Anda di halaman 1dari 41

Laporan Pendahuluan

Kebutuhan Eliminasi

Disusun dalam rangka memenuhi tugas


stase Keperawatan Dasar

Disusun Oleh :
TRIANI D. HADAM
14420212129

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022
A. Konsep Kebutuhan Eliminasi
1. Definisi
Proses eliminasi melibatkan pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Racun dan bahan limbah dikeluarkan dari tubuh melalui eliminasi.
a. Gangguan Eliminasi Urine
Eliminasi urine adalah proses pengosongan kandung kemih
bila kandung kemih terisi (KonstantiNi Wayaan, 2016).
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Eliminasi fekal/bowel atau disebut juga defekasi merupakan
proses normal tubuh yang penting bagi kesehatan, untuk
mengeluarkan sampah dari tubuh. Sampah yang dimaksud disini
adalah feses atau stool. Eleminasi produk sisa pencernaan yang teratur,
hal ini penting normal untuk tubuh (Konstanti&Ni wayan, 2016).
2. Anatomi Dan Fisiologi Eliminasi
a. Eliminasi Urine
Fungsi organ eliminasi seperti ginjal, ureter, kandung kemih
atau kandung kemih dan uretra sangat penting dalam proses ini. Air
dikeluarkan dari darah oleh ginjal, yang kemudian melewati ureter dan
masuk ke kandung kemih. Urine ditahan di kandung kemih sampai
mencapai batas tertentu atau kebutuhan untuk buang air kecil muncul,
di mana ia dikeluarkan melalui uretra (Konstanti & Ni Wayan, 2016).
Fisiologi Berkemih
Eliminasi urin dibagi menjadi dua tahap: Ketika kandung
kemih Anda secara bertahap diisi sampai ketegangan di dindingnya
melebihi nilai ambang batas, itu disampaikan ke sumsum tulang
belakang dan kemudian ke pusat berkemih di sistem saraf pusat.
Kedua, pusat berkemih mengirimkan sinyal ke otot kandung kemih
(destrusor), menyebabkan sfingter eksternal yang rileks mencoba
mengosongkan kandung kemih, sedangkan sfingter eksternal
berkontraksi jika memilih untuk tidak berkemih. Refleks kandung
kemih disebabkan oleh kerusakan pada sumsum tulang belakang, yang
mengakibatkan kurangnya kontrol volunter untuk berkemih. Namun,
jalur refleks berkemih dapat tetap utuh, memungkinkan berkemih
terjadi secara teratur (Konstanti & Ni Wayan, 2016)..
a) Pola Eliminasi Urine (Normal)
Buang air kecil sangat bergantung pada individu dan jumlah
cairan yang masuk ke dalam tubuh. Orang sering buang air kecil:
hal pertama di pagi hari, setelah bekerja, dan setelah makan.
b) Frekuensi
Mikturisi terjadi sekitar 5 kali setiap hari rata-rata. Frekuensi
buang air kecil ditentukan oleh kebiasaan dan keadaan. Banyak
orang buang air kecil sekitar 70% dari urin harian mereka ketika
mereka bangun, sehingga mereka tidak perlu buang air kecil di
malam hari. Orang • Orang buang air kecil dengan cara berikut: hal
pertama di pagi hari, sebelum tidur, dan sekitar waktu makan.
c) Karakteristik Urine Normal
Warna urin yang khas adalah kuning cemerlang, yang dapat
ditentukan. Karena adanya pigmen orukrom, asupan cairan sangat
penting. Ketika seseorang mengalami dehidrasi, urin menjadi lebih
pekat dan berwarna kecoklatan, dan penggunaan beberapa obat-
obatan, seperti multivitamin dan preparat zat besi, menyebabkan
urin menjadi berwarna kemerahan hingga hitam.

Bau urin biasa mirip dengan bau amonia. adalah produk


mikroorganisme pengurai urea. Aroma urin akan terpengaruh oleh
terapi.

Usia, konsumsi cairan, dan kondisi kesehatan semuanya


mempengaruhi berapa banyak urin yang dikeluarkan. Pada orang
dewasa, volume urin yang dikeluarkan setiap kali berkemih berkisar
antara 1.200 hingga 1.500 mL. Berat jenis plasma (tanpa protein)
bervariasi antara

b. Eliminasi Fekal
Bagian atas saluran pencernaan meliputi mulut, kerongkongan,
dan lambung, sedangkan bagian bawah meliputi usus halus dan usus
besar (Konstanti & Ni Wayan, 2016).
1) Mulut, kerongkongan, dan perut membentuk sistem pencernaan
bagian atas.
Makanan dicerna secara mekanis dan kimiawi di dalam mulut
kita, dengan bantuan gigi untuk mengunyah dan memecah
makanan. Air liur mengencerkan dan melembutkan bolus
makanan, memungkinkannya melewati kerongkongan dan masuk
ke perut dengan mudah. Makanan disimpan sebentar di perut, yang
juga mengeluarkan asam klorida (HCL), lendir, enzim pepsin, dan
faktor intrinsik. HCL berdampak pada keasaman lambung dan
keseimbangan asam basa tubuh. Lendir melindungi mukosa dari
keasaman dan aktivitas enzim, dan membantu dalam konversi
makanan menjadi chyme (cbyme), semi-cair yang kemudian
didorong ke dalam usus kecil.
2) Usus kecil dan besar membentuk saluran pencernaan bagian
bawah.
3) Saluran gastrointestinal atas meliputi, usus halus terdiri dari
duodenum, jejenun, ileum, dengan diameter 2.5 cm dan panjang
6 m. Kimus bercampur dengan empedu dan amilase.
Kebanyakan nutrisi dan elektolit diabsorsi duodenum
dan jejunum, sedang ileum mengabsorsi vitamin, zat besi dan
garam empedu. Fungsi eleum terganggu maka proses
pencernaan mengalami perubahan. Usus besar panjangnya 1.5 m
merupakan organ utama dalam eleminasi fekal terdiri cecum,colon
dan rectum. Kimus yang tidak diabsorpsi masuk sekum melalui
katub ileosekal yang fungsinya katub ini untuk regurgitasi
dan kembalinya isi kolon ke usus halus. Kolon mengabsorpsi
air. nutrient, elektolit, proteksi, sekresi dan eleminasi, sedangkan
perubahan fungsi kolon bisa diare dan kontraksi lambat.
Gerakan peristaktik 3-4 kl/hr dan paling kuat setelah makan.
Rectum bagian akhir pada saluran pencernaan. Panjangnya bayi
2.5 cm, anak 7.5-10 cm, dewasa 15 - 20 cm, rektum tidak berisi
feses sampai defekasi. Rektum dibangun lipatan jaringan berisi
sebuah arteri dan vena, bila vena distensi akibat tekanan selama
mengedan bisa terbentuk hemoraid yang menyebabkan defekasi
terasa nyeri
4) Lendir, kalium, bikarbonat, dan enzim semuanya disekresikan oleh
usus, dengan musin (ion karbonat) diaktifkan oleh neuron
parasimpatis.
5) Cbyme berjalan karena peristaltik usus dan terkumpul di usus
besar dalam bentuk feses.
Proses pencernaan yang khas menghasilkan 400-700 cc gas per
24 jam. Kotoran terdiri dari 75% air dan 25% padatan, sebagian
besar bakteri mati, epitel usus longgar, dan sejumlah kecil
nitrogen.

Makanan umumnya membutuhkan waktu 12 hingga 20 jam untuk


mencapai rektum; Isi menjadi lebih lembut seiring waktu, tetapi jika
terlalu lama, isinya menjadi lebih padat karena air diserap jika tidak
dengan cepat dirilis. Di hadapan infeksi, reseksi bedah atau obstruksi
dapat menyebabkan peristaltik terganggu, mengakibatkan penurunan
penyerapan dan pembatasan aliran gime. Sekresi lendir akan berfungsi
untuk melindungi dinding usus dari aktivitas saat emosi naik.

Jika hal ini dilakukan secara berlebihan maka akan meningkatkan


peristaltik yang akan mempengaruhi cepatnya penyerapan feses sehingga
menyebabkan diare, gangguan penyerapan, dan flatus.

Kontraksi perut, tekanan diafragma, dan kontraksi otot elevator


semuanya memengaruhi impuls tinja, menurut temuan tersebut. Posisi
jongkok dan fleksi otot femur membantu buang air besar.

3. Faktor Yang Mempengruhi Eliminasi


a. Eliminasi Urine
1) Pertumbuhan dan Perkembangan
Jumlah urin yang dihasilkan dipengaruhi oleh usia dan berat
badan seseorang. Anak-anak mengeluarkan 400-500 mL urin per
hari, sedangkan orang dewasa mengeluarkan 1500-1600 mL.
Misalnya, bayi dengan 10% berat badan orang dewasa dapat
mengeluarkan 33% lebih banyak daripada orang dewasa, kapasitas
kandung kemih menurun di usia lanjut, menyebabkan nokturia dan
peningkatan frekuensi buang air kecil, dan ibu hamil akan lebih
sering buang air kecil karena kandung kemih dipaksa ke samping.
dari kandung kemih. Janin di bagian bawah rantai makanan.
2) Sosiokultural
Beberapa orang hanya bisa mengosongkan di ruang terbatas di
komunitas mereka, sedangkan yang lain bisa mengosongkan di
ruang terbuka.
Misalnya, sebagian besar individu dalam budaya kita buang air
kecil di kamar mandi (dalam kondisi tertutup) atau di tempat
terbuka, tetapi orang lain yang tidak sehat harus buang air kecil di
tempat tidur, menyebabkan mereka menahan buang air kecil.

3) Psikologi
Sebagai upaya kompensasi, dalam kondisi khawatir dan tegang,
rangsangan buang air kecil akan tertinggal.
Seseorang yang gugup dan gelisah, misalnya, akan sering buang
air kecil.
4) Kebiasaan atau Gaya Hidup Seseorang
Cara seseorang buang air kecil ditentukan oleh gaya hidupnya.
Misalnya, seseorang yang biasa buang air kecil di toilet, sungai,
atau di luar ruangan akan kesulitan buang air kecil di tempat tidur,
terutama saat menggunakan pot/pispot urin.
5) Aktivitas dan Tonus Otot
Eliminasi urin memerlukan kontraksi otot campuran, otot bomben,
dan panggul. Keinginan untuk buang air kecil juga akan berkurang
jika nadanya terganggu. Kemampuan metabolisme produksi urin
dapat ditingkatkan dengan baik dengan aktivitas.
6) Intake Cairan dan Makanan
Kebiasaan minum dan makan tertentu, seperti kopi, teh, cokelat
(yang mengandung kafein), dan alkohol, menghambat Anti
Diuretic Harmon (ADH), yang dapat menyebabkan peningkatan
ekskresi urin.
7) Kondisi Penyakit
Karena banyak cairan dievakuasi melalui kulit, beberapa situasi
medis, seperti demam, menyebabkan penurunan keluaran urin dan
pola berkemih. Retensi urin disebabkan oleh peradangan dan iritasi
pada organ kemih.
8) Pembedah
Proses diferensiasi menyebabkan sindrom adaptasi, di mana
kelenjar hipofisis anterior menghasilkan hormon ADH, yang
menyebabkan reabsorbsi air lebih besar dan, sebagai akibatnya,
produksi urin berkurang. Anestesi mempengaruhi filtrasi
glomerulus, mengakibatkan penurunan keluaran urin.
9) Pengobatan
Retensi urin disebabkan oleh penggunaan obat diuretik, yang
meningkatkan aliran urin, antikolinergik, dan antihipertensi.
10) Pemeriksaan Diagnostik
Pylogram intravena adalah proses di mana asupan pasien
dikurangi sebelum operasi untuk meminimalkan output urin.
Cystocospy dapat menghasilkan edema uretra dan spasme sfingter
kandung kemih, yang dapat menyebabkan retensi urin (retensi
urin).
b. Eliminasi Fekal
1) Usia
Perut kecil, kekurangan enzim, peristaltik usus yang cepat, dan
kurangnya perkembangan neuromuskular pada bayi baru lahir
hingga usia 2-3 tahun berarti mereka tidak dapat mengatur gerakan
usus (diare/inkontinensia). Gigi bawah, berkurangnya enzim saliva
dan lambung, berkurangnya peristaltik dan tonus abdomen, dan
impuls saraf yang melambat adalah semua perubahan umum dalam
sistem GI seiring bertambahnya usia (Lueckenotte, 1994).
Sembelit menjadi perhatian bagi orang tua sebagai akibat dari ini.
Lansia yang dirawat di rumah sakit berisiko mengalami kelainan
fungsi usus; dalam sebuah penelitian, 91 persen dari 33 orang
dengan usia rata-rata 76 tahun mengalami diare atau sembelit
(Ross, 1990).
2) Diet
Konsumsi makanan setiap hari membantu mempertahankan
pola peristaltik normal di usus besar, sedangkan makanan berserat,
selulosa, dan makanan berlimpah membantu mendukung volume
feses. Apel, jeruk, kangkung, bayam, mentimun, gandum, dan
makanan berserat tinggi lainnya
Misalnya, makanan rendah serat menghasilkan peristaltik yang
lamban, yang menyebabkan penyerapan air lebih besar di usus,
yang menyebabkan sembelit. Begitu pula dengan seseorang yang
pola makannya tidak teratur, maka rutinitas buang air besar juga
akan terganggu, begitu juga dengan makanan yang mengandung
gas, seperti bawang bombay, kembang kol, dan kacang-kacangan.
Laktosa, sejenis karbohidrat sederhana yang ada dalam susu, sulit
untuk dicerna oleh sebagian orang. Intoleransi laktosa dapat
menyebabkan diare, perut kembung, dan kram.
3) Pemasukan Cairan
Hidrasi yang cukup dapat membantu mengencerkan isi usus
dan membuatnya lebih mudah melewati usus besar. Orang dewasa
harus minum 2000-3000 mL (6-8 gelas) air setiap hari. Karena
tubuh kekurangan cairan akibat asupan cairan yang tidak
mencukupi atau pengeluaran yang berlebihan (urine/muntah),
tubuh akan menyerap cairan dari chyme, sehingga menyebabkan
feses menjadi keras, kering, dan sulit melewati pencernaan,
sehingga terjadi konstipasi.
Minuman hangat dan jus buah melunakkan feses dan
meningkatkan peristaltik.
4) Aktivitas
Peristaltik meningkat dengan aktivitas fisik, tetapi motilitas
usus ditekan oleh imobilitas. Disarankan agar klien berjalan
sesegera mungkin setelah tidak sehat untuk mendorong dan
mempertahankan eliminasi secara teratur. Misalnya, jika klien
terus berbaring, peristaltik usus akan berkurang, sehingga terjadi
peningkatan penyerapan air. Hal ini akan berpengaruh pada klien
sehingga menimbulkan konstipasi atau imfaksi fekal.
Otot-otot dasar panggul yang berlemak dan otot-otot perut
menghambat kapasitas untuk mendorong perut dan mengatur
sfingter eksternal, sementara tonus otot berkurang atau hilang
sebagai akibat dari penyakit yang berkepanjangan atau penyakit
neurologis, mengganggu transmisi saraf dan mengakibatkan
eliminasi yang buruk.
5) Faktor Psikologik
Seseorang yang khawatir atau marah akan meningkatkan
peristaltik usus sehingga terjadi diare. Namun, jika seseorang
mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls
saraf dan mengurangi peristaltik usus, yang mengakibatkan
konstipasi.
6) Kebiasaan Pribadi
Kebanyakan orang lebih suka buang air besar di kamar mandi
mereka sendiri karena lebih nyaman dan menyenangkan. Dengan
terus menerus mengajarkan pola buang air besar (BAB) pada
perilaku seseorang sejak kecil, maka orang tersebut akan memiliki
pola buang air besar atau sebaliknya. Orang yang sibuk, kebersihan
toilet yang buruk, bentuk dan penggunaan toilet bersama, pasien di
rumah sakit yang menggunakan pispot, kurangnya privasi, dan
pengaturan yang tidak sesuai, semuanya dapat mengganggu pola
eliminasi dan menciptakan siklus ketidaknyamanan yang ekstrem.
Refleks gastrokolik adalah yang paling mudah diaktifkan untuk
menyebabkan tinja setelah sarapan.
7) Posisi Selama Defekasi
Ketika kecenderungan seseorang untuk buang air besar dalam
posisi jongkok memungkinkan tekanan intra-abdomen dan otot
paha bekerja sama untuk memudahkan mereka buang air besar, hal
ini dapat berdampak pada kebiasaan seseorang untuk menahan
buang air besar, yang dapat menyebabkan sembelit atau buang air
besar. Klien sering tidak dapat bergerak di tempat tidur, dalam
posisi terlentang, dan sulit buang air besar. Membantu klien duduk
di pispot akan meningkatkan kapasitasnya untuk buang air besar.
8) Nyeri
Biasanya, individu yang cacat tidak menyebabkan penderitaan.
Misalnya, seseorang yang mengalami ketidaknyamanan saat buang
air besar akibat wasir, patah tulang rusuk, atau episiotomi akan
meminimalkan keinginannya untuk buang air besar untuk
menghindari rasa sakit. Seseorang mungkin mengalami sembelit
sebagai akibat dari penyakit ini dari waktu ke waktu.
9) Kehamilan
Tekanan diberikan pada rektum seiring dengan bertambahnya
usia kehamilan dan pertumbuhan janin, yang dapat menyebabkan
penyumbatan sementara yang mencegah feses dikeluarkan.
Sembelit adalah masalah khas pada trimester ketiga, dan wanita
biasanya mengejan saat buang air besar, mengakibatkan wasir
kronis.
10) Prosedur Diagnostik
Klien yang akan menjalani prosedur diagnostik sering
dipuasakan atau diberi klimaks sehingga tidak bisa buang air besar
sebelum makan. Aktivitas ini dapat menyebabkan pola eliminasi
klien terganggu sampai dia bisa makan secara teratur lagi.
Prosedur termasuk barium enema atau endoskopi, serta katarsis
dan enema. Ketika barium tertinggal dalam sistem GI, barium akan
mengeras, menyebabkan feses menjadi keras, konstipasi, dan
imfaksi feses. Setelah operasi, klien perlu diberikan katarsis untuk
membantu eliminasi barium; jika semua barium tidak dikeluarkan,
klien perlu dibersihkan dengan enema.

11) Operasi dan Anastesi


Ketika obat anestesi diberikan selama operasi, mereka
memblokir sinyal saraf parasimpatis ke otot usus, memungkinkan
mereka untuk sementara menghentikan gerakan usus (ileus
paralitik). Keadaan ini dapat berlangsung antara 24 hingga 48 jam.
Pemulihan fungsi usus normal dapat terhambat lebih lanjut jika
klien tidak banyak bergerak atau tidak mau makan setelah operasi.
Perubahan eliminasi kurang mungkin terjadi pada klien yang
berada di bawah anestesi lokal atau regional.
12) Obat-Obatan
Obat pencahar dan katartik melunakkan feses dan
meningkatkan peristaltik, tetapi obat-obat tersebut juga
menghasilkan penurunan tonus usus, sehingga kurang reseptif
untuk merangsang pengeluaran feses jika dikonsumsi dalam waktu
lama. Penggunaan pencahar yang berlebihan dapat menyebabkan
diare parah, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral,
digunakan sebagai pencahar, dapat mengurangi penyerapan
vitamin yang larut dalam lemak dan efektivitas pengobatan di
saluran pencernaan. Peristaltik ditekan dan diare diobati dengan
obat-obatan seperti dicyclomine HCL (Bentyl). Analgesik,
narkotik, morfin, dan kodein menurunkan gerakan peristaltik,
menyebabkan konstipasi. Obat antikolinergik seperti atropin dan
glikopirolat (robinul) dapat menyebabkan konstipasi dengan
menghambat pengeluaran asam lambung dan menekan motilitas
saluran GI. Flora bakteri yang biasa terganggu oleh banyak
antibiotik, mengakibatkan diare.
13) Kondisi Patologi
Mengurangi stimulasi sensorik untuk buang air besar pada
mereka dengan cedera tulang belakang atau otak dan gerakan
terbatas. Inkontinensia disebabkan oleh aktivitas tulang belakang
anal yang buruk.
14) Iritan
Makanan pedas, racun bakteri, dan racun dapat mengiritasi
usus, mengakibatkan diare dan banyak flatus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi feses seperti diuraikan di atas
akan menghambat buang air besar klien jika tidak segera ditangani.
Sebagai informasi tambahan, pelajar harus mengetahui masalah yang
menyebabkan gangguan eliminasi feses sehingga mereka dapat
menyelidiki penyebab berikut
4. Masalah – Masalah Eliminasi
a. Eliminasi Urine
1) Retensi Urine
Retensi urin adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari
penumpukan urin di kandung kemih dan ketidakmampuan
kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Distensi
kandung kemih terjadi ketika jumlah kencing di kandung kemih
mencapai 400 ml. Jumlah yang biasa adalah antara 250 dan 400
mililiter. Pembesaran prostat, pembedahan, otot detrusor yang
lemah, dan faktor-faktor lain semuanya dapat menyebabkan
gangguan ini.
2) Inkontinensia Urine
Jika otot sfingter eksternal seseorang tidak dapat membatasi aliran
keluar kencing untuk jangka waktu tertentu atau secara permanen.
Ada dua bentuk inkontinensia: inkontinensia urin dan
inkontinensia berkemih. Pertama, stres inkontinensia adalah jenis
stres yang terjadi ketika tekanan intra-abdomen meningkat,
menekan kandung kemih. Misalnya, beberapa orang akan buang
air kecil saat batuk atau tertawa; ini mungkin dianggap normal atau
dapat terjadi pada orang tua. Kedua, urge incontinence terjadi
ketika klien merasa ingin buang air kecil atau tiba-tiba buang air
kecil karena infeksi saluran kemih bagian bawah atau spasme
kandung kemih, overdistensi, atau penggunaan kopi atau alkohol
yang berlebihan.
3) Enurisis
Karena ketidakmampuan untuk mengatur sfingter eksternal,
enuresis adalah ketidakmampuan untuk menahan urin
(mengompol) tanpa sadar. Anak-anak dan orang tua adalah yang
paling sering terkena. Takut keluar malam karena faktor seperti
penurunan kapasitas kandung kemih, infeksi, dan lain-lain.
b. Eliminasi Fekal
1) Konstipasi
Sembelit ditandai dengan penurunan frekuensi buang air besar,
serta pengeluaran tinja yang panjang atau keras, kering, serta
mengejan saat buang air besar.
2) Fecal Imfaction
Impaksi tinja mengacu pada impaksi tinja yang disebabkan
oleh sembelit yang tidak diobati. Impaksi adalah akumulasi feses
yang mengeras yang terbentuk di rektum dan tidak dapat
dikeluarkan. Retensi berkepanjangan dan penumpukan partikel
tinja menyebabkan tinja keras di usus besar dan lipatan sigmoid.
Klien yang memiliki kelemahan dan tidak menyadarinya lebih
mungkin mengalami impaksi karena mereka tidak menyadari
kebutuhan untuk buang air besar. Sembelit, kurang asupan cairan,
kurang gerak, diet rendah serat, dan melemahnya tonus otot adalah
penyebab umum.
Anda dapat mengenali tanda-tandanya dengan tidak buang air
besar selama beberapa hari meskipun sangat perlu, anoreksia, dan
rasa tidak nyaman pada dubur yang kembung/kram.
Perawat yang yakin klien mengalami impaksi harus melakukan
penilaian manual dengan memasukkan probe ke dalam rektum dan
meraba massa yang impaksi.
3) Diare
Diare ditandai dengan peningkatan frekuensi buang air besar
serta keluarnya feses yang cair dan tidak berbentuk (Lueckenotte,
1994). Diare merupakan tanda gangguan saluran cerna pada
pencernaan, absorpsi, dan sekresi. Akibatnya, Cbyme berjalan
melalui usus terlalu cepat, mencegah usus besar menyerap air.
Stres fisik, obat-obatan, alergi, penyakit usus besar, dan radang
usus semuanya dapat menyebabkan diare. Diare pada bayi baru
lahir sulit didiagnosis karena bayi yang diberi susu botol
menghasilkan feses setiap dua hari, tetapi bayi yang diberi ASI
dapat mengeluarkan feses lunak sebanyak 5-8 kl/hari.
Kelainan elektrolit dan kulit yang teriritasi adalah efek
samping yang umum dari diare, terutama pada bayi baru lahir dan
orang tua. Diare berulang dapat mengiritasi perineum dan bokong,
sehingga memerlukan perawatan kulit yang cermat dan drainase
tinja untuk menghindari kerusakan kulit.
4) Inkontinensia Bowel/Fecal/Alvi
Kapasitas otot untuk mengatur aliran feses dan gas dari anus
hilang pada inkontinensia fekal. Cedera pada sfingter anus akibat
fungsi sfingter atau persarafan di daerah anus menyebabkan
inkontinensia. Inkontinensia geriatri disebabkan oleh gangguan
neuromuskular, kerusakan sumsum tulang belakang, dan tumor
sfingter ani eksternal.
Karena inkontinensia dapat merusak citra fisik dan mental
klien, ia sepenuhnya bergantung pada perawat untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya. Bahkan jika mereka harus membersihkannya
lagi dan lagi, perawat harus mengerti dan bersabar. Inkontinensia,
seperti diare, dapat menyebabkan kerusakan kulit. Akibatnya,
perawat harus secara rutin memeriksa perineum dan anus untuk
memastikan kering dan bersih.
5) Kembung
Sembelit, penggunaan barbiturat, dan kecemasan semuanya
dapat menghasilkan kembung, yang merupakan penumpukan gas
di lumen usus, menyebabkan dinding usus mengembang dan
menggelembung. Aktivitas usus berkurang sebagai akibat dari
menelan banyak gas, pemecahan makanan oleh bakteri, dan efek
anestesi.
6) Hemoroid
Peningkatan tekanan di daerah tersebut menyebabkan
pembengkakan atau pembesaran pembuluh darah vena di dinding
rektum (baik internal maupun eksternal). Konstipasi kronis,
kehamilan, dan obesitas adalah penyebab utamanya.
5. Patofisiologi
1) Gangguan Eliminasi Urin
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, ada banyak jenis
gangguan eliminasi. Patogenesis masing-masing penyakit ini berbeda.
Trauma pada sumsum tulang belakang, yang menyebabkan
inkontinensia urin, menyebabkan kelainan pengaturan urin pada orang
tua. Kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat terjadi sebagai
akibat dari penyakit tulang belakang traumatis. Lesi medula spinalis
traumatis mungkin tidak selalu terjadi bersamaan dengan fraktur atau
dislokasi. Dampak traumatis dapat memiliki efek yang signifikan pada
sumsum tulang belakang bahkan jika tidak ada cedera yang terlihat
pada tulang belakang. Salah satu penyebab penurunan fungsi saraf,
termasuk persarafan mikturisi dan feses, adalah cedera tulang belakang
(spinal cord injury/CMS).
Komplikasi cedera tulang belakang dapat menyebabkan syok
neurogenik yang berhubungan dengan cedera tulang belakang yang
biasa disebut sebagai syok tulang belakang. Syok tulang belakang
adalah depresi mendadak dari aktivitas refleks di sumsum tulang
belakang (arefleksia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-
otot yang dipersarafi oleh segmen medula di bawah tingkat lesi
menjadi lumpuh total dan tertekuk, dan refleks tidak ada. Hal ini
mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi buang air kecil dan
besar. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh refleks depresi
yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth,
2002). Hal senada disampaikan oleh Sjamsuhidajat (2004), pada
komplikasi syok spinal terdapat tanda-tanda gangguan fungsi otonom
berupa kulit kering akibat tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik
serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Pengisian dan penyimpanan urin, serta pengosongan kandung
kemih, keduanya merupakan bagian dari proses berkemih. Ini
bertentangan secara diametris dan bergantian dalam pola yang teratur.
Sistem saraf otonom dan somatik mengatur fungsi otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin. Selama fase pengisian,
sistem saraf simpatis memberikan efek tekanan rendah pada kandung
kemih dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Sistem simpatis
mengatur penyimpanan urin dengan menghambat aktivitas kontraktil
otot detrusor, yang terkait dengan peningkatan ketegangan otot di
leher kandung kemih dan uretra proksimal.
Kontraksi otot detrusor dan relaksasi saluran kemih
menghasilkan aliran urin yang normal. Sistem saraf parasimpatis, yang
mengandung neurotransmiter utama, asetilkolin, agen kolinergik,
berdampak pada hal ini. Impuls aferen dikirim ke neuron sensorik di
ujung ganglion sakral tulang belakang dorsal segmen 2-4 selama fase
pengisian, yang menyampaikan informasi ke batang otak. Aliran
keluar parasimpatis dari pusat urin sakral tulang belakang diblokir oleh
sinyal saraf dari batang otak. Penyumbatan aliran keluar parasimpatis
sakral dihilangkan selama fase pengosongan kandung kemih, dan otot
detrusor berkontraksi.
Otot-otot uretra trigonal dan proksimal berelaksasi ketika
aliran simpatis ke kandung kemih diblokir. Saraf pudendal
mengirimkan impuls ke otot polos dan otot rangka sfingter eksternal
untuk mengendurkannya. Akibatnya, produksi urin meningkat
sementara resistensi saluran berkurang. Retensi urin akut paling sering
disebabkan oleh individu pasca-operasi dan pasca-melahirkan. Trauma
kandung kemih dan edema yang disebabkan oleh pembedahan atau
kebidanan, anestesi epidural, obat-obatan narkotika, peregangan atau
trauma saraf panggul, hematoma panggul, episiotomi atau
ketidaknyamanan sayatan perut, terutama pada individu yang
mengosongkan kandung kemihnya menggunakan teknik Valsava,
dapat menyebabkan fenomena ini. Retensi urin setelah operasi
umumnya membaik seiring waktu dan drainase kandung kemih yang
cukup.
2) Gangguan Eliminasi Fekal
Pengeluaran kotoran dari anus dan rektum disebut sebagai
buang air besar. Ini juga disebut sebagai buang air besar. Frekuensi
buang air besar setiap orang sangat bervariasi, dari beberapa kali per
hari hingga dua atau tiga kali per minggu. Volume feses yang
dihasilkan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Saraf
sensorik di rektum dipicu sebagai gelombang peristaltik memaksa
kotoran ke dalam kolon sigmoid dan rektum, mengingatkan orang
tersebut untuk buang air besar.
Buang air besar biasanya dipicu oleh salah satu dari dua refleks
buang air besar: refleks buang air besar intrinsik dan refleks buang air
besar ekstrinsik. Ketika feses mencapai rektum, dinding rektum
mengembang, mengirimkan sinyal ke pleksus mesenterika, yang
menyebabkan gelombang peristaltik terjadi di kolon desendens, kolon
sigmoid, dan di dalam rektum. Kotoran didorong ke arah anus oleh
gelombang ini. Ketika gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter
ani interna tidak menutup, dan feses dikeluarkan saat sfingter eksterna
berelaksasi.
Respon defekasi parasimpatis adalah refleks defekasi jenis
kedua. Sinyal dikirim dari rektum ke sumsum tulang belakang (sakral
2–4) dan kemudian kembali ke kolon desendens, kolon sigmoid, dan
rektum ketika serabut saraf di rektum diaktifkan. Impuls parasimpatis
ini menyebabkan gelombang peristaltik meningkat, sfingter ani interna
berelaksasi, dan refleks defekasi intrinsik meningkat. Sfingter anal
eksternal menjadi tenang dengan sendirinya saat duduk di toilet atau di
pispot.
Kontraksi otot perut dan diafragma, yang meningkatkan
tekanan perut, dan kontraksi otot levator ani di dasar panggul, yang
mendorong tinja melalui lubang anus, membantu pengeluaran kotoran.
Refleksologi paha, yang meningkatkan tekanan di perut, dan postur
duduk, yang meningkatkan tekanan ke bawah menuju rektum,
membantu buang air besar secara normal. Kebutuhan untuk defekasi
berulang kali dapat menyebabkan rektum tumbuh untuk menampung
pengumpulan feses jika refleks defekasi diabaikan atau defekasi secara
aktif terhambat oleh konstriksi otot sfingter eksternal. Karena
kelembaban tinja diserap, tinja mengeras dan sembelit berkembang.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Gangguan Eliminasi Urine
Buang air kecil mungkin dipengaruhi oleh pemeriksaan sistem
kemih. Prosedur yang berkaitan dengan pemeriksaan saluran kemih,
seperti IVY (pielogram intra uenus), yang dapat meminimalkan
keluaran urin dengan membatasi jumlah makanan yang dikonsumsi.
Sebelum tes, klien tidak diizinkan untuk mengambil cairan apa pun
secara oral. Produksi urin sering berkurang ketika konsumsi cairan
dibatasi. Selanjutnya, pemeriksaan diagnostik yang memerlukan
penglihatan langsung dari struktur urin, seperti cystoscope, dapat
menyebabkan edema uretra dan spasme sfingter kandung kemih.
Retensi urin umum terjadi setelah perawatan ini, dan klien dapat
mengeluarkan urin merah atau merah muda karena perdarahan dari
cedera mukosa uretra atau kandung kemih. Berikut ini adalah tes
diagnostik yang dilakukan:
1) Pemeriksaan urine ( urinalisis)
-   Warna urine normal yaitu jernih
- pH normal yaitu 4,6-8,0
- glukosa dalam keadaan normal negative
- Ukuran protein normal sampai 10 mg/100ml
- Keton dalam kondisi normal yaitu negative
- Berat jenis yang normal 1,010-1,030
- Bakteri dalam keadaan normal negative
2) Pemeriksaan darah meliputi : HB, SDM, kalium, natrium,
pencitraan radionulida, klorida, fosfat dan magnesium meingkat.
3) Pemeriksaaan ultrasound ginjal
4) Arteriogram ginjal
5) EKG
6) CT scan
7) Enduorologi
8) Urografi
9) Ekstretorius
10) Sistouretrogram berkemih
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Pemeriksaan diagnostik yang memerlukan pencitraan arsitektur
saluran GI terkadang memerlukan pengosongan isi usus. Jika
pemeriksaan, seperti barium enema, endoskopi GI bawah, atau
serangkaian tes saluran GI atas, dijadwalkan pada hari berikutnya,
klien tidak diizinkan makan atau minum setelah tengah malam. Klien
umumnya menerima katarsis dan enema selama barium enema atau
endoskopi. Sampai klien dapat makan secara teratur, pengosongan
usus dapat menyebabkan masalah eliminasi.
Masalah tambahan muncul sebagai akibat dari proses
pengujian barium. Jika dibiarkan di saluran GI, barium mengeras.
Sembelit atau impaksi usus mungkin terjadi sebagai akibat dari ini.
Setelah operasi, klien harus diberikan katarsis untuk membantu
menghilangkan barium. Jika klien tidak dapat mengevakuasi semua
barium, enema mungkin diperlukan untuk membersihkan usus klien.
Tes berikut digunakan untuk mendiagnosis gangguan eliminasi feses:
1) Anuskopi
2) Prosktosigmoidoskopi
3) Rontgen dengan kontras
4) Pemeriksaan laboratorium feses
5) Pemeriksaan fisik
 Abdomen, pemeriksaan dilakukan pada posisi terlentang, hanya
pada bagian yang tampak saja.
- Inspeksi, amati abdomen untuk melihat bentuknya,
simetrisitas, adanya distensi atau gerak peristaltik.
- Auskultasi, dengan bising usus, lalu perhatikan intensitas,
frekuensi dan kualitasnya.
- Perkusi, lakukan perkusi pada abdomen untuk mengetahui
adanya distensi berupa cairan, massa atau udara. Mulailah
pada bagian kanan atas dan seterusnya.
- Palpasi, lakukan palpasi untuk mengetahui kostitensi
abdomen serta adanya nyeri tekan atau massa dipermukaan
abdomen.
 Rektum dan anus, pemeriksaan dilakukan pada posisi litotomi
atau sims.
 Feses, amati feses klien dan catat konstitensi, bentuk, bau,
warna, dan jumlahnya.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Eliminasi Urine
1) Terapi Non Farmakologis
2) Terapi Farmakologis
3) Terapi Pembedahan
4) Modalitas lain
5) Kateterisasi Uretra
6) Dilatasi Uretra degan boudy
7) Drainage Suprapubig
b. Eliminasi Fekal
1) Pengobatan Non farmakologis
2) Pengobatan Farmakologi
3) Pemberian Cairan
4) Pengobatan Dietetik (Cara pemberian makan)
5) Obat-Obatan
6)
B. Konsep Aspek Legal Etik Keperawatan
1. Konsep Legal Etik
Etika keperawatan (nursing ethic) adalah cara mengungkapkan
bagaimana perawat harus mengendalikan diri, dan kode etik
keperawatan mengatur etika keperawatan.
Komponen hukum dari etika keperawatan adalah penerapan
norma keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan dalam
batas wewenang dan tugas dalam pengaturan pelayanan yang beragam,
termasuk hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang
keperawatan. Keperawatan adalah jenis pelayanan profesional yang
merupakan elemen penting dari perawatan kesehatan, dan didasarkan
pada pengetahuan dan rekomendasi keperawatan untuk orang,
keluarga, kelompok, dan masyarakat, baik sehat maupun sakit, dan
mencakup semua aspek keberadaan manusia. Keperawatan, sebagai
panggilan dan komponen penting dari perawatan kesehatan, menuntut
lebih dari sekedar kesabaran. Kemampuannya untuk membantu dalam
pengobatan masalah kesehatan juga harus dapat dipercaya.
Dewan Perawat Internasional (ICN) telah merilis kerangka
kompetensi untuk perawat yang mencakup tiga bidang: praktik
profesional, etika, dan hukum, penyediaan dan manajemen perawatan,
dan pengembangan profesional.
Ini memiliki tiga persyaratan utama: kompetensi yang
diperoleh melalui pelatihan intensif, komponen intelektual yang
signifikan dalam melaksanakan tugasnya, dan menawarkan layanan
masyarakat yang vital. (Pakar Hukum Kesehatan UI, Budi Sampurna,
2006)
Memahami batasan hukum yang ada dalam praktik
keperawatan sangat penting untuk praktik keperawatan yang aman.
Memahami konsekuensi hukum, seperti bidang keperawatan lainnya,
dapat membantu perawat berpikir kritis. Perawat harus memiliki
pengetahuan tentang hukum untuk melindungi pelanggan mereka dan
hak-hak mereka sendiri. Perawat tidak boleh takut hukum; melainkan,
mereka harus melihatnya sebagai dasar untuk mengetahui apa yang
diharapkan masyarakat dari penyedia layanan keperawatan profesional
(Putri & Kurniasih, 2016).
2. Isi Dari Prinsip-Prinsip Legal Etik
a. Autonom (Otonomi)
Gagasan otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa orang
mampu menalar dan membuat keputusan sendiri. Orang dewasa
dianggap kompeten dan memiliki kemampuan untuk membuat
penilaian dan pilihan mereka sendiri, yang harus dihormati oleh orang
lain. Pengertian otonomi dapat dilihat sebagai komitmen non-koersif
untuk berperilaku rasional atau sebagai semacam penghormatan
terhadap seseorang. Otonomi dan kebebasan individu memerlukan
diskriminasi diri, yang didefinisikan sebagai otonomi. Ketika seorang
perawat menghormati kebebasan klien untuk membuat keputusan
mengenai perawatannya, praktik profesional menunjukkan otonomi.
b. Beneficience (Berbuat Baik)
Istilah "menguntungkan" mengacu pada hanya berbuat baik.
Kebaikan berarti menghindari perbuatan salah atau kejahatan,
menghilangkan perbuatan salah atau kejahatan, dan meningkatkan
kebajikan dalam diri sendiri dan orang lain. Kadang-kadang ada
bentrokan antara ide ini dan otonomi dalam pengaturan perawatan
kesehatan.
c. Justice (Keadilan)
Untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi mereka yang
memelihara standar moral, hukum, dan kemanusiaan, diperlukan
prinsip keadilan. Nilai ini ditunjukkan dalam praktik profesional
ketika perawat berusaha memberikan perawatan kesehatan yang
berkualitas dengan mengikuti hukum, standar praktik, dan keyakinan.
d. Normal Eficience (Tidak Merugikan)
Prinsip ini mensyaratkan tidak menyebabkan kerugian pada
pelanggan, baik secara fisik maupun psikologis.
e. Veracity (Kejujuran)
Istilah "penuh kebenaran" mengacu pada gagasan ini.
Profesional perawatan kesehatan harus menghargai untuk
mengomunikasikan kebenaran kepada setiap klien dan menjamin
bahwa pelanggan mengerti. Prinsip ini berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk jujur.
f. Fidellity (Menepati Janji)
Individu harus mematuhi ide ini dengan menghormati janji dan
kewajiban mereka kepada orang lain. Perawat menindaklanjuti janji
mereka dan merahasiakan informasi pasien.
g. Confidentiality (Kerahasiaan)
Informasi klien harus dijaga kerahasiaannya, sesuai dengan
konsep kerahasiaan. Segala sesuatu dalam dokumen catatan kesehatan
klien harus dibaca secara eksklusif sehubungan dengan perawatan
klien.
h. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah kriteria yang tepat dimana kegiatan
seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang ambigu atau tidak
biasa.
i. Informed Consent
"Informed Consent" terdiri dari dua kata: "informed," yang
berarti "telah menerima penjelasan atau informasi," dan "consent,"
yang berarti "menyetujui atau memberikan izin." Akibatnya,
"informed consent" menunjukkan keputusan yang dibuat setelah
memperoleh pengetahuan. Akibatnya, "informed consent" dapat
didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya setelah diberitahu tentang tindakan medis yang akan
dilakukan terhadapnya dan bahaya yang terkait (Putri & Kurniasih,
2016).
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Gangguan eliminasi Urin
1) Riwayat Keperawatan
- Pola berkemih
- Gejala dari perubahan berkemih
- Faktor yang memmpengauhi
2) Pemeriksaan Fisik
- Abdomen
- Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus
3) Genetalia
- Wanita : inflamasi, nodul, lesi, adanya secret dari meatus,
keadaan atropi jaringan vagina
- Laki-laki: kebersihan adanya lesi, tenderness, adanya
pembesaran skrotum
4) Intake dan Output Cairan
- Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam)
- Kebiasaan minum dirumah
- Intake : cairan infus, oral, makanan, NGT
- Kaji peubahan volume urin, untuk mengetahui
ketidakseimbangan caian
- Output urine dari urinal, cateeter bag, drainage ureterosomy,
sistosmi
- Karakteristik urine: warna, kejernihan, bau, kepekatan

5) Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan Urine (urinalisis)
- Warna (N : Jernih)
- Penampilan (N : Jernih)
- Bau (N : Beraroma)
- Ph (N : 4,5 – 8,0)
- Berat jenis (N : 1,0051,030)
- Glukosa (N : negatif)
- Keton (N : Negatif)
- Kulture Urine (N : negatif)
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1) Riwayat Keperawatan

a. Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah


b. Perilaku defeksi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan
pola
c. Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur
d. Diet : makanan yang mempengaruhi defeksi,
makanan yang bisa dimakan, makanan yang
dihindri, dan pola makan yang teratur atau tidak

e. Cairan : jumlah dan jenis minuman / hari

f. Aktifitas : kegiatan sehari-hari

g. Kegiatan yang spesfik

h. Penggunaan medikasi : obat-obatan yang


mempengaruhi defikasi

i. Stress : stres berkepanjangan atau pendek, koping


untuk menghadapi atau bagaimana menerima

j. Pembedahan / penyakit menetap


2) Pemeriksaan Fisik
a. Abdomen : distensi, simetris, gerakan peristaltic, adanya massa
pada perut, tenderness
b. Rektum dan Anus : tanda-tanda inflamasi, perubahan warna,
lesi, fistula, hemoroid, adanya massa, tenderness
c. Keadaan feses : konsistensi, betuk, bau, warna, jumlah, unsur
abnormal dalam feses lender
d. Pmeriksaan diagnostik : Anuskopi, Protogismoidoskopi,
rontgen dengan kontras
2. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan Eliminasi Urin
1) Inkontinensia
2) Retensi Urine
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1) Konstipasi
2) Diare
3. Intervensi Keperawatan dan Rasional
a. Gangguan Eliminasi Urine
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Inkontinensia Setelah dilakukan Perawatan Observasi
Urine asuhan keperawatan inkontinensia urine - Untuk
selama ..... jam, Observasi mengidentifika
diharapkan inkontinensi  Identifikasi si penyebab
urin membaik dengan penyebab inkontinensia
kriteria hasil: inkontinensia urine urine
1. Residu volume urin  Monitor kebiasan - Untuk
setelah berkemih BAK memonitor
menurun (5) Terpeutik kebiasaan
2. Distensi kandung BAK
 Bersihkan genitalia
kemih menurun (5) Terapeutik
dan kulit sekitar
3. Enuresis menurun (5) - Untuk menjaga
secara rutin
4. Frekuensi berkemih kebersihan
membaik (5)  Ambil sampel genitalia dan
5. Sensasi Berkemih urin untuk kulit sekitar
membaik (5) pemeriksaan urine secara rutin
lengkap atau kulture - Mengambil

Edukasi sampel urin


untuk
 Anjurkan membatasi
pemeriksaan
konsumsi cairan 2-3
urin lengkap
jam menjelang tidur
atau culture
 Anjurkan minum
Edukasi :
minimal 1500 cc /
- Menganjurkan
hari, jika tidak
untuk
kontraindikasi
membatasi
 Anjurkan
konsumsi
menghindari kopi,
minuman bersoda, cairan 2-3 jam
teh dan coklat menjelang tidur
 Anjurkan konsumsi - Menganjurkan
buah dan sayur untuk minum
untuk menghindari minimal 1500
konstipasi cc/hari, jika
Kolaborasi tidak
kotraindikasi
 Rujuk ke ahli
- Menganjurkan
inkontinensia, jika
untukmenghind
perlu
arikopi,
minuman
bersoda, teh
dan coklat
- Menganjurkan
untuk konsumsi
buah dan sayur
untuk
menghindari
konstipasi
Kolaborasi
- Rujukkan ke
ahli
inkontinensia,
jika perlu
-
-
-

-
Retensi Setelah dilakukan Kateterisasurin Observasi:
Urine asuhan keperawatan Observasi - Untuk
selama ..... jam, - Periksa kondisi pasien mengetahui
diharapkan eliminasi Terapeutik kondisi pasien
urine membaik dengan - Siapkan peralatan, Terapeutik
kriteria hasil: bahan-bahan, dan
- Mempersiapkan
1. Sensasi ruangan tindakan
peralatan, bahan-
berkemih meningkat - Siapkan pasien bahan, dan
(5)
- Bersihkan daerah ruangan tindakan
2. Desakan berkemih
perineal atau - Agar pasien siap
(urgensi) menurun (5)
preposium dengan untuk diberikan
3. Distensi kandung
cairan NaCl atau tindakan
kemih menurun (5)
aquaes - Untuk menjaga
4. Volume residu kebersihan
- Lakukan insersi
urine menurun (5) daerah perineal
kateter urin
Mengompol menurun (5) atau preposium
- Sambung kateter
urine dengan urine dengan
bag menggunak
- Isi balon dengan a n cairan NaCl
NaCl 0,9% sesuai atau aquaes
anjuran - Untuk diberikan
- Fiksasi selang kateter insersi kateter urin
- Berikan lebel waktu - Memasang
pemsangan Sambung kateter
Eduksai urine dengan
- Jelaskan tujuan urine bag
dan prosedur - Melakukan
pemasangan kateter pengisian balon
- Anjurkan menarik dengan NaCl
napas saat insersi 0,9% sesuai
selang kateter anjuran
- Melakukan Fiksasi
selang kateter
- Memberikan lebel
waktu pemsangan
Edukasi
- Agar pasien
mengatahui
procedure
pemasangan
kateter
- Agar pasien
menarik napas
pada saat di
berikan tindakan

b. Gangguan Eliminasi Fekal

Diagnosa Tujuan dan Kiteria Hasil Intervensi Rasional


Konstipasi Setelah dilakukan asuhan Manajemen Observasi
keperawatan selama ..... eliminasi fekal  Untuk
jam, diharapkan eliminasi Observasi mengidentifikasi
fekal membaik dengan  Identifikasi masalah usus
kriteria hasil: masalah usus dan penggunaan
1. Kontrol pengeluaran dan penggunaan obat pencahar
feses meningkat (5) obat pencahar  Untuk memonitor
2. Keluhan defekasi lama  Monitor buang air buang air besar
dan sulit menurun (5) besar
 Untuk mem onitor
3. Mengejan saat
 Monitor tanda tanda dan
defekasi menurun (5)
dan gejala gejala konstipasi
4. Konsistensi feses
konstipasi Terapeutik
membaik (5)
Terapeutik
5. Frekuensi  Agar pasien
defekasi membaik (5)  Berikan air hangat meminum air
6. Peristalttik usus setelah makan hangat setelah
membaik (5) makan
 Sedikan makanan
tinggi serat  Untuk menjaga
agar pasien
Eduksi
makanan yang
 Anjurkan tinggi serat
mengurangi asupan
Eduksi
makanan yang
meningkatkan  Untuk menjaga
pembentukan gas asupan makanan
 Anjurkan yang
mengkonsumsi meningkatkan
makanan yang pembentukan gas
mengandung tinggi  Agar pasien
serat mengkonsumsi
 Anjurkan makanan yang
meningkatkan mengandung
asupan cairan, jika tinggi serat
tidak ada  Agar pasien
kontrindikasi meningkatkan
Kolaborasi asupan cairan,
 Kolaborasi jika tidak ada
pemberian obat kontrindikasi
supositoria anal,
jika perlu Kolaborasi
- Untuk melakukan
kolaborasi
pemberian obat
supositoria anal,
jika perlu

Diare Setelah dilakukan asuhan Manajemen diare Observasi:


keperawatan selama ..... Observasi 1. Untuk
jam, diharapkan eliminasi  Identifiksi penyebab mengetahui
fekal membaik dengan diare penyebab diare.
kriteria hasil: 2. Untuk
 Monitor warna,
1. Kontrol pengeluaran mengetahui
frekuensi, volume,
feses meningkat (5) makanan apa saja
dan konstistensi
2. Keluhan defekasi lama yang telah
tinja
dan sulit menurun (5) dikonsumsi oleh
 Monitor tanda klien
3. Mengejan saat
dan gejala 3. Untuk
defekasi menurun (5)
hipovolemia membantu
4. Konsistensi feses
membaik (5) Terapeutik mengidentifikasi
5. Frekuensi  Berikan asupan ciran si penyakit klien
defekasi membaik (5) oral Terapeutik:
6. Peristalttik usus 1. Untuk
 Berikan cairan mengatasi
membaik (5)
intravena dehidrasi
Edukasi terutama
disebabkan oleh
 Anjurkan makanan
diare
porsi kecil dan
2. Untuk
sering secara
memberikan
bertahap
cairan ke dalam
 Anjurkan tubuh klien
menghindari sebagai pengganti
makanan berbentuk cairan tubuh dan
gas, pedas dan elektrolit yang
mengndung laktosa hilang.
Kolaborasi Edukasi:
 Kolaborasi 1. Untuk
pemberian obat menjaga asupan
pengeras feses makanan yang
dibutuhkan tubuh
2. Untuk
menghindari diare
berkelanjuta
Kolaborasi:
Untuk
menurunkan
motilitas atau
peristaltic usus
untuk
menghilangkan
kram dan diare

4. Implementasi
Implementasi di lakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan
keamanan klien. Sedangkan pada kenyamanan, implementasi dilakukan
untuk mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri, misalnya
ketidakpercayaan, kesalahpahaman, ketakutan, kelelahan dan kebosanan
5. Evaluasi
Rencana keperawatan yang di rancang untuk mengurangi resiko
cedera pada klien, di evaluasi dengan cara membandingkan kriteria hasil
dengan tujuan yang di tetapkan selama tahap perencanaan.
D. Mind mapping & Pathway
1. Mind mapping

Eliminasi
Proses eliminasi melibatkan pembuangan sisa-
sisa metabolisme tubuh. Racun dan bahan
limbah dikeluarkan dari tubuh melalui eliminasi.

Gangguan Eliminsi Urine Gangguam Eliminasi Fekal


Gangguan eliminasi urin adalah suatu Aspek Legal Etik Fungsi organ eliminasi seperti ginjal, ureter,
kondisi di mana seseorang memiliki Keperawatan kandung kemih atau kandung kemih dan uretra
atau berisiko mengalami masalah 1. Autonim (otonomi) sangat penting dalam proses ini. Air dikeluarkan
eliminasi urin 2. Beneficience (berbuatbaik) dari darah oleh ginjal, yang kemudian melewati
3. Justice (Keadilan) ureter dan masuk ke kandung kemih
4. Normal Eficience (tidak
Anatomi Fisiologi Eliminasi Urine merugikan)
Ginjal – Kandung Kemih – Ureter - 5. Veracity (kejujuran) Anatomi Fisiologi Eliminasi Fekal
Uretra 6. Fedellity (menepati janji) Mulut – Esifagus – Lambung – Usus Halus
7. Confidentiality – Usus Besar - Anus
(kerahasiaan)
8. Accountability
Faktor Yang Mempengaruhi (akuntabilitas)
Eliminasi Urine Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal
Pertumbuhan perkembangan,
Sosiokultural, Psikologi, Kebiasaan Usia, Diet, Pemasukan Cairan, Aktivitas, Faktor
atau gaya hidup, Aktivitas dan tonus Psikologi, Kebiasaan pribadi, posisi selama
otot, intake cairan dan makanan, defikasi, Nyeri, Kehamilan, diare, hemoroid
Kondisi penyakit, pembedahan Asuhan Keperawatan

Pengkajian – Diagnosa –
Intervensi- Implementasi
- Evaluasi
Masalah-Masalah Eliminasi Fekal
Masalah-Masalah Eliminasi Konsipasi, Fecal Infaction, Diare,
Urine Inontinensia Bowel/Alvi
Retensi Urine, Inkontinensia
Urine, Enurisis
Diagnosa Keperawatan Penatalaksanaan Eliminasi Fekal
Gangguan Eliminasi Urine 1) Pengobatan Non farmakologis
Penatalaksanaan Eliminasi Urine 1. Inkontinensia Urine
2) Pengobatan Farmakologi
1) Terapi Non Farmakologis 2. Retensi Urine
2) Terapi Farmakologis 3) Pemberian Cairan
3) Terapi Pembedahan 4) Pengobatan Dietetik (Cara pemberian
4) Modalitas lain
5) Kateterisasi Uretra Diagnosa Keperawatan makan)
6) Dilatasi Uretra degan boudy Gangguan Eliminasi Fekal
5) Obat-Obatan
7) Drainage Suprapubig 1. Konstipasi
2. Diare

2. Pathway
1. Gangguan Eliminasi Urine
a. Inkontinensia Urine

Kerusakan Bersin, batuk Obat anastesi


persyarafan

Kontraksi otot Penekanan pada Kelemahan otot


kandung abdomen sfingter

Tidak mampu Keluarnya urin


menahan

INKONTINENSIA URIN

b. Retensi Urine
Supravesikal Vesikal (Batu Intravesikal (Obstruksi
(Diabetes Melitus) Kandung Kemih) Kandung Kemih)

Kerusakan medulla
spinalis TH12-L1,
kerusakan saraf
simpatis dan
parasimpatis
Otot detrusor Penyumbatan/penyem
melemah pitan uretra
Neuropati (otot tidak
mau berkontraksi)

Distensi kandung
kemih

RETENSI URIN

2. Gangguan Eliminasi Fekal


a. Diare
Faktor
Faktor infeksi malabsorpsi Faktor makanan Faktor psikologi
karbohidrat,
protein, lemak

Masuk dan Tekanan osmotik Toksin tak dapat


berkembang meningkat diserap Cemas
dalam usus

Hipersekresi air Hiperperistaltik


dan elektrolit Pergeseran air dan
menurun
elektrolit ke
(meningkat isi kesempatan
rongga usus) rongga usus
usus menyerap
makanan

DIARE

b. Konstipasi
Diet rendah serat, asupan cairan kurang, Penggunaan obat-obatan tertentu (seperti,
kondisi psikis, kondisi metabolik, dan gol. Opiat) dan mengandung AL dan Ca
penyakit yang di derita

Absorbs cairan dan elektrolit Memperpanjang waktu transit di kolon

Memperpanjang waktu transit di kolon


Memberi efek pada segmen usus
karena absorbs terus berlangsung

Feses mengeras Kontraksi tidak mendorong

KONSTIPASI
Gangguan defekasi

Rangsangan refleks penyebab


rekto anal

Relaksasi sfingter interna dan


eksterna

Membrane muskorektal dan Tekanan intra abdomen


muskulatur tidak peka terhadap meningkat
rangsangan fekal

Diperlukan rangsangan yang


lebih kuat untuk mendorong
feses

Spasme setelah makan nyeri


klonik pada abdomen bawah

Kolon kehilangan tonus Tidak responsive terhadap KONSTIPASI


rangsangan normal

Daftar Pustaka
Konstanti, & Ni Wayan. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia I. Cetakan I. Jakarta
Selatan
Nanda.2015-2017.Panduan Diagnosa Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi.Jakarta: EGC

Putri, A, Astuti, H. T, & Kurniasih, N. 2016. Pengertian dan Contoh Aspek


Legal Etik Dalam Keperawatan Anastesi. Poltekes Kemenkes
Yogyakarta

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Definisi dan


Tindakan Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta Selatan

Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI). Definisi dan Kriteria


Hasil keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai