan komplikasi di luar traktus urinarius. Di dalam
traktus urinarius komplikasi BPH meliputi retensi urine berulang atau
kronis, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih,
perubahan patologi pada kandung kemih (trabekulasi, sakulasi divertikel),
hidroureteronefrosis bilateral dan gagal ginjal. Sedangkan komplikasi di
luar traktus urinarius adalah hernia dan hemoroid. Selain itu menurut
(Harmilah, 2020) komplikasi pembesaran prostat meliputi:
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi urine).
Pasien memerlukan kateter yang dimasukkan ke kandung kemih untuk
menampung urine. Beberapa pria dengan pembesaran prostat
membutuhkan pembedahan untuk meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk mengososngkan
kandung kemih dapat meningkatkan resiko infeksi saluran kemih.
c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk
sepenuhnya mengosongkan kandung kemih. Batu kandung kemih
daoat menyebabkan infeksi, iritasi kandung kemih, adanya darah
dalam urine, dan obstruksi saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak dikosongkan
sepenuhnya dapat meregang dan melemah seiring waktu. Akibatnya
dinidng kandung kemih tidak lagi berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine
langsung dapat merusak ginjal atau memungkinkan infeksi kandung
kemih mencapai ginjal.
7. Pemeriksaan penunjang
Menurut (Nuari, 2017), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien BPH adalah antara lain:
a. Sedimen urin Untuk mncari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi slauran kemih.
b. Kultur urin Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau
sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa anti
mikroba yang diujikan.
c. Foto polos abdomen Mencari kemungkinan adanya batu saluran
kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urine.
d. IVP (Intra Vena Pielografi) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal
atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan
besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
e. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal) Untuk mengetahui
pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
f. Systocopy Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang
uretra parsprostatika dan melihat prostat ke dalam rectum.
8. Penetalaksanaan
Menurut (Nuari, 2017), penatalaksanaan terapi BPH tergantung pada
penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Berikut beberapa
penatalaksanaan BPH antara lain:
a. Observasi (watchfull waiting) Biasa dilakukan untuk pasien dengan
keluhan ringan dan biasanya pasien dianjurkan untuk mengurangi
minum, setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat- obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan
tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan
pemeriksaan colok dubur.
b. Terapi medikamentosa
1) Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin): menghambat
reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi
relaksasi. Hal ini menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika
sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
2) Penhambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
c. Terapi bedah Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
1) Retensi urine berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
Ada batu saluran kemih Menurut (Suddarth, 2013) ,beberapa
tindakan bedah yang dilakukan antara lain sebagai berikut:
1) Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas
mikro-gelombang transuretra (Transurethral Microwave Heat
Treatment /TUMT), kompres panas ke jaringan prostat, ablasi
jarum transuretra (Transurethral Needle Ablation/TUNA),
melalui jarum tipis yang ditempatkan di dalam kelenjar prostat,
sten prostat (tetapi hanya untuk pasien retensi kemih dan untuk
pasien yang memiliki resiko bedah yang buruk).
2) Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/ TURP
(Transurethral Resection of The Prostate) yang merupakan
standar terapi bedah, insisi prostat transuretra/ TUIP
(Transurethral Incision of The Prostate), elektrovaporisasi
transuretra, terapi laser, dan prostatektomi terbuka.
d. Kateterisasi urine
Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang mengalami
gangguan perkemihan karena retensi urine. Kateterisasi urine adalah
tindakan memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra kedalam
kandung kemih. Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir
secara continue pada pasien yang tidak mampu mengontrol
perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada saluran
kemih.
9. Prognosis
a. Riwayat keperawatan BPH biasanya tidak langsung menimbulkan
masalah yang berat pada pasien. Secara umum gejala yang dikeluhkan
pasien hanyalah sulit buang air kecil dan beberapa waktu kemudian
dapat berkurang dan baik lagi. Untuk mengkaji berat/ringannya gejala
BPH dapat menggunakan grading International Prostatic Symptom
Score (IPSS), sebagai berikut:
Pernyataan Skor Keterangan
Dalam satu bulan terakhir apakah anda : 1 = tidak pernah
1. Merasakan BAK tidak lampias 2 = 1 dari 5 kali BAK
2. Merasa inginBAK 30 setelah BAK 3 = <50% dari BAK
3. Aliran urine berhenti setelah BAK 4 = > 50% dari BAK
4. Bila terasa BAK tidak dapat menahan 5 = selalu/setiap BAK
5. Merasa aliran urine lemah saat BAK
6. Harus mengejan kuat saat BAK
Dalam satu bulan terakhir apakah anda 0 = Tidak pernah
merasakan sering kencing pada malam hari/ 1 = 1 kali
terbangun untuk tidur BAK 2 = 2 kali
3 = 3 kali
4 = 4 kali
5 = 5 kali
Dengan masalah BAK yang anda alami 1 = sangat puas
merasakan bagaimana hidup anda ? 2 = sangat senang
3 = senang
4 = Ragu-ragu
5 = sangat tidak puas
6 = Tidak bahagia
7 = buruk
4. Evaluasi
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan proses
seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan.
Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam perencenaan, membanduingkan hasil tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan
menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian,
perencanaan dan pelaksanaan.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:
- S: keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga atau pasien
setelah diberikan implementasi keperawatan.
- O: keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang objektif.
- A: analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif
meliputi masalah teratasi (perubahan tingkah laku dan perkembangan
kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian yang sudah ditetapkan),
masalah teratasi sebagian (perubahan dan perkembangan kesehatan
hanya sebagian dari kriteria pencapaian yang sudah ditetapkan),
masalah belum teratasi (sama sekali tidak menunjukkan perubahan
perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan muncul masalah
baru).
- P: perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
DAFTAR PUSTAKA
Diyono. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Pencernaan.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Harmilah. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jawa Barat: Pustaka Baru Press.
Muttaqin, A. &. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nuari, N. A. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan Penatalaksanaan
Kperawatan. Yogyakarta: Deepublish.
Suddarth, B. &. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2. Jakarta: EGC.
Tim Pokja, S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja, S. D. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Definisi dan
Tindakan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja, S. D. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Definisi dan
Tindakan Keperawatan edisi 1 cetakan 2. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.