Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERTROPI PROSTAT
LONTARA DUA BAWAH DEPAN (BEDAH UROLOGI)
RS. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
TAHUN 2019

Sofiyan Djainuddin
R014191030

CI LAHAN CI INSTITUSI

[ ] [Titi Iswanti Afelya,S. Kep.,Ns.,M.Kep.Sp.KMB]

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari elemen seluler prostat (Kong
& Bph, 2016). BPH adalah keadaan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia
dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan untuk intervensi medis pada pria di atas
usia 50 tahun (Adelia, & Wagiu, 2017) Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran
progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan
berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Price, S. A., & Wilson,
2015)
Benigna prostat hiperplasia (BPH) adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian
periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan
otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra, dan
pembesaran bagian periuretral akan menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan
uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung
kemih (Black & Hawks, 2014).

Gambar 1: Prostat Normal dan Prostat Hyperplasia

B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen(Smeltzer &
Bare, 2013). Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan.
Prevalensi histologi BPH meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-50 tahun, 50%

2
pada laki-laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki-laki berusia di atas 80
tahun (Linda, 2017). Ada beberapa faktor kemungkinan penyebab BPH antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kalenjar prostat mengalami hiperplasia
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron.
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit Teori sel stem,
menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011) adalah:
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu
antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa
di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan
produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan
terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi
hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan
makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi

3
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis,
prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap
estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth
factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan
epidermal growth factor.
3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan
sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron
tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah
sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar
periuretral prostat menjadi berlebihan.
5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam
keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam
“target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase
menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma
menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini
mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk
kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan
transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

C. Manifestasi Klinik

4
LUTS (lower urinary tract symptoms) adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan berbagai gejala pada sistem perkemihan. LUTS berhubungan dengan
BPH yang dapat bersifat obstruktif atau iritasi, tetapi gejala lain juga dapat terjadi
(Amadea, Langitan, Wahyuni, & Program, 2019)
1. Gejala Obstruktif yaitu:
a. Hesitansi : memulai lama saat miksi dan disertai mengejan yang disebabkan oleh
karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan
tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika
b. Intermitency : terputus-putus aliran kencing akibat ketidakmampuan otot
destrusor dalam mempertahan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir miksi.
d. Pancaran lemah: kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrusor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya miksi
2. Gejala Iritasi yaitu:
a. Urgensi : perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit ditahan
b. Frekuensi: penderita miksi lebih sering dari biasanya, dapat terjadi pada malam
hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria : nyeri saat miksi

Kategori keparahan BPH berdasarkan tanda dan gejala:

Keparahan penyakit Kekhasan gejala


Ringan Asimtomatik

Kecepatan urinary pucak < 10 mL/ s

Volume urin residual setelah pengosongan > 25-50 mL

Peningkatan BUN dan kreatinin serum


Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan
gejala dan iriatif penghilangan gejala (tanda dari detrusor
yang tidak stabil)
Parah Semua yang diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasi
BPH

Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat gejala kliniknya.
Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur
dan sisa volume urin. Seperti yang tercantum dalam bagan berikut ini:

5
Derajat Colok dubur Sisa volume urin
I Penonjolan prostat,batas atas mudah diraba <50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50-100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 mL
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total

D. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah retensi kronik dapat
menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada saluran kemih. Karena selalu
terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu, hematuriaf, sistitis dan
pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid (Black & Hawks, 2014).

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan menurut (Price, S. A., & Wilson, 2015), yaitu:
1. Laboratorium
a. Urinalis : evaluasi sedimen disentrifugasi untuk menilai adanya darah, leukosit,
bakteri, protein, atau glukosa.
b. Kultur urine: ini mungkin berguna untuk menyingkirkan penyebab infeksi
kandung kemih yang mengiritasi jika temuan urinalis menunjukan abnormalitas
c. Antigen spesifik prostat (PSA): meskipun BPH tidak menyebabkan kanker
prostat, pria yang beresiko terkena BPH juga beresiko terkena kanker prostat
sehingga dibutuhkan skrining. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA)
dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA < 4ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA
4-10ng/ml, hitunglah Prostate Spesific Antigen Disease (PSAD) yaitu PSA serum

dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD 0,15 maka sebaiknya dilakukan

biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.


d. Elektrolit, BUN dan kreatinin: evaluasi ini merupakan alat skrining yang berguna
untuk isufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki volume urine residu
tinggi.
2. Ultrasonografi

6
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan ukuran kandung kemih, prostat dan
tingkat hidronefrosis (jika ada) pada pasien denga retensi urine atau tanda insufisiensi
ginjal.
3. Endoskopi
Endoskopi saluran kemih bagian bawah (sistoskopi) dilakukan pada pasien dengan
rencana tindakan invasif atau dicurigai adanya keganasan atau benda asing.
Endoskopi juga dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit menular seksual
(mis. Uretritis gonokokal), kateterisasi, atau trauma berkepanjangan.
4. IPPS/AUA-SI
Tingkat keparahan BPH dapat ditentukan dengan gejala International Prostate
Symptom Score (IPPS)/ American Urological Association Symptom Index (AUA-
SI).

Tabel 1: Skor Internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom


Score, IPSS)
Pertanyaan Jawaban dan skor
Keluhan pada bulan Tidak < 1 > 5 sampai 15 kali > 15 Hampir
terakhir sama sampai < 15 kali kali selalu
sekali 5 kali
Adakah anda merasa 0
buli-buli tidak
kosong setelah BAK
Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5
hendak BAK lagi
dalam waktu 2 jam
setelah BAK
Berapa kali terjadi 0 1 2 3 4 5
air kencing berhenti
sewaktu BAK
Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5
tidak dapat menahan
keinginan BAK
Berapa kali arus air 0 1 2 3 4 5
seni kemah sekali
sewaktu BAK
Berapa kali terjadi 0 1 2 3 4 5
anda mengalami

7
kesulitan memulai
BAK (harus
mengejan)
Berapa kali anda 0 1x 2x 3x 4x 5x
bangun untuk BAK
di waktu malam
Andaikata hal yang Sangat Cukup Biasa saja Agak Tidak Sangat
anda alami sekarang senang senang tidak menyen tidak
akan tetap senang angkan menyenan
berlangsung seumur gkan
hidup, bagaimana
perasaan anda

Jumlah nilai:
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = sangat buruk
F. Penatalaksanaan
1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan
sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤ 7 atau Madsen Iversen ≤
9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi,
kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS
sedang yang tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat
memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara
lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi
miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
2. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma.
Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal

8
Gold Standard untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection
of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi.
Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi,
retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur
uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.

Gambar 3: Tindakan TURP


Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka
dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang
tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan
pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar
(sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc
3. Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
a. Penghambat adrenergik alfa
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra
pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan
cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin.
Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga
pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah.
b. Penghambat enzim 5 α reduktase
Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga testosteron tidak diubah
menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein
terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya
antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.

9
c. Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum
Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea
pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas
diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth
Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-
androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel
prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan
tonus leher vesika

10
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk
memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar
untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien.

a. Biodata Klien
Meliputi nama, umur (penyakit Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) paling
sering didapatkan pada usia 50 tahun ke atas), jenis kelamin (Benigna
Prostat Hyperplasia (BPH) hanya dialami oleh laki-laki), alamat,
agama/kepercayaan, pendidikan, suku/bangsa, pekerjaan.

b. Keadaan Umum
Meliputi tingkat kesadaran atau GCS dan respon verbal klien (kesadaran
somnolen sebagai tanda sindroma TURP), ada tidaknya defisit konsentrasi,
tingkat kelemahan (keadaan penyakit) dan ada tidaknya perubahan berat
badan .

c. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:

 Tekanan darah (meningkat pada komplikasi gagal ginjal dan


sidroma TURP)
 Pulse rate (bradikardi sebagai tanda sindroma TURP)
 Respiratory rate
 Suhu (meningkat bila terdapat indikasi infeksi)
Tanda vital dapat meningkat menyertai nyeri, suhu (Normal = 36,5o –
37,5oC), RR (Normal = 16 – 20 x/mnt), nadi (Normal = 60-120 x/mnt).

d. Riwayat Keperawatan
1. Keluhan Utama

11
Keluhan utama yang muncul pada klien dengan BPH meliputi keluhan
berkemih yang sering, anyang-anyangan, perut bawah terasa tegang,
harus mengejan saat berkemih, urine terus menetes setelah berkemih,
aliran urine tidak lancar, merasa kandung kemih tidak kosong setelah
berkemih.

2. Riwayat Kesehatan Sekarang


Disamping keluhan utama biasanya klien juga akan melaporkan
beberapa keluhan sebagai berikut seperti menggigil, demam dan
disuria dapat terjadi sebagai tanda gejala obstruksi dan iritatif.

3. Riwayat Kesehatan Dahulu


Keadaan atau penyakit-penyakit yang pernah diderita oleh penderita
yang mungkin berhubungan dengan BPH, antara lain gangguan
eliminasi urine, disfungsi seksualitas.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Belum ditemukan adanya hubungan herediter terkait penyakit BPH.
Namun penyakit diabetes mellitus dapat menimbulkan kelainan
persarafan pada vesica urinaria

e. Riwayat Keperawatan
1) Breathing
2) Blood
3) Brain
4) Bladder
Pada klien BPH terdapat riwayat adanya penurunan
kekuatan/dorongan aliran urine, keragu-raguan pada awal berkemih,
nokturia, disuria, hematuria, isis berulang, riwayat batu (stasis
urinaria), konstipasi, massa padat di bawah abdomen bawah, nyeri
tekan kandung kemih, ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih (Doenges, 1999).Akan terasa adanya ballotement dan
ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil, retensi urine ,
distensi kandung kemih
5) Bowel

12
6) Bone
f. Pemeriksaan Fisik
1. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu.
Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin
akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis
sampai syok septik.
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Perhatian
khusus pada abdome:
 Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik pada keadaan
retensi urine
 Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan
menimbulkan pasien ingin buang air kecil, retensi urine ,
distensi kandung kemih
 Perkusi : Redup bila terjadi residual urine
3. Traktus urinaria bagian atas akan didapatkan ginjal teraba dan apabila
sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok
pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk
mengetahui adanya hernia
4. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya
kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan
miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis
daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. Pemeriksaan
skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.
5. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan
besarnya prostat. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan
gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus,
mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum
dan tentu saja teraba prostat. Colok dubur pada hiperplasia prostat
menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri
simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum.

13
Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit
untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat
keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.

B. Diagnosa Keperawatan(NANDA, 2015)&(NANDA, 2018)


a. Nyeri akut b.d agen cedera fisik
b. Ansietas b.d perubahan besar ( misalnya: status kesehatan, fungsi
peran, status peran, status ekonomi dan lingkungan)
c. gangguan eliminasi urin b.d obstruksi anatomic
d. Risiko infeksi dengan faktor risiko media perkembangan patogen
(statis urine)

14
1
C. Rencana/ Intervensi Keperawatan(Moorhead, S., 2013) &(Bulechek, G. M., 2013)
a. Nyeri akut b.d agen cedera fisik

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam nyeri 1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung
cedera fisik berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil: 2. berikan edukasi kepada keluarga terkait manajemen
penyakit
klien dapat 3. Berikan posisi yang tidak menyebabkan nyeri
bertambah
1. mengenali kapan terjadi nyeri 4. Tinggikan kepala tempat tidur
2. mengenali faktor penyebab nyeri 5. Meminimalisir gesekan dan cedera ketikan
3. melaporkan nyeri terkontrol memposisikan atau membalikkan tubuh pasien
4. melaporkan jika mengalami nyeri 6. Jangan berikan posisi yang dapat menyebabkan
5. mengambil tindakan untuk mengurangi nyeri penekanan pada luka.
6. mengatasi gangguan hubungan interpersonal 7. minta klien untuk rileks
7. mengatasi kekhawatiran terkait toleransi nyeri 8. ajarkan teknik relaksasi napas dalam
8. mengatasi ketakutan terhadap nyeri yang tidak bisa 9. Kaji adanya riwayat alergi terhadap obat tertentu
ditahan 10. Pastikan mengikuti prinsip 6 benar pemberian obat
9. Mengatasi ketakutan terhadap prosedur dan alat 11. Cek tanggal kadaluarsa obat
10. mengatasi rasa marah terhdapat dampak nyeri yang 12. Monitor respon klien
menyebabkan ketidakmampuan
11. lesi pada kulit dan membran mukosa berkurang
12. suhu dalam batas normal (36-37,5 C)
13. kulit wajah tidak pucat

1
b. Ansietas b.d perubahan besar ( misalnya: status kesehatan, fungsi peran, status peran, status ekonomi dan lingkungan)

Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Ansietas b.d perubahan besar Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam 1. Berikan sentuhan sebagai bentuk dukungan
ansietas teratasi dengan kriteria hasil: 2. Bina hubungan saling percaya
3. Bersikap empati, hangat dan tulus
klien mampu 4. Sedaiakan tempat tidur yang bersih dan nyaman
5. pertahankan kontak mata, sikap tenang dan hati-hati
1. beristirahat/tidur 6. berdiri disisi klien
2. mengatasi perasaan gelisah 7. instruksikan klien untuk menggunakan metode
3. mengontrol penyebab cemas mengurangi kecemasan dengan teknik distraksi
4. menggunakan strategi koping dengan
efektif
5. mengendalikan respon cemas
6. mendapatkan dukungan sosial dari
keluarga

c. gangguan eliminasi urin b.d obstruksi anatomik

Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


gangguan eliminasi urin b.d obstruksi Setelah dilakukan intervensi selama 4x24 jam 1. monitor intake dan output cairan
eliminasi urin dapat teratasi dengan kriteria pasien
anatomik
hasil: 2. manejemen nyeri

klien mampu
1. pola eliminasi

2
kembali normal
2. memperhatikan
intake cairan
3. tidak nyeri saat
berkemih
4. tidak ada darah
dalam urin

Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Risiko infeksi NOC: NIC:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
24 jam pasien tidak mengalami infeksi, dengan 2. Observasi dan laporkan tanda dan gejal infeksi seperti
kemerahan, panas, nyeri, tumor
Kriteria Hasil:
3. Kaji tanda-tanda vital tiap 6 jam
- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 4. Catat dan laporkan hasil laboratorium
- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah
5. Kolaborasi pemberian antibotik
timbulnya infeksi
- Jumlah leukosit dalam batas normal

BAB III
WOC

Hormone estrogen dan


testosterone tidak seimbang Faktor usia Proliferasi abnormal sel
stem 3
Sel stroma pertumbuhan
Prostat membesar berpacu
Produksi stroma dan epitel berlebihan

TURP Prostat membesar


Prostat membesar

Kurangnya informasi terhadap Penyempitan lumen ureter


pembedahan prostatika Penyempitan lumen ureter prostatika TURP

Penekanan serabut-serabut Pemasangan folley cateter


Ansietas Menghambat aliran urina saraf

Obstruksi oleh benjolan darah post op


Retensi urine Nyeri

Gangguan eliminasi urine


Kerusakan mukosa
urogenital Menghambat aktivitas

Penurunan pertahanan Hambatan mobilitas fisik


tubuh

Resiko Infeksi

4
BAB III

WEB OF CAUTION (WOC)

Perubahan hormon Proses menua Interaksi sel epitel dan Peningkatan sel stem
testosteron & estrogen (ketidakseimbangan hormon stoma

Benign Prostatic Hypertophy (BPH)

Penyempitan lumen
Kontraksi otot uretra
suprapubik
Menghambat aliran
Tekanan mekanis urine

Bendungan vesika Meida perkembangan


Merangsang nosiseptor Statis urine
Da urinaria patogen

Medulla spinalis Peningkatan tekanan


Risiko infeksi
intra vesikal

Sistem aktvasi retikular


Hiperiiritable pada
blader
Hipotalamus dan sistem Gejala iritatif Gejala obstruktif
limbik - Urgensi - Intermitten
Peningkatan kontraksi - Frekuensi BAK - Hesistansi
otot detrusor dari buli- sering - Terminal
Persepsi nyeri buli (nokturia, dribbling
diurnal uria) - Pancaran urin
- Dysuria lemah
Nyeri akut Hipertropi otot detrusor
- BAK tidak puas

Low UrInary Tract


Syndrome (LUTS)

Ganngguan eliminasi
urin

DAFTAR PUSTAKA

Adelia, F., Wagiu, 2Alwin Monoarfa 2Angelica, & 1Program. (2017). Gambaran Benigna Prostat
Hiperplasia di RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou, 2014–2016.
Amadea, R. A., Langitan, A., Wahyuni, R. D., & Program, M. P. (2019). Benign prostatic hyperplasia
(bph), 1(2), 172–176.
Bulechek, G. M., & et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). PhiladelphiaElsevier.:

5
Elsevier.
Kong, H.. (2016.). Hiperplasia prostat jinak (BPH).
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2011). Buku ajar: Fundamental Keperawatan
Konsep,Proses, & Praktik. (S. K. Ns. Dwi Widiarti, S.Kep, Ns. Anastasya Onny Tampubullon,
S.Kep , & Nike Budhi Subekti, Ed.) (Edisi 7). Jakarta: EGC.
Linda, A. (2017). Buku ajar keperawatan medikal bedah : Gangguan eliminasi (5th ed.). Jakarta:
EGC.
M, Black, J., & Hawks, H. J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajeman Klinis untuk Hasil
yang diharapkan (8 buku 2). Singapore: Elsevierr.
Moorhead, S., & et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Philadelphia: Elsevier: :
Elsevier.
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi ((10). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
NANDA. (2018). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi (11th ed.). jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2015). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit ((6 ed.,
Vo). jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar : Keperawatan medikal bedah. (S. K. Monica Ester,
Ed.) (8th ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai