Anda di halaman 1dari 92

Daftar Isi

Laporan Penelitian

Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus
Iwan Abdul Rachman, Tatang Bisri ......................................................................................... 1–12

Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus


Serial
Riyadh Firdaus, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ............................................................ 13–23

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring


Saraf Kranialis
Sandhi Cristanto, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ........................................................ 24–34

Pengelolaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan


Luarannya
Wahyu Sunaryo Basuki, Dewi Yulianti Bisri, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh .......... 35–43

Penatalaksanaan Anestesi pada Ruptur Aneurisma Cerebral


Riyadh Firdaus, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo ......................................................... 44–56

Tinjauan Pustaka

Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil


Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, Dewi Yulianti Bisri, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak 57–67
Saleh ........................................................................................................................................

Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi


Suwarman, Tatang Bisri ............................................................................................................. 68–76

Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan


pada Cedera Otak Traumatik
Rovina Ruslami, Tatang Bisri ..................................................................................................... 77–85
Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah
Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Iwan Abdul Rachman, Tatang Bisri


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Fossa posterior atau fossa infratentorial merupakan kompartemen yang padat serta kaku dan tidak dapat
melakukan penyesuaian terhadap penambahan volume isinya. Sedikit penambahan volume isi misalnya akibat
tumor atau hematoma, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang signifikan di dalam kompartemen tersebut
sehingga terjadi penekanan pada batang otak yang mengancam kehidupan. Tindakan operasi pada fossa posterior
memberikan tantangan bagi ahli anestesiologi dikarenakan risiko tinggi terjadinya disfungsi batang otak, posisi
pasien, pengawasan neurofisiologis intraoperatif, dan risiko potensial terjadinya emboli udara vena (venous air
embolism/VAE). Berikut ini serial kasus mengenai pasien yang dilakukan tindakan kraniotomi pengangkatan
tumor atas indikasi tumor infratentorial pada cerebellopontine angle (CPA) dan serebellar astrositoma. Data telah
menunjukkan risiko terjadinya VAE pada posisi duduk yaitu antara 40%–45%, sedangkan pada posisi lateral,
telungkup, park bench lebih rendah yaitu antara 10%–15%. Pada serial kasus ini posisi ketiga pasien diposisikan
dengan posisi park bench dan tidak terjadi adanyaVAE. Kasus ini dapat memperkuat data dalam penurunan resiko
terjadinya VAE adalah dengan posisi park bench. Oleh karena itu, pencegahan dari terjadinya VAE sangatlah penting
diketahui oleh ahli anestesiologi untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan tindakan bedah fossa posterior.

Kata kunci: fossa posterior, disfungsi batang otak, VAE


JNI 2016;5(1): 1–12

Anesthesia in Surgical Management Measures


Posterior Fossa Tumors: Serial Case

Abstract

The posterior fossa or infratentorial fossa is a compact and rigid compartment with poor compliance. Small
additional volumes (e.g. tumour, haematoma) within the space can result in significant elevation of the
compartmental pressure resulting in life-threatening brainstem compression. Surgery in the posterior fossa presents
the significant challenges in addition to special problems related to brain stem dysfunction, patient positioning,
intraoperative neurophysiologic monitoring, and the potential for venous air embolism (VAE). This serial case
present anaesthetic management in tumor removal surgeries (infratentorial in cerebello pontine angle/CPA and
cerebellar astrocytoma). Data have shown the risk of VAE in the sitting position 40% - 45%, lateral and park bench
position 10% – 15%. In these three cases all the patient with park bench position. This case can strenghthen data
in a decrease in the risk of VAE is the park bench position. Therefore, prevention of the occurrence of VAE is very
important to be known by the anesthesiologist to reduce mortality in patients with posterior fossa surgery.

Key words: posterior fossa, brain stem dysfunction, VAE

JNI 2016;5(1): 1–12

1
2 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan terjadi disfungsi saraf kranial selama operasi


berlangsung, risiko tinggi terjadinya emboli
Basis cranii terbagi menjadi 3 bagian dari bagian udara pada pembuluh darah vena (venous air
depan yaitu fossa anterior, bagian tengah yaitu embolism/VAE), dan kebutuhan menggunakan
fossa medial serta bagian paling belakang yaitu ventilasi mekanik pascabedah.2
fossa posterior. Fossa posterior dikelilingi oleh Tujuan tindakan anestesi pada kasus bedah di
bagian anterior yaitu tulang clivus dan petrous, fossa posterior yaitu memfasilitasi akses ke area
lateral dan posterior yaitu occipital squamosa, bedah, meminimalisir risiko kerusakan jaringan
superior yaitu tentorium cerebelli, inferior yaitu saraf, dan mempertahankan stabilitas respiratorik
foramen magnum dan sinus vena dural. Sebagian dan kardiovaskular. Oleh karena hal tersebut,
besar area ini diisi oleh cerebellar hemisphere ahli anestesi harus berkomunikasi dengan ahli
serta batang otak. Saraf kranial ketiga hingga bedah mengenai rencana tindakan preoperatif,
kedua belas dapat diakses melalui fossa posterior. termasuk memposisikan pasien dan persiapan
Sistem sirkulasi darah pada struktur saraf di tindakan bedah. Pencegahan VAE, mengenali
dalamnya yaitu sistem vertebrobasilar yang gejala terjadinya VAE, dan penatalaksanaan VAE
terbanyak berada di bagian anterior, sehingga merupakan hal yang sangat penting pada kasus
sangat sulit mengakses struktur ini.1 tumor fossa posterior.2,3
Fossa posterior berisi cerebellum, midbrain, pons,
medulla dan beberapa saraf kranii, sehingga jika II. Kasus
terdapat lesi pada area ini akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang Kasus I
memberikan beberapa gejala seperti mengantuk, Seorang wanita 20 tahun, berat badan 56 kg
nyeri kepala, mual, muntah, diplopia, penglihatan dengan diagnosa SOL infratentorial vestibular
buram, serta perubahan kondisi mental. Lesi schwanoma a/r CPA dengan hidrosefalus non
tersering dan membutuhkan tindakan bedah pada komunikan post V-P shunt, dibawa ke Rumah
fossa posterior adalah tumor, baik tumor jinak Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan utama
maupun ganas.1 tidak dapat melihat. Sejak kurang lebih 8 bulan
Tumor fossa posterior merupakan salah satu tumor sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh
otak yang sangat membahayakan nyawa. Tumor penglihatannya buram disertai dengan sakit
fossa posterior lebih sering terjadi pada anak- kepala dan muntah-muntah. Riwayat penurunan
anak yaitu 54–70% dibandingkan dewasa sekitar kesadaran kurang lebih 3 bulan sebelumnya tanpa
15–20%. Insidensi jenis tumor diklasifikasikan disertai adanya kejang, dilakukan pemeriksaan
menjadi 3 kelompok umur yaitu kelompok umur CT-scan di rumah sakit daerah. Dari pemeriksaan
10–20 tahun tumor tersering yaitu astrositoma tersebut dikatakan terdapat massa di batang otak,
dan meduloblastoma, kelompok umur 20–60 pasien dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin
tahun tumor tersering yaitu metastase, akustik kemudian dilakukan pemasangan V-P shunt.
dan meningioma, serta kelompok umur >60 tahun Saat ini pasien juga mengeluh adanya kelemahan
terbanyak yaitu akustik tumor.2 anggota gerak kanan. Pasien mendapat terapi
parasetamol 4x500mg, ranitidin 2x50mg. Pasien
Tindakan bedah pada kasus tumor di fossa posterior dikonsulkan ke anestesi untuk penatalaksanaan
sangat rumit dikarenakan ruang yang terbatas perioperatif kraniotomi untuk pengangkatan
serta banyaknya struktur saraf dan vaskular yang tumor.
bersilangan sehingga memerlukan penanganan
yang kompleks dan waktu operasi yang lama. Hal Pemeriksaan Fisik
tersebut sangat menantang baik bagi ahli bedah Keadaan umum : GCS 15 : E4 M6 V5
maupun ahli anestesiologi. Tantangan utama bagi
Tekanan darah : 130/80mmHg
ahli anestesiologi pada tindakan bedah di fossa
posterior yaitu peningkatan tekanan intrakranial, Laju nadi : 68x/menit
bagaimana memposisikan pasien, kemungkinan Laju nafas : 14x/menit
Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah 3
Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Suhu : 37 oC CT scan: lesi kistik, ukuran lesi 3x5x5 cm di


CPA ke posterior mengobliterasi cerebelum
SpO2 : 99–100%
kiri, anterior ke kanalis akustikus internus dan
Kepala : konjungtiva anemis –/–, mengobliterasi nervus akustikus internus dan
sklera ikterik –/– os mastoid, di bagian medial terdapat lesi kistik
Leher : JVP tidak meningkat, Range mendesak ke pons dan tampak berhubungan
of Movement (ROM) baik dengan ventrikel 4. Rontgen thorak: cor dan
Thoraks : Bentuk & gerak simetris pulmo tidak ada kelainan.
Cor : S1&S2 reguler, gallop (–),
murmur (–) Pengelolaan Anestesi
Pasien dipuasakan dari makanan padat 8 jam
Pulmo : VBS kiri = kanan, ronki –/–,
sebelum operasi, minum air putih diperbolehkan
weezing –/–
200cc sampai dengan 2 jam sebelum operasi.
Abdomen : datar, lembut, hepar/lien tidak Persiapan operasi pasien diberikan premedikasi
teraba, bising usus (+), nyeri lorazepam 1mg per oral malam hari dan 2 jam
tekan (–) sebelum operasi dan parasetamol 1 gram 2 jam
Ekstremitas : 5 4 sebelum operasi. Dilakukan pemasangan kateter
vena dengan menggunakan cairan infus NaCl
5 4 0,9% 18 tetes/menit.

Induksi menggunakan propofol 2,5 mg/kgBB,


Pemeriksaan Laboratorium
fentanil 3μg/kgBB, vekuronium 0,12 mg/kgBB,
Hb : 12,3gr/dL lidocain1,5mg/kgBB intravena, disertai dengan
Hematokrit : 38% pemberian anestestika inhalasi sevofluran 2
Leukosit : 8.100 vol% dan O2 100% 6L/menit. Setelah dipastikan
Trombosit : 298.000 seluruh obat induksi sudah tercapai onsetnya,
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal dengan
PT : 11,7
menggunakan pipa endotrakeal (endotracheal
INR : 0,92 tube/ETT) no 7,0. Setelah dilakukan intubasi
aPTT : 23 endotrakeal, dilakukan pemasangan kateter vena
Na : 139mEq/L sentral (central vein cathether/CVC) pada vena
K : 4,0 mEq/L subclavia kanan. Rumatan anestesi dengan O2 2L/
menit, udara yang dimampatkan (air) 2L/menit,
SGOT : 18unit/L
sevofluran 2 vol% dan vekuronium 2 mg/jam.
SGPT : 28unit/L Reseksi tumor berlangsung selama 6 jam dengan
Ureum : 9mg/dL posisi pasien park bench. Hemodinamik selama
Kreatinin : 0,55mg/dL operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik
Glukosa Darah Sewaktu : 98mg/dL berkisar 90–120mmHg, tekanan darah diastolik
60–80mmHg, laju nadi (HR) 60–80 x/mnt dan
SaO2 99–100%, ETCO2 30–35mmHg.
Pemeriksaan Penunjang
Pengelolaan Pascabedah
Pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif
dengan keadaan masih dalam pengaruh obat,
jalan nafas masih terpasang ETT, pernafasan
terkendali menggunakan ventilator SIMV
PS; PEEP 5, PS 5, frekuensi 12x/menit, FiO2
40%, saturasi O2 98–100%. Tekanan darah
Gambar 1. CT-scan Kepala sistolik 110–130mmHg, diastolik 60–80mmHg,
4 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

nadi 60–80 x/menit. Pasien masih tersedasi SpO2 : 99–100%


dengan menggunakan propofol 20μg/kgBB/
Kepala : konjungtiva anemis –/–,
menit, analgetik fentanyl 0,5 μg/kgBB/jam dan
sklera ikterik –/–
parasetamol 3x1gram per hari. Rumatan cairan
Mata: kiri visus 1/60, kanan
menggunakan ringerfundin 18 tetes/menit.
5/5 Parese NVII sinistra
Hari ke-2 di ruang perawatan intensif sedasi
perifer
dihentikan, dilakukan ekstubasi setelah dikurangi
kebutuhan ventilator dan dipastikan pernafasan Leher : JVP tidak meningkat, Range
adekuat. Hemodinamik stabil, analgetik masih of Movement (ROM) baik
dilanjutkan. Pasien dipindahkan ke ruangan pada Thoraks : Bentuk & gerak simetris.
hari ke-3 pascabedah. Cor : S1&S2 reguler, gallop (–),
murmur (–)
Kasus II
Pulmo : VBS kiri = kanan, ronki –/–,
wheezing –/–
Seorang laki-laki 28 tahun, berat badan
59 kg dengan diagnosa SOL infratentorial Abdomen : datar, lembut, hepar/lien
residif vestibular schwanoma a/r CPA dengan tidak teraba, bising usus (+),
hidrosefalus non komunikan post V-P shunt nyeri tekan (–)
dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan Ekstremitas : motorik 5 5
keluhan tidak mendengar pada telinga kiri.
Sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu penderita 5 5
mengeluh pendengarannya berkurang disertai
dengan sakit kepala yang hilang timbul. Nyeri
Pemeriksaan Laboratorium
kepala masih dapat diatasi dengan minum obat
Hb : 13,7gr/dL
penghilang nyeri.
Hematokrit : 40%
Keluhan tersebut juga disertai dengan adanya Leukosit : 7.406
gangguan keseimbangan. Riwayat penurunan Trombosit : 321.000
kesadaran dan kejang tidak didapatkan. Dilakukan PT : 10,3
pemeriksaan CT-scan dikatakan terdapat
INR : 0,97
tumor otak kemudian pasien menjalani operasi
pengangkatan tumor. Tiga bulan kemudian aPTT : 23
keluhan nyeri kepala dan gangguan keseimbangan Na : 135mEq/L
dirasakan kembali. Pasien kembali ke rumah sakit K : 3,9 mEq/L
dan dilakukan pemeriksaan CT-scan kembali. SGOT : 13unit/L
Setelah itu dilakukan pemasangan V-P shunt. Saat
SGPT : 12unit/L
ini pasien mendapat terapi parasetamol 4x500mg,
ranitidin 2x50mg. Pasien dikonsulkan ke anestesi Ureum : 22mg/dL
untuk penatalaksanaan perioperatif kraniotomi Kreatinin : 0,82mg/dL
untuk pengangkatan tumor. Glukosa Darah Sewaktu : 121mg/dL

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Keadaan umum : GCS 15: E4 M6 V5 CT Scan: lesi di CPA ukuran 4x6x4 cm, suspek
Tekanan darah : 140/80mmHg residual vestibular schwanoma. Rontgen thorak:
Laju nadi : 78x/menit cor dan pulmo tidak ada kelainan.
Laju nafas : 18x/menit
Pengelolaan Anestesi
Suhu : 36,8 oC
Pasien dipuasakan dari makanan padat 8 jam
Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah 5
Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

sebelum operasi, minum air putih diperbolehkan Kasus III


200 cc sampai dengan 2 jam sebelum operasi.
Persiapan operasi pasien diberikan premedikasi Seorang anak wanita 12 tahun, berat badan 25 kg
parasetamol 1 gram 2 jam sebelum operasi dengan diagnosa SOL infratentorial a/r cerebellum
dan ranitidin 1x50 mg intravena. Dilakukan sinistra suspek cerebellar astrocytoma dibawa
pemasangan kateter vena dengan menggunakan ke rumah sakit Hasan Sadikin dengan keluhan
cairan infus ringerfundin 20 tetes/menit. utama penglihatan ganda. Sejak kurang lebih 2
Induksi menggunakan obat intravena propofol 2,5 minggu sebelum masuk rumah sakit penderita
mg/kgBB, fentanil 3 μg/kgBB, vekuronium 0,12 mengeluh penglihatannya ganda disertai dengan
mg/kgBB, lidokain1,5 mg/kgBB. Disertai juga penglihatan buram. Keluhan tersebut disertai
dengan pemberian anestetika inhalasi sevofluran dengan sakit kepala yang hilang timbul dan
2 vol% dan O2 100% 6L/menit. Setelah dipastikan gangguan keseimbangan ketika berjalan. Riwayat
seluruh obat induksi sudah tercapai onsetnya, trauma, penurunan kesadaran, kejang tidak
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal dengan didapatkan. Dilakukan pemeriksaan CT-scan di
menggunakan ETT no 7,5 non kingking. Setelah rumah sakit daerah kemudian pasien dirujuk ke
dilakukan intubasi endotrakeal, dilakukan Rumah Sakit Hasan Sadikin. Pasien dikonsulkan
pemasangan kateter vena sentral (CVC) pada vena ke anestesi untuk penatalaksanaan perioperatif
subklavia kanan. Rumatan anestesi dengan O2 2 kraniotomi untuk pengangkatan tumor.
L/mnt, udara yang dimampatkan (air) 2L/mnt, MRI: massa solid inhomogen di cerebellum
sevofluran 2 vol%, dan vekuronium 2mg/jam.
Reseksi tumor berlangsung selama 10 jam Pemeriksaan Fisik
dengan posisi pasien park bench. Hemodinamik Keadaan umum : GCS 15: E4 M6 V5
selama operasi relatif stabil, tekanan darah Tekanan darah : 110/60mmHg
sistolik berkisar 90–130 mmHg, tekanan darah
Laju nadi : 88x/menit
diastolik 70–90mmHg, laju nadi (HR) 60–100 x/
mnt dan SaO2 99–100 %, ETCO2 30–35mmHg. Laju nafas : 14x/menit
Suhu : 36,7˚ C
Pengelolaan Pascabedah SpO2 : 99–100%
Pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif, Kepala : konjungtiva anemis –/–,
keadaan umum masih dalam pengaruh obat, jalan sklera ikterik –/– Visus
nafas masih terpasang ETT, pernafasan terkendali mata kanan 6/60, mata
menggunakan ventilator volume control, volume kiri 6/60 Parese N VI
tidal 550 ml, frekuensi 12 x/menit, FiO2 40%, sinistra
saturasi O2 98–100%. Tekanan darah sistolik
Leher : JVP tidak meningkat,
90–110 mmHg, diastolik 60–70mmHg, nadi 60–
Range of Movement
80 x/menit. Terpasang nasogastric tube (NGT).
(ROM) baik
Pasien masih tersedasi dengan menggunakan
propofol 20 μg/kgBB/menit, analgetik fentanil Thoraks : Bentuk & gerak simetris.
0,5 μg/kgBB/jam dan parasetamol 3x1 gram/ Cor : S1&S2 reguler, gallop
hari. Rumatan cairan menggunakan ringerfundin (–), murmur (–)
20 tetes/menit. Pulmo : VBS kiri = kanan ronki
Hari ke-2 di ruang perawatan intensif sedasi –/–, wheezing –/–
dihentikan, dikurangi kebutuhan ventilator Abdomen : datar, lembut, hepar/lien
menjadi SIMV PS, kemudian CPAP dan setelah tidak teraba, bising usus
dipastikan pernafasan adekuat kemudian (+), nyeri tekan (–)
dilakukan ekstubasi pada hari ke-3 pascabedah, Ekstremitas : motorik 5 5
analgetik fentanil dihentikan, parasetamol 3x1
gram masih dilanjutkan. Pasien dipindahkan ke 5 5
ruangan pada hari ke-4 pascabedah.
6 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Penunjang


Hb : 15,2gr/dL
Hematokrit : 44%
Leukosit : 9.700
Trombosit : 289.000
PT : 9,8
INR : 0,98
aPTT : 23
Na : 139mEq/L
K : 4,0 mEq/L
SGOT : 21unit/L
SGPT : 30unit/L Gambar 2. MRI Kepala Potongan Sagital
Ureum : 18mg/dL
Kreatinin : 0,37mg/dL
Glukosa Darah Sewaktu : 94mg/dL

disertai degenerasi kistik dan perdarahan minimal


intratumor sugestif high grade astrocytoma
dan tanda-tanda obstruktif hidrocefalus, ukuran
6x4x2cm
Rontgen thorax: cor dan pulmo tidak ada kelainan.

Pengelolaan Anestesi
Pasien dipuasakan dari makanan padat 8 jam
sebelum operasi, minum air putih diperbolehkan
Gambar 3. MRI Kepala Potongan Aksial
100cc sampai dengan 2 jam sebelum operasi.
Persiapan operasi pasien diberikan premedikasi
lorazepam 0,5 mg per oral malam hari dan 2
posisi pasien parkbench. Hemodinamik selama
jam sebelum operasi, dan parasetamol 500 mg
operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik
2 jam sebelum operasi. Dilakukan pemasangan
berkisar 80–110 mmHg, tekanan darah diastolik
kateter vena dengan menggunakan cairan infus
50–70mmHg, laju nadi (HR) 60–90 x/menit dan
ringerfundin 12 tetes/menit.
SaO2 99–100 %, ETCO2 30–35mmHg.
Induksi menggunakan obat intravena propofol 2,5
mg/kgBB, fentanil 3 μg/kgBB, vekuronium 0,12 Pengelolaan Pascabedah
mg/kgBB, lidocain1,5 mg/kgBB, disertai dengan Pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif,
pemberian obat anestetika inhalasi sevofluran 2 keadaan umum masih dalam pengaruh obat, jalan
vol% dan O2 100% 6L/menit. Setelah dipastikan nafas masih terpasang ETT, pernafasan terkendali
seluruh obat induksi sudah tercapai onsetnya, menggunakan ventilator SIMV PS; PEEP 5, PS 7,
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal dengan frekuensi 12 x/menit, FiO2 50%, saturasi O2 98–
menggunakan ETT no 5,0. Setelah dilakukan 100%. Tekanan darah sistolik 110–130mmHg,
intubasi endotrakeal, dilakukan pemasangan diastolik 60–80 mmHg, nadi 60–80 x/menit.
kateter vena sentral (CVC) pada vena subklavia Pasien masih tersedasi dengan menggunakan
kanan. Rumatan anestesi dengan O2 2L/menit, propofol 20 μg/kgBB/menit, analgetik fentanil
udara yang dimampatkan 2 L/menit, sevofluran 2 0,5 μg/kgBB/jam dan parasetamol 3x1 gram per
vol%, dan vekuronium 2 mg/jam. hari. Rumatan cairan menggunakan ringerfundin
Reseksi tumor berlangsung selama 9 jam dengan
Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah 7
Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Grafik 1. Tekanan Darah Preoperasi, Induksi, Grafik 2. Denyut Jantung Preoperasi, Induksi,
Intraoperasi dan Pascaoperasi Intraoperasi dan Pascaoperasi

Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium Tabel 2. Penyulit pada Tumor Fossa Posterior


Pemeriksaan Lab Kasus I Kasus II Kasus III Penyulit Kasus Kasus Kasus
I II III
HB (gr/dl) 12,3 13,7 15,2
Gangguan fungsi Ya Ya Ya
Ht (%) 38% 40% 44%
Saraf Kranialis
Leukosit 8100 7406 970
P e n i n g k a t a n Ya Ya Ya
Trombosit 298000 321000 289000 Tekanan intra
PT 11,7 10,3 9,8 kranial
INR 0,92 0,97 0,98 Posisi Selama p a r k p a r k p a r k
aPTT 23 23 23 Operasi bench bench bench
Na (mEq/L) 139 135 139 Risiko VAE Sedang Sedang Sedang
K (mEq/L) 4 3,9 4 R i s i k o Sedang Sedang
SGOT (unit/L 18 13 21 Kehilangan Sedang
Darah
SGPT (unit/L 28 12 30
Monitoring SSP Tidak Tidak Tidak
Ureum (mg/dL) 9 22 18 Intraoperatif
Kreatinin (mg/dL) 0,55 0,82 0,37
GDS (mg/dL) 98 121 94
sangat menantang, dikarenakan adanya beberapa
masalah khusus seperti terdapat disfungsi batang
12 tetes/menit. Terpasang NGT. Terapi yang otak, posisi pasien, monitoring neurofisiologis
diberikan manitol 4x10g, phenitoin 3x. Hari ke-2 intraoperatif, dan risiko terjadinya emboli udara
di ruang perawatan intensif, sedasi dihentikan pada pembuluh darah vena.
kemudian dilakukan ekstubasi setelah dikurangi Fossa posterior sangat kecil dan merupakan
kebutuhan ventilator dan dipastikan pernafasan sebuah ruangan yang terdiri dari pons, medula,
adekuat. Hemodinamik stabil, analgetik masih serebelum dan ventrikel ke-4. Beberapa
dilanjutkan. indikasi dilakukan tindakan bedah pada fossa
Pasien dipindahkan ke ruangan pada hari ke-3 posterior yaitu reseksi lesi vaskular atau tumor,
pascabedah. dekompresi saraf kranial, dan koreksi kelainan
kranioservikal. Tujuan utama ahli anestesi pada
III. Pembahasan penatalaksanaan tindakan bedah di fossa posterior
adalah memfasilitasi eksposur yang aman, dan
Tindakan bedah pada fossa posterior sangat meminimalisir kerusakan jaringan serta edema
berbahaya dan memerlukan waktu yang lama. yang timbul.1-3
Penatalaksanaan anestesi pada kasus tersebut pun Telah dilakukan tindakan anestesi pada operasi
8 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pengangkatan tumor dengan diagnosa SOL cervical cord dan pembuntuan drainase vena
infratentorial vestibular schwanoma a/r CPA dapat dicegah dengan membatasi jarak antara
sejumlah 2 orang pasien dan SOL infratentorial dagu dan dada sebesar 1 inch. Kerugian posisi
cerebellar astrositoma a/r cerebellum sejumlah 1 tersebut yaitu terjadi pneumocephalus, VAE,
orang pasien. Jenis kelamin perempuan 2 orang hipovolemi, penurunan fungsi kardiovaskular
dan 1 orang laki-laki, umur berkisar antara 12–28 serta terjadinya quadriplegia pada pasien lanjut
tahun. Secara teori, tumor pada fossa posterior lebih usia. Kontraindikasi dilakukan tindakan bedah
sering terjadi pada anak-anak, dengan insidensi dengan posisi duduk yaitu jika terdapat right to
pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki- left intracardial atau pulmonal shunt yang dapat
laki. Jenis tumor yang ditemukan yaitu vestibular mempercepat terjadinya emboli. Posisi telentang
schwanoma dan serebelar astrositoma, dikatakan memungkinkan distribusi berat badan pada area
bahwa tumor tersering pada fossa posterior yaitu operasi yang lebih luas, dalam posisi ini kepala
medulloblastoma diikuti oleh astrositoma derajat mengalami rotasi lateral dengan maksimal dan
rendah. meregang.4-6
Akses bedah pada daerah fossa posterior dapat Pada ketiga kasus ini pasien diposisikan semi
diperoleh melalui beberapa posisi bedah yang telungkup (park bench) yang memungkinkan
diterapkan pada pasien. Posisi pasien yang penataan posisi yang lebih cepat, berguna pada
adekuat akan memberikan akses yang memadai kondisi gawat darurat yang membutuhkan akses
terhadap lesi intrakranial. Beberapa posisi yang cepat pada cerebellar hemisphere. Dengan
dapat diterapkan yaitu posisi lateral, posisi membalik tubuh pasien agak telungkup, bahu
telungkup (prone), posisi semi telungkup (park bagian atas menjadi condong ke dalam dan
bench), posisi duduk (sitting) dan posisi telentang memberikan akses yang lebih leluasa bagi
(supine). Masing-masing posisi tersebut memiliki operator bedah. Namun ada beberapa risiko dari
keuntungan dan kerugian. Posisi lateral sangat posisi tersebut yaitu pembuntuan vena dan leher
cocok untuk pendekatan pada daerah CPA, terpelintir.
namun kebanyakan posisi ini digunakan untuk
prosedur bedah saraf unilateral bagian atas dari VAE pada tindakan bedah fossa posterior dapat
fossa posterior. Kerugiannya yaitu permasalahan terjadi jika ada tekanan subatmosfer pada
pada bahu pasien, kelumpuhan saraf popliteal pembuluh darah yang terbuka. Kondisi tersebut
akibat kaki yang menggantung. Posisi dimungkinkan jika lokasi bedah berada lebih
telungkup digunakan pada lesi di/dekat midline tinggi dari posisi jantung. Kejadian VAE sering
termasuk ventrikel ke-4. Posisi ini lebih sering terjadi pada posisi duduk, namun pada beberapa
digunakan pada anak-anak karena mudah untuk kasus dapat juga terjadi pada posisi lateral atau
ditelungkupkan. Risiko terjadinya VAE pada telungkup. Terdapat data yang menunjukkan
posisi telungkup lebih rendah, namun masalah risiko terjadinya VAE pada posisi duduk yaitu
yang muncul yaitu gangguan ventilasi dimana
kontrol terhadap ETT dan jalan nafas cukup
sulit; edema dan venous pooling pada daerah
wajah; dan menurunnya tajam penglihatan akibat
penggunaan dari bantalan kepala pada wajah.4,5
Posisi duduk merupakan posisi yang memiliki
keuntungan paling banyak yaitu memudahkan
operator bedah karena penempatan kateter
drainase CSF yang jauh dan karena adanya
gravity-assisted blood, sehingga tercipta lapang
pandang yang cukup baik; tekanan pada jalan
nafas lebih rendah, kemudahan gerak diafragma,
kemampuan untuk hiperventilasi meningkat,
dan akses ETT yang lebih baik. Peregangan Gambar 4. Posisi park bench
Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah 9
Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

Tabel 1. Perbandingan Beberapa Metode untuk Mendeteksi VAE


Metode Sensitivitas Keterbatasan
TEE. Tinggi (0,02 ml/kg) Invasif, memerlukan keahlian
Precordial doppler Tinggi (0,05 ml/kg) Obesitas, COPD
PA catheter Tinggi (0,25 ml/kg) Tidak bisa pada diameter kecil
End-tidal nitrogen Sedang (0,5 ml/kg) Jarang tersedia
End tidal CO2 Sedang (0,5 ml/kg) Tidak spesifik
Oxygen saturation Rendah Lambat
Sumber : Handbook of Neuroanesthesia5

antara 40%–45%, sedangkan pada posisi lateral, atau ETCO2. Pada ketiga pasien ini kejadian
telungkup, park bench lebih rendah yaitu antara VAE dimonitor dengan menggunakan kateter
10%–15%. vena sentral, ETCO2, dan saturasi oksigen.
VAE dapat terjadi dalam jumlah dan durasi yang
bervariasi. Emboli udara masif mengakibatkan Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan
perubahan hemodinamik yang seketika dan dapat mencegah terjadinya VAE, yaitu dengan
mengancam. VAE yang tersering yaitu udara menggunakan positive end-expiratory pressure
terperangkap secara perlahan-lahan dalam (PEEP), pemberian cairan, tindakan hipoventilasi,
beberapa lama. Hal tersebut mengakibatkan ataupun modifikasi posisi pasien. Penggunaan
perubahan hemodinamik atau respiratorik yang PEEP untuk mencegah VAE pada pasien dengan
kecil atau bahkan tidak mengakibatkan perubahan. posisi duduk masih kontroversial. Level PEEP
Namun, hal tersebut dapat mengakibatkan yang tinggi (>10 cm H2O) diperlukan untuk
peningkatan tekanan jantung kanan, peningkatan meningkatkan tekanan vena di kepala, namun
dead-space ventilation, dan hipoksemia.7 penelitian tersebut tidak konsisten apakah PEEP
Seiring udara tersebut tersebut menghilang melalui dapat menurunkan risiko terjadinya VAE. Namun,
sirkulasi pulmonal, maka terjadi peningkatan secara pasti PEEP dapat menurunkan aliran balik
resistensi pembuluh darah pulmonal dan arteri vena, curah jantung, dan tekanan arteri rata-rata.
pulmonal dan tekanan atrial kanan. Jika tidak Pengisian cairan sebagai tindakan profilaksis
terpantau, curah jantung akan menurun sebagai belum terbukti secara adekuat mengurangi risiko
akibat dari kegagalan fungsi jantung kanan dan terjadinya VAE meskipun hipovolemi merupakan
atau berkurangnya pengisian ventrikel kiri. salah satu faktor predisposisi terjadinya VAE.
Obstruksi pembuluh darah ini meningkatkan Beberapa penelitian mengatakan bahwa
dead-space ventilation mengakibatkan penurunan pengaturan ventilasi dengan hipoventilasi
tekanan end-tidal carbon dioxide (ETCO2), dan moderat dapat mengurangi risiko terjadinya VAE,
peningkatan tekanan arterial carbon dioxide namun hipoventilasi pun dapat meningkatkan
(PaCO2). Kedua hal tersebut merupakan gambaran aliran darah otak dan volume darah otak yang
khas pada VAE. Hipoksemia dapat terjadi akibat akan mengganggu proses bedah yang sedang
penyumbatan parsial pembuluh darah pulmonal berlangsung. Sampai dengan saat ini keuntungan
dan terlepasnya substansi vasoaktif secara hipoventilasi belum dapat dipastikan, maka saat ini
terlokalisir. teknik yang sering dilakukan adalah hiperventilasi
VAE dapat dimonitor dengan beberapa metode ringan. Jika sudah terjadi VAE, maka yang
yaitu kondisi hemodinamik (tekanan darah, harus dilakukan adalah mencegah udara yang
tekanan vena sentral/CVP, tekanan arteri terperangkap tidak bertambah banyak dengan
pulmonal), precordial doppler ultrasound, end cara memperingatkan ahli bedah, membasahi area
tidal gas monitoring, dan transesophageal bedah dengan larutan salin dan aplikasi occlusive
echocardiography (TEE). Untuk kasus-kasus pad, melakukan kompresi vena jugular bilateral
risiko tinggi disarankan menggunakan Doppler secara perlahan untuk meminimalkan udara yang
10 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

terperangkap, dan mempertimbangkan perubahan Jalan nafas memerlukan perhatian yang serius.
posisi pasien sehingga lokasi sumbatan lebih Seringnya pada kasus di fossa posterior,
rendah dari posisi jantung pasien. Tindakan diperlukan fleksi atau rotasi leher agar didapatkan
kedua untuk penatalaksanaan VAE yaitu lapang pandang operasi yang luas. Fleksi dapat
menghilangkan sumbatan dengan melakukan mengakibatkan ETT terdorong ke bronkus atau
aspirasi atrium kanan dengan menggunakan mengakibatkan ETT tertekuk ke faring bagian
kateter multiorifisium, dimana tindakan tersebut posterior. Disarankan melakukan intubasi oral
memberikan keberhasilan sekitar 30–60%, dan standar atau intubasi nasotrakeal. Diperlukan
menghentikan pemberian N2O (Nitrous oxide) penilaian teliti tentang posisi dan akurasi intubasi
segera. Tindakan ketiga yaitu dengan memberikan tersebut. Jika terdapat obstruksi parsial (misalnya
terapi suportif yaitu memberikan oksigen 100%, karena tekanan jalan nafas yang tinggi atau
memberikan inotropik untuk meningkatkan rendahnya aliran ETCO2 maka harus dimasukkan
kontraktilitas jantung kanan, meningkatkan kateter isap hingga terasa lancar dan dilakukan
pemberian volume, dan mempertimbangkan reposisi kepala dan leher.
resusitasi kardiopulmonal Pada kebanyakan kasus dilakukan hiperventilasi
Jika udara memasuki sirkulasi vena, terdapat ringan untuk memperluas wilayah operasi dan
risiko masuknya udara ke dalam pembuluh mengurangi tekanan retraksi pada otak. Namun,
darah pulmonal atau patent foramen ovale ke perubahan pada sistem respirasi sangat sensitif
arteri dan mengakibatkan emboli pada pembuluh terhadap batang otak, dibandingkan perubahan
darah koronaria dan serebral. Belum terdapat hemodinamik. Akibatnya penggunaan ventilasi
data mengenai isidensi terjadinya paradoxic air spontan lebih disarankan pada beberapa kasus
embolism (PAE), namun terdapat beberapa kasus dimana terjadi kondisi iskemik. Hal tersebut
yang dilaporkan dan semuanya tidak terdapat harus didiskusikan terlebih dahulu dengan
komplikasi. Pada ketiga kasus ini tidak ditemukan operator mengingat hipoventilasi yang terjadi
komplikasi PAE. akibat ventilasi spontan selama anestesi umum
Tidak ada teknik anestesi ataupun obat- mengakibatkan pembengkakan otak yang
obatan anestesi khusus yang lebih baik pada berdampak pada wilayah operasi yang terbatas.
penatalaksanaan kasus tumor fossa posterior. Selama operasi umumnya dilakukan monitoring
Penggunaan N2O masih kontroversial. Hal batang otak dikarenakan trauma pada saraf kranial
tersebut dikarenakan risiko terjadinya VAE merupakan risiko tindakan utama pada tindakan
dan kemampuan N2O untuk menghasilkan bedah di area cerebellopontine batang otak.
gelembung-gelembung udara. Beberapa ahli Kondisi saraf kranial dinilai dengan melakukan
berpendapat untuk tidak menggunakan gas stimulasi saraf kranial N.V, VII, VIII, X, XI, XII
tersebut.1,3,7-10 intraoperatif dengan melakukan SSEPs, BAERs,
Pada ketiga kasus ini, tidak menggunakan N2O dan spontan dan evoked electromyograph
karena selain pertimbangan yang disebutkan (EMG). Hal tersebut merupakan tantangan bagi
di atas, N2O dikatakan kerusakan pada sel otak ahli anestesi dikarenakan obat-obat anestesi
sehingga menyebabkan luaran yang tidak baik. mempengaruhi evoked potential dan EMG. Obat
Oksigen yang diberikan dicampur dengan pelemas otot mempengaruhi interpretasi EMG
udara yang dimampatkan (air) untuk mencegah dan N2O dan obat-obat inhalasi dosis tinggi
pemberian oksigen 100%. Pemberian oksigen mempengaruhi SSEPs, sedangkan BAERs lebih
100% dengan waktu yang lama tidak dianjurkan resisten terhadap efek obat-obat anestesi.
karena dapat mengurangi tekanan udara di alveoli Stimulus saraf kranial N.V dan N.VII akan
sehingga mempermudah terjadinya atelektasis. mengakibatkan kedutan pada daerah wajah.
Selain daripada itu juga pemberian oksigen yang Pemberian obat-obat suksinilkolin untuk intubasi
berlebihan dapat menyebabkan vasokonstriksi akan mempengaruhi hal tersebut. Beberapa
pada pembuluh darah otak. Tekanan oksigen ahli elektrofisiologi berpendapat untuk tidak
parsial pada pembuluh darah arteri diharapkan memberikan obat pelemas otot, namun beberapa
pada kisaran 100–200mmHg.11-12 ahli cukup puas dengan pemberian pelemas otot
Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah 11
Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus

kontinyu melalui infus untuk mempertahankan darah dan nadi. Ekstubasi dilakukan pada hari
kedutan yang terjadi. Pada ketiga kasus ini tidak ke-2 pascabedah setelah dipastikan pernafasan
dilakukan pemantauan saraf kranial karena tidak adekuat.
tersedia alat pemantauan saraf kranial. Ventilasi dalam waktu lama dan proteksi jalan
Tindakan bedah di atau dekat batang otak nafas terkadang diperlukan pada beberapa kasus
(misalnya neuroma akustik) dapat mengakibatkan seperti gangguan saraf kranial atau motorik
respon kardiovaskular yang tiba-tiba meningkat dimana pasien akan mengalami kesulitan
yang dapat membahayakan batang otak. Stimulus menelan atau berbicara. Edema pada jalan
pada ventrikel IV, N.V dapat mengakibatkan nafas akibat manipulasi intraoperatif dapat
hipertensi dan bradikardi. Bradikardi dapat mengakibatkan hipoventilasi. Edema lidah dan
disebabkan pembukaan dura, retraksi serebelum, fasial yang terjadi akibat kesalahan posisi yang
pemberian cairan irigasi yang dingin, stimulus mengakibatkan obstruksi vena atau limfatik.
nervus trigeminus dan nervus vagus. Jika hal ETT tetap harus terpasang hingga edema hilang.
tersebut terjadi, maka ahli bedah harus segera Jika terjadi VAE yang berat maka akan terjadi
menghentikan tindakan yang memicu terjadinya edema pulmonal. Meskipun edema pulmonal
respon tersebut. berespon baik terhadap pemberian oksigen dan
Bradidistrimia merupakakan peringatan bahaya. diuretik, disarankan ventilasi pascaoperasi tetap
Jika sangat diperlukan dapat diberikan bolus dilanjutkan.1-5
fenilefrin atau efedrin, infus dopamin atau
isoproterenol dan transvenous/transesofageal IV. Simpulan
pacing. Jika kondisi tersebut berlanjut,
disarankan pemberian glikopirolat atau atropin. Tindakan operasi pada fossa posterior
Jika terjadi hipertensi dapat ditatalaksana dengan memberikan tantangan yang cukup berarti pada
pemberian obat antihipertensi dengan dosis tinggi seorang dokter ahli anestesi karena risiko-risiko
dan multipel untuk menurunkan tekanan darah yang dapat terjadi pada pasien tersebut. Risiko
hingga batas yang ditolerir. Pada ketiga kasus ini yang dapat terjadi yaitu VAE, gangguan irama
tidak terjadi perubahan irama jantung maupun jantung dan hemodinamik, cedera saraf kranial,
perubahan tekanan darah yang cukup berarti.1-3,5,13 dan cedera saraf tepi. Risiko tersebut dapat
Penghentian tindakan anestesi sama halnya dihindari dengan melakukan pencegahan yaitu
pada setiap tindakan anestesi kasus bedah saraf dengan cara pemilihan posisi pasien selama
lainnya. Penghentian tindakan anestesi harus operasi, pelaksanaan tindakan anestesi yang
dilakukan hati-hati, lancar, hindari batuk, dan baik serta penggunaan alat-alat monitoring yang
hindari peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba. lengkap.
Ekstubasi dilakukan tergantung beberapa faktor
misalnya kondisi gangguan neurologis yang Daftar Pustaka
sebelumnya terjadi, lama operasi, komplikasi
intraoperatif dan edema batang otak. 1. Patel, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa:
Pada ketiga kasus ini pasien tidak segera surgical consideration. Dalam: Cottrell JE,
dibangunkan, pasien masih tetap disedasi dan Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery,
menggunakan ETT setelah selesai operasi edisi-4, Missouri: Mosby, Inc; 2001, 319–33.
sampai dengan hari ke-2 perawatan di ruang
intensif untuk memastikan jalan nafas tetap 2. Chand MB, Thapa P, Shrestha S, Chand P.
bebas dan ventilasi terkendali. Selain daripada Peri-operative anesthetic events in posterior
itu juga untuk memastikan hemodinamik pasien fossa tumor surgery. Postgraduate Medical
baik serta dalam keadaan normotermi setelah Journal of NAMS. 2012; 12(2)
menjalani operasi dalam waktu yang lama.
Pemberian analgetik yang adekuat dilakukan 3. Smith DS, Osborn I. Posterior fossa:
dengan menggunakan fentanil untuk mencegah anesthetic considerations. Dalam: Cottrell JE,
pasien kesakitan dan terjadi peningkatan tekanan Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery,
12 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

4th ed, Missouri; Mosby, Inc; 2001, 335–51. 9. Jagannathan S, Krovvidi H. Anaesthetic
considerations for posterior fossa surgery.
4. Smith DS. Anesthetic management for Continuing Education in Anaesthesia,
posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell Critical Care & Pain. 2013.
JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia; 10. Goyal K, Philip FA, Rath GP, Mahajan C,
Mosby, Inc; 2010, 203–17 Sujatha M, Bharti SJ, et al. Asystole during
posterior fossa surgery: report of two cases.
5. Pederson DS, Peterfreund RA. Anesthesia for Asian J Neurosurg. 2012 AprJun; 7(2): 87–
posterior fossa surgery. Dalam: Newfield P, 89.
Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia
5th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & 11. Gheorghita E, Ciurea J, Balanescu B.
Wilkins; 2012,136–47. Considerations on anesthesia for posterior
fossa-surgery. Romanian Neurosurgery
6. Fathi AR, Eshtehardi P, Meier B. Patent (2012) XIX 3: 183–92.
foramen ovale and neurosurgery in sitting
position: a systematic review. Br J Anaesth. 12. Sinead SS, Ma D. The neurotoxicity of nitrous
2009; 102:588–96. oxide: the facts and “putative” mechanisms.
Brain Sci. 2014; 4: 73–90.
7. Mirski MA, Lele AV, Fitzsimmons L, Toung
TJ. Diagnosis and treatment of vascular air 13. Sivanaser V, Manninen P. Preoperative
embolism. Anesthesiology. 2007;106:164– assessment of adult patients for intracranial
77. surgery. Hindawi Publishing Corporation.
Anesthesiology Research and Practice
8. Abd-Elsayed AA, Díaz-Gómez J, Barnett Volume 2010, Article ID 241307, 11.
GH, Kurz A, Inton-Santos M, Barsoum S, et
al. A case series discussing the anaesthetic
management of pregnant patients with brain
tumours. F1000Research. 2013, 2:92.
Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi Mikrovaskular: Sajian Kasus
Serial
Riyadh Firdaus*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***)
*)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, **)Departemen
Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana–RSUP Sanglah Denpasar, ***)
***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta

Abstrak

Dekompresi mikrovaskular (microvascular decompression/MVD) adalah terapi definitif dari spasme hemifasial,
yakni suatu gangguan gerakan neuromuskular wajah. Spasme ini ditandai dengan kontraksi involunter berulang
pada otat yang diinervasi oleh N. fasialis (N.VII) akibat penekanan oleh arteri, tumor atau kelainan vaskular
lainnya. Prevalensinya mencapai 9–11 kasus per 100.000 populasi sehat, dan paling sering terjadi pada usia 40–60
tahun. Meskipun bukaan operasi MVD kecil yaitu di sekitar retroaurikula tetapi teknik anestesi-nya menggunakan
prinsip-prinsip pembedahan fossa posterior. Bukaan lapangan operasi yang baik, kewaspadaan terhadap rangsangan
ke batang otak maupun nervus kranialis dan kewaspadaan terhadap penurunan perfusi otak merupakan pilar-pilar
utama tatalaksana anestesia pada MVD. Disajikan empat kasus spasme hemifasial dengan keadaan khusus. Kasus
pertama operasi dilakukan pada pasien geriatri, pasien kedua dengan riwayat hipertensi, pasien ketiga dengan leher
pendek dan asma, pasien terakhir dengan diabetes mellitus serta hipertensi. Pemantauan kestabilan hemodinamik,
kedalaman anestesia dan relaksasi otot merupakan aspek penting yang menyertai tata laksana anestesi pada kasus ini.

Kata kunci: microvascular decompression (MVD), pembedahan fossa posterior

JNI 2016;5(1): 13–23

Perioperative Management in Microvascular Decompression Surgery:


Case Series Report

Abstract

Microvascular decompression (MVD) is the definitive surgery for hemifacial spasm. The symptoms
is described as a repetitive involuntary muscle contraction which innervated by N.fascialis caused
by compression of the nervus by enlarged artery, tumor or vascular malformation. Its happened to
9-11 people from 100.000 population, especially in 4th to 6th decades. Although MVD operation only
need small opening in retroauricula area but it still use posterior fossa operation principles. They are
sufficient work field, awareness of impulse to brain stem and cranial nerves, and decrease of cerebral
perfusion pressure. We present four cases of hemifacial spasm, with variety of considerations. The
first case was a geriatric patient, the second was with history of hypertension, the third patient has
short neck and also history of hypetension and asthma and the last is with diabetes mellitus and history
of hypertension. Hemodynamic monitoring, deepness of anesthesia and adequate muscle relaxation is
important parameter of anasthetical management of these cases.

Key words: microvascular decompression (MVD), fossa posterior surgery

JNI 2016;5(1): 13–23

13
14 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan II. Ilustrasi Kasus

Dekompresio mikrovaskular (DMN) adalah Kasus 1


operasi untuk mengatasi suatu gejala spasme Kasus pertama adalah laki laki, usia 66 tahun
hemifasial. Spasme hemifasial sendiri disimpulkan dengan keluhan kedutan pada wajah sebelah
sebagai gangguan gerakan neuromuskular kanan sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan muncul
ditandai dengan kontraksi involunter berulang hilang timbul, pencetus tidak jelas, keluhan
hingga persisten pada otot-otot yang diinnervasi juga tidak hilang dengan istirahat. Sejak 1 tahun
oleh nervus fasialis. Kontraksi involunter berupa yang lalu pasien mengeluh wajah mulai tidak
kedutan yang dimulai dengan otot-otot sekitar simetris,telah diterapi dengan injeksi botoks tiap 3
mata hingga melibatkan seluruh otot wajah.1,2 bulan namun tidak membaik. Mual/muntah tidak
ada, gangguan penglihatan/kejang disangkal.
Prevalensi spasme hemifasial di dunia terjadi Riwayat operasi lutut dengan regional anestesia
pada 9 hingga 11 kasus per 100.000 orang dengan tahun 2014, relatif tidak bermasalah. Riwayat
usia rata-rata 40 sampai 60 tahun. Kontraksi otot sakit jantung/asma/DM/hipertensi disangkal.
terjadi secara spontan dan semakin sering terutama Riwayat alergi obat/makanan disangkal. Hasil
saat bekerja, kelelahan atau stress, bahkan saat pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan
tidur juga dapat dirasakan oleh penderita. Gejala dalam batas normal, tidak didapatkan gangguan
spasme hemifasial tidak nyeri namun sangat neurologis fokal lainnya. Dari pemeriksaan MRI
mengganggu hingga penderita dapat mengalami didapatkan A. vertebralis kanan-kiri berbelok
frustasi, cemas dan depresi karena malu dan tidak di dekat n. vestibulocochlea kanan. Nervus
nyaman akibat kedutan di wajah.2,3 fasialis kanan-kiri tampak masih baik. Sehingga
disimpulkan status fisik ASA II karena usia
Gejala yang tidak diobati dapat menetap seumur pasien (geriatri).
hidup dan manifestasi kedutan otot menjadi
semakin berat dengan area paparan yang makin Pasien direncanakan untuk dekompresi
luas. Pada umumnya penderita mencari terapi mikrovaskular dengan anastesia umum dan
medis setelah manifestasi klinis terjadi 2 hingga pemantauan dengan saturasi oksigen, EKG,
8 tahun.2 Tatalaksana spasme hemifasial berupa tekanan darah dan etCO2. Pasien masuk kamar
terapi anti spasme seperti injeksi botulinum, operasi sudah terpasang akses intravena perifer.
terapi panas, dan -pada kasus ini- pembedahan Dilakukan pemasangan monitor berupa EKG,
definitif yang dikenal dengan dekompresi
mikrovaskular.2,3

Tatalaksana anestesia pada dekompresi


mikrovaskular berdasarkan pertimbangan
pembedahan di daerah fosa posterior dengan
tujuan intraoperatif untuk memfasilitasi akses
bedah, meminimalkan trauma jaringan saraf, dan
menjaga respirasi serta stabilitas kardiovaskular.
Laporan serial kasus ini menekankan pada
pertimbangan anestesi untuk operasi dekompresi
mikrovaskular pada pasien dewasa yang terdiri
dari tatalaksana evaluasi pra operasi, persiapan,
dan premedikasi; pertimbangan pemantauan
umum dan khusus; pilihan posisi untuk operasi;
pertimbangan risiko, pencegahan, deteksi, Gambar 1. MRI Otak Pasien1
pengobatan, dan komplikasi emboli udara serta
perawatan pasca anestesia.4
Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi 15
Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

saturasi, tekanan darah. Keadaan hemodinamik kemudian dipindahkan ke ruang perawatan


awal adalah detak jantung 83–88x/menit, intensif.
tekanan darah 125/70 mmHg, laju nafas 16x/
menit, saturasi O2 100%. Kemudian pasien Kasus 2
diberikan premedikasi midazolam 3mg dan Kasus kedua adalah perempuan 39 tahun, dengan
fentanil 175 mcg intravena. Induksi dilakukan keluhan kedutan pada wajah sebelah kanan sejak
dengan propofol 100 mg intravena. Setelah 4 tahun yang lalu. Keluhan muncul hilang timbul
dipastikan ventilasi dan oksigenasi optimal dan hingga mengganggu aktivitas, keluhan juga tidak
anastesi cukup dalam diberikan rokuronium 50 hilang dengan istirahat. Sejak 9 bulan sebelum
mg dilanjutkan dengan intubasi menggunakkan masuk RS pasien mengeluh wajah mulai tidak
ETT no. 7.5, fiksasi 20 cm. Pengaturan ventilator simetris di sebelah kanan, dan telah mendapatkan
dilakukan dengan kontrol volume dengan volume terapi berupa injeksi botolinum setiap 3 bulan
tidal 550ml, laju nafas 12 x/mnt, Peep off, dan namun tidak membaik. Mual/muntah, gangguan
FiO2 45%. Hemodinamik setelah induksi laju penglihatan, kejang disangkal. Terdapat riwayat
nadi 65 x/mnt, tekanan darah 108/60 mmHg, hipertensi berobat teratur dengan captopril
saturasi 100 %, EtCO2 37%. Pasien kemudian 2x12.5 mg. Riwayat operasi tidak ada. Riwayat
diposisikan park bench, lateral kiri. Rumatan sakit jantung, asma, diabetes disangkal. Riwayat
anestesia digunakkan sevofluran MAC 1.5%, alergi obat dan makanan disangkal.
fentanil 100 mcg/jam dan vekuronium 3 mg/
jam kontinu intravena. Intraoperatif didapatkan Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
kompresi N.VII oleh A. anteroinferior serebellar darah 140/90mmHg, lainnya dalam batas
kanan dengan kaliber yang lebih besar dari normal. Dari hasi laboratorium didapatkan
perkiraan. Kemudian dilakukan dekompresi anemia dengan Hb 10.9g/dl, lainnya dalam batas
dengan Teflon. Hemodinamik intraoperatif relatif normal. Dari hasil radiologi (MRI) didapatkan
stabil, dengan laju nadi 65–78 x/m, tekanan darah kaliber arteri serebellar anteroinferior kanan
sistolik 108–135mmHg, tekanan darah diastolik tampak lebih besar dari kiri dan menekan nervus
68–90 mmHg, Sa02 100%, etCO2 34–37 mmHg. fasialis. Sehingga disimpulkan status fisik pasien
Operasi selesai dalam waktu 3 jam 30 menit, adalah ASA II dengan hipertensi terkontrol dan
dengan lama anastesi 4jam. Total cairan masuk anemia. Pasien direncanakan untuk dekompresi
1500cc kristaloid, perdarahan 300cc dan produksi mikrovaskular dengan anestesia umum dan
urin 600cc. Selesai operasi, dilakukan ekstubasi rencana perawatan intensif pasca operasi.
langsung dengan keadaan hemodinamik stabil.
Analgetik pascaoperasi diberikan parasetamol 1 Pasien masuk ke ruang operasi dengan
gram dan dexketoprofen 50 mg intravena. Pasien terpasang akses intravena perifer di tangan kiri.

Gambar 2. MRI Otak Pasien2


16 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Dipasangkan alat monitor didapatkan laju nadi namun tidak membaik. Mual/muntah tidak
63 x/mnt, tekanan darah 145/87 mmHg, laju ada, gangguan penglihatan/kejang disangkal.
napas 16 x/mnt, dan saturasi 100 %. Dilanjutkan Riwayat asma serangan terakhir 2 tahun yang
dengan pemberian premedikasi midazolam lalu, pencetus debu dan kelelahan, terapi
2.5mg dan fentanil 200 mcg intravena. Induksi Ventolin inhaler. Riwayat hipertensi 3 bulan,
dilakukan dengan pemberian propofol 80mg berobat teratur dengan captopril 2x12,5mg
diikuti dengan rokuronium 50mg. Pasien Riwayat operasi apendiktomi 3 tahun sebelum
diintubasi dengan ETT no. 7.0 fiksasi di 21 masuk rumah sakit, tidak ada masalah. Riwayat
cm. Ventilasi diatur dengan kontrol volume sakit jantung, diabetes, alergi obat/makanan
(tidal volume 400 ml), laju pernafasan 12 kali disangkal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
permenit, PEEP 5 cmH2O, FiO2 45%. Akses tekanan darah 140/70mmHg, tidak ada mengi,
pembuluh darah ditambah berupa jalur vena di dan leher pendek dan lebar. Hasil lainnya
tangan kanan, dan jalur arteri di radialis kiri. dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium
Setelah induksi hemodinamik pasien stabil dengn menunjukkan leukositotis (13.000/µL) lainnya
detak jantung 65 x/menit, tekanan darah 118/60 dalam batas normal. Dari EKG didapatkan
mmHg, saturasi 100%, etCO2 37%. Pasien adanya right bundle branch block incomplet.
kemudian diposisikan park bench lateral kiri Pada MRI didapatkan dekompresi nervus fasialis
untuk posisi pembedahan. Rumatan anestesia kiri oleh dilatasi arteri sereberal superior kiri.
dengan sevoflurane MAC 1–1.5 %, fentanil 100 Sehingga disimpulkan status fisik pasien adalah
mcg/jam dan vecuronium 3 mg/jam kontinu ASA II. Pasien direncanakan untuk dekompresi
intravena. Intraoperatif ditemukan N. VII mikrovaskular dibawah anastesia umum dan
mengalami kompresi oleh pembuluh darah AICA perawatan intensif pascaoperasi.
(arteri anteroinferior serebellar) dengan kaliber
kanan yang lebih besar dari kiri. Dilakukan Pasien masuk ke dalam kamar operasi terpasang
diseksi araknoid dan dekompresi penekanan jalur intravena perifer pada tangan kiri. Dipasang
arteri ke n. VII menggunakan teflon. alat monitor EKG, saturasi, dan tekanan darah.
Hemodinamik awal: laju nadi 82 x/menit,
Hemodinamik selama intra operatif relatif stabil tekanan darah 120/75 mmHg, laju respirasi 18x/
denjut jantung 60–78 x/m, tekanan darah sistolik menit, dan saturasi O2 100 %. Dilanjutkan dengan
106–130, tekanan darah diastolik 60-80 mmHg, premedikasi midazolam 2 mg dan fentanil
Sa02 100%, EtCO2 27–33 mmHg. Total lama 200 mcg intravena. Induksi dilakukan dengan
operasi 6 jam, dan lama pembiusan 7 jam. Total propofol 80 mg intravena dan rokuronium 50
cairan masuk 2500cc, perdarahan 500cc dan mg, kemudian pasien diintubasi dengan ETT
produksi urin 750cc. Post-operatif dilakukan no. 7.5, fiksasi 21 cm. Ventilator diatur dengan
ekstubasi langsung. Keadaan hemodinamik pasca volume kontrol dengan volume tidal 375 ml, laju
ekstubasi pasien compos mentis, TD 135/80, N. 77 nafas 12x/menit, PEEP 5 cm H2O, FiO2 45%.
x/mnt, Rr. 12–16 x/m, Sa02 100% dalam sungkup Kemudian dilakukan pemasangan jalur vena di
oksigen 6 liter/menit. Paracetamol 1 gram dan tangan kanan dan kateter vena sentral di vena
dexketoprofen 50 mg intravena diberikan sebagai subklavia kanan. Hemodinamik setelah induksi
analgetik. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang laju jantung 68x/menit, tekanan darah 115/60
perawatan intensif mmHg, saturasi 100%, etCO2 30%. Pasien
kemudian diposisikan park bench lateral kanan
Kasus 3 sebagai posisi pembedahan. Rumatan anestesia
Kasus berikutnya adalah perempuan 55 tahun dengan sevoflurane MAC 1 %, fentanil drip 100
dengan keluhan kedutan pada kelopak mata mcg/jam dan vekuronium 3 mg/jam. Insisi kulit
kiri bawah sejak 1,5 tahun sebelum masuk dilakukan pada perpotongan garis imajiner ke
rumah sakit, keluhan muncul hilang timbul dan kaudal sejajar dengan cekungan mastoid kiri.
dirasakan meluas sejak 1 tahun. Telah diobati Proses identifikasi memerlukan waktu 3 jam,
dengan obat minum dari dokter spesialis syaraf ditemukan bawah terdapat penekanan N.VII oleh
Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi 17
Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Gambar 3. MRI Otak Pasien 3

A. sereberal anteroinferior pada bagian proksimal 1,8x2,2 cm, sugestif kista araknoid kiri yang
dan distal. Operasi berlangsung selama 6 jam mendesak nervus fasialis dan vestibulokoklear
dengan lama pembiusan 8 jam. Cairan masuk ke sisi kanan. Sehingga disimpulkan status fisik
2000cc kristaloid, dengan estimasi perdarahan pasien adalah ASA II. Pasien direncanakan untuk
100cc dan produksi urin 1000cc. Hemodinamik dekompresi mikrovaskular dibawah anastesia
intraoperasi relatif stabil, laju nadi 60–88 x/m, umum dan perawatan HCU bedah syaraf untuk
tekanan darah sistolik 100–120, tekanan darah perawatan pascaoperasi.
diastolik 60–75 mmHg, Sa02 100%, etCO2 25–30
mmHg dan tekanan vena sentral 6–9 cm H2O. Pasien masuk ke dalam kamar operasi terpasang
Pasca operasi pasien langsung di ekstubasi dan jalur intravena perifer pada tangan kiri. Dilakukan
diberikan parasetamol 1 gram dan tramadol 100 pemasangan alat monitor EKG, saturasi, dan
mg intravena sebagai analgetik. Pasien kemudian tekanan darah. Hemodinamik awal laju nadi 70 x/
dipindahkan ke ruang perawatan intensif dengan menit, tekanan darah 150/75 mmHg, laju respirasi
sungkup oksigen 6 liter/menit. 18x/menit, dan saturasi O2 100%. Dilanjutkan
dengan premedikasi midazolam 3 mg dan fentanil
Kasus 4 250 mcg intravena. Induksi dengan propofol 150
Laki laki 55 tahun dengan keluhan kedutan pada mg intravena dan rokuronium 50 mg, kemudian
wajah sebelah kiri sejak 5 tahun sebelum masuk pasien diintubasi dengan ETT no. 7.5, fiksasi 20
rumah sakit keluhan muncul hilang timbul yang cm. Ventilator diatur dengan pressure control
memberat sejak 1 tahun yang lalu. Pasien rutin (PC) 12 cm H2O, laju pernafasan 12x/menit,
konsumsi baclofen 2 kali sehari namun tidak PEEP 5 cm H2O, FiO2 45%. Kemudian dilakukan
membaik. Mual/muntah, gangguan penglihatan pemasangan kateter intravena di kaki kanan.
dan kejang disangkal. Riwayat hipertensi sekitar Hemodinamik setelah induksi laju jantung 60x/
2 tahun yang lalu, saat ini terkontrol tanpa terapi. mnt, tekanan darah 120/60 mmHg, saturasi 100
Riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun, saat ini %, EtCO2 26%. Pasien kemudian diposisikan park
juga terkontrol dengan diet DM. Riwayat sakit bench lateral kanan sebagai posisi pembedahan.
jantung/asma, alergi obat/makanan disangkal. Rumatan anestesia dengan sevoflurane MAC
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 1%, fentanil drip 150 mcg/jam dan vekuronium
140/90 mmHg, lainnya dalam batas normal. 3 mg/jam intravena. Intraoperatif ditemukan
Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. arteri serebelar anteroinferior dan arteri basilar
Pada MRI didapatkan tampak lesi dengan menekan nervus fasialis. Dilakukan transposisi
intensitas sama dengan LCS di cerebellopontine arteri serebelar anteroinferior dan arteri basilar
angle sisi kiri, berbatas tegas dengan ukuran kemudian dipasang teflon. Hemodinamik selama
18 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu magnetic


resonance imaging (MRI).3
Tatalaksana farmakalogi dapat menggunakkan
terapi injeksi botulinum melalui mekanisme
blokade pada kanal kalsium. Pilihan lainnya
adalah pemberian obat antispastik seperti
baclofen, yang bekerja sebagai agonis reseptor
GABA. Tatalaksana definitif berupa pembedahan
dekompresi mikrovaskular dengan tujuan
mengurangi kompresi vaskuler dari nervus
fasialis.3,4 Semua pasien menunjukan gejala
yang khas pada spasme hemifasial dan didukung
oleh pemeriksaan penunjang berupa MRI. Faktor
resiko yang dimiliki antara lain usia 39 sampai
Gambar 4. MRI Otak Pasien 4
66 tahun pada keempat pasien, 2 pasien berjenis
kelamin perempuan dan 3 pasien dengan riwayat
intra operatif relatif stabil, laju nadi 47–60 x/m, hipertensi. Pada pasien dengan riwayat hipertensi
tekanan darah sistolik 100–140, tekanan darah diperlukan kontrol tekanan darah yang baik untuk
diastolik 60–85mmHg, Sa02 100%, etCO2 25– membantu mencegah gejolak hemodinamik saat
28 mmHg. Operasi berlangsung selama 5 jam intraoperasi hingga pascaoperasi.1
dengan lama pembiusan 6 jam. Cairan masuk
2750cc kristaloid, dengan estimasi perdarahan Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai standar
150cc dan produksi urin 1200cc. Hemodinamik prosedur persiapan anestesia dan bedah. Dalam
intraoperasi relatif stabil, laju nadi 60–85 x/m, kasus ini ditemukan hasil laboratorium yang tidak
tekanan darah sistolik 100–140, tekanan darah normal yaitu pasien kedua dengan anemia (Hb
60–85mmHg, Sa02 100%, etCO2 25–28 mmHg. 10,9g/dl) dan pasien ketiga dengan leukositosis
Pasca operasi pasien langsung di ekstubasi dan (leukosit 13000/µL) dan elektrokardiografi
diberikan parasetamol 1 gram dan dexketoprofen kesan RBBB inkomplit dengan klinis stabil.
intravena sebagai analgetik. Pasien kemudian Dalam tinjauan kasus ini terlihat semua pasien
dipindahkan ke ruang high care unit bedah syaraf memilih tindakan operatif setelah manifestasi
dengan sungkup oksigen 6 liter/menit. gejala sudah sangat menganggu aktivitas. Untuk
pasien pertama dan kedua setelah terapi injeksi
III. Pembahasan botulinum tidak memberikan perubahan. Pasien
ketiga dan keempat setelah pemberian obat anti
Tatalaksana Preoperatif spasme juga tidak mengurangi gejala.
Spasme hemifasial adalah gangguan gerakan Anatomi fossa posterior terlihat sebagai kavum
neuromuskular yang ditandai dengan kontraksi intrakranial terletak diantara foramen magnum
involunter yang berulang hingga persisten pada dan tentorium serebelli, dibagian anterior
otot-otot yang diinnervasi oleh nervus fasialis.1 berbatasan dengan apex os petrosus temporal,
Patofisiologi berupa proses abnormal yang terjadi dibagian inferior terdapat medulla oblongata,
pada zona masuknya akar saraf nervus fasialis pons dan serebelum dan di posterior berbatasan
yang dapat disebabkan oleh kompresi arteri (A dengan os kranium. Akar saraf nervus berjalan
Anterior Inferior, A. Posterior inferior serebelar keluar dari batang otak di persimpangan
dan A.Vertebralis) atau penyebab lainnya seperti pontomedullar kemudian di sudut serebellopontin
tumor cerbellopontine angle dan malformasi ke anterolateral menuju porus akustikus di kanal
vaskular. Faktor resiko terjadinya spasme auditorius internal dan ke anterior bersama nervus
hemifasial adalah usia 30–70 tahun, perempuan, vestibulokoklear. Arteri basilaris bercabang
dan riwayat hipertensi.4 Spasme hemifasial dapat menjadi arteri serebellar anteroinferior di
di diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan persimpangan antara pons dan medulla kemudian
Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi 19
Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Tabel 1. Perjalanan Kasus

menuju ke kanal auditorius interna bersama pembuluh darah dengan Teflon. Pertimbangan
kompleks n.VII-VIII, maka dari itu kedua nervus intraoperatif yang penting termasuk identifikasi
ini sering tertekan apabila terjadi pembesaran dari situs kompresi neurovaskular dan diseksi
kalibar arteri serebellar anteroinferior.16 selaput araknoid yang tepat untuk visualisasi
Pemeriksaan MRI dengan sensitivitas dan komplek saraf.3,4
spesifisitas yang tinggi adalah dengan kombinasi Pembedahan dekompresi mikrovaskular
MRI CISS (constructive interference in steady merupakan metode neuroendoskopi dengan
state) dengan MR angiografi. Pemeriksaan ini pendekatan retrosigmoid atau retroaurikula ke
tidak dilakukan karena keterbatasan alat. Analisis fossa posterior dengan lama prosedur sekitar
diagnostik area patologis adalah berdasarkan 2 hingga 3 jam. Lama operasi ditentukan oleh
volume LCS di fossa posterior yang lebih sedikit beberapa faktor antara lain pilihan tehnik
dibandingkan foto kontrol normal menandakan pendekatan, serta penglaman operator. Teknik dan
adanya penyempitan di ruang fossa posterior.3,16 posisi operasi tergantung pada penilaian operator.
Keempat pasien terdiagnosa melalui pemeriksaan Insisi pembedahan dapat berbeda berdasarkan
penunjang MRI dengan potongan aksial resolusi pada ukuran leher pasien. Pasien berleher
tinggi dan modalitas sekuen T2-weighed untuk pendek dan tebal memerlukan insisi ke arah
melihat hipointensitas kompresi neurovaskular posterior dan medial dengan tujuan menghindari
dibandingkan LCS. Pada pasien ketiga terpotongnya otot leher. Komplek nervus VII
menggunakan MRI CISS. dan VIII ditemukan setelah insisi duramater
dan diseksi araknoid. Pada saat ini operasi
Dekompresi Mikrovaskular dilanjutkan menggunakan mikroskop binokuler
Pembedahan dekompresi mikrovaskular bertujuan untuk identifikasi komplek neurovaskular yang
untuk mengurangi kompresi vaskuler dari terganggu. Teknik identifikasi dapat lebih mudah
nervus fasialis. Menurut penelitian oleh Moller, menggunakan alat neuroendoskopi fleksibel
dekompresi mikrovaskular terbukti efektif untuk daripada neuroendoskopi rigid konvensional,
spasme hemifasial karena dapat mengembalikan selain itu juga mencegah cedera pada pembuluh
sifat elastisitas dari inti sel nervus fasialis. darah lainnya.13,14,15
Prosedur juga memberikan hasil yang sangat
memuaskan dengan hilangnya kedutan pada Dalam kasus ini operator memutuskan
wajah pada 95–97% kasus.10, 11 Prinsip dasarnya pertimbangan insisi yaitu, pasien pertama
adalah memisahkan kompresi komplek saraf dari dan kedua menggunakan pendekatan lateral
20 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

A B
Gambar 5. Pemasangan Teflon (A). Sebelum Pemasangan Teflon (B). Sesudah
Pemasangan Teflon

retrosigmoid ke fossa posterior sedangkan mikrovaskular dekompresi keempat pasien


pasien ketiga memiliki leher pendek sehingga digunakan posisi park bench. Dekompresi
dilakukan insisi linear ke kaudal sejajar dengan mikrovaskular merupakan prosedur bedah saraf
cekungan mastoid kiri dan pasien keempat unilateral di daerah fossa posterior bagian aksial.
dengan pendekatan retroaurikula sinistra. Operasi Posisi yang dapat digunakan adalah supine dan
kemudian dilanjutkan menggunakan mikroskop modifikasi lateral dekubitus atau park bench.
neuroendoskopi rigid untuk identifikasi nervus Posisi park bench membutuhkan rotasi kepala
fasialis yang tertekan oleh arteri sereberal dan lebih besar untuk akses ke struktur yang lebih
dilanjutkan pemisahan nervus fasialis dari arteri aksial. Penempatan pasien pada posisi park
yang menekan dengan insersi Teflon. bench harus sangat hati-hati dan memerlukan
bantalan pada beberapa titik yang menumpu
Terdapat perbedaan waktu pengerjaan pada berat badan untuk menghindari cedera syaraf.
keempat kasus tersebut. Detail pengerjaan dapat Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara
dilihat pada Tabel 1. Kasus ke-3 menjalani lain cedera pleksus brachialis akibat tarikan
masa operasi yang paling panjang (8 jam) hal lengan ke atas. Contoh lainnya adalah cedera
ini disebabkan waktu induksi yang lebih lama pada N. ulnaris dan N. peroneal. Namun angka
karena pemasangan kateter vena sentral.Waktu kejadian tromboemboli vena pada posisi park
penempatan posisi juga lebih lama, disebabkan bench sangat jarang terjadi dibandingkan posisi
antara lain karena pengalaman asisten dan kondisi duduk dan prone.6,9
leher pendek pasien. Leher pendek ini juga Dalam kasus ini operator menggunakan posisi
mempengaruhi tehnik insisi yang membutuhkan park bench untuk keempat pasien dengan
waktu lebih lama. Ditambah proses identifikasi pertimbangan kemudahan pendekatan insisi
yang lebih sulit karena terdapat penekanan pada hingga mencapai kompeks N.VII–N.VIII.
dua titik. Hal lain yang mempengaruhi lama Semua pasien diberikan bantalan di bagian aksila
operasi adalah kaliber arteri yang mempengaruhi dan siku, punggung serta diantara kaki untuk
proses identifikasi seperti pada kasus kedua dan mencegah penekanan berlebih pada satu tempat
terutama keempat. Semakin besar kaliber arteri, di tubuh pasien maupun mencegah cedera napas.
semakin sulit pula proses identifikasi kompleks Tidak didapatkan komplikasi pascaoperasi pada
neuro-vaskular dan pemasangan teflonnya. semua pasien dalam kasus ini.

Posisi Pembedahan Tatalaksana Anestesia


Dalam kasus ini untuk fasilitasi operasi Pertimbangan anestesia terkait pembedahan
Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi 21
Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Gambar 6. Posisi Benchmark

fossa posterior antara lain, pertama efek obat tabung endotrakeal dan akes intravena setelah
terhadap kemampuan paru untuk menahan posisi harus dilakukan sebelum insisi bedah.
udara masuk ke sirkulasi vena. Pemberian
anestesi intravena, contohnya fentanil, dapat Prinsip pemantuan anestesia adalah kontrol
mempertahankan ambang batas yang tinggi untuk hemodinamik yang optimal, analgesia yang baik
menahan gelembung udara dalam sirkulasi paru dan relaksasi otot adekuat. Tujuannya adalah
dibandingkan dengan anestesi inhalasi. Sehingga memudahkan operator dalam mencari akses
anestesi intravena dapat mengurangi beratnya ke kompleks saraf yang mengalami gangguan.
dampak bila terjadi emboli udara. Pertimbangan Pemantauan utama intraoperasi adalah tekanan
kedua adalah mempertahankan tekanan perfusi darah, elektrokardiografi, dan saturasi oksigen.
cerebral. Induksi anestesia dengan intravena Alat monitoring tambahan lainnya dilakukan
telah terbukti memiliki efek lebih sedikit pada sesuai indikasi pasien.6
fungsi kardiovaskular daripada anestesi inhalasi Pada kasus ini digunakan pemantauan standar
pada pasien. Pertimbangan ketiga adalah potensi pada tekanan darah, laju nadi, saturasi oksigen,
respon kardiovaskular terhadap manipulasi pengeluran urin dan perhitungan perdarahan.
pembedahan di struktur batang otak.1,6 Pemeliharaan anestesi pada kasus spasme
Pada kasus ini, premedikasi anestesia pada semua hemifasial direkombinasikan dengan anestesia
pasien diberikan midazolam intravena sekitar intravena kontinu dan anestetika inhalasi 0,5–
2–3 menit sebelum induksi. Midazolam termasuk 1,0% MAC serta ventilasi dengan kontrol tekanan
golongan benzodiazepin, dalam kasus ini efektif positif. Pilihan ini memiliki beberapa keuntungan
dalam mengurangi kecemasan namun tidak diantaranya, kedalaman anestesi yang lebih stabil,
memiliki efek yang signifikan terhadap tekanan kendali tekanan parsial CO2 lebih mudah, tekanan
intrakranial. Induksi anestesia dalam kasus ini darah lebih terkontrol di setiap manipulasi bedah,
menggunakan anestesi intravena yaitu fentanil memberikan efek vasokonstriksi pembuluh darah
(2–3 mcg/kg) dan propofol (2 mg/kg) kemudian serebral yang menurunkan resiko perdarahan
dilanjutkan rokuronium untuk fasilitasi intubasi intraoperasi, menurunkan tekanan intrakranial,
endotrakea. Teknik induksi anestesia dipilih agar efek depresi kardiovaskular lebih sedikit, serta
didapatkan anestesia yang adekuat dan sedikit mencegah pasien bergerak selama intraoperasi.
menimbulkan gejolak hemodinamik. Terutama Komplikasi intraoperatif yang terjadi pada
untuk pasien pertama karena geriatri dan pasien dekompresi mikrovaskular antara lain perdarahan
kedua dengan hipertensi. Setelah induksi anestesi, intraoperatif.
dilakukan penempatan pasien pada posisi park Hal ini dapat disebabkan karena perlengketan
bench. Perlu dilakukan verifikasi kembali dari hebat, trauma bedah, aneurisma arteri serebri
22 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

akibat trauma pembedahan, hematoma didapatkan keluhan akibat pembedahan maupun


intraserebral, disritmia jantung, bradikardia anestesia. Mual dan muntah pascaoperasi serta
transien, takikardia transien serta hipertensi nyeri juga dapat diatasi dengan pemberian
transien. Gangguan hemodinamik dapat terjadi analgetik dan antiemetik intravena, dalam kasus
akibat trauma pada dinding ventrikel, terutama ini menggunakan analgetik golongan NSAID
bila dinding ventrikel kaku.14 Dalam kasus (parasetamol 1 gram dan dexketoprofen 50 mg
ini, pemeliharaan anestesia diberikan fentanil intravena) serta tramadol 100 mg intravena.8
tetes intravena 1–2 mcg/kg/jam, relaksan otot Selama pemantauan di ICU didapatkan gejala
dengan vekuronium 1–2 mg/jam serta inhalasi kedutan otot wajah pada keempat pasien hilang
sevoflurane 0.5–1% MAC. Selama intraoperasi sempurna. Setelah 24 jam pascaoperasi pasien
didapatkan hemodinamik keempat pasien relatif sudah boleh pindah ke ruangan.
stabil dan tidak terjadi komplikasi. Faktor
yang mendasari keamanan dan keselamatan IV. Simpulan
operasi adalah angka kejadian komplikasi yang
rendah, komplikasi serius hanya terjadi pada 1% Spasme hemifasial adalah gangguan gerakan
kasus.3 Teknik induksi anestesi intravena, teknik neuromuskular yang ditandai dengan kontraksi
intubasi yang tidak menimbulkan rangsang involunter yang berulang hingga persisten pada
simpatis, pemantauan hemodinamik yang ketat, otot-otot yang diinnervasi oleh nervus fasialis.
keseimbangan cairan yang baik, rumatan anestesi Pada kasus ini keempat pasien memiliki spasme
yang adekuat, serta kerja sama yang baik seluruh hemifasial tipe primer yang dipicu oleh kompresi
anggota tim operasi. pembuluh darah arteri. Faktor predisposisi pada
keempat pasien dalam kasus ini adalah faktor
Tatalaksana Pascaoperasi usia, jenis kelamin dan riwayat hipertensi.
Setelah operasi keempat pasien langsung Pembedahan dekompresi mikrovaskular
disadarkan dan dilakukan ekstubasi untuk bertujuan sebagai pengobatan kuratif jangka
kemudian ditransfer ke ruang perawatan intensif. panjang dengan mengurangi kompresi vaskuler
Prinsip pulih sadar bagi pasien pasca pembedahan dari nervus fasialis dengan memisahkan
mikrovaskular dekompresi adalah mencegah kompresi komplek saraf dari pembuluh darah
kenaikan tekanan darah yang mendadak, waktu menggunakan Teflon. Pembedahan dekompresi
pulih sadar yang cepat, kembalinya kekuatan mikrovaskular menggunakan posisi park bench.
motorik, dan meminimalkan terjadinya batuk Penempatan pasien, akses intravena dan jalan
ataupun pergeseran tabung endotrakeal.6 nafas harus diperhatikan selama pembedahan.
Komplikasi akibat prosedur dekompresi Tatalaksana anestesia mengacu pada pembedahan
mikrovaskular pascaoperasi diantaranya, infark fossa posterior. Pertimbangan anestesi meliputi
serebral akibat kerusakan pada arteri basilaris evaluasi pra operasi, posisi pembedahan, pilihan
dan cabang-cabangnya, kelumpuhan pada nervus agen anestesi, serta pemantauan, terutama untuk
kranial lainnya, kerusakan hipotalamus, defisit mencegah emboli udara dan mempertahankan
neurologis baru, hematom subdural, kebocoran fungsi neurologis. Pemantauan anestesi berprinsip
cairan serebrospinal, infeksi meningitis atau pada kontrol hemodinamik yang optimal,
ventrikulitis, dan infeksi kulit kepala.14 analgesia yang baik dan relaksasi otot adekuat.

Perawatan pascaoperasi yang direkomendasikan Daftar Pustaka


adalah perawatan di unit intensif karena
komplikasi pascaoperasi yang dapat 1. Sakamoto GT, Shuer LM, Chan SD.
mengancam nyawa yaitu kebocoran LCS dan Intracranial neurosurgery; microvascular
ruptur pembuluh darah pascaoperasi yang decompression of cranial nerve,
membutuhkan tindakan reoperasi segera. Selama surgical considerations. Dalam: Jaffe.
pemantauan pascaoperasi, semua pasien dengan Anesthesiologist's Manual of Surgical
hemodinamik stabil dan pasien tenang, tidak Procedures. 4th Ed; Chapter 1.1, Philadelphia:
Penatalaksanaan Perioperatif pada Bedah Dekompresi 23
Mikrovaskular: Sajian Kasus Serial

Lippincott Williams & Wilkins, 2009; 44. 9. Rozet I, Monica S. Risks and benefits of
patient positioning during neurosurgical care.
2. Rosenstengel C, Matthes M, Baldauf J, Anesthesiol Clin. 2007. Sep; 25(3): 631.
Fleck S, Schroeder H. Hemifacial spasm,
conservative and surgical treatment options. 10. Moller AR. The role of neural plasticity in
Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(41): 667–73. tinnitus. Progress in Brain Research. 2007;
166: Chapter 3: 43
3. Lu AY, Yeung JT, Gerrard JL, Michaelides
EM, Sekula RF, Bulsara KR. Hemifacial 11. Møller AR, Møller MB. Microvascular
spasm and neurovascular compression. The decompression operations. Progress in Brain
Scientific World Journal. 2014. Article ID Research. 2007; 166: 397–99.
349319, P 7.
12. Grixti K. Microvascular decompression.
4. David S, Smith DS. Anesthetic management Dalam: Gupta AK, Summors A. Notes in
for posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell Neuroanaesthesia and Critical Care Chapter
JE, Young WL. Cottrell and Young’s 19. London; Greenwich Medical Media Ltd,
neuroanesthesia, Chapter 12. Philadelphia; 2001; 77–9.
Elsevier Inc. 2010; 203–15.
13. Jannetta PJ, Mclaughlin MR, Casey KF.
5. Hines RL, Katherine E. Cerebrovascular Technique of microvascular decompression.
disease; Cerebrovascular Anatomy. Dalam Dalam: Neurosurgery Focus 2005; 18: 1–5
Stoelting's Anesthesia and Co-Existing
Disease, 5th ed. Ch. 10a, Philadelphia; 14. Punt J. Neuroendoscopy. Dalam: Lumley J,
Churchill Livingstone 2008. ed. Neurosurgery Principles and Practice,
Chapter 6. London; Springer-Verlag, London;
6. Culley DJ, Crosby G. Anesthesia for posterior 2005; 110–16
fossa surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell
JE,eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4th 15. Kong DS, Park K. Hemifacial spasm: a
ed, Philadelphia: Lippincott Williams & neurosurgical perspective. Dalam: Journal
Wilkins. 2007; 133-42 Korean Neurosurgery Society 2007; 42:
355–62.
7. Swedish Medical Center. 2015. Dalam:
Article Hemifacial Spasm. Diakses dari http:// 16. Gupta S, Mends F, Hagiwara M, Fatterpekar
www.swedish.org/services/neuroscience- G, Roehm PC. Review Article: imaging the
institute/our-services/cerebrovascular-center/ facial nerve: a contemporary review. Dalam:
conditions-we-treat/hemifacial-spasm. Radiology Research and Practice 2013,
Article ID 248039, 1–14.
8. Jagannathan S. Anaesthetic considerations
for posterior fossa surgery. Contin Educ
Anaesth Crit Care Pain. 2013. doi: 10.1093/
bjaceaccp/mkt056
Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik Neuroma dengan Monitoring Saraf
Kranialis

Sandhi Christanto*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***)


Departemen Anetesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo, **)Departemen Anestesiologi &
*)

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana–RSUP Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi
& Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Abstrak

Tumor di daerah Cerebello pontine Angle (CPA) mencakup kurang lebih 10% dari seluruh angka kejadian tumor
primer intrakranial pada orang dewasa. Sebagian besar kasus tumor CPA (80–90%) adalah akustik neuroma dan
sisanya berupa meningioma, epidermoid, kista arakhnoid dan lain sebagainya. Akustik neuroma bersifat jinak
namun dapat mengancam jiwa karena lokasinya yang berdekatan dengan struktur- struktur vital di daerah CPA.
Pengelolaan anestesi pasien dengan neuroma akustik perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan seperti
lokasi tumor yang berdekatan dengan struktur vital, posisi operasi dan risiko yang dapat ditimbulkan, risiko emboli
udara selama tindakan operasi, gangguan hemodinamik akibat manuver pembedahan di regio infratentorial dan
monitoring neurofiologis selama operasi untuk mencegah kerusakan saraf kranial didaerah tersebut. Wanita 46 th,
berat badan 48 kg diagnosa tumor CPA kanan, dengan diagnosa banding akustik neuroma dan meningioma. Pasien
mengeluh telinga kanan berdenging dan pendengaran menurun sejak 1 tahun yang lalu namun keluhan dan gejala
neurologis lain tidak didapatkan. Pemeriksaan MRI didapatkan massa di daerah CPA dextra ukuran 2,2 x 1,2 x
2,2 cm yang mendesak saraf kranial V ke supero-medial. Tindakan pembedahan dengan monitoring saraf kranialis
diperlukan untuk mengambil tumor dengan meminimalkan risiko kerusakan pada saraf kranialis yang ada disekitar
tumor tersebut. Tujuan dari laporan kasus ini adalah membahas pengelolaan pasien yang dilakukan pembedahan di
daerah CPA dan pertimbangan-pertimbangan anestesi yang berkaitan dengan tehnik diatas.

Kata kunci: Cerebellopontine angle tumor, intraoperatif neurologik monitoring

JNI 2016;5(1): 24–34

Surgery Anesthesia Management on Acoustic Neuroma with Cranial Nerves Monitoring

Abstract

Cerebellopontine angle tumor represent 10% of all adult primary intracranial tumor. Most common
form of CPA tumor (80–90%) is acoustic neuroma and the rest are meningiomas, epidermoid,
arachnoid cyst and many others. Although acoustic neuroma is benign lesion, this tumor can bring
threat to life because the complex anatomy and important neurovascular structures that traverse this
space. Like all posterior fossa surgery, perioperative considerations of acoustic neuroma management
related to anatomical complexity, patient positioning, the potential for venous-air embolism, brainstem
dysfunctions, hemodynamic arousal caused by surgical maneuver and intraoperative neurophysiologic
monitoring. A 46 years old woman, 48kg was diagnosed with right CPA tumor with differential diagnose
between acoustic neuroma and meningioma. She complained of gradual loss of hearing in right ear and
associated with tinnitus . Other neurologic defisit was not found. Right CPA mass, 2,2 x 1,2 x 2,2 cm
size with pressure over fifth cranial nerve to supero-medial region was found in MRI examination.
Surgical approach with intraoperative neuromonitoring need to be done in order to resect tumor while
minimizing risk of cranial nerve injury. The purpose of this case report is to discuss management patient
with CPA tumor and its anestetic considerations which are connected to the procedure.

Key words: Cerebellopontine angle tumor, intraoperative neurologic monitoring.


JNI 2016;5(1): 24–34

24
Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik 25
Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

I. Pendahuluan intraoperatif (IONM) dalam kasus ini adalah


elektromiografi (EMG) kontinyu diharapkan dapat
Tumor susunan saraf pusat mencakup hampir meminimalkan bahkan menghindari kerusakan
10% dari kejadian tumor yang didapati pada saraf selama operasi CPA tumor. Tehnik IONM
tubuh manusia dan lebih dari 80% tumor susunan masih jarang dilakukan di Indonesia namun dalam
saraf pusat tersebut adalah tumor intrakranial. Di waktu dekat kemungkinan menjadi standar dalam
Amerika Serikat didapatkan 35.000 kasus baru tindakan operasi daerah CPA. Operasi dengan
tiap tahunnya dengan tingkat mortalitas sebesar IONM memerlukan perhatian akan faktor-faktor
6 per 100.000 penduduk.1 Akustik neuroma atau yang dapat mempengaruhi pembacaan termasuk
yang juga dikenal dengan vestibular schwanoma, tehnik anestesi yang digunakan. Pada laporan
merupakan tumor yang tumbuh dari selubung kasus ini selain dibahas pertimbangan rutin yang
mielin dari saraf vestibular dan bersifat jinak harus diperhatikan selama operasi fossa posterior
karena tidak menyebar kebagian tubuh yang lain juga dibahas tehnik anestesi yang digunakan
namun dapat mengancam jiwa karena lokasinya pada operasi dengan monitoring neurofisiologis
yang berdekatan dengan struktur-struktur vital terutama monitoring saraf kranialis.
di daerah sudut serebello pontin (CPA) fossa
posterior.2,3 Akustik neuroma mewakili 6–10% II. Kasus
dari seluruh tumor intrakranial namun merupakan
tumor yang paling banyak terjadi di daerah CPA Seorang wanita umur 46 tahun, berat badan 48 kg
yaitu sekitar 80–90%.2,4,5 didiagnosa tumor cerebellopontine angle (CPA)
kanan dengan diagnosa banding akustik neuroma
Meskipun kebanyakan tumor CPA bersifat atau meningioma. Pasien mengeluh telinga kanan
jinak, struktur anatomi CPA yang kompleks berdenging yang disertai nyeri kepala terutama di
dan banyaknya struktur neurovaskular penting daerah belakang kepala. Keluhan tersebut makin
di dalamnya, membuat gangguan di daerah ini memberat sejak 1 bulan terakhir. Pasien telah
dapat memberikan gejala klinis yang signifikan didiagnosa schwanoma sejak 1 tahun yang lalu.
serta memberi tantangan bagi ahli bedah dan
anestesi selama periode perioperatif.6 Seperti Pemeriksaan preoperatif
pada tatalaksana perioperatif tumor daerah Anamnesis
fossa posterior lainnya, pengelolaan neuroma Keluhan nyeri kepala + (terutama daerah
akustik juga perlu memperhatikan pertimbangan- belakang), telinga kanan berdenging +, rasa tebal
pertimbangan seperti lokasi tumor yang di daerah wajah –, wajah miring –, gangguan
berdekatan dengan struktur vital, posisi operasi penglihatan –, riwayat pingsan –, riwayat
dan risiko yang dapat ditimbulkan, risiko penurunan kesadaran –, gangguan menelan –,
emboli udara selama tindakan operasi, gangguan riwayat kejang –, riwayat pemakaian obat-.
hemodinamik akibat manuver pembedahan di
regio infratentorial dan monitoring neurofiologis Status generalis
selama operasi untuk mencegah kerusakan Jalan napas bebas, gigi palsu atas +, laju napas 16
saraf kranial didaerah tersebut.7 Memperhatikan x/menit, suara napas vesikular, tidak didapatkan
pertimbangan diatas dengan hati-hati selama ronki maupun wheezing, perfusi hangat kering
periode perioperatif dapat mengurangi risiko merah, tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi 80
terjadinya komplikasi dan diharapkan akan x/menit, lain-lain tidak didapatkan kelainan.
memperbaiki luaran pasien yang dilakukan
pembedahan tumor fossa posterior. Status neurologis
Derajat kesadaran GCS 4–5–6, pupil isokor
Tindakan pembedahan pada tumor CPA memiliki 3mm/3mm, refleks cahaya +/+, pemeriksaan
risiko terjadinya kerusakan saraf kranialis motorik dan sensorik dalam batas normal,
terutama saraf fasialis yang berdekatan dengan pemeriksaan saraf kranialis: saraf VIII: telinga
lokasi tumor tersebut. Monitoring neurofisiologis kanan berdenging, pendengaran kanan menurun,
26 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

gangguan saraf kranialis lain tidak ditemukan Penatalaksanaan Anestesi


saat pemeriksaan preoperatif. Gangguan Premedikasi diberikan dexamethasone 5 mg dan
keseimbangan atau tanda cerebellar tidak midazolam 2 mg intravena. Cairan preoperatif
didapatkan. diberikan ringerfundin 500 mL dalam 6 jam
selama puasa. Evaluasi tanda vital prainduksi
Pemeriksaan Laboratorium didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg, laju
Pemeriksaan MRI didapatkan massa di daerah nadi 80x/menit, saturasi oksigen 99%. Induksi
CPA dextra ukuran 2,2 x 1,2 x 2,2 cm yang anestesi dimulai dengan pemberian fentanyl 75
mendesak saraf kranial V ke supero-medial dan mcg pelan, dilanjutkan berturut-turut propofol
ekstensi ke kanal akustik internal kanan. Foto 100 mg, atracurium 40 mg. Intubasi dilakukan
polos thoraks dan pemeriksaan elektrokardiografi setelah dirasa kedalaman anestesi cukup,
tidak didapatkan kelainan. Dari pemeriksaan kemudian pipa endotrakeal nonking nomor 7,5
laboratorium didapatkan Hb 12,4 g%, hematokrit dengan balon dipasang dan diletakkan di sudut
34,4%, leukosit 4090/mm3, trombosit 177.000/ mulut kiri serta difiksasi rapat. Selama proses
mm3, masa perdarahan 1,5 menit, masa induksi dan intubasi tekanan darah berkisar
pembekuan 9 menit, masa prothrombin 13,8 antara 100-130/60-80 mmHg, laju nadi 80-90x/
detik, APTT 34,9 detik, SGOT 32,7 U/L, SGPT menit. Setelah selesai dipasang elektroda dan
30 U/L, bilirubin direk 0,22 mg/dL, bilirubin stabil secara hemodinamik, pasien diposisikan
total 0,46 mg/dL, ureum 11,7 mg/dL, kreatinin lateral dan pendekatan rectosigmoid dipilih
0,71 mg/dL, natrium 136 mmol/L, kalium untuk menjangkau lokasi tumor. Rumatan
3,7 mmol/L, gula darah sewaktu 78 mg/dL. anestesi dilanjutkan dengan sevoflurane < 0,5%,

Gambar 1. Gambaran MRI massa daerah CPA

oksigen - udara tekan bebas, propofol kontinyu dilihat dari pemantauan kadar End Tidal CO2
4–5 mg/kgBB/jam, fentanyl 1 mg/kgBB/jam. (ETCO2) selama operasi antara 27–30 mmHg.
Pasien dipasang kateter vena sentral subklavia Setelah pasien dalam posisi operasi dan sebelum
kanan, ventilasi mekanik diatur, moda kontrol dilakukan drapping, ahli neurologi memasang
volum dipilih dengan volume tidal 8 mL/kgBB, elektrode untuk keperluan monitor syaraf
frekuensi napas 12 x/menit, PEEP 0, fraksi kranialis didaerah otot orbicularis oculi dan
inspirasi oksigen 0,5. Pengaturan ventilasi orbicularis oris dan dilakukan pengecekan ulang
mekanik ditujukan untuk mendapatkan keadaan terhadap posisi pipa endotrakeal, daerah wajah
mild hypocapnea- normocapnea yang dapat dan leher, penonjolan tulang dan hal lain yang
Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik 27
Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

bisa memberi potensi membahayakan bagi pasien normal. Pasien dirawat di ruang intermediate dan
selama operasi. Operasi berlangsung selama 4 dilakukan pengawasan ketat pascaoperasi. Terapi
jam, perdarahan selama operasi berkisar 300 pascaoperasi diberikan cairan ringerfundin 1500
mL, produksi urin 900 mL selama 4 jam, cairan mL/hari, analgetik dexketoprofen 50 mg tiap 8
rumatan diberikan Ringerfundin 1000 mL selama jam, pantozol 40 mg tiap 12 jam, ondansentron
4 jam, manitol 150 mL. Hemodinamik selama 8 mg tiap 12 jam, dexametasone 5 mg tiap 8 jam.
operasi relatif stabil tekanan darah sistolik antara Pasien dipindahkan keruangan esok hari dengan
110–120 mmHg, laju nadi 70–80 x/menit, saturasi kondisi stabil dan pulang setelah dirawat selama
oksigen 99%, suhu tubuh 36 oC. Selama proses 4 hari diruangan.
pengambilan tumor, monitoring saraf kranialis
baik yang terlihat pada layar osciloscope maupun III. Pembahasan
secara audio, dapat dilakukan tanpa gangguan,
baik yang disebabkan tehnik anestesi maupun Cerebellopontine Angle (CPA) merupakan
faktor –faktor lain. Kesulitan pengambilan tumor daerah berbentuk segitiga yang dibatasi di
didapatkan karena sebagian tumor melekat pada sebelah anteromedial oleh pons, posteromedial
syaraf fasialis namun pada akhirnya dapat diambil oleh cerebellum dan sebelah lateral oleh bagian
tanpa mengganggu integitas syaraf tersebut. Pada petrosum dari tulang temporal.6 Di dalam
pasien ini kesadaran preoperatif baik, pengelolaan CPA dilewati oleh arteri cerebellar anterior
jalan napas preoperatif tidak didapatkan kesulitan, inferior (AICA), dan saraf kranial V, VII, VIII,
selama proses operasi hemodinamik stabil dan IX, X dan XI. Saraf kranialis ini keluar dari
tidak didapatkan kesulitan selama operasi yang daerah pertemuan pons dan midbrain kemudian
dapat menimbulkan gangguan homeostatik menyeberangi CPA menuju ke fossa kranii media.
intrakranial pascaoperasi, maka pasien Ruang anatomi yang kompleks dan banyaknya
direncanakan untuk dilakukan early emergence struktur vital neurovaskular menjadikan kelainan
dan ekstubasi. Proses ekstubasi berjalan lancar di CPA memberi tantangan pembedahan bagi
dan tidak didapatkan gejolak hemodinamik yang ahli bedah saraf dan ahli anestesi yang merawat
berarti. Evaluasi pascaoperasi di ruang pemulihan pasien tersebut.6 Dari seluruh angka kejadian
didapatkan tanda vital stabil dengan tekanan darah tumor intrakranial pada orang dewasa maka 10%
150/90 mmHg, laju nadi 80 x/menit, saturasi diantaranya adalah tumor di daerah CPA dan lebih
oksigen 99-100% dengan memakai sungkup kurang 80% kasus tumor CPA adalah akustik
dengan laju O2 5 lpm. Derajat kesadaran GCS neuroma sisanya berupa meningioma,epidermoid,
4–5–6, pupil isokor. Pemeriksaan motorik dan kista arachnoid dan lain sebagainya.2,3,6
sensorik serta syaraf kranialis kesan dalam batas Akustik neuroma atau juga dikenal dengan
vestibular schwanoma adalah tumor jinak
saraf kranial VIII yang disebabkan karena
hiperproliferasi dari sel Schwan saraf vestibular.4,5

Tumor ini disebut tumor jinak karena tidak


menyebar kebagian lain di tubuh penderita (non
cancerous tumor) dan dapat muncul disepanjang
saraf vestibular namun paling sering di tempat
ketika saraf vestibulocochlear melalui saluran
kecil yang menghubungkan ruang intrakranial
dengan telinga bagian dalam.2 Tumor ini
mewakili 8% dari seluruh tumor intrakranial,
dengan insiden 1:100.000 penduduk per
tahunnya. Terdapat 2 tipe dari akustik neuroma:
Gambar 2. Monitoring Tekanan Darah Rerata dan tipe 1 yang muncul unilateral dan mencakup 95%
Laju Nadi perioperatif kasus dan tipe 2 dimana tumor muncul bilateral
28 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dan berhubungan dengan neurofibromatosis (NF) seperti pembedahan dan tindakan anestesi daerah
tipe 2. Kasus yang kami kerjakan tampaknya fossa posterior lainnya, memerlukan ketelitian
termasuk dalam tipe 1 akustik neuroma. Selain dan perhatian yang lebih.9 Pengelolaan anestesi
NF tipe 2 faktor risiko yang diduga berhubungan dilakukan secara teliti dan menyeluruh mulai
dengan penyakit ini antara lain Hay fever, paparan evaluasi dan persiapan preoperatif, tindakan
bising di tempat kerja dan yang saat ini menjadi anestesi selama periode operasi dan pengelolaan
perhatian paparan gelombang radiofrekuensi dari pascaoperasi. Evaluasi preoperatif yang meliputi
telepon selular.2 Akustik neuroma banyak terjadi penilaian status umum dan status neurologis,
pada wanita dibanding pria dengan perbandingan penting didalam menentukan posisi pasien pada
3:2.2 Manifestasi klinis yang sering didapatkan skala risiko anesthesi dan mengetahui tindakan
pada pasien dengan akustik neuroma adalah perbaikan prabedah yang perlu dilakukan
keluhan hilangnya kemampuan pendengaran untuk menurunkan angka morbiditas suatu
secara bertahap dan unilateral serta sering disertai pembedahan.10 Pada evaluasi preoperatif perlu
dengan tinitus yang berupa suara nada tinggi dicari tanda dan gejala peningkatan tekanan
dering atau kadang seperti suara siulan atau intrakranial (TIK) seperti mual-muntah, nyeri
bahkan suara mesin.2,4,5 Sifat pertumbuhannya kepala sampai penurunan kesadaran. Tanda
yang lambat dan gejala klinis nonspesifik maka pendesakan saraf kranial penting dicari dan
tumor yang kecil sering diabaikan dan belum dicatat. Pada kasus tumor CPA gejala pendesakan
terdeteksi. Gejala klinis seperti parsial hipestesi saraf kranial yang sering terjadi terutama
wajah, hidrosefalus, gangguan keseimbangan, akibat gangguan saraf trigeminal, fasialis
vertigo serta gejala penekanan saraf kranialis dan vestibulocochlear, namun tidak menutup
lainnya muncul bila tumor membesar keluar kemungkinan saraf kranialis yang lain dapat
kanalis auditori masuk ke ruang intrakranial dan terganggu karena pertumbuhan dan pendesakan
memberi penekanan pada struktur-struktur di tumor ini.9 Gangguan respirasi dan irama jantung
dalamnya.8 serta tanda cerebellar, akibat pendesakan batang
otak dan cerebellum, juga perlu dicari karena
Terdapat pilihan terapi dalam mengobati penyakit dapat mengganggu stabilitas hemodinamik
ini. Tumor ukuran kecil atau sedang (kurang selama operasi yang akan berpengaruh pada
dari 1 inci) atau tumor rekuren dapat dilakukan perfusi dan oksigenasi jaringan otak.9
radiasi dengan stereotactic radiosurgery dan
pisau gamma. Terapi radiasi tidak menyingkirkan Pertimbangan pemberian premedikasi tergantung
tumor ini namun melukai tumor tersebut sehingga dari status fisik penderita, tingkat kegelisahan,dan
diharapkan pertumbuhannya menjadi berhenti.8 adanya tanda peningkatan TIK. Sensitifitas
Terapi pembedahan biasanya dilakukan pada terhadap obat sedasi dan narkotik pada pasien
tumor yang berukuran besar terutama yang masuk bedah saraf memerlukan perhatian khusus pada
ke ruang intrakranial dan menimbulkan gejala penggunaanya selama periode preanesthetik.10
pendesakan struktur didalamnya.8 Pembedahan Pengaruh nyata pada sistem respirasi dan
dapat mengangkat tumor secara total sehingga kardiovaskuler dapat muncul setelah pemberian
kebutuhan untuk pilihan terapi lain tidak perlu premedikasi obat-obat tersebut, sehingga bila
dilakukan. Terapi medikal dengan pemberian dirasa tidak dibutuhkan pasien dengan tumor
obat tertentu (bevacizumab) biasanya dilakukan fossa posterior tidak diberikan premedikasi
bila tumor muncul di kedua telinga atau terdapat dengan obat sedasi dan narkotik.10,11
gangguan medis yang berisiko bila dilakukan Pemantauan fungsi vital selama pembedahan
pembedahan.8 khususnya bedah saraf saat ini tidak dapat
CPA merupakan bagian dari fossa posterior untuk dipisahkan dari alat dan metode modern
itu penatalaksanaan anestesi mengikuti prinsip monitoring.10 Pasien yang menjalani pembedahan
dan pertimbangan terkait operasi fossa posterior. subtentorial sering dikaitkan dengan perdarahan,
Daerah CPA banyak terdapat struktur vital seperti aritmia, perubahan tekanan darah, emboli udara
saraf kranial dan pembuluh darah, sehingga dan sebagainya, sehingga multimodal monitoring
Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik 29
Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

dalam menilai status semua organ vital tidak dapat posisi akustik neuroma antara lain pendekatan
dielakkan.9,10,11 Memperhitungkan pentingnya translabirin, rektosigmoid, dan fossa media.8
stabilitas hemodinamik dalam menjaga perfusi Pendekatan rektosigmoid seperti yang dilakukan
otak kaitannya dengan manuver pembedahan pada pasien ini, terutama bila tumor berukuran
infratentorial yang sering mempengaruhi besar dan masuk ke dalam CPA lebih dari 2
pusat kardiovaskular di batang otak, maka cm. Keuntungan dari metode ini adalah fungsi
pemantauan baik dengan metode non invasif pendengaran dapat dipertahankan, mengangkat
(elektrokardiografi, tekanan darah non invasif, tumor dengan berbagai ukuran, dapat melihat
laju nadi) maupun metode invasif (central venous batang otak dan saraf kranial sehingga risiko
pressure, tekanan darah intraarterial) sangat kerusakan organ vital selama pembedahan
diperlukan.10 Parameter monitoring lain yang dapat dihindari.8 Untuk mendukung pendekatan
sangat diperlukan dalam pembedahan ini antara pembedahan pada pasien ini, maka posisi lateral
lain pengukuran suhu intraoperatif, produksi menjadi salah satu pilihan. Pada posisi ini retraksi
urin, kadar gula darah, kadar hematokrit dan lain cerebellum terbantu oleh gravitasi sehingga
sebagainya.10,12 sangat membantu pemaparan daerah CPA
Induksi dan intubasi merupakan bagian untuk mencapai akustik neuroma tanpa retraksi
pengelolaan anestesi yang sangat penting. berlebih.13 Pada posisi lateral terdapat beberapa
Hal ini disebabkan beberapa hal yang dapat hal yang harus diperhatikan antara lain potensi
memperberat kondisi intrakranial penderita kompresi arteri aksilaris dan cedera pleksus
antara lain periode apnea selama proses intubasi, brakhialis area yang diposisikan di bagian
risiko batuk dan gejolak hemodinamik selama bawah.14,15
tindakan laringoskopi, episode hipotensi dan Untuk mencegah hal tersebut gulungan atau
bradikardia akibat obat anestesi.10 Bahaya yang bantalan perlu ditempatkan di daerah antara
disebabkan hal-hal tersebut diatas biasanya lebih rusuk atas aksila, sehingga kompresi saraf dan
mudah terjadi pada pasien fossa posterior. Hal pembuluh darah dapat dihindari.15 Cedera akibat
ini disebabkan karena kemampuan penyesuaian regangan berlebih pada pleksus brakhialis, dalam
(compliance) yang rendah dari ruang ini usahanya untuk mendapatkan area rektomastoid
terhadap sindroma hipertensi intrakranial, untuk yang lebih luas, harus dihindari dengan tidak
itu kewaspadaan selama induksi dan intubasi melakukan tarikan pada tangan pasien secara
pada pasien gangguan fossa posterior harus berlebih.9,14,15
ditingkatkan.10 Pemilihan obat anestesi selama
periode ini sebaiknya mempertimbangkan Kepala pasien diposisikan sejajar dengan tulang
efeknya terhadap hemodinamik serebral dan belakang untuk meminimalkan angulasi yang
sistemik. Selain ketamin, semua obat yang menyebabkan nyeri pada leher.15 Bola mata,
digunakan selama induksi (propofol, etomidate, telinga, kulit kepala dan bagian tubuh lain harus
thiopental) menyebabkan penurunan aliran darah dlilindungi terhadap penekanan yang berlebih.
otak (ADO), laju metabolik oksigen serebral Pada saat perubahan posisi (dari terlentang ke
(CMRO2) sehingga menghasilkan penurunan posisi lateral), hal yang tidak diinginkan dan
TIK dan memberi efek proteksi otak (melalui membahayakan pasien dapat terjadi. Gangguan
penurunan konsumsi oksigen).10,11 hemodinamik, terlepasnya pipa endotrakeal,
Akses pembedahan yang baik, stabilitas batuk dan mengejan karena level anestesi yang
hemodinamik, pengendalian TIK, memerlukan tidak adekuat, semuanya ini berbahaya dalam
pemilihan posisi yang optimal.10 Pembedahan pengelolaan pasien neuroanestesi sehingga
fossa posterior memerlukan posisi yang tidak pengawasan yang hati-hati sangat diperlukan.15
biasa. Posisi tengkurap, miring, park bench, dan Setelah perubahan posisi selesai dilakukan,
duduk sering digunakan.9 Posisi yang diperlukan sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang terhadap
tergantung salah satunya dari pendekatan bedah posisi pipa endotrakeal, fungsi ventilasi dan semua
dalam pengangkatan tumor yang diderita. titik penekanan sebelum drapping dilakukan.14,15
Terdapat tiga pendekatan bedah untuk mencapai
30 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeliharaan Anestesi namun pemberiannya memerlukan kehati-hatian


Dalam pemeliharaan anestesi tidak terdapat agar tidak menimbulkan komplikasi yang dapat
bukti bahwa obat dan tehnik anestesi tertentu merugikan.10
lebih unggul dibandingkan yang lainnya.9 Tujuan Operasi di dekat batang otak seperti kasus
utama pengelolaan anestesi modern pada pasien pada pasien ini dapat menimbulkan respon
bedah saraf antara lain:11 kardiovaskular yang mendadak dan bermakna
1. Mampu menurunkan dan mengendalikan dan dapat membahayakan pasien selama periode
TIK intraoperatif serta merupakan tanda potensi
2. Mampu menjaga tekanan perfusi otak kerusakan struktur vital yang dilakukan oleh ahli
3. Mampu menjaga stabilitas hemodinamik bedah.9 Stimulasi dasar ventrikel IV, formasio
4. Deteksi dini dan mengelola komplikasi retukularis medula, saraf trigeminal dapat
intraoperatif yang dapat terjadi menimbulkan reaksi hipertensi yang biasanya
5. Memakai obat dan tehnik yang bersifat diikuti oleh keadaan bradikardia.9 Bradikardia
neuroprotektif. sendiri dapat ditimbulkan dari reaksi pembukaan
duramater, stimulasi saraf trigeminal maupun
Pada umumnya tindakan anestesi baik dengan vagus. Bila reaksi kardiovaskular seperti
tehnik inhalasi maupun intravena dapat diatas muncul, maka ahli bedah harus segera
digunakan untuk pemeliharaan anestesia, namun diingatkan agar dapat dihindari manipulasi yang
penggunaan N2O meski masih menjadi kontroversi menimbulkan kerusakan lebih jauh.9,10 Dengan
sebaiknya dihindari.9,11 Risiko emboli udara dan hilangnya manipulasi bedah, maka respon yang
pneumocephalus pada pasien fossa posterior dan berbahaya tersebut biasanya menghilang. Namun
kemampuan N2O untuk memperbesar gelombang apabila dirasa perlu untuk dilakukan suatu
udara serta pengaruhnya pada peningkatan terapi, maka obat–obatan yang bekerja cepat
aliran darah dan konsumsi oksigen otak menjadi seperti ephedrin, phenylephrine atau dopamin
alasan untuk menghindari penggunaannya.9,10,11 merupakan pilihan yang dapat diberikan.9
Melakukan kontrol ventilasi dapat menurunkan
risiko terjadinya emboli udara serta penting Masalah intraoperatif lainnya yang dapat muncul
untuk memastikan keaadaan normokapnea dan pada periode intraoperatif adalah adanya emboli
menghindari hipoksia selama berlangsungnya udara. Salah satu faktor yang berkontribusi
pembedahan.8 Namun pada kebanyakan kasus akan timbulnya emboli udara adalah lokasi
tehnik hiperventilasi ringan untuk tercapainya pembedahan.16 Daerah fossa posterior memiliki
keadaan hipokapnea ringan dilakukan agar pembuluh darah vena yang selalu terbuka oleh
dapat meningkatkan paparan pembedahan dan karena tarikan struktur disekelilingnya.16 Elevasi
mengurangi tekanan retraksi pada otak.9 daerah kepala selama tindakan pembedahan
Pengelolaan cairan intraoperatif ditujukan serta keadaan hipovolemia preoperatif pada
untuk mempertahankan keadaan normovolemia pasien bedah saraf memudahkan terjadinya
selama tindakan pembedahan.9,10 Aturan emboli udara.16 Tidak terdapat tindakan yang
umum yang harus diikuti adalah menghindari dapat mencegah 100% terjadinya emboli udara
penggunaan cairan yang hipoosmolar dan cairan terutama pada operasi dimana terdapat perbedaan
yang mengandung glukosa. Cairan kristalloid antara lapangan pembedahan dan atrium kanan.
isoosmolar diberikan dengan kecepatan cukup Namun angka kejadian dan beratnya kasus
untuk mengganti insensible loss dan urine yang emboli udara ini dapat ditekan oleh beberapa cara
keluar.12 Perdarahan sebagian dapat diganti dengan antara lain:12,16
kristalloid atau koloid sampai harga hematokrit 1. Memperbaiki status hidrasi dan menghindari
kurang-lebih 30%. Manitol banyak digunakan keadaan hipovolemia selama periode
untuk menurunkan edema otak dan TIK sebelum preoperatif maupun intraoperatif.
operasi dan masih merupakan diuretika pilihan 2. Menggunakan pernapasan positif terkontrol
pada kasus bedah saraf.10,12 Meskipun pemberian 3. Posisi head-up seminim mungkin yang tidak
manitol menguntungkan pada pasien bedah saraf, mengganggu pembedahan
Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik 31
Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

4. Melakukan pembedahan dengan lebih teliti pada permukaan yang dekat dengan jaringan
dan berhati-hati saraf).17-19 IONM sering digunakan selama
5. Menghindari penggunaan N2O dan obat- pembedahan fossa posterior. Berbagai variasi
obatan yang menyebabkan vasodilatasi. metode monitoring banyak digunakan, termasuk
somatosensory evoked potensial (SSEP),
Pemasangan kateter vena sentral di daerah atrium brainstem auditory evoked response (BAER),
kanan dapat membantu menegakkan diagnosa dan monitoring saraf kranialis.20 BAER dapat
sekaligus memiliki manfaat terapi pada kasus digunakan untuk memonitor integritas organ
yang diduga terjadi komplikasi emboli udara. pendengaran (cochlea) beserta jalur neural
Pemantauan kadar CO2 selain dapat membantu antara bagian bawah pons dengan bagian
mengawasi fungsi ventilasi selama operasi, juga mesencephalon setinggi colliculus inferior.20
dapat menjadi indikator deteksi emboli udara.12,16 SSEP dilakukan sebagai pelengkap BAER
Keuntungan dari metode ini (monitor ETCO2) digunakan memonitor jalur propioseptif dan
selain cukup sensitif dalam mengenali kejadian vibrasi saat melewati batang otak. Monitoring
emboli udara, penggunaannya mudah dan tidak saraf kranialis berguna ketika lokasi pembedahan
invasif.12,16 dekat dengan saraf-saraf kranialis dan merupakan
aplikasi monitoring yang paling sering
Monitoring neurofisiologis intraoperatif digunakan pada pembedahan fossa posterior.20
Monitoring neurofisiologis intraoperatif (IONM)
digunakan pada pembedahan yang kompleks Monitoring saraf kranialis yang merupakan salah
dimana melibatkan korteks motorik dan sensorik, satu tehnik IONM saat ini makin sering digunakan
batang otak, medula spinalis, saraf kranialis dan baik oleh bedah saraf, oleh dokter bedah plastik,
saraf perifer.17 IONM mulai menjadi standar dan dokter telinga-hidung-tenggorok (THT),
pada banyak prosedur bedah saraf karena dimana reseksi tumor oleh para sejawat diatas
dihubungkan dengan penurunan risiko terjadinya berisiko pada jaringan saraf didekatnya.17 Fungsi
defisit neurologis pascaoperasi terutama pada saraf kranial diawasi secara kontinyu pada banyak
operasi-operasi dimana sistem saraf memiliki kasus bedah saraf untuk dua alasan penting antara
risiko kerusakan permanen.10,18 Manipulasi lain:19
pembedahan seperti tarikan, tekanan, paparan 1. Identifikasi dan orientasi lokasi saraf kranial
panas oleh elektrokoagulasi, merupakan tindakan tersebut pada lapangan operasi
yang dapat mencederai jaringan saraf. Keadaan 2. Menjaga integritas dan fungsi saraf kranial
iskemia baik yang disebabkan gangguan pasokan serta nukleus terkait.
darah akibat tindakan pembedahan atau klamping
arteri yang disengaja dapat mengakibatkan cedera Variabel utama yang digunakan dalam
yang sering dikenal dengan defisit neurologis pengawasan saraf kranial selama pembedahan
pascaoperasi.18 pengawasan terhadap tindakan adalah respon elektromiografi (EMG) grup otot
pembedahan oleh tehnik IONM dapat mencegah terkait dengan saraf kranial yang diperiksa.19
manipulasi yang merusak tepat pada waktunya, Saraf-saraf kranial bersama kumpulan otot
sehingga menghasilkan perbaikan struktur terkait yang sering di monitor selama periode
dan fungsi jaringan saraf kembali normal atau intraoperatif adalah:19
mendekati normal.18 1. Saraf fasialis melalui otot orbikularis okuli
dan orbikularis oris
Prinsip umum dari tehnik IONM adalah memberi 2. Saraf abdusen melalui otot rektus lateralis
stimulus kemudian melihat respon elektrik 3. Saraf trigeminal melalui otot masseter
dari seluruh jalur saraf yang berisiko cedera. 4. Saraf trochlearis melalui otot superior oblique
Hal ini dapat dilakukan dengan merekam near- 5. Saraf okulomotorius melalui otot rektus
field evoked potential (menempatkan elektroda medialis dan inferior
langsung pada struktur saraf spesifik) atau
dengan far-field evoked potential (elektrode Level frekuensi diatur pada 10 sampai 1000 Hz,
32 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

aktivitas EMG tanpa stimulasi dimonitor secara yang dapat mempengaruhi interpretasi selama
terus menerus pada layar osiloskop selama prosedur monitoring, sehingga pemilihan obat
prosedur operasi, dan yang tak kalah penting, maupun tehnik anestesi perlu diperhatikan dan
respon EMG sering dikonversi menjadi sinyal disesuaikan dengan tehnik monitoring yang
audio yang dapat memberi umpan balik terhadap digunakan.21 Secara umum pengelolaan anestesi
aktivitas otot secara langsung bagi ahli bedah meliputi pemilihan kombinasi obat yang sesuai
maupun ahli neurofisiologis sehingga interpretasi dan mempertahankan kondisi status anestesi
dan keputusan dapat segera diambil.7,19 secara konstan dan stabil (hindari perubahan
konsentrasi obat atau pemberian bolus selama
Terdapat dua tipe dasar dari aktivitas spontan periode kritis monitoring).20,21 Dampak dari
yang dapat diidentifikasi. Tipe pertama adalah anestesia dapat dimengerti bila kita mampu
phasic burst of activity yang memberi indikasi mengetahui mekanisme obat anestesi tersebut
bahwa saraf ada berada dekat atau disekitar terhadap sistem saraf pusat. Pada monitoring
daerah pembedahan.20 Aktivitas yang terekam saraf kranialis, variabel utama yang digunakan
ini biasanya tidak berhubungan dengan stimuli adalah EMG sehingga pemakaian pelumpuh
yang merusak dan menunjukkan bahwa saraf otot paling berpengaruh pada tehnik ini. Obat
masih intak dan dan daerah pembedahan ada pelumpuh otot biasanya dihindari penggunaannya
disekitar sarat tersebut.20 Stimulus yang merusak, pada operasi dengan monitoring saraf kranialis
menimbulkan respon aktivitas saraf tipe yang meski beberapa masih menggunakan pelumpuh
kedua yaitu aktivitas tonic atau train. Respon otot kontinyu dengan melakukan pengawasan
terlihat di layar seperti episode kontinyu, sinkron dan titrasi obat (three of four twitch monitor).
dari aktivitas unit motorik yang berlangsung Pada operasi dengan tehnik monitoring ini
selama beberapa menit. Hal ini biasanya berkaitan obat anestesi intravena maupun inhalasi dapat
dengan traksi saraf khususnya traksi ke lateral digunakan karena tidak mengganggu respon
dan medial.20 evoked potential EMG.7
Pada sinyal audio, respon saraf tipe dua ini
terdengar seperti suara membuat popcorn, Faktor fisiologis dapat juga mempengaruhi
atau suara mesin pesawat dan sering disebut interpretasi monitoring dan perlu untuk
sebagai sound of dying neurons.20 Identifikasi diperhatikan. Faktor fisiologis yang tersebut
saraf fasialis dapat juga dilakukan oleh ahli antara lain:
bedah dengan memberi stimulus elektrik pada 1. Kondisi yang berhubungan dengan gangguan
frekuensi 1–5 Hz pada daerah yg diduga sebagai penyediaan oksigen (hipotensi, TIK yang
saraf tersebut. Respon yang terlihat karena tinggi, iskemia regional otak, hipoksia)
stimulus yang disengaja tersebut dapat berupa 2. Hipotermia
burst berulang yang sinkron dengan stimulus 3. Hipoglikemia
yang diberikan atau terdengar seperti suara 4. Gangguan keseimbangan elektrolit, dan
senapan mesin. Tehnik ini memungkinkan kita sebagainya.
untuk melokalisir, identifikasi struktur yang
akan dilakukan pembedahan apakah merupakan Untuk itu selain faktor pengelolaan anestesi,
jaringan saraf penting atau bukan.20 faktor fisiologis harus diidentifikasi untuk
Intraoperatif neuromonitoring bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas monitoring terhadap
meningkatkan kewaspadaan dan keamanan faktor pembedahan dan memastikan kondisi
terhadap potensi kerusakan jaringan saraf monitoring yang optimal.21 Idealnya, pulih
selama tindakan pembedahan. Selama prosedur sadar dari anestesia pada kasus-kasus bedah
IONM ini terdapat beberapa faktor yang dapat saraf sebaiknya dilakukan dengan cepat agar
mempengaruhi fungsi neuronal dan respon evoked penilaian hasil operasi serta status neurologis
potential sehingga interpretasi dapat berubah dan penderita pascabedah segera dapat ditentukan.22
meberikan potensi yang membahayakan pasien. Namun demikian meski terdapat kecenderungan
Pengelolaan anestesi merupakan salah satu faktor pulih sadar dini pada pasien bedah saraf, masih
Penatalaksanaan Anestesi pada Pembedahan Akustik 33
Neuroma dengan Monitoring Saraf Kranialis

terdapat beberapa kategori pasien dimana tidak berguna ketika lokasi pembedahan dekat dengan
bisa dilakukan pemulihan anestesi secara cepat. saraf-saraf kranialis dan merupakan aplikasi
Indikasi untuk pulih sadar lambat pada pasien monitoring yang paling sering digunakan pada
bedah saraf meliputi antara lain:22 pembedahan fossa posterior. Pemilihan obat dan
• Status kesadaran preoperatif yang buruk tehnik anestesi perlu diperhatikan dan disesuaikan
• Pengelolaan jalan napas preoperatif yang agar manfaat dari IONM ini dapat dirasakan
sulit secara optimal.
• Risiko tinggi edema otak, peningkatan TIK
dan gangguan homeostasis intrakranial Daftar Pustaka
pascaoperasi seperti pada kasus: pembedahan
lama dan ekstensif, pembedahan pada atau 1. American Brain Tumor Association. Brain
dekat organ vital, pembedahan ulangan, Tumor Statistics. Chicago: 2012 (diakses dari
pembedahan yang dekat dengan risiko http://www.abta.org/about-us/news/brain-
iskemia tumor-statistics).

Pada kasus yang kami kerjakan indikasi pulih 2. Hassan UA, Hassan G, Rasool Z. Vestibular
sadar lambat dari anestesi dan pembedahan tidak schwanoma:anatomical, medical and surgical
didapatkan, sehingga pasien dapat dilakukan perspective. International Journal of Research
ekstubasi di kamar operasi dan dapat segera in Medical Sciences. 2013;1(3): 178–82.
dilakukan penilaian status neurologis. Untuk
perencanaan ekstubasi dipertimbangkan secara 3. Rehman AU, Lodhi S, Murad S.
hati-hati dengan meminimalisir peningkatan Morphological pattern of posterior cranial
tekanan vena dan tekanan darah akibat batuk fossa tumors. Annals. 2009;15(2): 57–59.
dan mengejan. Batuk dan mengejan yang dapat
menyebabkan peningkatan TIK yang memicu 4. Chien S, Tseng FY, Yeh TH, Hsu CJ, Chen
edema otak hingga perdarahan. YS. Ipsilateral and contralateral acoustic
brainstem response abnormalitis in patients
IV. Simpulan with vestibular schwanoma. Otolaryngology-
head and neck surgery 2009;141:695–700.
Cerebellopontine Angle (CPA) merupakan
bagian dari fossa posterior dimana didalamnya 5. Webster G, Filho RCO, de Sousa OA,
terdapat banyak struktur penting neurovaskular, Salmito MC, Favero M, Maeques P. Atypical
sehingga pembedahan di daerah ini memberi manifestation of vestibular schwanoma. Int
tantangan yang cukup berat baik bagi ahli bedah Arch Otorhinolaryngol. 2013;17:419–20.
maupun anestesi. Akustik neuroma merupakan
tumor yang paling banyak terjadi di daerah 6. Kennady GR, Jagadish. A study of
CPA dengan angka kejadian sekitar 80–90%. cerebellopontine angle tumors and their
Penatalaksanaan anestesi pada pembedahan management in a tertiary care hospital. J of
akustik neuroma mengikuti pertimbangan- Evidence Based Med & Hlthcare. 2015;2:
pertimbangan seperti pada kasus fossa posterior 2317–19.
lainnya dan peran anestesi mulai periode
prabedah sampai pascabedah sangat dibutuhkan. 7. Gorji R. Anesthesia and Neuromonitoring:
Monitoring neurofisiologis intraoperatif (IONM) Electroencephalography and Evoked
mulai menjadi standar pada banyak prosedur Potentials: 2011. Departement of
bedah saraf termasuk salah satunya pembedahan Anesthesiology of University Hospital, state
akustik neuroma. Tehnik ini bertujuan untuk University of New York (diakses dari http://
meningkatkan kewaspadaan dan keamanan www.epilepsyhealth.com/delta.gif.)
terhadap potensi kerusakan jaringan saraf selama
tindakan pembedahan. Monitoring saraf kranialis 8. Mendenhall WM, Friedman WA, Amdur
34 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

RJ, Antonelli PJ. Management of patient positioning during neurosurgical care.


acoustic neuromas. American Journal of Anesthesiol. Clin. 2007; 25(3): 631–62.
Otolaryngology. 2004; 25(1): 38–47.
16. Smith DS. Anesthetic management for
9. Pederson D, Peterfreund R. Anesthesia for posterior fossa surgery. Dalam: Cotrell JE,
posterior fossa surgery. Dalam: Newfield P, Young W, eds. Neuroanesthesia, 5th edition.
Cotrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Inc; 2010, 203–17.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins:
2012, 136–47. 17. Walt V, Thomas JM, Figaji AA. Intraoperative
neurophysiological monitoring for
10. Gheorghita E, Ciurea J, Balanescu B. anaesthetist. South Afr J Anaesth Analg
Considerations on anesthesia for posterior 2013;19(3): 139–44.
fossa-surgery. Romanian Neurosurgery
2012;XIX(3):183–92. 18. Moller AR. Basic of Intraoperative
Neurophysiological Monitoring.
11. Jagannathan S, Krowidi H. Anaesthetic Dalam: Moller AR, Eds. Intraoperative
considerations for posterior fossa surgery. Neurophysiological Monitoring, 3rd edition.
Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2013; New York: Springer science; 2011, 9–22.
10:1–5.
19. Sclabassi RJ, Balzer JR, Crammond
12. Saleh SC. Anestesi untuk pembedahan fossa D, Habeych ME. Neurophysiological
posterior. Dalam: Sinopsis Neuroanestesia monitoring: a tool for neurosurgery. Dalam:
klinik. Sidoarjo: Zifatama publishing; 2013, Sekhar NL, Eds. Atlas of Neurosurgical
75–90. Techniques. Brain. New York: Thieme; 2006,
50–70.
13. Patel JS, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa:
surgical considerations. Dalam: Cotrell JE, 20. Porter S, Sanan A, Rengachary S. Surgery
Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery, and anesthesia of the posterior fossa. Dalam:
4th Ed. Missouri: Mosby Inc; 2002, 319–33. Albin M, eds. Textbook of Neuroanesthesia
with Neurosurgical and Neuroscience
14. Arnaud D, Paquin MJ. Safe positioning for perspectives. New York: The McGraw-Hill
neurosurgical patients. AORN journal 2008 ; Companies; 1997, 971–1008.
87(6): 1156–68.

15. Rozet I, Vavilala M. Risk and benefits of


Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan
dan Luarannya

Wahyu Sunaryo Basuki*), Dewi Yulianti Bisri**), Bambang J. Oetoro***), Siti Chasnak Saleh***)
*)
Departemen Bedah Gawat Darurat dan Anestesi Rumah Sakit Angkatan Darat Brawijaya Surabaya, **)Departemen
Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Khatolik Atmajaya Rumah Sakit Mayapada
Jakarta, ****)Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Perdarahan intraserebral masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang tinggi. Angka
kejadiannya berkisar 10–30 % kasus per 100.000, dengan angka kematian mencapai 62% dan hanya
20% yang bisa bertahan hidup secara fungsional dalam 6 bulan dari onset. Penyebab dari perdarahan
intraserebral adalah hipertensi. Pengelolaan perioperatif meliputi pencegahan bertambahnya hematom
dan edema, pengelolaan tekanan darah, mencegah naiknya ICP dan mempertahankan tekanan perfusi
otak. Seorang laki-laki dibawa ke rumah sakit karena lemah anggota gerak kanan atas dan bawah dan
tidak bisa bicara sejak 2 jam sebelumnya. Dari anamnesa didapat riwayat hipertensi dalam 5 tahun
terakhir dan mendapat obat bisoprolol. Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran dengan GCS E4 M5Vx,
hemiplegi dekstra dan afasia, tekanan darah 180/105 mmHg. Pasien di rawat diruangan intermediate
di ICU. Pada hari kedua karena ada penurunan kesadaran dengan GCS E3 M4 Vx serta penambahan
hematoma menjadi 87 cc dibanding MRI sebelumnya diputuskan segera dilakukan kraniotomi evakuasi.
Tindakan ini memerlukan pengetahuan yang baik mengenai pengelolaan perioperatif pasien dengan
perdarahan intraserebral karena hipertensi dari seorang ahli Anestesiologi sehingga mendapat luaran
yang baik.

Kata kunci: perdarahan intraserebral, stroke perdarahan, hipertensi, pengelola perioperatif anestesi

JNI 2016;5(1): 35–43

Anesthetic Perioperative Management of Intracerebral Hemorrhage and


Its Outcome
Abstract

Intracerebral hemorrhage (ICH) has high mortality and morbidity rates. Its incidence is 10-30%, with a mortality
rate of 62%. Only 20% of patients survive functionally within six months from time of onset. The cause of ICH
is hypertension. Perioperative management of ICH includes blood pressure control, prevention of hematoma
enlargement and edema, prevention of ICP increase and maintenance of cerebral perfusion pressure. A male
patient was brought to the hospital due to weakness of the left extremities and inability to speak since two hours
before admission. Patient had had hypertension for the last five years and was on bisoprolol. Physical examination
revealed GCS E4M5Vx, left hemiplegia, aphasia, and blood pressure 180/105 mmHg. Patient was admitted to
intermediate ward in the intensive care unit. On day-2, due to further decrease in consciousness (GCS E3M4Vx)
and increase in hematoma volume to 87 cc, craniotomy for evacuation was indicated. This procedure requires good
understanding of perioperative management of ICH by an anesthesiologist to produce favorable outcome.

Key words: intracerebral hemorrhage, hypertension, perioperative management

JNI 2016;5(1): 35–43

35
36 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan yang baik yaitu 50-70 mmHg, mencegah perluasan


hematom, mencegah serta mengurangi edema
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan dengan cara medika mentosa dan pembedahan.1-6
dari sistim arterial ke jaringan parenkim otak
yang terjadi spontan, ke ventrikel atau sub II. Kasus
arahnoid. Perdarahan intraserebral ini merupakan
15% dari stroke tetapi angka kematian dan Laki laki 69 tahun dengan berat badan 60 Kg
angka kecacatannya tinggi. Dikatakan angka tinggi badan 165 cm dibawa ke rumah sakit
kematiannya 62% dalam satu tahun pertama dari dengan keluhan lemah tangan dan kaki kanan 2
onset. Sedang dari semua yang berhasil selamat jam sebelum datang.
hanya 12–39% bisa hidup secara independen.1-3
Ada dua jenis perdarahan intraserebral yaitu Pemeriksaan
perdarahan intraserebral primer dan sekunder. Anamnesa
Perdarahan primer yaitu perdarahan spontan Dari allo anamnesa penderita ditemukan di rumah
karena pecahnya arterial yang menyebabkan tidak bisa bergerak dan tidak bisa bicara tetapi
ekstravasi darah ke dalam parenkim otak. masih sadar, bangun, serta dapat membuka mata
Perdarahan ini disebabkan karena hipertensi atau spontan. Penderita mempunyai riwayat hipertensi
cerebral amyloid angiopathy (CAA). Perdarahan 5 tahun terakhir, ke dokter kardiologi diberi
primer ini berkisar 78–88%. Perdarahan obat bisoprol 2 x 5 mg tablet. Tidak ada obat
intraserebral yang sekunder adalah akibat dari obat lain yang diminum seperti obat pengencer
faktor patologis vaskuler yang mendasarinya, darah. Tidak ada riwayat diabetes atau konsumsi
kondisi dari stroke iskemia yang berubah menjadi alkohol, dan tidak ada riwayat trauma. Penderita
stroke perdarahan, koagulopati karena obat atau sehari sebelumnya pernah mengeluh nyeri kepala,
kongenital, dan tumor.1–5 hilang dengan obat anti nyeri kepala.

Faktor resiko terjadinya perdarahan ini terdiri Pemerikasaan fisik


dari faktor yang tidak dapat diubah atau menetap Tampak sakit berat, jalan nafas bebas frekwensi
seperti usia, etnis dan genetik. Faktor lainnya nafas 18–22 kali/ menit spontan dengan oksigen
adalah faktor yang dapat diubah seperti hipertensi kanul 2 lt/mt SpO2 100% GCS E4M5Vx. Pupil
dan konsumsi alkohol. Penyebab terbanyak dari mata kiri dan kanan bulat isokor diameter 3 mm,
perdarahan primer adalah hipertensi. Sedang reflek cahaya baik. Hemodinamik perfusi hangat
perdarahan sekunder sering disebabkan karena kering merah, nadi 72 x/mt tekanan darah 180/89
koagulopati, trauma, arteriovenous malformation mmHg. Hemiplegi kanan
serta aneurisma intrakranial. Manifestasi klinik
perdarahan intraserebral primer ini, gejala Pemeriksaan Penunjang
neurologinya bervariasi berdasar volume Pemeriksaan Laboratorium didapatkan
perdarahan dan lokasinya. Gejala klinik yang Hb 13,5 gr/dl, L 10.800/μl, Ht 44,4%, Thr
terjadi adalah perubahan yang cepat dari defisit 266.000/μl, Bun: 39,3 mg/dl, Sc: 0.82 mg/dl,
neurologi fokal serta tanda tanda naiknya tekanan asam urat : 6,2 mg/dl, GDS : 116 mg/dl, alb: 3,30
intrakranial seperti nyeri kepala, muntah, kejang g /dl, chol tot : 210 mg/dl, chol direct : 113 mg/
dan penurunan kesadaran. Perdarahan yang dl, HDL chol : 59 mg/dl, SGOT: 28, SGPT: 35,
luas dapat menyebabkan koma.1,3-5 Perdarahan Na : 138 mmol/l, K: 4,20 mmol/l, Cl: 105 mmol/l,
intraserebral merupakan kondisi medis yang Mg: 2,3 mg/dl.
emergensi, keterlambatan penanganannya akan Masa perdarahan: 2 mt, masa pembekuan 8 mt,
menghasilkan luaran yang buruk. Pengelolaan Pt: 10,5 dt, kontrol: 11,8 dt, INR: 0,89, APtt:
kondisi medis ini meliputi aturan umum ABC 27.10 dt, kontrol: 30.6 dt. Analisa gas darah Ph:
yaitu A airway manajemen, B breathing, C 7,37, PO2 106,6, HCO3 25.3, Be 2,5, SaO2 98,8,
circulation termasuk kontrol tekanan darah. AaDO2, 143.2
Selanjutnya mengontrol ICP dan mencapai CPP Torak foto: Cor dan pulmo tidak tampak kelainan,
Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena 37
Stroke Perdarahan dan Luarannya

Gambar 1. CT Scan Gambar 2 Monitoring selama operasi


A. EtcO2 B. Diastolik C. SPO2

ECG: irama sinus 68 x/menit, inkomplit RBBB. Selanjutnya segera dilakukan kraniotomi
Pada pemeriksaan MRI didapatkan evakuasi perdarahan.
1. Hyperakut intracerebral hemorrhage daerah
insular lobe, capsula eksterna , putamen dan Pengelolaan anestesi
gyrus superior lobus temporal kiri dengan Jam 19:30 pasien dibawa ke ruang operasi.
perifokal edem. Perkiraan volume 45 cc. Dipasang monitor standar, ECG, tekanan darah,
2. Midline shift ke kanan 2,88 mm. SpO2, EtCO2, suhu. Posisi pasien supine kepala
head up 200. Dilakukan oksigenasi. Tekanan
Pasien dirawat di ruang intermediate untuk di darah di posisi stat. Dilakukan induksi jam 19:40
observasi ketat. Posisi head up 30%, O2 nasal dengan tensi 145/mmHg nadi 70x/menit dan SpO2
2 lt/menit, cairan infus NaCl 0,9%. Diberikan 100%. Induksi dengan diberikan propofol 150mg,
Nicardipine pump dosis titrasi mulai 0,2 μg/ fentanyl 100μg perlahan lahan, vecuronium 6
bb untuk mendapatkan target tensi sistolik 140 mg. lidokain 90 mg kemudian diberikan lagi
mmHg. Manitol 20% 6x 100 cc. Nimodipin pump. propofol 50 mg, 1,5 menit kemudian dilakukan
Tanda tanda vital stabil T 150/82 mmHg, N 68 x/ intubasi dengan tube non kinking No 7,5 dengan
mt. Pada hari kedua perawatan terjadi penurunan balon. Dipasang NGT, tampon hipofaring, serta
kesadaran GCS E3M4Vx pupil bulat isokor, mata diberi salep dan di plester kertas. Posisi
reflek cahaya positif kanan dan kiri. Kondisi kepala miring kanan, bahu kiri diganjal, leher di
fisik secara umum relatif sama seperti pada posisikan bebas sehingga tidak terjadi obstruksi
waktu masuk. Diputuskan dilakukan CT-scan. pembuluh darah leher. Setelah induksi tensi 135
Didapatkan hematoma intraserebral bertambah. mmHg nadi 72/mt, nicardipin sudah di stop.

Gambar 3. CT-Scan Pascaoperasi. Gambar 4 . CT-scan Kontrol sebelum Pulang


38 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Rumatan anastesi dengan syringe pump propofol Tabel .1


150–200 mg/jam, sevoflurane 0,8–1% volume,
Komponen Poin
O2/udara ruang 50%, syring pump fentanil
Kelemahan muka tidak simetris 1
50 mg/30 menit. Ventilasi kendali dengan
vecuronium 3 mg/jam diberikan dengan syringe Kelemahan lengan muka tidak simetris 1
pump. Modus volume kontrol 500 ml frekuensi Kelemahan tungkai muka tidak simetris 1
13 x/menit, minute volume tercapai 6,5–7 L/ Gangguan bicara 1
menit. Setelah draping dan sebelum insisi kulit Defect lapang pandangan 1
diberi 50 μg fentanyl. Sebelum tengkorak dibuka Kejang –1
diberikan manitol 20% 0,5 gr/kg BB dalam 15
Hilang kesadaran –1
menit. Pada waktu durameter dibuka otak cukup
lunak /slack brain. Selama operasi 2 jam 30 menit
hemodinamik stabil sistolik 145–135 mmHg, Hari ketiga dilakukan ekstubasi GCS E4M5V2,
diastolik 65–75 mmHg, MAP 85–90 mmHg, hemiparese kanan dengan motorik 2–2. Perawatan
SpO2 97–100%, EtCO2 32–35. Perdarahan total di ruang intermediate selama 5 hari kemudian
sekitar 400cc, diuresis 1500 cc, cairan infus yang pasien di rawat di ruang perawatan. Setelah
diberikan ringerfundin 1750cc. Tigapuluh menit kurang lebih 25 hari perawatan di ruangan pasien
sebelum operasi selesai diberi dexketropofen 50 diperbolehkan pulang dengan GCS E4M6V4
mg, odansetron 8 mg, pantoprazol 40 mg. hemiparese kiri 3–3 fungsi kognisi dengan GOS
moderate disability.
Pengelolaan Pascabedah
Pasien diarawat di icu, dilakukan resusitasi III. Pembahasan
dan proteksi otak dari cedera sekunder.
Dilakukan kontrol pernafasan dengan ventilator Perdarahan intraserebral merupakan kondisi
modus volume control ventilation, propofol emergensi dan merupakan jenis stroke yang
50 mg/jam, vecuronium 3 mg/jam selama fatal. Pengelolaanya memerlukan kecepatan
24 jam. Cairan infus NaCl 0,9% 500 cc dan dan ketepatan sehingga didapatkan luaran yang
ringerfundin 1500 cc dalam 24 jam. Analgetik lebih baik. Penampilan klinis klasik perdarahan
dexketopropen 200 mg /24 jam, nikardipin dan intraserebral adalah onset yang cepat dari defisit
nemodipin pump. Delapan jam pascaoperasi neurologis vokal terjadi dalam beberapa menit
dicek CT scan. Hasil CT scan pascaoperasi: sampai beberapa jam yang disertai nyeri kepala,
1. Defect tulang temporo pariental kiri bekas mual, muntah, dan penurunan kesadaran serta
trepanasi disetai EDH tipis di bawahnya. naiknya tekanan darah.1,2,4,6 Diagnosa dapat
2. Residual ICH temporo pariental saat ini 6, 34 ditegakkan dengan pemeriksaan CT scan kepala
x 4,39 x 2,26 cm (Volume berkurang 31 ml) atau MRI kepala untuk membedakan stroke
perdarahan atau iskemi dan untuk membedakan
Hari pertama pasca operasi kondisi umum
baik, tanda-tanda vital hemodinamik stabil baik
tekanan sistolik berkisar 130–140 mmHg, N: 70x/
mt, SpO2 97–100%, suhu 36,70, CVP 8 mmHg.
Produksi urin cukup, dan laboratorium baik.
Laboratorium: Hb: 11,3 gr/dl, Ht :
43,6%, Thr: 218000/μl, GDS: 152 mg/
dl, Bun 28,2 mg/dl, Sc 0,98 mg/dl.
Elektrolit Na 136 mmol/l, K 3,8 mmol/l Faal
hemostasis dalam batas normal.
Ph 7,39, PaCO2 39,6, PaO2 185, HCO3 28,2, Be
2,1, Sa O2 98,6, Aa DO2 124,2. Pelumpuh otot di
stop setelah CT scan. Penderita mulai di weaning. Gambar 5. Tempat Sumber Perdarahan4
Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena 39
Stroke Perdarahan dan Luarannya

Gambar Tabel 2 skor ICH


Component Points Total Points 30 Day Mortality (%)
Glasgow Coma Scale score
3–4 2 5+ 100
5–12 1
13–15 0 4 97
ICH volume (ml)
≥30 1 3 72
<30 0
Intraventoricural hemorrhage
Yes 1 2 26
No 0 1 13
Age (Years)
≥80 1 0 0
<80 0
Infratentorial origin
yes 1
No 0

adanya lesi di SSP. Untuk membantu cepat dan sedangkan kejang sering terjadi pada perdarahan
tepatnya diagnosa stroke dapat digunakan skala lobar dan menunjukkan perluasan perdarahan
ROSIER. Nilai skala ROSIER berkisar antara 2 pada kortek serebri. Sedangkan pada perdarahan
sampai +5, pasien dengan skala > 0 menunjukkan yang besar yang akan menyebabkan naiknya
stroke.4 tekanan intrakranial, penurunan kesadaran
Banyak faktor dapat menyebabkan perdarahan merupakan gejala yang sering terjadi. Defisit
intraserebral. Pada dasarnya ada dua faktor neurologi fokal yang timbul berhubungan
penyebabnya yaitu faktor yang bisa diubah dan dengan lokasi yang spesifik dari perdarahan
tidak bisa diubah. Faktor yang bisa diubah yaitu tersebut. Perdarahan ini menurut tipenya terdiri
faktor seperti hipertensi dan cerebral amyloid dari perdarahan serebral yang dalam, perdarahan
angiopathy, merokok, serta konsumsi alkohol. lobar, perdarahan brainstem dan cerebellum.
Sedang faktor yang tidak bisa diubah adalah Deep cerebral atau perdarahan serebral yang
jenis kelamin, umur, dan etnik. Perdarahan dalam ini adalah perdarahan yang paling sering
primer ini paling banyak disebabkan karena terjadi, yaitu antara 36–69%. Gejala yang
hipertensi. Hipertensi ini menyebabkan tekanan timbul adalah hemiparese, defisit hemi sensoris,
yang tinggi pada sirkulus willisi sehingga gaze paresis dan atau penurunan kesadaran.
terjadi proliferasi diikuti kematian sel otot Perdarahan lobar merupakan perdarahan kedua
polos. Hal ini menjelaskan mengapa perdarahan terbanyak. Defisit neurologi yang timbul
intraserebral karena hipertensi sering terjadi berhubungan dengan lobus yang spesifik terkena
pada lokasi yang dalam pada basal ganglia dan perdarahan dan ada gejala latelarisasi. Perdarahan
thalamus. Lokasi lain yang cukup sering adalah di daerah brainstem dan cerebelum paling jarang
lobar, sedangkan di cerebelum dan brainsteam terjadi yaitu antara 4–9% dan 7–11%. Gambaran
lebih jarang. Presentasi klinik dari perdarahan kliniknya merupakan kombinasi dari defisit
intraserebral primer tergantung dari besar dan neurologi saraf kranial, dysatria, ataxia dan atau
lokasi perdarahanya. Nyeri kepala merupakan penurunan kesadaran. Perdarahan di ventrikel
keluhan yang paling sering dikeluhkan, dan hidrosefalus juga bisa terjadi. Perdarahan
40 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

yang terjadi di ventrikel ini akan memperburuk Sedangkan pemberian cairan dekstrose juga
luaran dan meningkatkan kematian. Besarnya akan menyebabkan hiperglikemi. Kebutuhan
volume perdarahan ini juga berhubungan cairan yang diperlukan adalah 1 ml/kg/jam.
dengan memburuknya luaran secara progresif. Kondisi euvolemi ditandai dengan produksi
Sedangkan adanya hidrosefalus menambah faktor urin >0,5ml/kg/jam. Pada pasien dengan
independen meningkatnya mortalitas.1-7 pemasangan CVP, CVP dipertahankan 5–8
Diagnosa dari perdarahan intra serebral mmHg dengan memperhatikan penggunaan
dilakukan dengan memeriksa tanda kliniknya ventilator. Cairan NaCl hipertonik seperti
dan pemeriksaan neuro imaging. Pemeriksaan NaCl 3% diperlukan untuk mengatasi kondisi
ini berdasarkan waktu kejadiannya dapat dibagi hipoosmolaritas yang berat (<280mosm/l), dan
5 fase: pasien dengan edema perihematom serta efek
1. Fase hyper akut (<12 jam ) masa setelah pendarahan intraserebral. Dengan
2. Akut (12–24 jam) resusitasi cairan ini kondisi hiperosmolar
3. Sub akut awal ( 2–7 hari) (300–320mosm/l) dan kondisi hipernatremi
4. Sub akut akhir (8–1 bulan) (150–155 mEq/l) dapat dicapai potensial
sehingga dapat mengurangi edema seluler dan
Non kontras CT merupakan standar pertama TIK. Komplikasi yang harus diperhatikan adalah
pemeriksaan dengan sensitivitas 100%. CT dapat ensefalopati, subdural hematoma, koagulopati,
memperkirakan waktu lamanya perdarahan serta overload cairan, hipokalemi, edema paru, aritmi
volume perdarahan. Volume perdarahan ini jantung, hiperkloremi, serta asidosis metabolik.
merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu pemberian salin hipertonis
CT scan dapat dengan cepat mengevaluasi diturunkan secara bertahap dan kadar serum
ukuran, lokasi, serta adanya perluasan perdarahan sodium tidak boleh turun lebih dari 12mEq/l
pada sistem ventrikel, terjadinya hidrosefalus, dalam 24 jam karena penurunan yang cepat
berat ringannya edema dan kerusakan anatomis akan menyebabkan rebound dari edema serebral
yang terjadi. Volume perdarahan bisa dihitung yang akan meningkatkan TIK dan atau sindroma
berdasar formulasi penghitungan volume dari herniasi. Pemantauan dari pemberian cairan
elip dengan mengukur diameter dari elip dan dan kondisi tekanan darah dilakukan dengan
slice dari CT-scan. Volume = A x B xC/2.1,3,6,8 pemasangan CVC, arteri line, monitor kateter
MRI juga sering dilakukan untuk mengetahui arteri pulmonal, foto thorak, ekokardiografi,
adanya perdarahan ini. Dikatakan MRI dan CT pemeriksaan hematologi, profil koagulasi, dan
dapat membedakan antara stroke perdarahan dan biokimia darah.1,2,5,6,9,10
stroke iskemi pada fase akut dengan sensitifitas
yang sama, tetapi pada perdarahan kronik MRI Dengan meningkatnya harapan hidup pada
lebih baik. Sedangkan untuk mengetahui resiko umumnya, peningkatan usia akan menambah
perluasan hematoma dan penyebab perdarahan penggunaan obat-obat antiplatelet seperti aspirin
bisa dilakukan dengan CT kontras atau CT yang diberikan dalam jangka lama. Aspirin
angiografi. Hal ini dilakukan pada perdarahan dikatakan meningkatkan resiko perdarahan
intraserebral sekunder untuk mengetahui faktor intraserebral yaitu 12 kejadian per 10.000 orang.
struktural lesi seperti AVM dan tumor.1,3,5,6,8 Resiko aspirin dengan dosis tinggi ini sangat besar
Pemberian cairan pada pendarahan intraserebral pada pasien tua dengan hipertensi yang tidak
adalah dengan target euvolemi dan iso osmoler. terkontrol. Disamping antiplatelet, pemakaian
Cairan yang dipergunakan adalah cairan isotonic antikoagulasi seperti warfarin menimbulkan
seperti NaCl 0,9%. Cairan seperti saline 0,45%, komplikasi perdarahan intraserebral yang serius.
atau D5% cairan dalam air tidak dipergunakan INR>3 selain berhubungan dengan volume
karena cairan tersebut akan memperberat edema hematom yang terjadi pada awal waktu, juga
dan memperberat TIK. Hal ini disebabkan berhubungan dengan bertambahnya hematom
karena cairan akan berpindah ke jaringan otak dan memperburuk kondisi neurologis dalam
yang cedera karena perbedaan osmolaritas. 24–48 jam. Pada kondisi ini pemberian reversal
Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena 41
Stroke Perdarahan dan Luarannya

FFP, vitamin K, atau protrombin complex evakuasi hematom menunjukkan penurunan


consentrat (pccs) dapat dilakukan dengan target resiko kematian tetapi tidak memperbaiki luaran
INR <1,4. Pemberian FFP harus hati-hati karena fungsional. Studi yang dilakukan The Surgical
aksi durasi yang pendek dan volume pemberian Trial in Intra Cerebral Hemorrhage mendapatkan
yang besar dapat menyebabkan kelebihan kraniotomi untuk evakuasi hematom dalam
cairan intravaskuler dan gagal jantung.1,3,5,6 waktu 72 jam tidak menghasilkan luaran yang
Hiperglikemi yang disebabkan respon stress akan baik dibanding dengan pengelolaan medis bukan
memperburuk luaran, sedangkan hipoglikemi pembedahan. Pada sub grup dalam penelitian ini
juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. pasien-pasien dengan hematom yang superfisial
Oleh karena itu perlu diatur target kontrol gula dan tidak ada IVH menunjukkan luaran yang
darah antara 100–150mg/dl. Demam juga sering lebih baik dengan dilakukan pengelolaan
terjadi pada perdarahan intraserebral terutama bedah. Sebaliknya pasien dengan perdarahan
dengan IVH. Ini harus segera diterapi, karena infratentorial serebral dengan diameter lebih dari
hipertermi akan menyebabkan eksaserbasi cedera 3cm dan terjadi penurunan kesadaran yang cepat
otak, iskemi, edema serebri, dan kenaikan TIK. dalam waktu 24 jam mendapatkan hasil yang
Pemberian asetaminofen dan penurunan suhu lebih baik dengan evakuasi pembedahan. Hal ini
dengan blangket direkomendasikan dilakukan terjadi karena pembedahan pada awal kejadian
pada pasien dengan suhu lebih dari 38,5˚C.1,3,5,6,10 akan mencegah resiko terjadinya penekanan pada
Pemberian obat anti konvulsi sebagai profilaksis batang otak dan mencegah terjadinya hidrosefalus
masih kontroversi, tetapi sekitar 8% pasien karena obstruksi.
mengalami kejang klinik dalam 30 hari kejadian
dan monitor dengan EEG menunjukkan lebih Penelitian sekarang difokuskan pada kombinasi
dari 25% mengalami kejang sub klinik. Kejang tindakan bedah invasif yang minimal dan
ini lebih banyak terjadi pada hematoma lobar, tindakan lisis dari bekuan darah dengan r–tPa
karena itu pemberian profilaksis sangat selektif untuk mengevakuasi perdarahan. Laporan yang
diberikan terutama pada hematoma lobar. dibuat oleh Teernstra et al 2003; Barret et al 2005;
Penelitian lain juga menunjukkan resiko kejang Vespa et al 2005 menyatakan bahwa aspirasi
yang terjadi lama kemudian dan epilepsi pada secara stereotaktik dan thrombolisis perdarahan
penderita yang selamat masih sekitar 5–27%. intraserebral efektif dan aman dilakukan untuk
Obat untuk mengatasi kejang adalah lorazepam mengurangi volume perdarahan. Waktu yang
0,05-0,1mg/kg diikuti dengan loading dose tepat untuk melakukan tindakan juga masih
phenitoin atau fosphenytoin (20mg/kg).1,4,5,6 kontroversi. Dilakukan segera pada pada awal
Deep vein thrombosis dan emboli pulmoner onset atau lebih lama dari onset. Pada umumnya
yang merupakan komplikasi yang potensial dilakukan operasi dalam waktu 4 jam – 96 jam
dapat terjadi bisa dicegah dengan pemakaian dari onset, karena tindakan pembedahan pada
stoking kompresi. Dapat pula diberikan heparin waktu awal akan beresiko rebleeding. AHA/
5000 unit yang dimulai pada hari kedua tanpa ASA merekomendasikan pada kebanyakan
meningkatkan pendarahan.1,5,6 Pemberian nutrisi pasien dengan perdarahan intraserebral tindakan
enteral diberikan dalam waktu 48 jam untuk dibidang bedah tidak dilakukan kecuali :
mencegah katabolisme protein dan malnutrisi.1,6 1. Pasien dengan perdarahan intraserebral
dengan perubahan neurologis yang
Pengelolaan Surgikal memburuk atau ada kompresi batang otak dan
Sejak tahun 1960 banyak trial di bidang bedah atau dengan hidrosefalus karena obstruksi
dalam mengelola pasien dengan perdarahan ventrikel.
intraserebral. Tetapi sampai sekarang masih belum 2. Pasien dengan hematom pada lobar >30ml
dicapai kesepakatan yang bulat dalam periode dan kedalaman 1cm dari permukaan,
perioperatif ini. Trial awal pada pasien dengan evakuasi perdarahan supratentorial dilakukan
tingkat penurunan kesadaran yang sedang, yang dengan standar kraniotomi.1,3,5,6,9,10
dilakukan prosedur pembedahan awal untuk Pengelolaan anestesi untuk pasien dengan
42 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hematom serebral adalah dengan tujuan seperti labetolol. Dalam hal ini monitoring
mengontrol TIK dan mencegah bertambahnya kanulasi arteri akan sangat membantu.11,12 Untuk
edema otak, mengatur tekanan darah yang menurunkan TIK dan mencegah terjadinya edema
adekuat untuk mendapatkan CPP yang adekuat serebri dilakukan dengan pemberian cairan
dan mengurangi perdarahan serta edema manitol dengan dosis 0,25mg/kg–1 mg/kg untuk
yang terjadi. Jalan nafas bebas setiap waktu mendapatkan osmolaritas maksimum 320 mOsm/
dan oksigenasi dengan oksigen 100% disertai kg. Cairan rumatan yang diberikan adalah dengan
hiperventilasi, serta posisi head up 30˚ dengan target isoosmoler, evoulemi, normoglikemi.13
jugular flow yang bebas. Pasien dengan hematom Pengakhiran anestesi dilakukan dengan slow
intraserebral akut sering disertai hemodinamik weaning dan delayed extubation di neuro
yang tidak stabil (hipertensi, hipovolemia). intensive unit dengan monitoring dan pemberian
Pada waktu induksi anestesi harus cukup dalam terapi berikutnya.11
untuk mencegah batuk atau hipertensi arterial. Prognosa pada pasien dengan pendarahan
Thiopental 3–5mg/kg atau propofol 2–4 mg/ intraserebral ditentukan dengan Skor ICH dan
kg dan pemberian sulfentanil atau ramifentanyl skor Func. Karena skor ICH tidak bisa menilai
baik untuk induksi pasien yang euvolemi. Obat luaran fungsional kualitas hidup setelah stroke
ini menurunkan CBF dan menurunkan TIK serta maka banyak dipakai GOS yang mempunyai
dapat mempertahankan CPP. Rapid Sequence 5 tingkat yaitu: grade 5 good recovery, grade 4
Induction dilakukan dengan succinyl choline moderate disability, grade 3 severe disability,
relaksan otot golongan depolarisasi. untuk grade 2 vegetative state dan grade 1 death. Untuk
mengurangi naiknya ICP bisa diberikan bersama mendapatkan nilai luaran yang lebih teliti dipakai
dosis kecil golongan non depolarisasi. penilaian dengan GOSE dengan grade 1death-
grade 8 upper good recovery. Pada pasien ini
Induksi pada umumnya juga dilakukan dengan setelah 6 bulan nilai GOSEnya adalah skala 7
rocuronium. Lidokain dengan dosis 1,5 mg/kg lower good recovery. Fungsi motorik pasien yang
dapat diberikan untuk menurunkan ICP pada waktu hemiparese meningkat menjadi 5–5. Pemberian
laringoskopi. Pilihan utama untuk pemeliharaan nimodipin dan nikardipin secara bersama sama
anestesi pada pasien intraserebral hematom adalah pada periode pascaoperasi yang menyebabkan
obat-obat yang meningkatkan CVR, menurunkan tekanan darah yang turun kurang dari 140 mmHg
CBF serta menurunkan CMR. Obat-obat TIVA bisa mempengaruhi luaran yang tidak optimal.
seperti thiopental, propofol merupakan obat
yang sering dipergunakan. Sedang obat anestesi II. Simpulan
inhalasi seperti sevofluran pada kosentrasi kurang
dari 1 MAC dapat menurunkan CBF. Hipotensi Dilaporkan pengelolaan peri operatif laki-
arterial pada pemberian anastesi intravena dan laki 69 Th dengan pendarahan intra serebral
opioid harus dicegah untuk menghindari iskemi yang dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi
karena menurunnya CPP. Menurunnya CPP ini pendarahan dengan luaran GOS moderate
akan menyebabkan reflek vasodilatasi serebral disability, dengan GOSE setelah 6 bulan grade 7
yang mengakibatkan naiknya TIK. Kontrol lower good recovery. Pengelolaan peri operasi
hipertensi arterial ini harus dilakukan secara adalah dengan mengelola ICP, mempertahankan
hati-hati karena harus balans dengan CPP yang CPP yang adekuat, mencegah bertambahnya
adekuat untuk area otak yang iskemia. TCD dapat hematom dan edema, dan mengelola tekanan
memonitor perfusi serebral dan dapat membantu darah yang adekuat. Masih ada kontroversi dalam
menentukan tekanan darah yang optimal. SJVO2 menetapkan waktu dan tindakan pembedahan
dapat membantu monitoring CPP secara global. yang dilakukan. Pemberian nimodipin dan
Apabila diperlukan untuk menurunkan hipertensi nicardipin secara bersanma sama kemungkinan
arterial maka dapat diatur pemberian analgesik dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
opioidnya diikuti pengaturan propofol, serta yang dapat mempengaruhi luaran.
bila diperlukan pemberian obat anti hipertensi
Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena 43
Stroke Perdarahan dan Luarannya

Daftar Pustaka 9. Morgenstern LB, Hemphill JC, Anderson


C, Becker K, Broderick JL, Conolly Jr ES,
1. Chad WW, Hasan & Ahmed, Gregory Greenberg SM et al. Guidelines for the
Z. Intracerebral hemorrhage: evidence- Management of Spontaneous Intracerebral
based medicine, diagnosis, treatment, and Hemorrhage. A Guidelines for Health Care
complications. Dalam: Josephia L, Andrea G, Professionals from the American Heart
William FA,eds. Textbook of Neuro Intensive Association/American Stroke Association.
Care. Second Edition. London: Springer- Stroke. 2010,41:2108–2129
verlag 2013, 565–77
10. Alexander MD, Barbara GA. Surgery for
2. Shani R, Jesse W. Review: management of intracerrebral hemorrhage. Dalam: Mohr JD,
intracerebral hemorrhage. Vascular Health Philip WA, James GC, Michael MA, Mare MR,
and Risk Management 2007:3(5): 701–9 von Rudiger K,eds. Stroke Pathophysiology,
Diagnosis, and Management. 5th edition.
3. Karlos KS, Steven GM, Mohr PJ, Lois CR. Saunders 2011, 1336–48
Intracerebral hemorrhage. Dalam: Mohr JP,
Philip WA, James GC, Michael MA, Mare 11. Nicolas B, Patrick RA. Supratentorial
MR, von Rudiger K. Stroke Pathophysiology, masses: anesthetic consideration. Dalam:
Diagnosis, and Management. 5th Edition. By Cottrel JE, Young WL. Cottrell and Young’s
Saunders 2011, 531–88. Neuroanesthesia, 5th edition. Philladelphia
Mosby; 2010, 184–202
4. Fabia M, Stephanie B, Jason M. Clinical
Review: Intracerebral hemorrhage: 12. Michael PV, Ricky SB. Emergency
pathophysiology, diagnosis and management. craniotomy. Dalam: Paul MB, Soriano
Mc Master University. 2013; (10): 1 GS, Todd BS, eds. A Practical Aproach to
Neuroanesthesia. Philladelphia: Lippincot
5. Elliot J, Smith M. The acute management of William and Wilkins; 2013, 22–3
intracerebral hemorrhage: a review article.
Anesth Analg. 2010;110(5):1419–27. 13. Conceciozone T, Valentina P. Fluid
managemental procedures. Dalam: Mongan
6. Moussa YF, Fred R, Stephan MA. D Paul, Soriano G Sulpicio, Sloan B Todd.
Intracerebral hemorrhage. Dalam: Lee K,ed. eds. Apractical Aproach to Neuro anesthesia.
The Neuro ICU Book. New York: McGraw- Philladelphia: Lippincot William and
Hill; 2012: 35–51. Willkins; 2013, 22–36

7. Joseph V, Paul ME. Review: perioperative 14. Tatjawa R, Sacco RL. Prognosis after stroke,
hypertension management. Vascular Helath Dalam: Mohr JD, Philip WA, James GC,
and Risk Management. 2008. 4(3) 612–27 Michael MA, Mare MR, von Rudiger K.
Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and
8. Lewis MB, Zahuranec DB. Medical Management. 5th edition. Saunders 2011,
therapy of intracerebral and intraventricular 219–241.
hemorrhage. Dalam: Mohr JD, Philip
WA, James GC, Michael MA, Mare MR,
von Rudiger K. Stroke Pathophysiology,
Diagnosis, and Management. 5th ed.
Saunders 2011, 110–115
Penatalaksanaan Anestesi pada Ruptur Aneurisma

Riyadh Firdaus*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***)


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, **)Departemen Anestesiologi &
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi
& Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Abstrak

Ruptur aneurisma adalah salah satu kejadian vaskular yang devastated dengan tingginya angka mortalitas. Namun
dengan penanganan yang cepat dan tepat maka angka kematiannya hanya mencapai 10%, dan morbiditasnya ringan.
Selain dari efek pecahnya pembuluh darah, banyak komplikasi lain yang perlu diperhatikan seperti perdarahan
ulang, vasospasme, hidrosefalus, gangguan elektrolit sampai gangguan respirasi. Dilaporkan pasien perempuan 47
tahun dengan sakit kepala, mual dan muntah yang memberat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
seperti ini sudah dirasakan 7 tahun sebelumnya, dan didiagnosa sebagai ruptur aneurisma spontan, sekarang tanpa
gejala sisa. Pada pemeriksaan fisik, pasien sadar penuh dengan kaku kuduk, tanpa tanda neurologis fokal. Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan terdapat vasospasme pada a. Karotis Interna setinggi segmen suprasinoid, serta
perdarahan tipis intraventrikel dan ventrikulomegali. Pasien direncanakan untuk dilakukan clipping aneurisma
dalam anastesi umum. Pasien kemudian di rawat di ruang perawatan intensif dengan target penyapihan cepat
dan ekstubasi. Tantangan dalam proses anestesi kasus aneurisma adalah mempertahankan antara tekanan dalam
aneurisma dan cerebral perfusion preassure (CPP), proteksi otak pada periode iskemi, serta menyediakan
lapang operasi seluas mungkin. Pasca-operasi harus diperhatikan tanda tanda komplikasi berupa iskemia.

Kata kunci: ruptur aneurisma, anestesi, clipping, vasospasme

JNI 2016;5(1): 44–56

Anesthetic Management in Patient with Rupture Intracranial Aneursym

Abstract

Aneurysm rupture is a devastated vascular injury with high mortality rate. But in expert hands, it has lower
mortality only about 10%. Aneurysm has other complication such as rebleeding, vasospasm, hydrocephalus, and
electrolyte also cardio-pulmonary disturbance. The patient is 47 years old women with progressive headache,
nausea and vomiting since 2 weeks before admission. She already experienced the same symptoms at 7 years ago,
and was been diagnosed with spontaneous rupture aneurysm. She is fully alert, only with nunchal rigidity and no
neurologic deficit. There were vasospasm at A.Carotis Interna as high as supracinoid segment and intraventricular
hemorrhage from CT dan CT-Angiography. Patient went to clipping procedure under general anesthesia. Post-
operatively patient was admitted to intensive care unit with fast liberation of ventilator and extubation. Anesthetical
challenge of rupture aneurysm are to maintain aneurysm pressure and cerebral perfusion rate, brain protection, and
provide enough space for surgery. Post-op monitoring should include routine neurological examination to early
detect ischemia.

Key words: aneursym rupture, anaesthesia, clipping, vasospasme

JNI 2016;5(1): 44–56

44
Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma 45

I. Pendahuluan Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Sakit berat
Insiden aneurisma pada populasi diperkirakan
sekitar 2–5% pada populasi normal dan perdarahan Kesadaran : Compos mentis
subaraknoid terjadi pada 8-10 orang dari 100.000 (E4V6M5)
populasi normal. Di Amerika Serikat angka Tanda vital : 130/80 mmHg,
kejadinnya mencapai 30.000 kasus tiap tahunnya. Nadi : 75x/menit
Kejadian aneurisma paling sering terjadi pada Nafas : 16x/menit
dekade keempat, lima dan enam. Angka kejadian SpO2 : 99% (Udara bebas)
pada perempuan lebih sering dibandingkan laki-
Suhu : 36.80C
laki, sebagian literatur menyatakan dua kali lipat
atau bahkan lebih.1 Lokasi tersering aneurisma Berat badan : 50kg
adalah pada arteri karotis interna. Mata : Konjugtiva anemis, tidak
ikterik, pupil isokor
Data di Amerika menunjukkan 28.000 kasus Thorax : Bunyi jantung I-II
ruptur aneurisma setiap tahunnya, dan 19.000 normal, tidak ada murmur
diantaranya akan meninggal atau memiliki dan gallop. Vesikular +/+,
disabilitas. Saat aneurisma menyebabkan maka ronkhi –/–, mengi –/–
akan terjadi subarachnoid hemorrhage. Apabila Abdomen : Datar, lemas, Bising usus
terjadi ruptur maka angka kematian 30 hari pasien (+) normal
dengan aneurisma mencapai 30–40%, bahkan
Neurologis : Kaku kuduk (+), tanpa
10–15% diantaranya meninggal sebelum sampai
kelemahan ektremitas
ke rumah sakit. Manajemen anestesi pada pasien
aneurisma dengan subarachnoid hemorrhage Foto rontgen toraks: tidak tampak kelainan
(SAH) cukup sulit karena membutuhkan tindakan radiologis pada jantung dan paru, tampak
yang cepat, dengan patologi yang kompleks serta infiltrat pada lapang tengah paru kiri dan kedua
beragam gambaran manifestasi intrakranial dan parakardial. EKG: Ritme sinus, laju QRS 74 x/
sistemik. Selain itu pasien sering membutuhkan menit, tidak terdapat gelombang EKG yang
perawatan khusus. Manajemen perioperatif yang abnormal, tidak ada tanda pembesaran ventrikel
baik dapat tercapai dengan pemahaman mengenai kanan atau kiri, tidak ada bundle branch block.
patofisiologi dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
Pemeriksaan laboratorium
II. Kasus Hb 9,4 gr/dl Ur 13 mg/dl
Hct 27,6 % Cr 0.5mg/dl
Anamnesis Leukosit 9070 sel/ SGOT 13 U/L
Pasien perempuan 47 tahun, datang dengan mm3
keluhan nyeri kepala hebat, disertai mual dan Trombosit 157.000 SGPT 9 unit U/L
muntah, tanpa penurunan kesadaran sejak 2 sel/mm3
minggu sebelum datang ke rumah sakit. Keluhan PT 1 1 . 9 Na/K 144/3.79
seperti ini sudah pernah dialami sebelumnya (10,3) mEq/l
sekitar 7 tahun yang lalu, dikatakan sebagai detik
ruptur spontan aneurisma pertama. Pasien sempat
ApTT 3 6 . 5 Cl 1 0 6 . 1
dirawat di ruang perawatan intensif namun
(34.3) mEq/l
sekarang tanpa gejala sisa. Riwayat hipertensi
detik
sejak 7 tahun lalu. Riwayat penyakit jantung,
paru, nyeri dada, sesak napas, pingsan maupun Fibrinogen 294 mg/ GDS 125 mg/dl
kejang disangkal. dl
D.Dimer 36,5 Albumin 2.78 gr/l
46 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Echo : Pembesaran ventrikel kiri konsentrik,


global normokinetik, fungsi sistolik ventrikel
kanan dan kiri baik, gangguan diastolik ringan,
fraksi ejeksi 73%, katup-katup baik, tidak ada
efusi. CT scan kepala kontras (26 Mei 2015):
Perdarahan subarachnoid tipis dengan perdarahan
intraventrikel dan ventrikulomegali.

CT scan angiografi (26 Mei 2015): Aneurisma


sakuler pada karotis interna komunikans
posterior kanan dengan diameter leher 0,3 cm dan
tinggi puncak 0,4 cm. Spasme a.carotid interna
kanan setinggi segmen supracinoid. Berdasarkan Gambar 1. CT-Scan dengan Kontras
data-data di atas, pasien di diagnosis dengan
aneurisma sakular arteri komunikans posterior
kanan, dengan status fisik ditetapkan sebagai Posisi pasien supine dengan kepala menoleh
ASA II dengan peningkatan tekanan intrakranial ke kiri 45 derajat, serta ditambahkan anestesi
(TIK) kronis (riwayat mual, muntah, sakit kepala infiltrasi semikoronal sesuai dengan insisinya.
hebat 2 minggu yang lalu), hipertensi derajat 2 Intraoperatif diperiksakan analisa gas darah
(TD 130/80 mmHg, terapi nimotop drip titrasi), dengan hasil Ph 7.5; PCO2 29.6 mmHg; PO2
hipoalbumiinemia 2.78, anemia (Hb:9,4 g/dl). 153mmHg; HCO3 23.5mEq/l; base excess
1.6mEq/l; saturasi oksigen: 99.5% dengan
Intraoperatif Na 129mEq/l, K 4.34 mEq/l dan Cl 98mEq/l
Pasien didorong ke ruang operasi, dipasang Pemantauan dilakukan dengan nilai ETCO2
monitor SpO2, EKG,tekanan darah non invasif, didapatkan rata-rata menunjukkan 23–25mmHg.
dan jalur intravena. Didapatkan tekanan darah Laju napas dinaikkan pada saat ETCO2 naik.
160/100 mmHg, laju nadi 90 x/menit, SpO2
100%, dan laju napas 18 x/menit. Sesaat sebelum dilakukan pemasangan clipping
Pasien mendapatkan pembiusan dengan anestesia aneurisma dengan curved clip operator minta
umum intravena dengan premedikasi midazolam tekanan darah sistolik berkisar 70mmHg, maka
2 mg (IV) dan ranitidine 50 mg (IV) di ruang nicardipine dinaikan hingga 10 mg/jam dan
operasi sesaat sebelum mulai induksi. Selanjutnya tekanan darah menjadi 72/45 mmHg. Setelah
pada pasien diberikan fentanyl 250 μg (IV). clipping terpasang titrasi nicardipine diturunkan
Tekanan darah 100/70 mmHg dan dilanjutkan hingga stop. Tekanan darah akhir menjadi
dengan induksi dengan propofol 80 mg (IV) serta 110/70mmHg.
vecuronium 7 mg (IV). Tekanan darah 88/62 Perdarahan total 250 cc, lama operasi 7 jam, lama
mmHg, dan setelah pasien dipastikan tidur dalam pembiusan 9 jam, cairan masuk 2500cc (500cc
dilakukan intubasi dengan ETT nonkingking no koloid dan 2000 kristaloid), CVP antara 6–8 cm
7 dengan fiksasi 20 cm diujung bibir. Setting H2O, produksi urin per 9 jam adalah 2500cc.
ventilator dengan mode volume control 400cc, Analgetik postoperatif yang diberikan,adalah
laju pernafasan 14x, fraksi oksigen 40% dengan Paracetamol 1 g (IV) tramadol 100 mg (IV), dan
PEEP 5cmH20. Dilakukan pemasangan kateter antiemetic tropisetron 5mg (IV).
vena sentral (CVC) pada v. subclavia kanan dan
arterial blood preassure (ABP) pada a.ulnaris Pasca-operasi (Recovery room)
kanan. Untuk pemeliharaan diberikan propofol Pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif
drip 9 mg/jam, vecuronium 3 mg/jam, fentanyl masih dalam keadaan terintubasi. Sesampainya di
150 mcg/jam, dengan gas sevoflurane 1 vol %, ruang perawatan intensif hemodinamik stabil TD
serta nicardipine drip titrasi dengan melihat tensi. 130/80 mmHg, nadi 78x/menit, RR 14x/menit
Manitol diberikan 4 jam intraoperasi. (dalam ventilator volume controle 400cc, RR
Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma 47

14x, FiO2 45%, PEEP 5cmH2O), SpO2 99%, suhu adalah usia tua (70–79tahun). Keluhan sakit
36,5. Pasien dilakukan observasi hemodinamik kepala kemungkinan besar disebabkan oleh
dan serta pemeriksaan lab dan foto polos toraks. ruptur aneurisma dan terbukti dari hasil CT-Scan
Target perawatan weaning cepat dan ekstubasi. dimana ditemukan perdarahan subaraknoid dan
intraventrikular tipis. Aneurisma simptomatik
III. Pembahasan biasanya tidak bergejala dan tidak terdeteksi
sampai terjadinya ruptur. Pada saat aneurisma
Aneurisma
Aneurisma didefinisikan sebagai kelemahan pada Tabel 1. Klasifikikasi Hunt dan Hess
dinding pembuluh darah yang menyebabkan Grade Deskripsi Klinis
dilatasi dinding arteri. Sering juga disebut I Asimptomatik, sakit kepala ringan,
sebagai balloning dari pembuluh darah. Proses kaku kuduk
ini berjalan perlahan disebabkan terutama karena II Sakit kepala sedang-berat, tanpa
tekanan aliran darah yang konstan. Dinding kelainan neurologis selain dari nervus
tersebut akan menjadi semakin besar dan semakin kranial
lemah sehingga meningkatkan kemungkinan
III Penurunan kesadaran, dengan defisit
ruptur.4 Munculnya aneurisma dikaitkan dengan
neurologi ringan
beberapa faktor risiko seperti usia diatas 50 tahun,
perempuan, perokok aktif, penggunaan kokain, IV Stupor, hemiparesis sedang-berat,
infeksi dinding pembuluh darah, trauma kepala, decerebrasi, dan gangguan vegatasi
hipertensi, alkohol, penggunaan kontrasepsi oral V Koma, deserebarsi, dan tampakan
serta hiperkolesterolemia. Selain itu diperkirakan moribund
tinggi juga pengaruh genetik. Pada pasien faktor Dikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorgahage
and the anaesthesiologist
risikonya antara lain adalah adanya hipertensi
dan jenis kelamin perempuan. Sedangkan faktor
risiko untuk ruptur pada pasien adalah jenis ruptur akan terjadi perdarahan subaraknoid,
kelamin wanita, dan aneurisma pada sirkulasi dengan manifestasi sakit kepala hebat, yang
posterior. Tidak semua aneurisma pada otak dikaitkan dengan kehilangan kesadaran, mual,
sama. muntah, defisit neurologis fokal dan meningismus.
Aneurisma dibedakan berdasarkan beberapa Namun gejala klasik ini hanya terjadi 58%
kriteria yaitu berdasarkan ukuran, bentuk dan pasien.5 Sisanya memiliki gejala yang lebih
lokasi. Berdasarkan ukuran aneurisma dibagi ringan yang disebabkan adanya kebocoran pada
kedalam 3 kelompok yaitu kecil (kurang dari aneurisma sebelum terjadinya ruptur sempurna.
5mm), sedang (6–15 mm), besar (16–25mm)
dan besar (lebih dari 25 mm). Aneurisma dapat Setelah aneurisma pecah, terdapat 3 variabel
berbentuk sakular dengan leher sempit, sakular yang menentukan hasil akhir yaitu (1) kondisi
dengan leher lebar dan fusiform (berbentuk neurologis pasien dalam hal ini tingkat kesadaran,
seperti spindle tanpa memiliki leher). European (2) Usia dan (3) Jumlah perdarahan pada CT-
Stroke Organization membagi aneurisma ke
dalam 2 kelompok yaitu aneurisma intakranial Tabel 2. Klasifikasi WFNS
ruptur/simptomatik dan aneurisma intrakranial Grade GCS Defisit Motorik
tidak ruptur/asimptomatik.
I 15 Tidak ada
Pada pasien didapatkan aneurisma sakuler pada II 13–14 Tidak ada
karotis interna kanan komunikans posterior III 13–14 Ada
(ICPC) kanan dengan diameter leher 0,3 cm dan IV 7–12 Ada/Tidak ada
tinggi puncak 0,4 cm sehingga masuk kedalam V 3–6 Ada/Tidak ada
katagori kecil. Lokasi ini merupakan lokasi yang Dikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid
cukup sering terjadi, dan faktor risiko utamanya haemorgahage and the anaesthesiologist
48 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Scan. Salah satu grading yang sering dipakai ditemukan perdarahan intraventrikular, yang
adalah milik Hunt dan Hess. Skala ini melihat artinya pasien memiliki resikorisiko tinggi
tingkat kesadaran (dibagi kedalam drowsinnes, untuk mengalami vasospasme. CT-Angiografi
stupor dan koma), sakit kepala (minimal, sedang, kemudian menunjukkan adanya spasme pada a.
berat), kaku kuduk, dan defisit neurologis fokal Karotis Interna.
(ringan, sedang, hemiparesis).7 Pemeriksaan ini
mudah dan masih sering digunakkan, namun Aneurisma pasca ruptur dapat ditatalaksana
karena banyak indikator yang tidak objektif, dengan operasi (clipping) atau endovascular
maka penilaian ini tidak menjadi pilihan utama. (coiling). Pilihannya tergantung dari usia, ko-
Asosiasi Stroke Eropa menyarankan penggunaan morbiditas, onset, dan anatomi dari aneurisma.
skor Prognossion Admission of Aneurysmal Clipping pada aneurisma yang belum ruptur
Subarachnoid Haemorrhage (PAASH) sebagai menyebabkan kematian hingga 1-3% sedangkan
penggantinya.7 PAASH mengklasifikasikan coiling hanya 1.1–1.5%. Namun penggunan
pasien kedalam 5 kelompok berdasarkan skala coiling tidak dapat digunakkan pada kasus kasus
koma Glaslow, (1) 12, (2) 11–14,(3) 8–10, aneurisma besar, dan aneurisma yang memiliki
(4) 4–7, (5) GCS 3. Dalam keadaan afasia leher lebar. Coiling telah terbukti aman dan dapat
maka skala koma Glaslow diperkirakan dari dijadikan alternatif dari clipping tradisional.
keadaan mata dan motorik. Didapatkan bahwa Namun masih banyak pihak yang berdebat
pasien dengan skor PAASH V maka memiliki mengenai pemilihan metode yang paling tepat.
kemungkinan 84 kali lebih besar untuk memiliki Hingga banyak pusat yang mengembalikan
hasil keluaran buruk. Alternatif lainnya adalah kepada pertimbangan klinis ahli bedah syaraf.9
skor World Federation of Neurosurgeon (WFNS) Penatalaksanaan ruptur aneurisma (Hunt dan
yang melibatkan dua komponen yaitu kesadaran Hess I–IV) lebih baik dilakukan dalam 72 jam
dengan GCS dan kemapuan motorik. Klasifikasi pasca-ruptur. Hal ini dikaitkan dengan penurunan
dapat dilihat pada Tabel 2. PAASH memiliki kemungkinan perdarahan ulang dan mengurangi
sedikit keunggulan dibandingkan WFNS. kemungkinan terjadinya spasme. Pilihan lainnya
adalah dengan terapi konservatif hingga terjadi
Pasien datang dengan keadaan composmentis perbaikan kondisi umum. Dahulu ini dipilih
sehingga berdasarkan skor PAASH kondisi terutama untuk pasien dengan Hunt dan Hess
ini masuk ke katagori 1. Kondisi yang sama derajat V, atau dengan kondisi awal yang buruk.
berdasarkan Hunt dan Hess masuk ke dalam Dianggap bahwa dengan menunggu maka edema
kelompok 2 karena didapatkan kondisi sakit serebri akan berkurang, vasospasme menurun,
berat, tanpa defisit neurologis fokal. Sampai di dan telah terjadi klot pada perdarahan. Namun
sini diperkirakan prognosis keluaran akhirnya karena edema otak bukan lagi menjadi suatu
pasien masih baik. Namun berdasarkan skala masalah dalam operasi dan anastesi, maka
Fisher, pasien masuk dalam grade 4 karena sekarang lebih dipilih terapi awal.9 Namun
sampai saat ini belum ada yang menentukan
kapan sebaiknya aneurisma di terapi. Salah satu
Tabel 3. Skala Fischer
studi menyatakan bahwa bila operasi dilakukan
Grade Temuan pada CT pada hari ke 0–3 maka angka kejadian perdarahan
1 Tidak ada perdarahan yang terdeteksi hanya 5.7% sedangkan apabila dilakukan pada
2 Lapisan tipis < 1mm hari ke-15 angka kejadinnya sampai 21.5%. Hal
3 Gumpalan, atau lapisan vertical > ini menyebabkan adanya tren untuk operasi.
1mm lebih dini. Studi lainnya menemukan bahwa
4 Intracerebral atua Intraventrikular risiko untuk terjadinya keluaran yang buruk
hemorage dengan atau tanpa paling tinggi saat terapi dilakukan setelah hari
subarachnoid haemorrhage ke-10. Studi lain menunjukkan hasil bahwa
Dikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorgahage keluaran operasi paling buruk terjadi pada hari
and the anaesthesiologist. ke-7 sampai 10 karena tingginya angka spasme
Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma 49

pembuluh darah. Ditemukan juga bahwa apabila 95% 0.72–0.92) dengan angka needed to treat
dilakukan terlalu dini dengan kondisi awal yang adalah 19 orang. Hasil keluaran yang baik ini
kurang baik, maka hasil keluaran juga tidak baik. diperkirakan karena nimodipine menurunkan
Pada kasus ini, pasien datang dengan pecah angka kejadi delayed cerebral ischemia (DCI).
aneurisma spontan, dengan ukuran yang relatif Terapi ini mulai diberikan saat pasien masuk dan
kecil. Namun ukuran yang terdeteksi saat ini diteruskan sampai 21 hari setelahnya. Pengobatan
adalah ukuran setelah ruptur sehingga tidak ini diberikan secara oral 60 mg setiap empat jam .
tertutup kemungkinan ukuran sebenarnya jauh Pemberian oral lebih disarankan karena memiliki
lebih besar. Pasien ditatalaksana dengan clipping efektifitas yang sama dengan penggunaan
tradisional segera. Hal ini dikarenakan keadaan intravena namun efek samping berupa hipotensi
pasien yang masih baik dan untuk mencegah reversibel lebih rendah. Apabila selama masa
komplikasi vasospasme lebih lanjut. Dengan pengobatan terjadi penurunan tekanan darah,
teknik clipping tradisional kemungkinan pasien maka administrasi nimodipine diberikan dengan
akan membutuhkan waktu operasi yang lebih dosis lebih rendah, namun lebih sering. Jika
lama sehingga perlu disiapkan obat-obatan hipotensi masih terjadi, maka penggunaannya
anestesia dalam jumlah lebih besar, dan waktu dapat dihentikan .
perawatan di ICU yang lebih panjang.
Nimodipine akan menempati pada voltage
Komplikasi dependent calcium channel dan akan mencegah
Diperkirakan sepertiga pasien dengan ruptur masuknya kalsium ke dalam sel. Seperti yang telah
aneurisma akan meninggal, sepertiga lainnya diketahui bahwa masuknya kalsium ke dalam otot
mengalami morbiditas berat dan sisanya kembali akan menyebabkan kontraksi, sehingga saat kanal
fungsional. Namun angka mortalitasnya hanya ini dihalangi maka akan terjadi dilatasi. Selain itu
10% pada dokter yang berpengalaman. Hal ini nimodipine juga memiliki efek neuroprotektif
menandakan seberapa tingginya komplikasi pada dengan mencegah masuknya kalsium ke dalam
pasien yang tidak ditangani secara profesional. sel neuron yang dapat menyebabkan kematian sel
Komplikasi yang paling sering adalah perdarahan Apabila vasospasme telah terjadi maka
ulang/rebledding. Angkanya mencapai 50% pada terapi yang dapat diberikan adalah terapi
2 minggu pertama dan kematiannya mencapai hipervolemi, hipertensi, dan hemodilusi atau
50%. Lima belas sampai 20% akan membentuk dikenal dengan teknik 3H. Pada saat terjadi
hidrocephalus komunikan atau obstruktif perdarahan subaraknoid maka sering juga
Komplikasi yang lainnya adalah vasokontriksi, ditemukan gangguan autoregulasi otak . Hal ini
diperkirakan terjadi pada sekitar 70% pasien menyebabkan aliran darah otak (CBF) menjadi
dengan perdarahan dan 20% akan mengalami tergantung dengan tekanan dan viskositas darah,
gejala iskemik. Vasospasme merupakan salah satu Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan curah
penyebab kematian tersering pada pasien ruptur jantung, memperbaiki karakteristik darah,dan
aneurisma. Kejadian ini biasanya terjadi 3–12 meningkatkan cerebral perfussion preassure (CPP)
hari pasca SAH, dan bertahan sampai 2 minggu. dengan tujuan mencukupkan aliran darah ke otak.
Penyebabnya sendiri masih belum jelas, namun Terapi ini sendiri masih menjadi kontroversi
diperkirakan ada kaitannya dengan pemecahan dan masih terus diselediki efikasi. Studi miliki
dari oksihemoglobin. Dankbaaar dan rekan menyimpulkan bahwa
belum ada bukti yang meyakinkan bahwa terapi
Prevensi yang diberikan adalah nimodipine, suatu 3H ini dapat meningkatkan aliran darah otak.16
calcium channel blocker. Dorhout dan rekan Namun induksi dari hipertensi dengan atau
telah melakukan suatu metaanalisis, dengan tanpa hipervolemia menunjukkan hasil yang
16 uji klinis acak tersamar yang melibatkan menjanjikan untuk memperbaiki aliran darah
3361 pasien. Studi tersebut menemukan bahwa otak.16
penggunaan nimodipine pada pasien dengan Sekarang para ahli tengah mengembangkan
perdarahan subaraknoid dengan RR 0.81 (CI efek dari masing-masing komponen terhadap
50 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

perfusi otak. Salah satu studi terbaru, milik darah tidak memperbaiki keadaan.
Raabe dan rekan menemukan bahwa peningkatan Hemodilusi pada awalanya diperkirakan dapat
tekanan darah berhubungan dengan peningkatan memperbaiki komponen rheologi. Namun
oksigenasi otak dengan komplikasi yang relatif penurunan Hb akibat hemodilusi menyebabakn
rendah. Di sisi lain hipervolemia memiliki perburukan keluaran. Kadang terapi ini
hubungan yang kurang kuat dengan perbaikan menyebabkan anemia berat hingga membutuhkan
oksigenasi namun meningkatkan angka transfusi.20 Hemodilusi tidak lagi disarankan,
komplikasi. Komplikasi yang terjadi antara lain kecuali pada kasus dengan eritrositemia.
hiponatremia, edema pulmonal, aritmia jantung,
hingga perburukan edema otak. Hasil serupa Perdarahan subaraknoid juga menyebabkan efek
juga ditemukan oleh Kim dan rekan. Dari hasil sistemik. Pertama adalah efek kardiovaskular,
ini direkomendasikan bahwa tujuan dari terapi berupa keluaran berlebihan simpatis yang
adalah mencoba mempertahankan euvolemia.14 dapat menyebabkan hipertensi, infark miokard,
Perlu diingat bahwa pasien dengan SAH memiliki perubahan segmen ST, gangguan irama, dan
kecenderungan untuk mengalami hipovolemia edema pulmoner neurogenik.12 Efek ini tidak
karena perdarahan yang terjadi, gangguan memiliki penangan khusus dan biasanya jarang
hipotalamus dan sekresi peptide natriuretik. membutuhkan pemantauan lebih lanjut. Terjadi
juga perubahan volume intravaskular dan
Peningkatan tekanan darah hingga 150–175mmHg elektrolit. Pasien akan mengalami penurunan
ditemukan meningkatkan aliran darah ke otak, volume intravaskular akibat dari tirah baring,
dan oksigenasinya. Diperkirakan augmentasi diuresis, dan stres. Gangguan elektrolit yang
tekanan darah adalah salah satu komponen paling sering muncul berupa hiponatremi, hipokalemi,
penting dari terapi 3H ini. Peningkatan tekanan dan hipokalsemi.12
darah dapat dilakukan dengan memberikan
vasopressor yang sesuai.14 Terapi potensial Pada pasien kemungkinan terapi baru dilakukan
lainnya adalah dengan memperbaiki curah pada hari ke-14, sehingga memiliki risiko yang
jantung/cardiac output (CO). Dengan CO yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan ulang,
baik diharapkan maka defisit aliran darah dapat iskemia otak awitan lambat (delayed cerebral
tertutup.20 Penggunaan inotropik positif dapat ischemia) dan keluaran buruk. Dari data yang
dipertimbangkan apabila peningkatan tekanan terkumpul pasien mengalami komplikasi berupa
spasme dibuktikan dari CT-angiografi, dan
Tabel 4. Pilihan Obat dalam Anastesi Aneurisma hydrocephalus karena adanya ventrikulomegali.
Drug CBF CMRO2 ICP Efek sistemik lainnya tidak ditemukan. Sehingga
Volatile anaesthetics pasien sebaiknya diberikan nimodipine untuk
Isoflurane ↑/↑↑ ↓↓↓ ↑
mencegah kemungkinan perburukan akibat
delayed cerebral ischemia. Pada pasien diberikan
Sevoflurane ↓/Ø ↓↓↓ Ø/↑
drip nimotop IV, sehingga perlu diperhatikan efek
Desflurane ↑/↑↑ ↓↓↓ Ø/↑ samping berupa penurunan tekanan darah. Hal ini
N2O ↑/↑↑ ↑/↑↑ ↑/↑↑ menjadi penting karena telah terjadi vasospasme
I.v. anaesthetics pada pasien.
Barbiturates ↓↓/↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓/↓↓↓
Etomi date ↓↓/↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓/↓↓↓ Manajemen Anastesia
Propofol ↓↓/↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓/↓↓↓ Tujuan tatalaksana anestesia pada pasien dengan
SAH adalah (1) mengkontrol tekanan transmural
Benzodiazepines ↓/↓↓ ↓/↓↓ /↓
aneurisma, (2) memelihara cerebral perfusion
Opioids Ø/↓ Ø/↓ Ø/↑
pressure (CPP) adekuat, (3) menghindari
CBF: Cerebral Blood Flow, CMRO2, ICP: Intracranial
Pressure
perubahan mendadak dari tekanan intrakranial,
Dikutip dari Priebe. Aneurysma subarachnoid haemorrage (4) proteksi dari otak saat terjadi periode iskemik,
and the anaesthesiologist. (5) penyediaan kondisi operasi yang paling
Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma 51

optimal dengan brain retraction yang paling kecil menggambarkan iskemia yang disebabkan oleh
serta (6) pasien dapat disadarkan secepatanya. gangguan hemodinamik.9,12 Foto polos toraks
Fokus pertama dan kedua agak sedikit bertolak dan echocardiography juga dapat diperiksakan
belakang. Hal ini disebabakan tekanan transmural bila ada kecurigaan tinggi adanya gagal jantung
aneurisma/ transmural pressure gradient (TMP) neurogenik.12
dan CPP memiliki persamaan yang sama yaitu Pada masa praoperasi harus diperiksakan status
selisih antara tekanan dalam arteri dan luar arteri neurologis, komorbid, dan komplikasi SAH.
atau MAP-TIK. Hal tersebut menigkatkan dilema Hal ini akan menentukan penatalaksanaan
dari manajemen tekanan darah dan terapi cairan, selanjutnya, karena tingkat klinis pasien
karena di satu sisi diharapkan terjadi penurunan berkorelasi baik dengan tekanan intrakranial
TMP, namun di sisi lain CPP harus dipertahankan (TIK).12 Pada Hunt dan Hess I dan II, biasanya
ditambah lagi dengan adanya premorbid berupa memiliki tekanan intrakranial normal dengan
hipertensi menahun. autoregulasi yang intak, dan respon yang normal
terhadap hiperventilasi. Pada kelas III dan
Manajemen Anestesia IV, biasanya telah terjadi peningkatakan TIK
Tujuan tatalaksana anestesia pada pasien dengan sehingga terjadinya gangguan autoregulasi dan
SAH adalah (1) mengkontrol tekanan transmural reaktivitas terhadap CO2.12
aneurisma, (2) memelihara cerebral perfusion Pada operasi ruptur aneurisma biasanya tidak
pressure (CPP) adekuat, (3) menghindari dibutuhkan premedikasi, karena pasien sering
perubahan mendadak dari tekanan intrakranial, dalam keadaan tidak sadar. Namun pada pasien-
(4) proteksi dari otak saat terjadi periode iskemik, pasien sadar, premedikasi tetap harus diperhatikan
(5) penyediaan kondisi operasi yang paling apabila pasien terlihat cemas. Hal ini berkaitan
optimal dengan brain retraction yang paling kecil dengan risiko meningkatnya tekanan darah.
serta (6) pasien dapat disadarkan secepatanya. Penggunaan premedikasi juga harus berhati-
Fokus pertama dan kedua agak sedikit bertolak hati karena dapat menimbulkan depresi nafas
belakang. Hal ini disebabakan tekanan transmural yang akan meningkatkan PaCO2 yang kemudian
aneurisma/transmural pressure gradient (TMP) meningkatkan TIK. Administrasi nimodipine
dan CPP memiliki persamaan yang sama yaitu sangat dianjurkan untuk mempertahankan CPP.
selisih antara tekanan dalam arteri dan luar arteri Pemantauan standar terdiri dari EKG 5 lead, intra-
atau MAP-TIK. Hal tersebut menigkatkan dilema arterial preassure, pulseoksimetri, kapnografi,
dari manajemen tekanan darah dan terapi cairan, urin, suhu tubuh dan status neuromuskular.
karena di satu sisi diharapkan terjadi penurunan CVP juga dipasang sebagai panduan pemberian
TMP, namun di sisi lain CPP harus dipertahankan cairan, serta akses vena sentral. Sebaiknya kateter
ditambah lagi dengan adanya premorbid berupa vena sentral tidak dipasang pada V.Jugular atau
hipertensi menahun. V. Subklavia pada pasien dengan peningkatan
TIK. Pilihan lokasi lainnya adalah V. Femoral
Praoperatif atau V. Basilika. Ini dikaitkan dengan posisi
Perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan pemasangan yang dapat meningkatkan TIK. Pada
berbagai komplikasi sehingga harus dilakukan kasus khusus seperti pada orang tua, atau dengan
pemeriksaan seksama. Pemeriksaan minimal komorbid kardiorespirasi maka dapat dipasang
berupa EKG dan elektrolit darah. Perubahan kateter arteri pulmonal atau transesofageal
EKG yang terjadi dapat berupa tanda jejas echocardiography.9
miokardial atau akibat dari ganguan elektrolit Selama masa paoperatif pasien terlihat stabil
yang dialami. Jejas miokardial ini dapat bersifat dengan tekanan darah terkontrol. Terkesan tidak
neurogenik atau murni karena terjadinya iskemia. terjadi perburukan. Dari hasil pemeriksaan fisik
Untuk membedakan keduanya dapat dilakukan dan penunjang tidak ditemukan komplikasi
pemeriksaan enzim jantung berupa troponin. sistemik lainnya. Sehingga pemantauan yang
Troponin yang meningkatan merupakan salah diperlukan hanya berupa EKG, pulseoksimetri,
satu prediktor keluaran yang buruk, karena urin, dan suhu. Pemasangan akses arterial dapat
52 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ditunda untuk menurunkan stimulus nyeri. vena sentral tidak dipasang pada V.Jugular atau
Praoperatif V. Subklavia pada pasien dengan peningkatan
Perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan TIK. Pilihan lokasi lainnya adalah V. Femoral
berbagai komplikasi sehingga harus dilakukan atau V. Basilika. Pada kasus khusus seperti pada
pemeriksaan seksama. Pemeriksaan minimal orang tua, atau dengan komorbid kardiorespirasi
berupa EKG dan elektrolit darah. Perubahan maka dapat dipasang kateter arteri pulmonal atau
EKG yang terjadi dapat berupa tanda jejas transesofageal echocardiography.9
miokardial atau akibat dari ganguan elektrolit
yang dialami. Jejas miokardial ini dapat bersifat Selama masa praoperatif pasien terlihat stabil
neurogenik atau murni karena terjadinya iskemia. dengan tekanan darah terkontrol. Terkesan tidak
Untuk membedakan keduanya dapat dilakukan terjadi perburukan. Dari hasil pemeriksaan fisik
pemeriksaan enzim jantung berupa troponin. dan penunjang tidak ditemukan komplikasi
Troponin yang meningkatan merupakan salah sistemik lainnya. Sehingga pemantauan yang
satu prediktor keluaran yang buruk, karena diperlukan hanya berupa EKG, pulseoksimetri,
menggambarkan iskemia yang disebabkan oleh urin, dan suhu. Pemasangan akses arterial dapat
gangguan hemodinamik.9,12 Foto polos toraks ditunda untuk menurunkan stimulus nyeri.
dan echocardiography juga dapat diperiksakan
bila ada kecurigaan tinggi adanya gagal jantung Intraoperatif
neurogenik.12 Tujuan utama pada operasi aneurisma adalah
menghindari peningkatan tekanan darah
Pada masa praoperasi harus diperiksakan status mendadak selama operasi . Obat induksi tidak
neurologis, komorbid, dan komplikasi SAH. disarankan ketamin karena efek peningkatan
Hal ini akan menentukan penatalaksanaan tekanan darahnya. Pilihan agen induksi, yang
selanjutnya, karena tingkat klinis pasien paling sering digunakan adalah propofol atau
berkorelasi baik dengan tekanan intrakranial thiopental bersamaan dengan opioid dan non-
(TIK).12 Pada Hunt dan Hess I dan II, biasanya depolarizing muscle relaxants.12 Terdapat
memiliki tekanan intrakranial normal dengan beberapa metode untuk induksi pasien dengan
autoregulasi yang intak, dan respon yang normal anuerisma. Pertama adalah dengan menargetkan
terhadap hiperventilasi. Pada kelas III dan tekanan darah turun 20% dari tekanan darah awal,
IV, biasanya telah terjadi peningkatakan TIK kemudian diikuti dengan adminitrasi obat-obatan
sehingga terjadinya gangguan autoregulasi dan cardiodepresant saat akan diberikan stimulasi.
reaktivitas terhadap CO2.12 Kedua adalah dengan memberikan anestesi
Pada operasi ruptur aneurisma biasanya tidak dalam kemudian diikuti dengan administrasi
dibutuhkan premedikasi, karena pasien sering obat-obatan vasopresor apabila tekanan darah
dalam keadaan tidak sadar. Namun pada pasien- terlalu rendah. Pendekatan lainnya adalah dengan
pasien sadar, premedikasi tetap harus diperhatikan mencoba menyeimbangkan CPP berdasarkan
apabila pasien terlihat cemas. Hal ini berkaitan klinis. Pasien dengan Hunt dan Hess derajat I
dengan risiko meningkatnya tekanan darah. dan II biasanya dapat mentoleransi perubahan
Penggunaan premedikasi juga harus berhati- CPP lebih dari 20% tanpa memberikan gejala
hati karena dapat menimbulkan depresi nafas iskemik, hal ini berbeda dengan pasien dalam
yang akan meningkatkan PaCO2 yang kemudian keadaan klinis buruk.
meningkatkan TIK. Administrasi nimodipine Selama operasi terdapat beberapa stimulus
sangat dianjurkan untuk mempertahankan CPP. yang dapat meningkatkan tekanan darah
Pemantauan standar terdiri dari EKG 5 lead, seperti intubasi, positioning pasien penempatan
tekanan darah arterial arterial pressure, head-pin dan pengangkatan tulang. Sehingga
pulseoksimetri, kapnografi, urin, suhu tubuh pelaksanaanya dilakukan saat telah tercapai
dan status neuromuskular. CVP juga dipasang kedalaman anestesi yang cukup, paralisis penuh
sebagai panduan pemberian cairan, serta akses dan tekanan darah yang diinginkan tercapai.
vena sentral (untuk manitol). Sebaiknya kateter Apabila perlu dapat dilakukan infiltrasi pada
Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma 53

daerah yang akan diberikan pin.12 Namun berupa midazolam 2 mg (IV) sebagai ansiolitik,
deep level anesthesia secara terus-menerus sedangkan ranitidine digunakan untuk mencegah
dapat meningkatan risiko hipotensi dan CPP terjadinya ulkus stress lambung dan perdarahan
inadekuat saat stimulus poten tersebut hilang. saluran cerna. Pasca premedikasi tekanan darah
Alternatifnya adalah dengan memeberikan bolus kembali ke 100/70mmHg.
anastesi (propofol atau thiopental) atau bolus Induksi anestesia dilakukan dengan propofol
cardiovascular depressant (esmolol, labetolol) dan dengan pelumpuh otot vecuronium. Pada
yang akan menumpulkan respon hipertensi pada pemeliharaan anestesia ditambahkan sevoflurane.
stimuli yang intens. Saat duramater sudah dibuka Sevoflurane ditambahkan untuk mengurangi
maka hampir tidak ada stimulus intens yang dosis propofol sehingga efek samping dapat
dapat terjadi. Tekanan darah dapat saja turun. ditekan. Pasien menggunakan pendekatan kedua
Pada situasi ini anastesi tidak boleh diturunkan yang tekanan darah dikontrol dengan nicardipine
semata-mata untuk meningkatkan tekanan darah. drip. Esmolol dan nicardipine sama sama dapat
Hipotensi dapat dicegah atau diatasi dengan digunakan karena keduanya dapat dititrasi dengan
melakukan ekslusi keadaan hipovolemi atau mudah. Perlu dicermati bahwa nicardipine dapat
menambahkan obat-obatan vasokatif. meningkatkan aliran darah otak dengan efek
Untuk pemeliharaan dapat diberikan kombinasi hipotensi yang lebih panjang. Pascaoperasi perlu
berbagi macam agen yang tujuan mempertahankan diperhatikan pemantauan tekanan darah pasien.
kedalaman anastesi, blok neuromuskular, Selama operasi, massa otak perlu dikurangi
mengontrol tekanan darah, mempertahankan untuk meningkatkan lapang pandang operasi,
TIK dan relaksasi otak optimal. Penggunaan mengurangi retraksi, dan pada fase terpentingnya;
agen volatil dan N2O dihindari karena efeknya memfasilitasi clipping aneurisma. Cara yang
yang menyebabkan vasodilatasi serebri. Namun dipakai antara lain dengan mannitol IV 0.5–
penggunaanya dalam dosis rendah (<1MAC) 1gram/jg, kadang dikombinasikan dengan
masih dapat diterima karena efek vasokontriksi furosemide (10–20mg IV). Dapat juga dilakukan
kompensatori akibat dari penurunan laju drainase cairan cerebrospinal yang dilakukan
metabolik otak. Utamakan penggunaan agen perlahan untuk menghindari herniasi dan
dengan karakter cerebro-vasocontricive dan perubahan hemodinamik.12
cerebro-depressant (pada dasarnya semua Manitol akan memberikan efek maksimal dalam
anastesi IV kecuali ketamin) ditambah dengan menurunkan TIK 30–45 menit. Administrasi
agen neuromuskular blocking. Sehingga metode manitol biasanya akan menyebabkan perubahan
total intravenous anesthesia (TIVA) menjadi hemodinamik transien berupa hipotensi,
pilihan apabila tekanan intrakranial sangat tinggi. peningkatan curah jantung, cardiac filling
Pilihan obat dapat dilihat pada Tabel 4. pressure dan volume darah. Efek ini akan
meningkatkan sedikit TIK. Hal ini dapat
Target pernafasan adalah normoventilasi. dikompensasi dengan hiperventilasi ringan pada
Hiperventilasi ringan dan transient dapat pasien dengan risiko tinggi. Di sisi lain karena
diberikan pada pasien dengan peningkatan TIK. manitol dapat menurunkan TIK secara cepat,
Peningkatan tekanan ispirasi puncak (peak maka dapat terjadi peningkatan TMPG. Oleh
inspiratory pressure/PIP) dapat menyebabkan karena itu manitol dosis tinggi biasanya diberikan
peningkatan TIK lewat naiknya tekanan vena setelah dura terbuka.9
otak serta gangguan drainase vena. Sehingga Furosemide adalah pilihan lain untuk menurunkan
tekanan tersebut harus diperhatikan pada pasien kandungan cairan dalam otak. Cara kerjanya
dengan peningkatan TIK. tidak berhubungan dengan efek diuretiknya,
Sesaat sebelum operasi pada pasien diperkirakan akibat penurunan pembentukan
terjadi peningkatan tekanan darah hingga cairan cerebrospinal, dan pergerakan ion dari blood
160/100mmHg dengan nadi dan nafas normal, brain barrier. Pilihan ini menjadi penting pada
sehingga kemungkinan penyebabnya adalah pasien dengan gangguan kardiorespirasi, karena
ansietas. Pasien kemudian diberikan premedikasi mengurangi risiko hipervolemia dari pemberian
54 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

manitol. Penggunaan furosemide bersamaan dan status kardiopulmoner pasien baik, maka
dengan manitol akan memperpanjang efek untuk mengurangi masa otak dapat diberikan
terapi karena sifat furosemide yang menurunkan manitol tanpa kombinasi.
osmolalitas serum. Namun kombinasi keduanya Saat akan dilakukan clipping maka tekanan
diasosiasikan dengan kehilangan cairan dan darah diturunkan untuk mengurangi tekanan
elektrolit yang lebih besar sehingga membutuhkan pada dinding leher aneurisma dengan tujuan
pemantauan yang lebih ketat. Karena osmolalitas mempermudah clipping dan membantu kontrol
dan status kardiopulmoner pasien baik, maka perdarahan. Sekarang banyak ahli bedah syaraf
untuk mengurangi masa otak dapat diberikan yang memilih menggunakkan hipotensi lokal,
manitol tanpa kombinasi. yaitu dengan clipping sementara dibading
Saat akan dilakukan clipping maka tekanan hipotensi sistemik. Hal ini disebabkan karena
darah diturunkan untuk mengurangi tekanan hipotensi sistemik dapat menyebabkan terjadinya
pada dinding leher aneurisma dengan tujuan gangguan perfusi otak, vasospasme dan buruknya
mempermudah clipping dan membantu kontrol hasil keluaran. Clipping sementara dilakukan
perdarahan. Sekarang banyak ahli bedah saraf pada feeding artery dan tidak boleh lebih dari 15–
yang memilih menggunakkan hipotensi lokal, 20 menit, karena dapat menyebabkan iskemia.
yaitu dengan temporary clipping sementara Pada saat clipping tekanan darah dipertahankan
dibanding hipotensi sistemik. Hal ini disebabkan sedikit diatas rata rata tekanan darah.
karena hipotensi sistemik dapat menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi otak dan vasospasme Neuroproteksi bertujuan untuk mengurangi efek
yang berujung buruknya hasil keluaran. Clipping dari DCI. Salah satu cara yang terbukti adalah
sementara dilakukan pada feeding artery dan dengan hipotermia ringan 330C12, namu hal ini
tidak boleh lebih dari 15–20 menit, karena dapat tidak terbukti bermanfaat. Di pusat lain digunakan
menyebabkan iskemia otak. Pada saat clipping barbiturate atau propofol untuk menekan lonjakan
tekanan darah dipertahankan sedikit diatas rata gambaran EEG.
rata tekanan darah.
Tidak semua operator terbiasa dengan temporary Pascaoperatif
clipping. Pada beberapa kasus induksi hipotensi Peningkatan tekanan darah sering muncul
global tetap menjadi pilihan. Tujuannya adalah saat efek anestesia hilang. Hipertensi ringan
menurunkan CPP tanpa secara signifikan dapat meningkatkan perfusi otak sehingga
menurunkan CBF. Hal ini bisa dicapai dengan menguntungkan, terutama untuk pasien dengan
memanfaatkan autoregulasi otak. Untuk mencapai vasospasme.12 Ditargetkan tekanan darah
tahap ini maka terdapat beberapa cara yang dapat >20% dari tekanan darah biasa, dan tetap
dipakai yaitu modifikasi posisi, ventilasi, dan dikontrol dengan anti-hipertensi kerja cepat
penggunaan obat-obatan. Salah satu agen yang (labetolol, esmolol, atau hydralazine). Karena
disarankan adalah sodium nitropruside. Agen peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat
ini dipilih karena salah satu agen hipotensi kerja meningkatkan risiko dari perdarahan ulang.12
cepat. Pasien diusahakan sadar secepatnya, agar dapat
Neuroproteksi bertujuan untuk mengurangi efek dilakukan pemeriksaan neurologis. Apabila
dari DCI. Salah satu cara yang terbukti adalah terjadi keterlambatan kembalinya kesadaran,
dengan hipotermia ringan 330C12, namun hal ini atau muncul defisit neurologis saat pasien sadar
tidak terbukti bermanfaat. Di pusat lain digunakan maka segera lakukan CT-Scan atau angiografi
barbiturate atau propofol untuk menekan lonjakan untuk menyingkirkan hematoma intraserebral
gambaran EEG. atau sumbatan pada pembuluh darah. Teknik
terapi karena sifat furosemide yang menurunkan pasien disadarkan secepatnya harus diimbangi
osmolalitas serum. Namun kombinasi keduanya dengan analgesia yang adekuat. Analgesik
diasosiasikan dengan kehilangan cairan dan yang sering dipakai adalah IV paracetamol,
elektrolit yang lebih besar sehingga membutuhkan dan kodein. Paracetamol 1 gram IV diberikan
pemantauan yang lebih ketat. Karena osmolalitas secara kontinu dimulai intraoperatif dan diulang
Penatalaksanaan Anastesi pada Ruptur Aneurisma 55

tiap 6–8 jam. Penggunaan opioid kerja panjang aneurysms: current evidence and clinical
harus dipertimbangkan efek depresi nafasnya. practice. American Family Physcian. 2002;
Dapat juga ditambahkan anti-mual, seperti 601–9
ondansentron, pada kelompok risiko tinggi.
6. Rinkel GJE, Djibuti M, Algra A, Gijn J.
IV. Simpulan Prevalance and risk of rupture of intracranial
aneursym.http://stroke.ahajournals.org/
Penatalaksanaan anastesi pada pasien dengan content/29/1/251.full. Stroke. 1998;29:251–6
ruptur aneurisma memiliki beberapa tantangan.
Terutama dalam hal mempertahankan tekanan 7. Steiner T, Juvela S, Unterberg A, Jung C.
darah yang cukup untuk perfusi otak, namun tidak European stroke organization guidelines
meningkatkan kemungkinan terjadinya ruptur for the management of intracranial
lebih lanjut. Selain itu perlu juga diperhatikan aneursyms and subarachonid haemorhage.
komplikasi berupa vasospasme yang dapat Cerebrovasc.2013;35:93–112
menimbulkan kematian. Dengan management
anastesi yang baik, maka keluran pasien dapat 8. van Heuven AW, Dorhour Mees SM,
meningkat Algra A, Rinkel GJ, et al. Validation of
prognostic subarachnoid hemorrhage
Daftar Pustaka grading scale derived directly from the
glasgow coma scale. Stroke.2008.[serial
1. Iwamoto H, Kiyohara LY, Fujishima M, on the internet].available at http://stroke.
Kato I, Nakayama K, Suieishi K, T, et al. ahajournals.org/content/early/2008/02/28/
Prevalence of intracranial sacular aneurysm STROKEAHA.107.498345.full.pdf. About
in a Japanese community base on consecutive 3 Pages.Accessed at 11 August 2015.;
autopsy series during 30 years of observation 39(4):1347–8.
period. Stroke. 1999; 30;1390–5
9. Priebe. Aneurysma subarachnoid
2. Kellner C. Evaluation of revised scale haemorrhage and the anaesthesiologist.
for the prediction of long term outcome Br J Anaesth. 2007;99: 102–18
in poor-grade aneursymal subarachnoid
hemorrhage undergoing operative repair. 10. Bederson JB. Guidelines for the management
[Article form the internet]. Available form of aneurysmal subarachnoid hemorrhage.
http://www.biomath.info/Protocols/Duke/ Stroke. 2009;40:994–1025
docs/KellnerChristopher.pdf. Accessed at 11
August 2015 11. Dorhout MSM, Molyneux AJ, Kerr RS,
Algra A, Relationship with delayed cerebral
3. Sriganesh K, Venkataramaiah S. Concerns ischemia and poor outcome
and chalanges during anesthetic management
of aneurysmal subarachnoid haemorhage. 12. Sanne M, Mees D, Molyneux AJ, Kerr RS,
Saudi J Anaesth:2015;9, 306–13 Algra A, Rinkel GJ. Timing of aneurysm
treatment after subarachnoid hemorrage:
4. Higashida RT. What You should know relationship with delayed cerebral ischemia
about cerebral aneurysm. American Stroke and poor outcome. Stroke. 2012;42:2126–9
Assocation. Available form http://www.
uic.edu/depts/dhd/ilcapture/stroke/stroke/ 13. Mess D, Rinkel GJ, Feigin VL, et.al. Calcium
Aneurysm%20info.pdf?identifier=4457, antagonist for aneurysmla subarachnoid
Accessed at 11 August 2015 haemorrhage. Cochrane database syst rev.
2007.; 18 (3); CD000277
5. Vega C, Kwoon J, Lavine SD. Intracranial
56 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

14. Webb A, Samuels O. Subarachnoid hemorrhage. Revista Mexicana de


Hemorrhage. [serial on the internet]. Anestesiologia. 2009; 168–72
Neurocritical care Society Pactice Update.
Available at http://www.neurocriticalcare.org/ 19. Raabe A, Beck J, Keller M, Zimmermann
sites/default/files/pdfs/03.1.SAH.Final.pdf. M, Seifert V, et al. Relative importance of
hypertension compared with hypervolemia
15. Diringer MN, Bleck TP, Hemphil JC, for increasing cerebral oxygenation in patients
et.al. Critical care management of patients with cerebral vasospasm after subarachnoid
following aneursymal subarachnoid hemorrhage. J Neurosurg 2005;103:974– 81
hemorrhage: recommendation from the
neurocritical care society multidisplinary 20. Kim DH, Joseph M, Ziadi S, Nates J,
consensus conference. Neurocrit care. 2011; Dannenbaum M, Metal M. Increases in
15;211–40 cardiac output can reverse flow deficits from
vasospasm independent of blood pressure:
16. Meyer JS, Takashima S, Terayama Y. Calcium a study using xenon computed tomographic
channel blockers prevent delayed cerebral measurement of cerebral blood flow.
ischemia after intracranial subarachnoid Neurosurgery 2003; 53:1044–105
hemorrhage. Cerebral Ischemia and Basic
Mechanism. 1994; 114–24
17. Dankbaar JW, Slooter AJC, Rinkel GJE.
Effect of different component of triple-H
therapy on cerebral perfusion in patient with
aneurismal subarachnoid haemorrhage: a
systematic review.Critical Care 2010. 14;r23

18. Gelb AW. Anesthesia and subarachnoid


Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil

Rebecca Sidhapramudita Mangastuti*), Dewi Yulianti Bisri**), Bambang J. Oetoro***), Siti Chasnak Saleh****)
*)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan, **)Departemen
Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Rumah Sakit Mayapada
Jakarta, ****Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Subarachnoid hemorrhage (SAH) non traumatic pada wanita hamil, umumnya disebabkan oleh ruptur aneurisma
atau arteriovenous malformation (AVM). Hipertensi pada pre eklampsi berat (PEB) dan eklampsi merupakan
penyebab tersering. Gejala klinis SAH umumnya adalah nyeri kepala hebat, pandangan kabur, photofobia,
mual, muntah, hingga penurunan kesadaran. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang seperti computed tomography (CT-scan)/magnetic resonance imaging (MRI),
computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography.
Wanita hamil dengan aneurisma serebral menunjukkan perbaikan survival untuk ibu dan fetus bila clipping
dilakukan setelah SAH dibandingkan dengan pengelolaan tanpa pembedahan. Reseksi AVM yang tidak pecah
dapat ditunda sampai setelah melahirkan tanpa menunjukkan adanya peningkatan mortalitas ibu. Pertimbangan
anestesi pada wanita hamil dengan SAH adalah keselamatan ibu dan fetus. Penurunan dari tekanan rerata ibu
atau peningkatan resistensi vascular uterus akan menurunkan aliran darah uteroplasental sehingga menurunkan
aliran darah umbilical yang akan membahayakan fetus. Pemberian cairan, manitol, tehnik hipotermi dan
obat-obatan harus dipertimbangkan agar tidak membahayakan fetus. Pasca tindakan clipping aneurisma
dilakukan triple H terapi yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Prognosis ibu hamil dengan SAH
sesuai dengan skala Hunt dan Hess. Makin rendah skala, makin rendah pula angka morbiditas dan mortalitas.

Kata kunci: anestesi, ruptur aneurisma, subarachnoid hemorrhage, wanita hamil

JNI 2016;5(1): 57–67

Management Anesthesia for Pregnant Women with Subrachnoid Hemorrhage

Abstract

Non traumatic subarachnoid hemorrhage (SAH) in pregnant women, generally caused by a ruptured aneurysm
or arteriovenous malformation (AVM). Severe hypertension in pre eclampsia (PEB) and eclampsia are common
causes. Clinical symptoms of SAH are severe headache, blurred vision, photofobia, nausea, vomiting, loss
of consciousness. Diagnois is based on anamnesis, physical examination and computed tomography (CT
scan) / magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance
angiography (MRA), catheter angiography. Pregnant women with cerebral aneurysms showed improved
survival for both mother and fetus when clipping is done after SAH, compared with nonsurgical management.
Unrupture AVM resection can be delayed until delivery, and not increased maternal mortality. Consideration
of anesthesia in pregnant women with SAH is the safety of the mother and fetus. A decresase of pressure or
increase in mean maternal vascullar resistance will decrease uteroplacental blood flow resulting in lower
umbilical blood flow which would endanger the fetus. Fluid, mannitol, hypothermia techniques and preoperative,
intraoperative and postoperative medicine should be considered, in order not to endanger the mother and
fetus. Post aneurysma clipping, perfomed triple H therapy, hypertension, hipervolemik and hemodilution. The
prognosis according to Hunt & Hess scale, ie the lower the scale, the lower the rate of morbidity and mortality

Key words: anesthesia, rupture aneurysm, pregnant women, subarachnoid hemorrhage

JNI 2016;5(1): 57–67

57
58 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan oksigen meningkat, sehingga harus diberikan


oksigen sebelum induksi dengan anestesi umum.
Subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah Penambahan BB dan penambahan besar buah
perdarahan yang terjadi didalam ruang dada, dapat menimbulkan kesulitan intubasi.3-8
subarachnoid. SAH terjadi pada 6–11 dari
100.000 orang pertahun. 50-80% penyebab SAH Sistim Respirasi
adalah rupture aneurisma atau arteriovenous Perubahan pada parameter respirasi, terjadi pada
malformation (AVM). Wanita memiliki resiko minggu ke-4 kehamilan. Konsumsi oksigen
lebih tinggi terkena SAH dibandingkan pria, meningkat 60% selama kehamilan. Hal ini
dengan usia penderita, 50 – 60 tahun.1-5 disebabkan oleh kebutuhan metabolik fetus,
Confidential Enquiry into Maternal Death, uterus dan plasenta dan sekunder oleh kenaikan
United Kingdom pada tahun 2003–2004, kerja jantung dan paru. Ventilasi semenit
mengindenfikasi 4% kematian ibu hamil meningkat pada kehamilan aterm kira-kira 45%
disebabkan oleh SAH. Penelitian Dias dan Sekhar diatas nilai waktu tidak hamil. Peningkatan
tahun 1990 terhadap kematian SAH selama volume semenit disebabkan karena peningkatan
kehamilan, didapatkan perbandingan penyebab volume tidal (45%), sedangkan frekuensi nafas
aneurysma dan AVM 3:1. Penyebab lain adalah tidak berubah. Ventilasi alveoli meningkat 45%,
hypertensive intracerebral hemorrhage, vaskulitis seperti peningkatan volume tidal, tetapi dead
dan bacterial endocarditis.1-5 Craniotomi pada space meningkat 45%.3-8 PaCO2 menurun sampai
wanita hamil dengan SAH beresiko terhadap ibu 30 mmHg pada kehamilan 12 minggu dan menetap
dan fetus. Pengakhiran kehamilan dengan seksio sampai kehamilan aterm. Peningkatan hormon
saesarea dilakukan setelah 32 minggu, dengan progesteron selama kehamilan menurunkan
pertimbangan survival rate fetus tinggi untuk usia ambang pusat nafas di medulla oblongata terhadap
kehamilan diatas 32 minggu. Tehnik anestesi yang CO2.3-8 Pada kehamilan aterm, functional residual
digunakan general anestesi dengan pemilihan capacity (FRC), expiratory reserve volume (ERV)
obat dan dosis yang tidak membahayakan ibu dan dan residual volume (RV) menurun. Perubahan
fetus.3-6 ini disebabkan karena diafragma terdorong keatas
oleh uterus yang gravid. FRC menurun 15–20%,
II. Perubahan Fisiologi Ibu pada Kehamilan menimbulkan peningkatan shunt dan kurangnya
cadangan oksigen.3-9
Berat badan dan komposisi
Berat badan (BB) ibu hamil akan meningkat rata- Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit,
rata 17% dari BB sebelum hamil atau kira-kira 12 juga penurunan minimum alveolar concentration
kg. Penambahan BB diakibatkan oleh peningkatan (MAC), menyebabkan ibu hamil lebih mudah
ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan dipengaruhi obat anestesi inhalasi daripada
amnion 1 kg, fetus dan plasenta 4 kg, peningkatan ibu tidak hamil. Cepatnya induksi dengan obat
volume darah dan cairan interstitial (masing- anestesi inhalasi karena hipeventilasi akan
masing 2 kg), dan lemak serta protein kira-kira 4 menyebabkan lebih banyak gas anestesi yang
kg. 3-6 Peningkatan BB pada trisemester pertama masuk ke alveoli; pengenceran gas anestesi
1–2 kg, dan 5–6 kg pada trisemester 2 dan 3. lebih sedikit karena menurunnya FR dan
Peningkatan BB ini menyebabkan komsumsi

Tabel 1. Analisa Gas Darah (AGD) selama kehamilan 8


Tidak Hamil Trisemester 1 Trisemester 2 Trisemester 3
Pa CO2 (mmHg) 40 30 30 30
Pa O2 (mmHg) 100 107 105 103
pH 7,40 7,40 7,44 7,44
HCO3 – (mEq/L) 24 21 20 20
Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil 59

Tabel 2. Perubahan Fisiologi Respirasi pada darah akan kembali normal, delapan minggu
Kehamilan Aterm7,8 setelah melahirkan.3-9
Parameter Perubahan
relatif pada Perubahan Sistim Kardiovaskular
ibu hamil Curah jantung meningkat 30–40% dan
Volume paru peningkatan maksimal dicapai pada kehamilan
Inspiratory reserve volume (IRV) + 5% 24 minggu. Pada post partum, curah jantung
Tidal volume (TV) + 45% meningkat secara maksimal dan dapat mencapai
Expiratory reserve volume (ERV) –25 % 80% diatas periode pra persalinan dan kira-kira
Residual volume (RV) –15 %
100% diatas nilai ketika tidak hamil. Tekanan
vena sentral meningkat 4–6cm H2O karena
Kapasitas paru
ada peningkatan volume darah ibu. Gambaran
Inspiratory capacity + 15% EKG yang normal pada ibu hamil, disaritmia
Functional Residual Capacity –20% benigna, gelombang ST,T,Q terbalik dan left axis
(FRC) deviation. Pada ekhokardiografi, terlihat adanya
Vital capacity tidak berubah peningkatan ukuran ruangan pada end diastolic,
Total lung capacity –5% dan ada penebalan dinding ventrikel kiri.3-9
Dead space +45%
Laju nafas tidak berubah Perubahan pada ginjal
Ventilasi Glomerular filtration rate (GFR) meningkat
selama kehamilan karena peningkatan renal
Minute ventilation +45%
plasma flow. Renal blood flow (RBF) dan GFR
Alveolar ventilation +45%
meningkat 150% pada trisemester pertama
kehamilan, tetapi menurun lagi sampai 60% pada
MAC menurun pada ibu hamil.3-10 Pada kala 1 kehamilan aterm.3-8
persalinan, dapat terjadi hiperventilasi, ventilasi
akan meningkat 70–140%. Pada kala 2, ventilasi Tabel 5. Perubahan Hemodinamik pada Kehamilan
semenit meningkat 120–200%. PaCO2 menurun Aterm8
10-15 mmHg dan dapat menimbulkan asidosis
Parameter Perubahan
fetal. Konsumsi oksigen akan meningkat 40% relatif pada ibu
diatas normal sebelum persalinan pada kala 1 hamil
dan meningkat 75% pada kala 2.7–9 Volume darah
Curah jantung +50%
ibu meningkat selama kehamilan, dimulai pada
Stroke volume +25%
trisemester pertama 15% dan meningkat dengan
cepat pada trisemester kedua 50% dan trisemester Laju jantung +25%
ketiga 55%, termasuk peningkatan volume Left ventricular end diastolic Meningkat
plasma, sel darah merah dan sel darah putih. volume
Volume plasma meningkat 40–50%, sel darah Left ventricular end systolic Tidak berubah
merah meningkat 15–20% yang menyebabkan volume
terjadinya anemia fisiologis. Akibat hemodilusi, Ejection fraction Meningkat
viskositas darah menurun kurang lebih 20%.3-9 Left ventricular stroke work Tidak berubah
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa index
fungsi penting untuk memelihara kebutuhan Pulmonary capillary wedge Tidak berubah
peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran pressure
uterus dan unit feto-placenta, mengisi Pulmonary artery diastolic Tidak berubah
peningakatan reservoir vena, melindungi ibu pressure
dari perdarahan pada saat melahirkan dan selama Central venous pressure Tidak berubah
kehamilan ibu menjadi hiperkoagulapi. Volume Systemic vascular resistance –20%
60 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Perubahan pada saluran cerna stimulating hormon. Tekanan intraokuler


Uterus yang gravid menyebabkan peningkatan menurun selama kehamilan karena peningkatan
tekanan intragastrik dan merubah posisi normal kadar progesterone, adanya relaxin, penurunan
gastrooesophageal junction. Alkali fosfatase produksi humor aqueus akibat peningkatan
meningkat. Plasma cholinesterase menurun sekresi chorionic gonadotrophin. Mamae yang
kira-kira 28%, kemungkinan disebabkan karena membesar akan mempersulit tindakan intubasi,
sintesanya yang menurun dan karena hemodilusi. terutama pada ibu hamil dengan leher pendek.3-9
Aktivitas serum cholinsterase berkurang 24%
sebelum persalinan dan paling rendah 33% pada Plasenta1-3
hari ketiga post partum.3-8 Karena perubahan Fungsi pertukaran gas respirasi, ntutrisi dan
tersebut, wanita hamil harus selalu diperhitungkan eksresi janin tergantung dari plasenta. Plasenta
lambung penuh, dengan tidak mengindahkan dibentuk dari jaringan ibu dan janin serta
waktu makan terakhir, walaupun puasa sudah mendapat pasokan darah dari kedua jaringan
lebih dari 6 jam, lambung terkadang masih penuh. tersebut.
Penggunaan antasida yang non partikel secara
rutin adalah penting sebelum seksio saesarea dan Anatomi Fisiologi Plasenta
sebelum induksi regional anestesi. Perubahan Plasenta terdiri dari tonjolan jaringan janin
gastrointestinal ini akan kembali dalam 6 minggu (villi) yang terletak dalam rongga vaskuler ibu
postpartum.3-9 (intervillous). Sebagai akibat dari susunan ini
kapiler-kapiler janin dalam villi dapat melakukan
Tabel 6. Perubahan pada sistem renal8 pertukaran substansi dengan darah ibu, dimana
Tidak hamil Hamil darah ibu dalam rongga intervilli berasal dari
arteri spiralis cabang arteri uterine dan kemudian
BUN (mg/dl) 0,67 (0,14) 0,46 (0,13)
mengalir kembali melalui vena uterina. Darah
Kreatinin (mg/ 13 (3) 8,7 (1,5)
janin dalam villi berasal dari 2 buah arteri
dl)
umbilikal dan kembali ke janin melalui sebuah
vena umbilikal.
Perubahan susunan saraf pusat (SSP) dan
susunan saraf perifer1,2,3 Pertukaran pada Plasenta
Peningkatan konsentrasi progesteron dan Pertukaran plasenta dapat terjadi terutama melalui
endorphin akan menyebabkan penurunan MAC salah satu dari empat mekanisme dibawah ini.
25-40% selama kehamilan. Halotan menurun
25%, isoflurane 40%, methoxyflurane 32%. 1. Difusi
Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar Gas respirasi dan ion-ion yang kecil di transportasi
pada wanita hamil setelah epidural anestesi. Hal melalui proses difusi, kebanyakan obat-obat yang
ini disebabkan ruangan epidural menyempit digunakan dalam anestesi mempunyai berat
karena pembesaran plexus venosus epidural molekul yang dapat berdifusi melewati plasenta.
akibat kompresi aortocaval pada penekanan Zat yang larut dalam lemak seperti tiopenton
uterus yang membesar.Berdasarkan hal itu, maka paling cepat berdifusi, sedangkan obat-obat
dosis pada anestesi umum, anestesi regional dan dengan ionisasi yang tinggi seperti pelumpuh otot
lokal harus dikurangi.3-9 sulit berdifusi. Obat-obat dengan ikatan protein
tinggi seperti bupivakain juga sulit berdifusi
Perubahan sistim musculoskeletal, dermatologi, melewati plasenta.
mammae dan mata
Hormon relaxin menyebabkan relaksasi 2. Transport aktif
ligamentum dan melunakkan jaringan kolagen. Asam amino, vitamin dan beberapa ion seperti
Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah muka, calcium dan zat besi menggunakan mekanisme ini
leher, garis tengah abdomen akibat melanocyt 3. Pinositosis
Molekul yang besar seperti immunoglobulin
Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil 61

ditransport melalui pynositosis Tabel 8. Skala Hunt & Hess pada SAH8
Skala Kriteria
4. Facillatated diffusion, seperti pada glukosa.3-9 0 Ruptur aneurisma negatif
I Sakit kepala asimptomatik atau sakit kepala
III. Subarachnoid Hemoragik (SAH) ringan disertai kaku kuduk minimal
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku
Subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah kuduk positip, defisit neurologis negatif,
perdarahan didalam ruang subarchnoid. SAH kelumpuhan saraf kranial positip
disebabkan oleh trauma (kecelakaan lalu III Mengantuk, kebingungan atau deficit fokal
lintas, kecelakaan kerja, jatuh) dan non trauma ringan
(hipertensi tak terkontrol, ruptur anuerisma/
IV Penurunan kesadaran, hemiparesis ringan
AVM, pecandu cocain, perokok berat, penyakit hinga berat, terdapat tanda-tanda awal
ginjal polikistik, penyakit sindrom Ehlers- deserebrasi / kekakuan, gangguan vegetative
Danlos tipe IV, penyakit pseudoxanthoma positip
elasticum, penyakit fibromuskular dysplasia, V Coma dalam, kaku / deserebrasi, tampak
pasien dalam terapi pengencer darah). Wanita sakit berat
hamil dengan tekanan darah tinggi (pre eklalmpsi
berat / eklampsi) juga beresiko untuk terjadinya
perdarahan subarakhnoid.3-10 Gejala klinis SAH Tabel 9. Skala World Federation of Neurological
adalah nyeri kepala hebat (worst headache of Surgeon pada SAH8
my life) mual, muntah, photophobia, kejang, Skala Nilai Defisit Motorik
focal neurological deficit, penurunan kesadaran. Glascow Coma Scale
(GCS)
Diagnosis SAH ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti I 15 Tidak ada
computed tomography (CT scan)/magnetic II 13–14 Tidak ada
resonance imaging (MRI), computed tomographic III 13–14 Ada
angiography (CTA), magnetic resonance IV 7– 2 Tidak ada atau ada
angiography (MRA), catheter angiography.3-10 V 3–6 Tidak ada atau ada
Ada beberapa skala dalam SAH yang digunakan
untuk menilai morbiditas dan mortalitas pasien,
seperti Botterell, Hunt & Hess, WFNS dan Fisher. Tabel 10. Skala Fisher untuk gambaran CT Scan
Umumnya skala 1 dan II (pada semua skala pada SAH8
SAH), memiliki kondisi preoperative baik, skala Skala Gambaran CT scan
1 Perdarahan negatif
Tabel 7. Skala klinis Botterell pada SAH8
2 Perdarahan subarachnoid minimal
Skala Kriteria (ketebalan vertikal < 1mm)
I Sadar penuh, disertai atau tidak disertai 3 Perdarahan subarachnoid terlokalisasi
tanda-tanda meningeal (ketebalan vertikal ≥ 1 mm)
II Mengantuk tanpa disertai kelainan 4 Perdarahan intraserebral atau interventrikular
neurologis dengan atau tanpa perdarahan subarakhnoid
III Mengantuk dan disertai kelainan neurologis,
kemungkinan terdapat bekuan darah
serebral.
III dan IV kondisi preoperatif sedang, skala V
kondisi preoperatif buruk. Pada skala Hunt &
IV Neurologis mayor positip
Hess, makin rendah skala, makin rendah pula
V Penurunan kesadaran berat, disertai morbiditas dan mortalitas pasien SAH.3-15
gangguan tanda-tanda vital dan rigiditas
Beberapa lokasi aneurisma yang sering ditemukan
ekstensor
dapat dilihat pada gambar 1, 2 dan 3.
62 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 11. Mortalitas dan Morbiditas Berdasarkan intraserebral atau intraventrikular, gangguan
Skala Hunt dan Hess8 pembekuan darah, aneurisma pada sirkulus
Grade Mortalitas Morbiditas posterior, short interval from initial hemorrhage.
(Hunt & Hess) (%) (%) Pencegahan perdarahan ulang (rebleeding)
0 0–2 0–2 dilakukan dengan mengontrol tekanan darah, CPP,
I 2–5 0–2
ICP, obat calcium channel blocking (nimodipin),
mencegah kejang, cairan euvolemia.7-15 Golden
II 5–10 7
periode tindakan operatif 24-48 jam pasca
III 5–10 25 perdarahan SAH. Bisa dilakukan 0-3 hari pasca
IV 20–30 25 SAH (early) atau 11–14 hari pasca SAH, keduanya
V 30–40 35–40 memiliki morbiditas dan mortalitas yang sama.
Tindakan operatif yang umum dilakukan adalah
coiling atau clipping aneurisma.7-15

Pasien SAH (semua deraja/skala SAH) harus 3. Clipping Aneurisma


di rawat dalam ruang Intensive Care Unit Prediktor mortalitas setelah SAH adalah kondisi
(ICU), dengan observasi ketat tanda-tanda vital, neurologis yang buruk saat masuk rumah sakit,
terutama tekanan darah. Pasien dengan hipertensi penurunan kesadaran berat setelah SAH, usia
terkontrol baik atau tidak diketahui memiliki lanjut, adanya penyakit penyerta berat (sepsis),
riwayat penyakit hipertensi, target tekanan darah peningkatan tekanan darah yang tidak respon
(TD) sistolik 100–140 mmHg dengan mean dengan obat, tebalnya bekuan darah pada jaringan
arterial pressure (MAP) 70–100 mmHg. Pada otak atau ventrikel pada CT Scan dan perdarahan
hipertensi tidak terkontrol, target TD sistolik ulang (rebleeding).3-15 Komplikasi aneurisma
120–160 mmHg dengan MAP 80–110 mmHg. SAH meliputi komplikasi pada susunan saraf
Target perawatan adalah mencegah perdarahan pusat dan komplikasi sistemik. Komplikasi
ulang, melakukan terapi definitif terhadap SSP berupa perdarahan ulang, vasospasme,
aneurisma dan mencegah terjadinya komplikasi gangguan autoregulasi, hipertensi intracranial,
neurologis (kejang, vasospasme, hydrocephalus) hydrocephalus, kejang, penurunan aliran darah
dan komplikasi medis (cardiac injury, lung injury, otak, penurunan CMRO2. Gangguan sistemik
sepsis).7-15 berupa hipertensi, hipovolemia, hiponatremia,
Faktor resiko terjadinya perdarahan ulang hypokalemia, hipocalcemia, abnormalitas EKG,
(rebleeding) adalah usia tua, wanita, volume abnormalitas respiratori (Neurogenic Pulmonary
perdarahan SAH yg banyak, status neurologis Edema / NPE, pneumonia, pulmonary embolus),
buruk, hipertensi sistemik, adanya perdarahan disfungsi hepar, disfungsi renal, thrombositopenia,

Gambar 1. Lokasi Aneurisma yang sering Ditemukan8-9


Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil 63

Gambar 2. Coiling Aneurisma

Skema 1. Patofisiologi Terjadinya Neurogenic


Pulmonary Edema (NPE) pada SAH7,8

UBF= UAP–UVP

Gambar 3. Clipping aneurisma UVR

UBF = Uteroplacental Blood Flow (aliran darah


anemia, perdarahan gastrointestinal.
7-15 uteroplasenta)
UAP = Uterine Arterial Pressure (tekanan arteri
Penatalaksanaan Anestesi uterine)
Pertimbangan anestesi pada wanita hamil dengan UVP = Uterine Venous Pressure (tekanan vena
SAH adalah adanya dua insan yang harus uterine)
diperhatikan, yaitu keselamatan ibu dan fetus. UVR = Uterine Vascular Resistance (resistensi
Dari segi farmakologi harus diperhatikan, obat vena uterine)
dapat menembus plasenta dan mempengaruhi
janin. Hal penting lainnya adalah aliran darah
uteroplasenta dengan rumus. Uteroplacental vasodilator dan excessive positive pressure
blood flow (UBF) pada kehamilan aterm 700 ml/ ventilation. Uterine venous pressure (UVP)
menit, dimana 10% nya adalah total aliran darah akan meningkat dalam keadaan vena caval
maternal (ibu). Transport oksigen dan nutrisi ke compression, uterine contractions, uterine
fetus akan terganggu bila terjadi perubahan pada hypertonus, oxytocin overstimulation, dan
uterine atrial pressure (UAP), uterine venous α-adrenergik stimulation (obat-obat adrenergic
pressure (UVP) dan uterine vascular resistance yang meningkatkan tonus uterus). Uterine
(UVR). Uterine arterial pressure (UAP) akan vascular resistance (UVR) akan meningkat
menurun dalam keadaan hipovolemia, blok karena endogenous catecholamines, untreated
simpatis akibat neuroaxial anesthesia, aorocaval pain atau noxious stimulation (laringoskop,
compression, anesthetic overdose, obat-obat intubasi, insisi kulit), preeklamsia, hipertensi
64 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kronis dan exogenous vasoconstrictors. Untuk mematangkan fetus, karena tidak ada perbedaan
mengantisipasi hal tersebut, hemodinamik harus morbiditas dan mortalitas antara early dan late.4-15
stabil preoperatif, intraoperatif dan pasca operatif. Wanita hamil dengan aneurisma serebral
Pada tindakan anestesi, target UBF = (UAP– menunjukkan perbaikan survival untuk ibu
UVP)/UVR. Penurunan dari tekanan rerata ibu dan fetus bila clipping dilakukan setelah
atau peningkatan resistensi vascular uterus akan SAH dibandingkan dengan pengelolaan tanpa
menurunkan aliran darah uteroplasental sehingga pembedahan. Reseksi AVM yang tidak pecah
menurunkan aliran darah umbilical.3-15 dapat ditunda sampai setelah melahirkan tanpa
Prinsip neuroanestesi ibu hamil sama seperti menunjukkan adanya peningkatan mortalitas
pasien tidak hamil, yaitu mencegah terjadinya ibu.7-15
cedera sekunder dan tehnik yang digunakan
adalah ABCDE neuroanestesi yang sama dengan Sedatif premedikasi (lorazepam 1-4 mg,po) dapat
neuroresusitasi, neuroproteksi, pengelolaan diberikan pada pasien dengan tingkat kecemasan
nerurointensive care. 4-15 tinggi (skala Hunt & Hess I-II), namun harus
A) Airway: jalan nafas bebas, B) Breathing: dipertimbangkan resiko terjadinya hipoventilasi,
ventilasi kendali, normokapnia pada TBI dan hiperkarbi yang dapat meningkatkan tekanan
sedikit hipokapnia pada brain tumor intrakranial. Pengosongan lambung yang
C) Circulating: hindari lonjakan tekanan darah, lebih lama pada ibu hamil beresiko terjadinya
peningkatan tekanan vena serebral, target regurgitasi dan aspirasi cairan lambung. Untuk
normovolemia, iso-osmoler, normoglikemia mengantisipasi terjadi nya hal tesebut, dapat
D) Drugs: hindari obat dan tehnik anestesi yang diberikan bicitra 30 ml,iv, metoclopramide 10
akan meningkatkan ICP, berikan obat yang mg,iv atau ranitidine 150 mg,iv. Calcium channel
berefek proteksi otak blok (nimodipin), antikonvulsan, steroid dapat
E) Enviroment: pengendalian suhu, target suhu dilanjutkan bila tidak ada kontraindikasi.7-15
35oC di kamar operasi dan 36oC di ICU. Insidens terjadinya rupture aneurisma saat nduksi
0,5–2 %, dengan tingkat mortalitas 75%. Induksi
Cedera otak primer pada SAH adalah perdarahan anestesi pada ibu hamil diusahakan dengan
karena aneurisma atau AVM nya. Cedera otak metode “slow neuro-induction” dengan tiophental
sekunder disebabkan oleh faktor sistemik /propofol, opioid dan pelumpuh otot non depol.
(hipoksemia, hipotensi, anemia, hipokarbia, Metode lain adalah ‘rapid-sequence induction”
hiperkabia, pireksia, hiponatremia, hipoglikemia) tanpa tekanan positip saat bagging dengan masker
dan faktor intracranial (hematoma, peningkatan ventilasi. Dosis obat induksi yang dianjurkan
ICP, kejang, infeksi, vasospame). Cedera otak pada kraniotomi ibu hamil adalah thiopental 3–5
sekunder ini dapat terjadi dalam hitungan menit, mg/kg, propofol 1–2 mg/kg, fentanil 3–5 ug/kg,
jam dan hari setelah cedera ruptur aneurisma/ sufentanil 0,5–1 ug/kg, rocuronium 0,9–1,2 mg/
AVM.4-15 kg, vecuronium 0,1 mg/kg, dosis rendah isoflurane
/sevoflurane, disertai penekanan pada cricoid
Ibu hamil dengan SAH, harus dipertimbangkan dengan aliran gas oksigen 100%. Target endtidal
usia kehamilannya. Kehamilan kurang 24 minggu CO2 35–40 mmHg, hindari terjadinya hiperkarbi,
tidak dianjurkan untuk seksio saesarea. Operasi yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
kliping aneurisma dapat dilakukan segera dalam intrakranial. Hiperkarbi berat akan menyebabkan
waktu 0–3 hari pasca ruptur aneurisma (early) kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ibu bergeser
atau hari ke 11–14 pasca rupture aneurisma (late), ke kiri dan menyebabkan gangguan transport
dimana keduanya mempunyai morbiditas dan oksigen ke bayi. Sebelum laringoskop, berikan
mortalitas yang sama. Bila usia kehamilan telah lidokain 1,5 mg/kg, thiopental 2–3 mg/kg atau
lebih dari 24 minggu (umumnya 32 minggu), propofol 0,5 mg/kg. Usahakan “gentle and
dapat dilakukan seksio saesarea, kemudian smooth laryngoscopy” dan intubasi. Pasca
dilanjutkan kliping aneurisma. Atau tunggu lebih intubasi, kepala di elevasi 30 derajat.7-15
dari 10 minggu pasca rupture dengan alasan untuk Target tekanan transmural (TMP) = CPP = MAP
Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil 65

– ICP. Peningkatan TMP dapat mengakibatkan yang dianjurkan 0,25-0,5 g/kg. Pemberian
pecahnya aneurysma. Sedangkan penurunan TMP manitol dilakukan setelah duramater dibuka,
akan menimbulkan iskemia. Penurunan tekanan untuk mencegah terjadinya ruptur.7-15
darah yang direkomendasikan 20–25% dari Tanda klinis bila terjadi rupture aneurisma
tekanan darah pasien. Penurunan tekanan darah intraoperative, adalah hipertensi dan bradikardi.
lebih dari 30% dapat mengakibatkan terjadinya Dapat dilakukan drainase cairan serebrospinal
iskemia serebral. Hindari hiperventilasi karena melalui kateter lumbal dengan kecepatan 5 ml/
akan mengurangi aliran darah otak (cerebral menit dan total pengambilan cairan 50–150 ml,
blood flow/CBF), menurunkan ICP, meningkatkan apabila otak belum kempes (slack brain). Drainase
TMP dan beresiko terjadinya ruptur aneurisma cairan serebrospinal ibu hamil berlebihan dapat
Hiperventilasi akan menyebabkan peningkatan mengganggu uteroplacental blood flow (UBF)
tekanan intrathorakal, sehingga terjadi penurunan fetus. 7-15 Pasien dengan grading klinis baik, dapat
cardiac output ibu, dan mengakibatkan peredaran diekstubasi di kamar operasi. Saat ekstubasi,
darah uteroplacental bayi terganggu.7-15 pasien ibu hamil harus sadar betul (fully
awake) dengan reflek menelan yang baik, untuk
Tidak ada perbedaan rumatan anestesi kranitomi menghindari terjadinya aspirasi pasca ekstubasi.
pada ibu hamil dan tidak hamil. Intraoperatif, Tetapi dengan klinis buruk (skala Hunt dan Hess
target hemodinamik stabil dan isovolemik 3–5) atau bila didapatkan pembengkakan otak
dengan memperhitungkan pemberian cairan intra operasi, rupture aneurisma, ligase feeding
untuk mencegah terjadinya peningkatan cerebral vessel, pasien tidak diekstubasi dan rawat di ICU
blood volume (CBV). Rumatan anestesi yang dengan sedasi dan ventilator mekanis. Apabila
dianjurkan adalah fentanil 1–2 ug/kg/jam, pasien tetap tidak respon atau ada perburukan
sevoflurane 0,5–1%, compress air, vecuronium neurologis baru dalam 2 jam pasca operasi, perlu
0,08 mg/kg/jam, propofol 6–8 mg/kg/jam atau segera dilakukan pemeriksaan CT scan.7-15
thiopental 5–6 mg/kg/jam. Dapat pula digunakan Pasca kliping, dilakukan terapi triple-H,
metode total intravenous anesthesia (TIVA) yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi.
tanpa gas anestesi.7-15 Lama kliping temporer 20 Hipertensi dapat dilakukan dengan pemberian
menit atau kurang. Bila menggunakan teknik cairan atau obat vasopressor (sebelum kliping,
hipotensi dapat diberikan sodium nitroprussid tekanan darah sistolik 120–150 mmHg, setelah
atau anesthesia inhalasi. Hipotensi berat dapat kliping tekanan darah sistolik 160-200 mmHg),
menyebabkan terjadinya asfiksia fetus, karena hipervolemi dapat dilakukan dengan pemberian
gangguan pada uteroplacental blood flow cairan kristaloid, koloid atau produk darah
(UBF). Diperlukan monitor denyut jantung bayi (PRC / FFP) dengan target CVP 10 mmHg dan
(Doppler) saat tehnik hipotensi dilakukan. PCWP 12–16 mmHg, hemodilusi dengan target
Pemberian sodium nitroprusside pada ibu hamil hematokrit 30–35%.7-15 Prognosis ibu hamil
harus dipertimbangkan, karena metabolisme dengan SAH sesuai dengan skala Hunt dan Hess.
sianida di organ hati fetus belum sempurna Makin rendah skala, makin rendah pula angka
sehingga dapat terjadi keracunan sianida.7-15 morbiditas dan mortalitas.7-15
Pada ooperasi kliping aneurisma, harus dilakukan
proteksi otak dengan hipothermi 32–34 oC, IV. Simpulan
manitol, dexamethasone, penthotal / propofol.
Penurunan suhu dibawah 32 oC tidak dianjurkan Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan
untuk ibu hamil, karena dapat mengakibatkan kondisi gawat darurat neurologi yang harus
aritmia pada jantung fetus.7-15 segera ditanggani. Data menunjukkan, wanita
Penggunaan manitol sebagai diuretic osmotik, lebih sering terserang SAH dibanding pria,
untuk menurunkan tekanan intrakranial dan dengan rentang usia terbanyak 50–60 tahun.
mengempiskan otak, harus dipertimbangkan SAH disebabkan oleh traumatik dan non
pemakaiannya pada ibu hamil, karena dapat traumatik. Penyebab non traumatic terbanyak
menyebabkan dehidrasi fetus. Dosis manitol adalah ruptur aneurisma atau AVM. Wanita
66 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hamil dengan penyakit penyerta hipertensi, pre 3. Gaiser R. Physiologic changes of pregnancy.
eklampsia berat, eklampsi, beresiko terjadinya Dalam: Chesnut DH, Polley LS, Tsen
perdarahan subaraknoid (SAH). Wanita hamil LC, Wong CA, eds. Chesnut’s Obstetric
dengan aneurisma serebral menunjukkan Anesthesia Principles and Practice. Edisi
perbaikan survival untuk ibu dan fetus bila ke-4. Philadelphia: Mosby Elseveir; 2009,
clipping dilakukan setelah SAH dibandingkan 15–31
dengan pengelolaan tanpa pembedahan. Reseksi
AVM yang tidak pecah dapat ditunda sampai 4. Clewel WH. Neurologic emergencies during
setelah melahirkan tanpa menunjukkan adanya pregnancy. Dalam: Foley MR, Stong TH,
peningkatan mortalitas ibu. Usia pengakhiran Garite TJ,eds. Obstetric Intensive Manual,
kehamilan pada wanita hamil dengan SAH 3rd ed, NewYork: McGraw Hill Medical;
adalah 32 minggu. Hindari penurunan tekanan 2011,191–97
rerata ibu atau peningkatan resistensi vascular
uterus, karena akan menurunkan aliran darah 5. Mhuireachtaigh R, O’Gorman DA. Anesthesia
uteroplasental, yang berakibat penurunan aliran in pregnant patients for nonobstetric surgery.
darah umbilical. Target endtidal CO2 35–40 Journal of Clinical Anesthesia 2006; 18: 60–
mmHg, hiperkarbi berat akan menyebabkan kurva 66
disosiasi oksigen-hemoglobin ibu bergeser ke kiri
dan menyebabkan gangguan transport oksigen 6. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the
ke bayi. Hiperventilasi akan mengakibatkan pregnant woman. Anesth Analg 2008; 107:
peredaran darah uteroplacental bayi terganggu, 193–200
mengurangi aliran darah otak (cerebral blood flow/
CBF), menurunkan ICP, meningkatkan TMP dan 7. Bisri Y, Bisri T. Seksio sesarea pada pasien
beresiko terjadinya ruptur aneurisma. Pemberian aneurisma intracranial/AVM/stroke. Dalam:
sodium nitroprusside pada wanita hamil harus Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwono BS
dipertimbangkan, karena metabolisme sianida Anestesi Obstetri, Edisi ke-1, Bandung: Saga
di organ hati fetus belum sempurna sehingga Olahcitra; 2013; 205–11
dapat terjadi keracunan sianida. Penurunan suhu
dibawah 32oC tidak dianjurkan untuk ibu hamil, 8. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for
karena dapat mengakibatkan aritmia pada jantung neurosurgery in the pregnant patient. Dalam:
fetus. Dosis manitol yang dianjurkan 0,25–0,5 Cottrell JE, Young WL. Cottrell and young
g/kg, karena dapat menyebabkan dehidrasi neuroanesthesia. 5 th ed, Philladephia:
fetus.Pasca kliping, dilakukan terapi triple-H, Mosby Elseveir; 2010; 416–22
yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi.
Prognosis ibu hamil dengan SAH sesuai dengan 9. Catarina SC, Filipa R, Maria JC, Isabel R,
skala Hunt dan Hess. Makin rendah skala, makin Joao M. Anesthetic approach of pregnant
rendah pula angka morbiditas dan mortalitas. woman with cerebral arteriovenous
malformation and subarachnoid hemorrhage
Daftar Pustaka during pregnancy: Case report. Brazilian
Journal of Anesthesiology. 2013; 63:223–26
1. Bisri Y, Bisri T. Anatomi dan fisiologi wanita
hamil. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, 10. Walter JJ, Luke DT, Mayshan G, Robert JS.
Suwono BS, eds. Anestesi Obstetri, Edisi ke- Use of endovascular embolization to treat a
1, Bandung: Saga Olahcitra; 2013;1–14 ruptured arteriovenous malformation in a
pregnant woman. A case report. Journal of
2. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Medical Case Report. 2012; 6:113
Anesthesia Handbook, edisi ke-5. New York:
Springer; 2010 11. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman
JD, Tubbs RS, Munis JR, Meyer FB.
Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil 67

Neurosurgical management of intracranial 14. Balki M, Manninen PH. Craniotomy for


lesions in the pregnant patient: a 36-year suprasellar meningioma in a 28-week
institutional experience and review of the pregnant woman without fetal heart rate
literature. J Neurosurg. 2009(6):1150–7. monitoring. Canada anaesthesia journal.
2004; 51:573–6
12. Soderman M. Management of patient with
brain arteriovenous malformations. Europan 15. Kuczkowski KM. Nonobstetric surgery
journal of radiology, 2003; 46: 195–205 during pregnancy: What are the risk of
anesthesia? Obstetrical & Gynecological
13. Wang, Peter L. Neuroanesthesia for the Journal. 2004; 1:52–56
pregnant woman. Anesth Analg. 2008; 107:
193–200
Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi

Suwarman*), Tatang Bisri*)


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung

Abstrak

Penanganan nyeri pascakraniotomi sampai saat ini masih belum begitu diperhatikan dan sering ditangani
dengan kurang adekwat. Nyeri pascakraniotomi seringkali diabaikan karena adanya anggapan bahwa pasien
pascakraniotomi tidak mengalami nyeri berat. Anggapan ini perlahan-lahan berubah dengan meningkatnya
kesadaran tentang nyeri akut pascakraniotomi. Terdapat berbagai teknik yang dilakukan untuk menangani nyeri
ini, dimana setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, tidak ada satu pun modalitas
yang dinyatakan sebagai yang terbaik dan dapat berlaku secara universal. Belum ada konsensus mengenai standar
penanganan nyeri pada pasien ini. Masih terdapat berbagai ketidaksesuaian pendapat mengenai mana regimen
terapi yang tepat untuk mengobati nyeri pasca kraniotomi. Pada dekade terakhir, meningkatnya kesadaran serta
semakin canggihnya penatalaksanaan nyeri menyebabkan dilakukannya berbagai teknik untuk mencapai analgesia
yang adekwat pada kelompok pasien ini. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah serta kualitas penelitian
mengenai nyeri pascakraniotomi. Ulasan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai patofisiologi,
karakteristik, dan berbagai teknik yang dilakukan untuk penanganan nyeri akut pascakraniotomi. Nyeri kronis
pasca kraniotomi yang merupakan gejala sisa yang sangat mengganggu juga dibahas secara singkat.

Kata kunci: Nyeri, pascakraniotomi, analgesia

JNI 2016;5(1): 68–76

Postcraniotomy Pain Management

Abstract

Until recently, perioperative pain management in neurosurgical patients has been inconsistently recognized
and inadequately treated. Pain following craniotomy has frequently been neglected because of the notion that
postcraniotomy patients do not experience severe pain. However a gradual change in this outlook is observed
because of awareness and understanding toward acute postcraniotomy pain. There are various technique
exist for treating this variety of pain each with its own share of advantages and disadvantages. However,
individually none of these modalities has been proclaimed as the best and applicable universally. There is no
consensus regarding the standardization of pain control in this patient population. A considerable amount
of dispute remains to ascertain the appropriate therapeutic regimen for treating postcraniotomy pain. In
the last decade, improved awareness and advances in the practice of pain management have resulted in the
implementation of diverse techniques to achieve adequate analgesia in this group of patients. This has led to
an increased number and quality of studies about postcraniotomy pain. This article provides information
about the pathophisiology, characteristic, and also various techniques and approaches for postcraniotomy pain
management. Chronic postcraniotomy pain which can be debilitating sequelae is also discussed concisely.

Key words: pain, post craniotomy, analgesia

JNI 2016;5(1): 68–76

68
Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi 69

I. Pendahuluan diaplikasikan.6 Masih sedikitnya penelitian


evidence base menyebabkan sering didapatnya
Pasien pascakraniotomi sering diasumsikan hasil yang bertolak belakang, menyebabkan
mengalami tingkat nyeri yang rendah. Alasan pemberian terapi yang tidak konsisten yang pada
tentang hal tersebut dikarenakan jumlah akhirnya menyebabkan pemberian terapi tidak
reseptor nyeri yang lebih sedikit di duramater, optimal.6 Karenanya potensi untuk meneliti "baku
ketidakpekaan otak terhadap rasa nyeri, emas" rejimen terapi nyeri pascakraniotomi
berkurangnya densitas serabut nyeri sepanjang masih terbuka lebar.
garis sayatan, atau terjadinya autoanalgesia.1
Oleh karena itu, nyeri pascakraniotomi sering 2. Karakteristik Nyeri Akut Pascakraniotomi
diabaikan. Semakin meluasnya keyakinan Nyeri pascakraniotomi biasanya terasa berdenyut
bahwa kraniotomi menyebabkan nyeri sedang mirip dengan nyeri kepala tipe tension. Kadang-
pascaoperasi saat ini sedang menjadi isu yang kadang nyeri dapat terasa menetap dan terus
diperdebatkan karena banyaknya bukti baru menerus. Nyeri pascakraniotomi biasanya
yang ditemukan. Dari beberapa studi prospektif, menimpa pasien wanita dan pasien muda.5
didapatkan data bahwa sekitar 60% pasien Rasa nyeri adalah konsekuensi sayatan bedah
pascaoperasi kraniotomy mengalami nyeri sedang dan merefleksikan nyeri yang berasal dari otot
sampai dan berat.2 Pemberian terapi analgetik perikranium dan jaringan lunak kulit kepala
yang tidak adekwat sering menyebabkan pasien yang merupakan nyeri somatik. Pendekatan sub-
harus menahan nyeri terutama pada hari pertama oksipital dan subtemporal yang melibatkan diseksi
pascaoperasi. Hal ini dapat menyebabkan otot besar seperti temporal, splenius capitis,
perubahan perilaku sampai hari pertama atau dan cervicis dihubungkan dengan insidensi
kedua hari pascaoperasi. Penanganan nyeri yang nyeri tertinggi.7 Penelitian lain memperlihatkan
tidak adekwat juga dapat menyebabkan berbagai bahwa pasien yang menjalani kraniotomi frontal
komplikasi pascaoperasi serta memperpanjang dilaporkan memiliki tingkat nyeri pascaoperasi
lama perawatan di rumah sakit, yang pada yang lebih tinggi.1
akhirnya meningkatkan biaya perawatan.3
Namun demikian, jumlah kerusakan jaringan
Rasa nyeri juga menyebabkan stimulasi yang terjadi lebih menentukan tingkat intensitas
simpatis yang dapat mengakibatkan terjadinya nyeri pascakraniotomi yang dirasakan oleh
hipertensi serta memiliki potensi sebagai pasien dibandingkan dengan lokasi operasi.6
pencetus perdarahan intrakranial sekunder.4 Di Jumlah kerusakan jaringan yang lebih besar akan
lain pihak, penanganan nyeri yang berlebihan menghasilkan intensitas nyeri pascaoperasi yang
dapat menyebabkan terjadinya sedasi serta dapat lebih tinggi. Kebocoran cairan cerebrospinal
menutupi gejala defisit neurologis yang terjadi. pascaoperasi setelah operasi dasar tengkorak
Selain itu adanya efek samping menurunnya ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya nyeri
pernafasan menimbulkan hiperkarbia yang dapat kepala. Nyeri kepala karena kebocoran CSF
meningkatkan volume darah otak sehingga menunjukkan variabilitas yang cukup banyak.
akibatnya akan meningkatkan tekanan intrakranial Kebanyakan nyeri kepala tersebut bersifat
(ICP). Karena itu, dalam menghadapi situasi yang orthostatik. Walaupun nyeri yang dirasakan
saling bertentangan ini, pada saat melakukan itu menetap atau menurun secara perlahan, ia
penilaian perioperatif dokter cenderung untuk akan meningkat saat posisi berdiri dan menurun
melakukan pendekatan konservatif dalam dengan posisi tirah baring.8
menangani nyeri pascabedah kraniotomi. Karena
itu dalam menangani nyeri pascakraniotomi, Iritasi meningeal juga berkontribusi terhadap
sering terjadi kegagalan untuk mencapai tujuan.5 timbulnya rasa nyeri pascaoperasi.5 Patofisiologi
Dengan tidak adanya pedoman evidence base yang berperan dalam berbagai nyeri kepala
yang kuat, penanganan analgesia pascaoperasi masih belum jelas. Didalam tengkorak kepala,
yang tepat dalam kasus pascakraniotomi sulit satu-satunya jaringan yang sensitif terhadap
70 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

nyeri adalah meningen dan satu satunya sensasi bulan setelah kraniotomi,
yang dapat timbul dari meningen adalah nyeri. (2) nyeri kepala masih dirasakan tetapi belum
Banyak mediator inflamasi termasuk pH asam, mencapai waktu 3 bulan setelah kraniotomi
histamin, bradikinin, prostaglandin, nitrit 3.2. Nyeri kepala persisten dikaitkan dengan
oksida, dan serotonin dapat mengaktivasi dan Kraniotomi
atau mensensitisasi aferen dari duramater ini. Deskripsi: Nyeri kepala dengan durasi lebih
Dan adanya mediator-mediator ini di meningen dari 3 bulan yang disebabkan oleh pembedahan
dapat menyebabkan nyeri.9 Selain itu pemakaian kraniotomi.
dural fibroblast diperkirakan dapat merangsang Kriteria diagnostiknya adalah sebagai berikut:
terjadinya nyeri kepala pascaoperasi. Ada (A) Setiap nyeri kepala yang memenuhi kriteria
penelitian yang menyatakan bahwa dural (C) dan (D).
fibroblast dapat melepaskan IL-6, yang sesuai (B) telah dilakukan pembedahan kraniotomi.
dengan penelitian sebelumnya pada fibroblast (C) Nyeri kepala yang timbul dalam 7 hari setelah
jantung. IL-6 tampak meningkat pada pasien salah satu dari berikut:
yang sedang dalam serangan migrain, sehingga (1) kraniotomi,
diperkirakan bahwa sitokin proinflamasi ini (2) mendapatkan kembali kesadaran setelah
berperan dalam patofisiologi nyeri kepala.9 kraniotomi,
(3) penghentian obat yang merusak kemampuan
III. Klasifikasi dan Penilaian Nyeri untuk merasakan atau melaporkan nyeri kepala
Pascakraniotomi pascakraniotomi.
(D) Nyeri kepala menetap lebih dari 3 bulan
Klasifikasi Internasional tentang nyeri kepala setelah operasi kraniotomi.10
(The International Classification of Headache
Disorders-ICHD-3) yang diterbitkan oleh Penilaian nyeri secara tepat pada pasien
International Headache Society memperlihatkan pascakraniotomi merupakan masalah karena
kriteria dari nyeri kepala pascakraniotomi dan pasien harus dapat menerangkan dan
dibagi menjadi 2 bagian yaitu akut dan persisten. mengekspresikan nyeri yang mungkin tidak
Deskripsi dari varietas tersebut dapat dilihat selalu memungkinkan setelah dilakukannya
seperti dibawah ini: prosedur bedah saraf. Penilaian subjektif dengan
3.1. Nyeri kepala akut dikaitkan dengan mengobservasi sifat dari nyeri akut perlu untuk
Kraniotomi dipertimbangkan. Pada pasien dewasa yang sadar
Deskripsi: Nyeri kepala dengan durasi kurang dengan orientasi baik dapat ditanya nilai nyeri
dari 3 bulan disebabkan oleh tindakan operasi yang dirasakan menggunakan Numeric Rating
kraniotomi. Scale (NRS)1 atau menggunakan visual analog
Kriteria diagnostiknya adalah sebagai berikut: Scale (VAS).11 Pada anak-anak penilaian nyeri
(A) Setiap nyeri kepala yang memenuhi kriteria dapat dilakukan dengan FLACC score (Face,
(C) dan (D). Leg, Activity, Cry, Consolability).12
(B) telah dilakukan operasi bedah kraniotomi.
(C) Nyeri kepala yang terjadi dalam 7 hari setelah IV. Terapi untuk Mengelola Nyeri Akut
salah satu dari hal berikut: Pascakraniotomi
(1) kraniotomi,
(2) mendapatkan kembali kesadaran setelah Penanganan nyeri pascakraniotomi saat ini sangat
kraniotomi, bervariasi karena kurangnya protokol analgetik
(3) penghentian obat yang mengganggu standar. Selain teknik anestesi intraoperatif serta
kemampuan untuk merasakan atau melaporkan penggunaan opioid yang bervariasi, jenis tindakan
adanya nyeri kepala setelah kraniotomi operasi yang dilakukan juga berpengaruh terhadap
nyeri pascaoperasi. Selain itu, berkurangnya
(D)Salah satu dari yang berikut: status neurologis setelah tindakan operasi
(1) nyeri kepala yang menghilang dalam waktu 3 bedah saraf serta sifat subjektif dari asesmen
Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi 71

Tabel 1. FLACC Score12


KATEGORI SKOR
0 1 2
FACE Tidak ada ekspresi Kadang wajahnya meringis Sering atau selalu
tertentu atau senyum atau mengerutkan kening, mengerutkan kening, rahang
menarik diri, atau tidak terkatup, daguna gemetaran
tertarik terhadap sesuatu
LEG Posisi normal atau santai Cemas, gelisah, tegang Menendang, atau menarik
kakinya
ACTIVITY berbaring dengan tenang, menggeliat, bergantian Melengkung, kaku, atau
posisi normal, bergerak kedepan dan ke belakang, menyentak
dengan mudah tegang
CRY Tidak ada teriakan Mengerang atau merintih, Menangis terus, teriak atau
(terjaga atau tertidur) sesekali mengeluh isak tangis, sering mengeluh
CONSOLABILITY Puas/senang, santai Sesekali diyakinkan dengan Sulit untuk dihibur atau
sentuhan pelukan atau dibuat nyaman
diajak bicara, dialihkan

nyeri menghambat penilaian nyeri yang sesuai.


Dalam masa perioperatif, dokter kadangkala
mengurangi pemberian analgetik (terutama
opioid) dengan tujuan untuk mengurangi efek
samping yang mengikutinya. Sampai saat ini,
belum ada konsensus tentang analgetik yang ideal
untuk nyeri pascakraniotomi.5 Berikut ini adalah
berbagai teknik dan obat yang bisa digunakan
untuk terapi analgetik pascakraniotomi.

4.1. Anestesi Lokal


(a) Scalp block: Scalp block termasuk
menginfiltrasi obat anestesi lokal ke lima saraf
pada tiap sisi kulit kepala.
Keuntungan dari scalp block adalah kemampuan Gambar 1. Gambaran anatomi dari persarafan
untuk mendapatkan asesmen neurologis utama kulit kepala. Teknik scalp block
melibatkan 4 sampai 5 suntikan dari obat
pascabedah secara akurat karena ia tidak
anestesi lokal ke tempat yang telah ditandai,
mempengaruhi saraf sensorik maupun motorik.
untuk memblok saraf yang telah ditandai.13
Scalp block telah mengurangi frekwensi dari
permintaan analgetic rescue, meningkatkan waktu
antara selesainya operasi dengan kali pertama (b) Infiltrasi dari pinggir luka operasi:
pasien membutuhkan analgetik, dan menurunkan Infiltrasi obat anestesi lokal preincisional
skor nyeri pada fase inisial pascabedah.5 Scalp menghasilkan efek yang sangat minim terhadap
block juga memfasilitasi ”transisional analgesia” nyeri pascabedah kraniotomi. Bagaimanapun
setelah pemberian analgetik perioperatif juga infiltrasi batas luka operasi dapat sedikit
menggunakan remifentanyl. Kulit kepala menurunkan nyeri pascaoperasi.14 Hasil ini
dipersarafi oleh banyak serabut C dan ropivacaine sangat penting terutama dalam mengurangi
memiliki aksi selektif terhadap serabut sensoris kejadian nyeri kronik karena adanya proses
Aδ dan C, karenanya ia merupakan obat yang inflamasi serta neuropatik. Infiltrasi bupivacaine
sering dipilih dalam melakukan tindakan ini.5 (0,25% dengan adrenalin) sebelum pembedahan
72 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dan setelah penutupan kulit menunjukkan adanya (PCA) atau melalui jalan intramuskuler. Efek
penurunan nilai skor nyeri pascaoperasi sampai 1 analgetik yang poten menumpulkan peningkatan
jam pascaoperasi.15 hemodinamik saat masa pemulihan dari efek
anestesi atau pada periode segera setelah
Kemungkinan obat anestesi lokal memberikan operasi sehingga dapat mencegah terjadinya
efek analgesia pascaoperasi melalui efek analgetik kemungkinan perdarahan intrakranial. PCA
preemptif. Keterbatasan utama dari modalitas memfasilitasi kontrol pasien terhadap nyeri
ini adalah durasi dari hilangnya nyeri terbatas yang dideritanya dan juga mengurangi konsumsi
pada beberapa jam setelah operasi. Ketika efek opioid secara keseluruhan. Berkurangnya skor
dari obat anestesi lokal hilang, pemberian obat nyeri, kepuasan pasien yang lebih baik, serta
tambahan diperlukan untuk mengatasi nyeri. kurangnya efek samping (dengan pemberian
Ketidakmampuan untuk mengulangi pemberian antiemetik serta monitoring secara ketat)
injeksi obat anestesi lokal setelah penutupan merupakan keuntungan yang didapat dari mode
verban steril merupakan keterbatasan lainnya. analgesia ini.16 Bagaimanapun juga kebutuhan
Hematoma, infeksi, serta injeksi intraarterial untuk mendapatkan kesadaran serta sensor yang
ataupun subarachnoid merupakan komplikasi intak, merupakan keterbatasan yang mengurangi
yang jarang dari scalp block. Diantara dua penggunaan PCA secara luas.
teknik, infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal Pemberian injeksi morfin intramuskuler juga
tampaknya merupakan teknik yang lebih disukai merupakan hal yang bisa digunakan walaupun
dibandingkan dengan scalp block.5 memiliki onset yang lebih lambat, absorbsi
sistemik yang bervariasi, serta nyeri pada tempat
4.2. Opioid injeksi.5
Diluar berbagai kontroversi yang melingkupi b. Fentanyl
penggunaannya dalam operasi bedah saraf, Dibandingkan dengan morfin, fentanyl lebih
opioid merupakan modalitas untuk penanganan poten, lipofilik, dan mempunyai onset yang lebih
nyeri sedang sampai berat. Opioid yang sering cepat. Karena masa kerjanya yang lebih pendek,
digunakan untuk analgetik pascakraniotomi menjadi suatu keharusan untuk memberikan
termasuk morfin, codein, fentanyl, dan tramadol. obat ini melalui PCA; tetapi ia dapat digunakan
Aksinya dimediasi oleh reseptor opioid spesifik intravena untuk breakthrough pain. Penelitian
di sistim saraf sentral dan perifer. Pertimbangan sebelumnya menunjukkan bahwa pengendalian
tentang efek depresi nafas, sedasi, hiperkarbia, nyeri lebih baik menggunakan PCA fentanyl,
peningkatan ICP, dan keterlambatan dalam baik secara tersendiri ataupun bersama-sama
weaning ventilator, merupakan hal-hal yang dengan NSAID.17 Peningkatan kenyamanan
difikirkan dalam penggunaan terapi opioid pasien merupakan keuntungan lain dari fentanyl.
pada bedah saraf. Adanya potensi efek samping Meskipun fentanyl transdermal merupakan cara
ini membuat opioid merupakan pilihan terapi pemberian analgetik yang baru, pemberian secara
terakhir dalam analgetik pascakraniotomi. transdermal merupakan kontraindikasi pada nyeri
Konsepsi tradisional ini telah membatasi akut karena onsetnya yang lambat, kesulitan
penggunaan opioid setelah operasi bedah saraf, dalam penghantaran obat, dan memanjangnya
sehingga mengurangi keadekwatan analgesia. eliminasi waktu paruh. Sebagai tambahan,
Bagaimanapun, opioid sistemik sering diperlukan keamanan pemberian secara transdermal masih
untuk memberikan analgetik yang adekwat setelah dipertanyakan pada pasien bedah saraf karena
operasi kraniotomi. Opioid dapat diberikan baik absorbsi fentanyl subkutan masih terus terjadi
melalui parenteral maupun enteral.5 untuk beberapa waktu setelah dilepascannya
fentanyl patch.5
4.2.1. Parenteral c. Tramadol
a. Morfin Tramadol merupakan analgetik sintetik yang
Morfin parenteral dapat diberikan melalui memberikan efek analgetik melalui mekanisme
intravena, termasuk Patient Control Analgesia opioid (agonis reseptor u) seperti juga mekanisme
Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi 73

nonopioid (peningkatan level sinaptik neuronal Karenanya kekuatan analgetik codein ini menjadi
sentral dari serotonin dan noradrenalin). sangat bervariasi dan tidak mencukupi. Dilain
Walaupun efikasi analgetiknya 10–15 kali lebih pihak, dapat terjadi kerusakan sensoris pada
lemah dibandingkan dengan morfin, namun efek pasien yang memiliki metabolisme berlebihan,
sampingnya juga relatif lebih sedikit. Pemberian karena adanya overload dari morfin, yang bisa
berulang tidak menyebabkan ketergantungan, disalahartikan sebagai gangguan neurologis
tidak adanya ceiling effect, dan jarang terjadi atau karena sebab lainnya. Selain itu ada
depresi nafas. Sebagai tambahan pemberian beberapa obat yang dipakai bersama-sama
tramadol bersama dengan narkotik lain untuk dapat menghambat CYP 2D6 dan metabolisme
analgetik pascaoperasi dapat memperlihatkan kodein. Untuk mendapatkan efek sinergis,
kemampuannya mengurangi nyeri pascaoperasi, kodein dan oxykodone sering diberikan bersama
mengurangi efek samping opioid lainnya, asetaminofen dan aspirin.19 Tablet oxycodone
menurunkan lama perawatan di rumah sakit, dan lepas lambat tidak dapat berikan melalui
mengurangi biaya perawatan secara keseluruhan.5 nasogastrik tube karena bila tablet dihancurkan
Tramadol sering digunakan pada pasien dengan maka tablet ini akan melepaskan sejumlah besar
fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang tidak oxycodone yang akan diabsorbsi secara sistemik.
stabil. Dalam pemakaiannya untuk analgetik
pascabedah, pemberian tramadol memerlukan 4.3. Analgetik Non Opioid
kehati-hatian karena efek samping mual dan a. Paracetamol
muntah serta adanya kemungkinan terjadinya Mekanisme kerja paracetamol secara pasti
kejang walaupun jarang.18 masih belum jelas, diperkirakan melibatkan
aksi antinosiseptif sentral, inhibisi prostaglandin
4.2.2. Opioid Enteral H2 sintetase, merangsang aktivitas jalur
Kodein dan oxycodone merupakan opioid yang serotoninergik desenden di medulla spinalis,
sering diberikan secara enteral terutama saat atau modulasi reseptor β endorfin. Paracetamol
konversi dari suntikan ke oral. Efek analgetik dan digunakan di pusat tertentu untuk mengurangi
depresi nafasnya sama dengan morfin pada dosis nyeri pascakraniotomi walaupun sebagai
yang equipotent. Adanya ceiling effect terhadap obat tunggal paracetamol tidak efektif untuk
depresi respirasi, serta tidak dipengaruhi oleh mengurangi nyeri. Bagaimanapun penggunaannya
pupillary sign, membuat kodein menjadi pilihan bersama opioid dan NSAID lainnya mengurangi
menarik walaupun kejadian mual cukup tinggi saat skor nyeri dengan signifikan.20 Pemberian
pemakaian kodein.5 Kodein merupakan narkotik paracetamol bersama dengan PCA opioid
poten moderat yang memerlukan demetilasi untuk mengurangi pemakaian opioid walaupun tidak
menjadi metabolit aktif (morfin). Metabolism mengurangi efek samping yang terjadi.5
codein tergantung pada enzim sitokrom P450 b. Non Steroidal Anti Inflammation Drugs
(terutama CYP 2D6). Adanya variasi fenotif pada (NSAID)
pasien membuat respon metabolisme codein pada Penggunaan NSAID dalam bedah saraf
pasien bervariasi. Ada pasien yang metabolisme merupakan suatu hal yang masih diperdebatkan.
codeinnya kurang baik, pada pasien ini konversi Mekanisme kerja NSAID sebagai analgetik
codein menjadi morfin kurang adekwat sehingga didapat dengan cara menghambat pembentukan
menyebabkan daya analgetiknya lemah. prostaglandin yang selanjutnya dapat
Pada pasien yang lain ada yang memiliki mengurangi nyeri dan inflamasi. Penggunaan
metabolismenya berlebih sehingga terbentuk diclofenac telah disarankan karena tidak adanya
sejumlah besar morfin. Karena itu, terdapat gangguan perdarahan ataupun gangguan
variasi antar individu dalam hal biotransformasi ginjal.7 Seperti diketahui, NSAID menghambat
pembentukan metabolit aktifnya, kecepatan agregasi trombosit sehingga menyebabkan
pembentukan, serta konsentrasi plasma dari memanjangnya waktu perdarahan, karenanya
metabolit tersebut sehingga akibatnya efikasi dapat menyebabkan resiko untuk terjadinya
dari codein sebagai pro-drug sangat bervariasi. perdarahan pascaoperasi. Lebih jauh, pada masa
74 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pascaoperasi, pasien kraniotomi kadang-kadang kraniotomi tampaknya perlu dipertimbangkan


mengalami hipovolemia atau mendapatkan terapi dengan hati-hati karena adanya kemungkinan
vasokonstriktor. Pada keadaan ini aliran darah peningkatan tekanan intrakranial, sedangkan
ginjal menjadi tergantung terhadap prostaglandin. dekstromethorphane memperlihatkan bahwa ia
NSAID dapat berbahaya pada keadan tersebut. merupakan bagian penting dalam obat-obatan
Indomethacin dapat menurunkan aliran darah otak multimodal analgesia pascakraniotomi.5
dengan adanya efek vasokonstriksi.5 Perhatian
harus dilakukan saat penggunaannya pada 4.5. Gabapentin
periode awal pascaoperasi dan monitoring ketat Gabapentin merupakan antiepilepsi generasi
dibutuhkan sehingga tidak terjadi pembentukan baru yang memiliki sifat antinosiseptif dan
hematoma karena gangguan koagulasi. antihiperalgesia. Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian gabapentin preoperatif mengurangi
Diantara NSAID ada obat jenis yang bekerja nyeri pascaoperasi, konsumsi opioid yang
spesifik menghambat pembentukan enzim COX- lebih sedikit, dan menurunkan kejadian mual
2. Obat inhibitor COX-2 ini merupakan pilihan dan muntah. Tetapi dilain pihak ia memiliki
yang dapat dipertimbangkan untuk terapi nyeri komplikasi meningkatkan level sedasi dan
pascakraniotomi karena inhibitor COX-2 selektif memperlambat waktu ekstubasi trakhea.5
hanya beraksi hanya pada mediator inflamasi dan 4.6. Αlfa 2 Adrenoreseptor Agonis
tidak mengganggu fungsi trombosit. Parecoxib Alfa 2 adrenoreseptor agonis merupakan obat baru
intravena biasa diberikan bersama bersama dalam penatalaksanaan nyeri. Dexmedetomidine
morfin dan scalp block untuk menghilangkan merupakan α2 adrenoreseptor agonis kuat yang
nyeri pascakraniotomi. Tetapi penelitian tentang memberikan sedasi tanpa mempengaruhi respirasi.
hal ini tidak memperlihatkan adanya perbedaan Penelitian yang melibatkan dexdemetomidine
tingkat analgesia yang signifikan. Pemberian menemukan adanya pengurangan konsumsi
rofecoxib mengurangi kebutuhan oxycodone opioid pascaoperasi sampai 60% pada tindakan
oral, mengurangi kejadian efek samping opioid, intra-abdominal dan ortopedi. Hal ini terjadi
serta memberikan analgesia yang lebih baik. diperkirakan karena adanya aktivitas analgetik
Walaupun ia dapat mengurangi konsumsi opioid, preemptif dari dexmedetomidine.5 Tetapi
mengurangi lama perawatan di rumah sakit, serta disamping hal tersebut, dilaporkan adanya waktu
meningkatkan kepuasan pasien, rekomendasi keluar dari PACU yang lebih lama pada pasien
untuk penggunaannya dalam praktek sehari-hari yang mendapatkan infus dexmedetomidine.
masih diperdebatkan.5 Kontroversi ini terutama
tentang kemungkinan efek kardiovaskuler dan 5. Nyeri Kronik setelah Kraniotomi
kejadian thromboemboli akibat pemberian obat Nyeri yang menetap setelah kraniotomi
ini.5 suboccipital merupakan kondisi yang sangat
mengganggu yang mempengaruhi kehidupan
4.4. NMDA Receptor Antagonist profesional dan sosial dari pasien. Berbagai
Reseptor NMDA merupakan kanal ion ligand kasus yang dihubungkan dengan berkembangnya
gated yang menjadi jalur masuknya kalsium, nyeri kronik pascakraniotomi adalah traksi
natrium, dan kalium ke dalam sel. Mereka terlibat duramater, kerusakan otot servikal, terjepitnya
dalam modulasi nyeri pada level medulla spinalis saraf, atau bocornya cairan serebrospinal.5
serta sensitisasi dari nosiseptor. Antagonis Nyeri kepala menetap setelah kraniotomi
reseptor NMDA kurang memiliki sifat analgetik ditandai oleh adanya kombinasi nyeri kepala
instrinsik. Efek analgetik dari obat ini dimediasi tipe tension dan nyeri kepala pada luka operasi.
dengan cara menghambat sensitisasi sentral. Pada Nyeri terasa seperti ditusuk, ditekan, atau
review terdahulu memperlihatkan berkurangnya berdenyut. Teknik pembedahan juga berpengaruh
nyeri serta kebutuhan analgetik pascaoperasi terhadap nyeri pascaoperasi. Pada kraniotomi
menggunakan dekstromethorphan dan ketamine. dengan pendekatan retrosigmoid, penggantian
Pemakaian ketamine pada pasien pasca flap tulang, atau penutupan duramater secara
Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi 75

langsung, dapat menyebabkan tingginya insidensi protokol penanganan nyeri ini. Kebanyakan
nyeri. Pemberian fibrin glue atau pengeboran pasien pascakraniotomi mendapatkan obat anti
tulang dapat menyebabkan meningitis aseptik kejang secara bersamaan dengan obat lainnya.
yang membentuk nyeri kronik.5 Nyeri kepala Pengaruh dari obat-obat ini terhadap kebutuhan
pascakraniotomi juga dapat terjadi setelah analgetik belum diketahui secara jelas. Karenanya
pembentukan jaringan parut yang melibatkan protokol penanganan nyeri yang ideal untuk
saraf occipital atau pembentukan jaringan fibrosa penatalaksanaan nyeri pascakraniotomi secara
yang menempelkan otot leher dan duramater. praktis masih belum didapat.
Pergerakan leher menyebabkan traksi duramater
dan merangsang terjadinya nyeri.22 Nyeri kepala Daftar Pustaka
kronik merupakan gejala yang sering terjadi
setelah trauma kepala. Pasien yang menjalani 1. Dunbar PJ, Visco E, Lam AM. Craniotomy
operasi karena trauma kepala primer, memiliki procedures are associated with less analgesic
kemungkinan besar untuk mengalami nyeri requirements than other surgical procedures.
kepala kronik pascatrauma. Anesth Analg. 1999; 88:2, 335–40.
Nyeri kepala pascaoperasi kraniotomi dapat
diatasi secara nonfarmakologik menggunakan 2. De Benedittis, Lorenzetti A, Migliore M,
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation Spagnoli D, Tiberio F, and Villani RM.
(TENS), akupuntur, radiofrequency atau Postoperative pain in neurosurgery: a pilot
cryoablation, fisioterapi, dan lain-lain. Kombinasi study in brain surgery. Neurosurgery; 1996.
dengan menggunakan dua macam terapi dapat 38:3;466–70.
memberikan hasil yang baik.5
3. Quiney N, Cooper R, Stoneham M, and
VI. Simpulan Walters F, Pain after craniotomy. A time
for reappraisal?. Brit J Neurosurg.1996;
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat 10:3;295–9.
peningkatan kesadaran dan sensitivitas diantara
para dokter neuroanestesi dan dokter ahli 4. Klimek M, Ubben JFH, Amman J,
bedah saraf mengenai perlunya menyediakan Borner U, Klein J, Verbrugge SJC. Pain
penghilang rasa sakit pascaoperasi yang baik in neurosurgically treated patients: a
pada pasien yang menjalani kraniotomi. Hal prospective observational study. J Neurosurg.
ini diterjemahkan dengan praktek dan strategi 2006;104(3):350–9
penatalaksanaan nyeri yang lebih baik. Kebutuhan
yang mendasar pada pasien ini adalah adanya 5. Haldar R, Kaushal A, Gupta D, Srivastava
penilaian tingkat kesadaran yang jelas untuk S, Singh PK. Pain following craniotomy:
evaluasi fungsi neurologis. Sebagai akibatnya, Reassessment of the available options.
pemantauan secara terus menerus terhadap fungsi BioMed Research International. 2015.:1–8
neurologis serta target analgesia yang adekwat
merupakan pekerjaan yang harus dilakukan untuk 6. Talke PO, Gelb AW. Postcraniotomy
menyeimbangkan efek yang terjadi. Sejak mulai pain remains a real headache!. Eur J
dikenalnya berbagai pilihan terapi disamping Anaesthesiol.2005; 22(5): 325–7.
opioid yang telah lama dipakai, analgesia
multimodal memberikan harapan yang rasional 7. de Gray LC, Matta BF. Acute and chronic pain
tentang kualitas analgesia yang lebih baik dengan following craniotomy: a review. Anaesthesia.
efek samping yang minimal dibandingkan bila 2005; 60(7): 693–704
obat diberikan secara individual. Walaupun telah
banyak literatur membahas berbagai modalitas 8. Mokri B. Posture-related headaches and
untuk mengatasi nyeri akut pascakraniotomi, pachymeningeal enhancement in CSF leaks
belum ada kesepakatan atau konsensus tentang from craniotomy site. Cephalalgia 2001;
76 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

21(10): 976–9. 15. Bloomfield EL, Schubert A, Secic M, Barnett


G, Shutway F, Ebrahim ZY. The influence
9. Wei X, Melemedjian OK, Ahn DDU, of scalp infiltration with bupivacaine on
Weinstein N, Dussor G. Dural fibroblasts play hemodynamics and postoperative pain in
a potential role in headache pathophysiology. adult patients undergoing craniotomy. Anesth
Pain. 2014; 155: 1238–44 Analg, 1998; 87(3):579–82.

10. Headache Classification Committee of the 16. Stoneham MD, Cooper R, Quiney NF,
International Headache Society (IHS). The Walters FJM. Pain following craniotomy: a
International Classification of Headache preliminary study comparing PCA morphine
Disorders, 3rd edition (beta version). with intramuscular codeine phosphate.
Cephalalgia 2013; 33 (9): 629–808. Anaesthesia. 1996; 51(12): 1176–8

11. Kim YD, Park JH, Yang SH. Pain assessment 17. Na HS, An SB, Park HP. Intravenous
in brain tumor patients after elective patient controlled analgesia to manage the
craniotomy. Brain Tumor Research and postoperative pain in patients undergoing
Treatment. 2013; 1(1): 24–7 craniotomy. Korean J Anesthesiol. 2011;
60(1): 30–5
12. Merkel SI, Shayevitz JR, Lewis TV, Malviya
S. The FLACC: a behavioral scale for 18. Kahn LH, Alderfer RJ, Graham DJ. Seizures
scoring postoperative pain in young children. reported with tramadol. The Journal of the
Pediatric nursing. 1997; 23(3):293–7 American Medical Association. 1997; 278
(20):, article 1661.
13. Guilfoyle MR, Helmy A, Duane D,
Hutchinson PJA. Regional scalp block for 19. Peter C, Watson N. A death knell for codeine
postcraniotomy analgesia: a systematic for acute pain after craniotomy?. Can J
review and meta-analysis. Anesth Analg. Neurol Sci. 2011; 38(3):390–1
2013; 116(5):1093–102
20. Tanskanen P, Kytt¨a J, Randell T. Patient-
14. Batoz H, Verdonck O, Pellerin C, Roux G, controlled analgesia with oxycodone in
Maurette P. The analgesic properties of the treatment of postcraniotomy pain. Acta
scalp infiltrations with ropivacaine after Anaesth Scand. 1999; 43(1): 42–5.
intracranial tumoral resection. Anesth Analg.
2009; 109 (1): 240–4.
Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan
pada Cedera Otak Traumatik

Rovina Ruslami*), Tatang Bisri**)


Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr. Hasan Sadikin
*)

Bandung, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Cedera otak traumatik (COT) merupakan salah satu penyebab bangkitan dan epilepsi. Bangkitan pasca COT (post
traumatic seizure/PTS) didefinisikan sebagai bangkitan dini (early PTS) jika terjadi dalam 7 hari pasca COT, atau
sebagai bangkitan lanjut (late PTS) bila terjadi sesudah 7 hari pasca COT. Sampai saat ini tidak cukup data yang
mendukung rekomendasi level I untuk terapi profilaksis PTS. Kejadian early PTS tidak berhubungan dengan
luaran terapi yang lebih buruk. Namun karena insidensinya cukup tinggi, terapi profilaksis dapat menurunkan
insidensi early PTS, dan sebagian epilepsi berhubungan dengan cedera kepala sebelumnya, maka terapi profilaksis
dapat dipertimbangkan. Terapi profilaksis diindikasikan hanya untuk mencegah early PTS pada kasus COT
berat (GCS <8). Terapi profilaksis tidak direkomendasikan untuk mencegah late PTS karena belum ada bukti
yang mendukung. Fenitoin (phenytoin=PHT) merupakan obat yang paling banyak diteliti dan digunakan untuk
mencegah early PTS, diberikan segera selama 1 minggu. PHT memiliki profil farmakokinetik yang rumit, berbagai
efek samping yang memerlukan pemantauan klinis yang ketat dan pemeriksaan kadar obat dalam darah. Obat anti
epilepsi (OAE) lain seperti valproat, karbamazepin, dan fenobarbital masih sangat terbatas datanya, memiliki isu
keamanan dan farmakokinetik, sehingga saat ini tidak direkomendasikan untuk terapi profilaksis bangkitan pada
COT. Levetiracetam (LEV) merupakan OAE yang lebih baru dengan profil farmakokinetik yang lebih “bersahabat”,
namun data terkait efikasi dan keamanan masih terbatas. Diperlukan studi lebih lanjut untuk memperlihatkan jika
LEV dapat menggantikan PHT dalam terapi profilaksis bangkitan pasca COT.

Kata kunci: bangkitan, cedera otak traumatik, epilepsi, fenitoin, levetiracteam


JNI 2016;5(1): 77–85

The Use of Antiepileptic Drugs for Posttraumatic Seizure Prophylaxis


after Traumatic Brain Injury

Abstract

Traumatic brain injury (TBI) is one of the cause of seizure and epilepy. Post traumatic seizure (PTS) is classified as
early PTS if occurs within 7 days after injury, and as late PTS if occurs after 7 days following injury. The incidence
of PTS is rather high, and seizure prophylaxis could decrease the incidence of early PTS. Furthermore, part of
epilepsy are thought to be the result of previous head trauma. Therefore, prophylaxis therapy can be considered.
Currently, there are insufficient data to support a Level I reccomendation for seizure prophylaxis after TBI. Early
PTS is not associated with worse outcome. It is only indicated for preveting early PST in severe TBI (GCS <8),
and not recommended for preventing late PTS due to lack of evidence to support it. Phenytoin (PHT) has been
extensively studied and used for prophylaxis of PTS; it is administered during the first seven days after TBI. PHT
has numoerus side effects and drug interactions, has complex non-linear pharmacokinetics that require therapeutic
drug monitoring. Data from other AEDs like valproate, carbamazepine, and phenobarbital are very limited. They
also have sevral safety and pharmackinetics issues. Therefore they are not recommended for preventing PTS.
Levetiracetam (LEV) is a newer AED with a more friedly characteristics. However the data regarding the efficacy
and safety is limited. Further investigations is needed to evaluate if LEV is a reasonable alternative to PHT for
preventing PTS in patients with TBI.

Key words: epilepsy, levetiracetam, phenytoin, post traumatic seizure, traumatic brain injury

  JNI 2016;5(1): 77–85

77
78 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan Fenitoin merupakan obat yang biasa digunakan,


namun akhir-akir ini levetiracetam juga mulai
Cedera otak traumatik (selanjutnya disingkat banyak dipakai. Fenitoin lebih cost-effective
dengan COT) dapat mengakibatkan berbagai dibandingkan levetiracetam dalam pencegahan
problem dan komplikasi, salah satunya adalah bangkitan pasca COT, akan tetapi dalam jangka
bangkitan, atau dalam jangka panjang dapat panjang agaknya perbedaan ini menjadi hilang
menjadi epilepsi. Pada 6% penderita epilepsi, mengingat kelebihan dan kekurangan masing-
bangkitan diduga berkaitan dengan trauma kepala masing OAE ini. Pada telaah literatur ini akan
sebelumnya, dan umumnya susah dikendalikan dibahas mengenai aspek klinis pencegahan
dengan obat anti epilepsi (OAE) standar.1 Hal bangkitan pasca COT, farmakologi klinis OAE
ini sangat berpengaruh kepada berbagai aspek yang digunakan, perbandingan keduanya, bukti-
termasuk kualitas hidup, dan psikososial pasien. bukti terkait serta rekomendasi dari panduan
yang ada.
Bangkitan dini (early posttraumatic seizure/
early/ PTS) didefinisikan sebagai bangkitan yang II. Epidemiologi Bangkitan Kejang Dini dan
muncul dalam 7 hari pasca COT, sedangkan Lanjut (Epilepsi) Pasca COT
bangkitan lanjut (late posttraumatic seizure/
late-PTS) yang dapat menjadi epilepsi adalah COT merupakan salah satu penyebab morbiditas
jika muncul sesudah 7 hari pasca COT.2,3 Konsep dan mortalitas yang tinggi. Penyebab yang
pencegahan bangkitan dan epilepsi pasca COT paling sering adalah jatuh, kecelakaan motor
sudah establis, yaitu dengan memberikan OAE dan penembakan. Sekitar 75% dari COT
begitu pasien mengalami COT. Jika tidak muncul bersifat ringan.3 Cedera kepala diklasifikasikan
bangkitan dalam 7 hari sesudah terjadi trauma, berdasarkan tingkat kesadaran pasien yang dinilai
OAE dapat distop pelan-pelan, dengan harapan dengan glasgow coma scale (GCS) pada saat
tidak terjadi bangkitan di kemudian hari.2 masuk ke rumah sakit. Cedera kepala dikatakan
cedera kepala ringan jika GCS 14–15; cedera
Tabel 1. Faktor Risiko Terjadinya Bangkitan
kepala sedang jika GCS 9–13, dan cedera kepala
Kejang Dini dan Lanjut Pasca COT3 berat jika GCS <8.
Faktor risiko untuk Faktor risiko untuk
terjadinya terjadinya COT yang berat biasanya ditandai oleh adanya
bangkitan kejang dini bangkitan kejang lanjut penurunan kesadaran atau amnesia 12–24 jam,
adanya fraktur depresi tulang otak, adanya memar
GCS <10 Adanya bangkitan kejang otak atau hematoma intrakranial.4 Insidensi
dini bangkitan dini pasca COT berkisar antara 2,6%–
Kontusio kortikal Hematom intraserebral 16,3% tergantung disain penelitian.2 Kenapa
akut terjadi early- dan late- PST pasca cedera kepala?
Fraktur tulang Kontusio kortikal
Patofisiologinya belum begitu dimengerti dan
tengkorak linier banyak sekali faktor yang berperan, termasuk
adanya kerusakan sawar otak, perdarahan, dan
Depressed fraktur Amnesia pasca trauma
tulang tengkorak >24 jam adanya injury-related excitotoxicity.2 Tabel
1 memperlihatkan faktor risiko terjadinya
Trauma tembus kepala Penurunan kesadaran
bangkitan dini dan lanjut pasca COT.
Usia <65 tahun Usia >65 tahun
Alkoholisme kronik Insidensi epilepsi pasca COT bervariasi
Amnesia pasca trauma sesuai dengan disain penelitian. Suatu kohort
>30 menit memperlihatkan bahwa insidensi epilepsi pasca
Hematom subdural, COT berat adalah 7,1% pada 1 tahun pertama,
epidural atau dan 11,5% pada 5 tahun pasca trauma. Sedangkan
intraserebral pada kasus COT sedang insidensinya adalah
Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan 79
pada Cedera Otak Traumatik

0,7% pada tahun pertama dan 1,6% pada 5 tahun IV. OAE yang Digunakan dalam Terapi
pasca trauma. Risiko epilepsi pasca COT tidak Profilaksis Bangkitan Pasca COT
meningkat pada kasus COT ringan (tidak adanya
fraktur kranium dan tidak adanya penurunan Berbagai OAE sudah diteliti potensinya dalam
kesadaran atau amnesia postrauma kurang dari pencegahan bangkitan dan epilepsi pasca COT.
30 menit). Lebih berat suatu COT, lebih besar Berikut akan dibahas properti OAE secara
kemungkinan mengalami epilepsi, dan 80% umum dan kemudian akan dibahas lebih khusus
epilepsi akan mucul dalam 2 tahun pertama pasca mengenai OAE yang sering digunakan dalam
COT.2 terapi profilaksis bangkitan pasca COT.

III. Pencegahan Bangkitan Dini dan Lanjut Klasifikasi OAE


(epilepsi) Pasca COT OAE diklasifikasikan menjadi generasi pertama
(yang lebih awal ditemukan) dan generasi kedua
Terapi profilaksis direkomendasikan hanya (yang lebih baru). Generasi pertama antara lain
dalam 7 hari pasca COT, terutama jika terdapat adalah fenitoin, asam valproat, karbamazepin,
faktor risiko untuk terjadinya early PTS. Tidak fenobarbital dan etoksusimid; sementara generasi
ada bukti yang mendukung pemberian terapi kedua antara lain gabapentin–pregabalin,
profilaksis lebih dari 7 hari, walaupun pada pasien levetiracetam, lamotigrin, topiramat, dan lain-
yang memiliki faktor risiko. Ide pemberian OAE lain.5 Secara umum obat-obatan generasi pertama
segera setelah terjadi COT didasari oleh adanya dan generasi kedua memiliki efektivitas yang
keinginan untuk mencegah munculnya epilepsi sama dalam penanganan epilepsi onset baru, akan
di kemudian hari. Di samping bangkitan dan tetapi obat generasi kedua cenderung memiliki
epilepsi, COT seringkali diikuti oleh berbagai efek samping yang lebih sedikit.6 American
defisit neurologi segera maupun jangka panjang. FDA membedakan klasifikasi OAE berdasarkan
periode ditemukannya obat-obatan tersebut.
Tabel 2 memperlihatkan klasifikasi OAE yang
Tabel 2. Klasifikasi OAE yang mendapat approval
dari FDA dari waktu ke waktu7
dibuat oleh FDA berdasarkan waktu approval-
nya sebagai OAE.7
Sebelum 1993 1993 - 2005 2009 - 2011
Asam Valproat Felbamat Ezogabin Mekanisme Kerja OAE
Diazepam Gabapentin Klobazam Bangkitan yang merupakan simptom utama
Etosuksimid Lamotrigin Lakosamid epilepsi merupakan gangguan paroksismal aliran
Fenobarbital Levetiracetam Rufinamid listrik dari jaringan neuron korteks. Kebanyakan
Fenitoin Oxcarbazepin Vigabatrin
OAE bekerja melalui mekanisme spesifik yang
menghilangkan eksitabilitas neuron (melalui
Karbamazepin Pregabalin
modulasi kanal sodium dan kalsium) atau dengan
Klonazepam Topiramat meningkatkan inhibisi neuronal melalui interaksi
Lorazepam Zonisamid pada berbagai bagian reseptor γ-aminibutyric
acid (GABA).5,7
Diagram berikut memperlihatkan lokasi di mana
Termasuk di dalamnya adalah defisit neurologi berbagai OAE bekerja dan memberikan efek
fokal, gangguan kognitif, perubahan mood teurapeutik (gambar 1).7 OAE bekerja terhadap
(seperti depresi), gangguan gerakan, gangguan excitatory synapse atau inhibitory synapse.
tidur, dan problem tingkah laku. Sebagian dapat OAE yang mempengaruhi excitatory synapse
membaik namun sebagian malah menetap bahkan dapat bekerja pada pre-synapse maupun post
dapat memburuk. Apakah penggunaan OAE pada synapse dengan tujuan mengurangi depolarisasi
fase akut dapat berperaan dalam jangka panjang? yang diinduksi oleh influx Ca+ dan pelepasan
masih perlu data lebih lanjut.2 neurotransmitter (glutamat) vesikular. Umumnya
OAE bekerja di excitatory synapse ini, termasuk
80 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 1a. Diagram mekanisme kerja berbagai Gambar 1b. Diagram mekanisme kerja berbagai
OAE di excitatory synapse OAE di inhibitory synapse
Dikutip dari Sirven, 20127 Dikutip dari Sirven, 20127

fenitoin dan levetiracetam.5,7 Sebaliknya OAE yang linear, sehingga titrasi dosis mudah
yang bekerja terhadap inhibitory synapse bekerja dilakukan.5,8 Berikut ini akan diuraikan profil
dengan memperbanyak pelepasan GABA atau OAE yang biasa digunakan sebagai terapi
meningkatkan ikatan GABA dengan reseptornya. profilaksis bangkitan kejang dan epilepsi pada
Sebagai contoh, vigabatrin menghambat GABA pasien dengan COT.
transaminase sehingga menghambat metabolisme
GABA yang menyebabkan jumlah GABA i. Fenitoin
meningkat.5,7 Fenitoin (phenytoin, selanjutnya disingkat dengan
PHT) merupakan OAE generasi pertama, dan
Profil Farmakokinetik OAE sudah di approve oleh FDA untuk terapi profilaksis
Karakteristik suatu OAE yang ideal dan yang bangkitan kejang selama dan sesudah tidakan
diinginkan adalah mempunyai oral availabilitas bedah syaraf.5 Mekanisme kerja: PHT bekerja
yang tinggi, mencapai keadaan steady-state melalui inhibisi excitatory synapse dengan cara
dengan cepat, kinetiknya bersifat linear menghambat voltage-gated Na+ channel sehingga
(konsentrasi dalam darah yang berkaitan dengan menghambat terjadinya depolarisasi dan akhirnya
efek dapat diprediksi dari dosis yang diberikan), menghambat pelepasan neurotransmiter glutamat
ikatan dengan protein rendah, waktu paruh yang vesikular.5,7 Profil Farmakokinetik: Absorpsi PHT
memungkinkan obat diberikan 1–2 kali per sangat tergantung kepada formulasi obat, ukuran
hari, tidak dimetabolisme, dan tidak ada potensi partikel serta zat pembawa dalam sediaan obat
interaksi obat.8 OAE generasi pertama umumnya tersebut. Absorpsi lewat pemberian oral biasanya
mempunyai karakteristik berupa absorpsi oral komplit walau waktunya sangat bervariasi (3–12
yang cukup baik, mempunyai kinetik non-linear, jam). Dalam sirkulasi 90% PHT akan terikat
ikatan dengan protein tidak kuat (kecuali fenitoin dengan protein plasma. PHT memiliki kinetik
dan asam valproat), dimetabolisme di hati dan yang non-linear, kadar steady-state dalam darah
diekskresi melalui sistim bilier, mempunyai belum tercapai dalam 7 hari karena waktu paruh
waktu paruh yang panjang, dan berpotensi yang panjang. PHT tersedia dalam bentuk sediaan
menimbulkan interaksi obat. oral dan injeksi (dalam bentuk fosfofenitoin,
Sedangkan beberapa OAE generasi kedua yang merupakan prodrug, dan lebih mudah
mempunya profil farmakokinteik lebih baik, larut). Untuk profilaksis bangkitan kejang PHT
ikatan dengan protein minimal, memiliki kinetik diberikan dalam 24 jam pertama pasca COT
Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan 81
pada Cedera Otak Traumatik

dengan loading dose 20 mg/kgBB, diikuti dengan putih, tidak berbau dan larut dalam air dengan
pemberian secara i.v, i.m atau per oral untuk rasa pahit.5,8 Mekanisme kerja: LEV berkerja
mencapai kadar terapeutik 10–20 ug/mL.5 dengan berikatan secara selektif terhadap protein
vesikular sinaptik SV2A. Ikatan tersebut bersifat
Farmakologi klinik: Yang menjadi isu penting reversible, saturable, dan streoselective. Fungsi
dalam penggunaan PHT adalah perlunya monitor protein ini sendiri belum sepenuhnya dipahami
ketat kondisi pasien dan kadar obat dalam namun tampaknya LEV mengubah pelepasan
darah terkait rumitnya profil farmakokinetik sinaptik glutamat dan GABA melalui kerja pada
PHT. Seperti sudah diuraikan di atas, 90% PHT fungsi vesikular.5,8 Profil farmakokinetik: LEV
terikat dengan protein plasma, memiliki kinetik mempunyai profil farmakokinetik yang lebih
nonlinear terkait metabolisme yang mengalami “bersahabat” dibanding PHT; absorpsi pada
saturasi, serta interaksi dengan sistim isoenzim pemberian per oral sangat baik (bioavailabilitas
cytochrom 450 (CYP–450) yang juga terlibat mendekati 100%) dan tidak dipengaruhi oleh
dalam metabolisme banyak obat lain. Pasien adanya makanan. Waktu mencapai kadar puncak
dengan COT sangat mungkin mengalami adalah 1,3 jam. LEV mempunyai kinetik yang
gangguan berbagai fungsi organ sehingga dapat linear sehingga titrasi dosis lebih mudah, dan
mempengaruhi kadar obat dalam darah.2,3,5 sangat sedikit terikat pada protein plasma (kurang
dari10%). LEV memiliki waktu paruh 6–8 jam
Di sisi lain, batas aman (margin of safety) PHT sehingga waktu untuk mencapai kondisi steady-
sempit, sehingga bisa saja konsentrasi PHT state (5 kali waktu paruh) lebih singkat, yaitu
dalam darah dengan dosis yang dianjurkan akan kurang dari 48 jam. LEV tidak dimetabolisme di
berada di atas atau di bawah konsentrasi yang hati dan diekskresi di ginjal.5,8 Untuk profilaksis
diharapkan (therapeutic level). Target konsentrasi bangkitan kejang LEV diberikan dalam 24 jam
PHT dalam darah untuk pencegahan bangkitan pertama pasca COT dengan loading dose 20 mg/
kejang adalah 10–20 ug/mL. Waktu paruh yang kgBB diikuti dengan 1000 mg i.v tiap 12 jam
lama menyebabkan dalam 7 hari belum dapat untuk mencapai kadar terapeutik 10–20 ug/mL.
dicapai keadaan steady state (5 kali waktu Farmakologi klinis: Profil farmakokinetik LEV
paruh), sementara terapi profilaksis bangkitan menyebabkan obat ini mudah dalam pemberian.
kejang pasca COT adalah 7 hari, sehingga Kinetik yang linear menyebabkan mudahnya
sangat mungkin belum dicapai konsentrasi titrasi dosis mencapai dosis yang efektif, dan efek
terapeutik yang diinginkan. Beberapa penelitian samping dan potensi interaksi obat lebih sedikit.5,8
memperlihatkan hanya 48–75% pasien yang Isu keamanan: LEV tidak dimetabolisme di hati,
mencapai kadar terapeutik >10 ug/mL.3 sampai saat ini belum diketahui adanya interaksi
obat yang signifikan.8
Isu keamanan: Toksisitas PHT bersifat dose-
dependent; efek samping yang paling sering iii. OAE lain
muncul adalah nistagmus, diplopia dan ataxia. Beberapa OAE generasi pertama telah dievaluasi
Penggunaan yang lama dapat menimbulkan peranannya dalam terapi profilaksis bangkitan
hiperplasia gusi, neuropati perifer, dan defisiensi pasca COT, seperti valproat, karbamazepin, dan
vitamin D.5 PHT juga dapat menyebabkan fenobarbital. Valproat dan karbamazepin bekerja
hipotensi dan reaksi hipersensitivitas, namun di tempat yang sama, yaitu di excitatory synapse,
kejadiannya tidak berbeda dengan plasebo.3 menghambat voltage-gated Na+ channel (gambar
1a) sehingga menghambat terjadinya depolarisasi
ii. Levetiracetam dan memblok sustained high-frequency repetitive
Levetiracetam (selanjutnya disingkat dengan LEV) firing suatu neuron.5,7 Berbeda dengan PHT,
merupakan OAE generasi lebih baru, memiliki valproat menghambat metabolisme obat-obat
struktur yang berbeda dengan OAE lainya. lain termasuk metabolisme PHT, fenobarbital dan
Levetiracetam merupakan derivat pyrrolidine karbamazepin, sehingga berdampak kepada kadar
analog piracetam. Karakteristik obat ini berwarna obat tersebut dalam darah dan sekaligus kepada
82 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

toksisitasnya. Valproat menurunkan bersihan 0,37), tidak dapat mencegah late PTS (risiko
lamotrigine. Valproat memiliki banyak efek relatif 1,05).11 Sementara penelitian lainnya tidak
samping seperti gangguan saluran cerna sampai memperlihatkan efektivitas tersebut.3
ke reaksi idionsikratik seperti hepatotokisistas
dan trombositopenia, dan mempunyai efek PHT diduga dapat memperburuk fungsi kognitif;
teratogenik.5 Karbamazepin merupakan senyawa skor GCS yang dinilai setelah 1 bulan pasca
trisiklik yang juga efektif mengatasi depresi, COT berat pada kelompok yang mendapat
neuralgia trigeminal, yang kemudian diketahui PHT lebih rendah dibanding yang mendapat
juga memiliki efek sebagai anti epilepsi. plasebo (p<0,05).12 Temuan yang sama juga
Mekanisme kerjanya serupa dengan mekanisme didapatkan pada studi lebih baru, walau perlu
kerja PHT dan valproat yaitu dengan memblok dipertimbangkan beberapa keterbatasan dalam
kanal natrium. Karbamazepin meningkatkan disain penelitian tersebut.13 Alternatif lain
metabolisme obat lain yang dimetabolisme di hati untuk terapi profilaksis bangkitan pasca COT
sehingga juga berpotensi menimbulkan interaksi adalah LEV. Mengingat obat ini merupakan
obat dan mempengaruhi kemanan. Efek samping obat yang lebih baru ditemukan (tahun 1999),
karbamazepin antara lain adalah diskrasia darah masih sedikit studi yang mengevaluasi efek
termasuk anemia aplastik dan agranulositosis dan profilaksis bangkitan kejang pasca COT. Studi
adanya ruam di kulit.5 kohort retrospektif oleh Jones dkk pada tahun
2008 memperlihatkan bahwa efektivitas LEV
Fenobarbital (golongan hipnotik-sedative setara dengan PHT dalam mencegah bangkitan
barbiturat) merupakan OAE yang paling tua, dini pada penderita COT dan tidak terdapat
bekerja dengan cara meningkatkan proses perbedaan dalam perburukan neurologis pada
inhibisi dan menurunkan transmisi eksitasi 6 bulan pada kedua kelompok.14 Uji klinik
neuron. Meskipun dapat dipertimbangkan kalau single-blinded oleh Szaflarski dkk terhadap 52
fenobarbital merupakan OAE yang paling pasien COT, memperlihatkan hal yang sama,
aman, namun adanya efek sedasi dan depresi namun penggunaan LEV memperlihatkan luaran
susunan saraf pusat menyebabkan obat ini tidak neurologis yang lebih baik dibanding PHT
merupakan obat yang terpilih.5 Saat ini berbagai (p=0,024) dan gangguan saluran cerna (p=0,043)
OAE sudah tersedia di Indonesia, namun yang dibandingkan kelompok yang mendapat LEV.
tersedia di BPJS hanya fenitoin, fenobarbital Hal ini mengindikasikan bahwa LEV memiliki
dan asam valproat. Diantara OAE tersebut, efikasi yang setara dengan PHT, namun lebih
yang tersedia secara intravena adalah PHT, dapat diterima oleh pasien.15 Studi retrospektif
fenobarbital, dan diazepam. baru-baru ini di Amerika Serikat memperlihatkan
bahwa 98% pasien yang dirawat sebelum 2008
V. Bukti Terkait mendapatkan PHT, dan 64% pasien yang dirawat
antara tahun 2008–2010 mendapatkan LEV.16
Terkait PHT, setidaknya terdapat 6 uji klinik yang Terhadap OAE lainnya, bukti klinis masih sangat
dilakukan pada tahun 90-an memperlihatkan terbatas. Dua uji klinis memperlihatkan bahwa
hasil yang bervariasi. Hasil penelitian pada tahun efikasi asam valproat sebanding dengan PHT,
19909 dan penilitian yang dipublikasikan pada luaran neurologis juga sama, namun mortalitas
tahun 199910 memperlihatkan bahwa pemberian cenderung lebih tinggi (p=0,07) (Temkin 1999).
PHT efektif mencegah early PTS pasca COT Luaran neuropsikologis atau fungsi kognitif
(3,6% vs. 14,2%, p<0,001 pada studi Temkin dan pengobatan dengan asam valproat juga sama
21% vs. 41%, p=0,03 pada studi Haltiner), namun dengan PHT.17 Walaupun efikasinya setara
tidak terdapat perbedaan dalam dalam mencegah dengan PHT, namun karena data masih terbatas
late PTS pasca COT9 dan mortalitas10 dibanding dan adanya kecenderungan kematian yang lebih
plasebo. Review oleh Chang memperlihatkan tinggi, maka pemberian asam valproat tidak
bahwa PHT dapat mencegah early PTS jika direkomendasikan.
dibandingkan dengan plasebo (risiko relatif Data mengenai karbamazepin lebih sedikit lagi;
Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan 83
pada Cedera Otak Traumatik

sebuah publikasi tahun 1983 mengevaluasi kelas III), terapi profilaksis dapat menurunkan
penggunaan karbamazepin dalam profilaksis insidensi early PTS, sehingga tidak cukup data/
bangkitan pasca COT. Karbamazepin evidence yang mendukung rekomendasi level
menurunkan kejadian early PTS sebanyak 61% I untuk terapi profilaksis bangkitan pasca COT.
(p<0,05), dan late PTS sebesar 20% dibanding Terapi proflaksis dengan OAE tidak menurunkan
plasebo.18 Namun karena bukti ini hanya insidensi late PTS. Walaupun demikian, early
berasal dari satu penelitian, dan mengingat efek PTS tidak berhubungan dengan luaran terapi
sampingnya, maka penggunaan karbamazepin yang lebih buruk. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa
untuk terapi profilaksis bangkitan pasca COT terapi profilaksis menggunakan fenitoin atau
masih perlu dikaji ulang. Masih sangat terbatas asam valproat tidak direkomendasikan untuk
bukti mengenai penggunaan fenobarbital; suatu mencegah late PTS (rekomendasi level II).20
uji klinis terhadap 126 pasien COT berat untuk Panduan dari American Academy of Neurology
melihat efeknya terhadap bangkitan lanjut. (AAN) memberikan rekomendasi level A dalam
Fenobarbital diberikan 1 bulan sesudah terjadi penggunaan PHT untuk pencegahan early PTS
COT selama 3 tahun dengan target tercapai untuk pasien dengan COT berat (GCS <8). PHT
konsentrasi 10–25ug/mL, dan di follow up diberikan secara intravena waktu memberikan
selama 5 tahun. Hasil penelitian memperlihatkan loading dose yang diberikan sesegera mungkin
bahwa fenobarbital tidak memberikan efek yang setelah terjadi trauma.2,3,11 Sampai saat ini
bermakna jika dibandingkan plasebo (16% vs. belum ada bukti kelas I (RCT double-blind yang
10,5%, p>0,05).19 Mengingat sangat terbatasnya berkualitas) yang memperlihatkan bahwa LEV
bukti, banyaknya efek samping, dan sulitnya setara atau bahkan lebih baik dibanding PHT,
menjaga kadar terapeutik, fenobarbital saat ini namun LEV memperlihatkan bahwa penggunaan
tidak direkomendasikan untuk terapi profilaksis LEV dapat dipertimbangkan. Mengingat sangat
bangkitan pasca COT. terbatasnya data mengenai LEV sebagai terapi
profilaksis early PTS yang tersedia pada saat
VI. Rekomendasi panduan ini dikeluarkan, maka rekomendasi
untuk jenis OAE ini tidak termasuk.2,3
OAE diindikasikan untuk menurunkan
insidensi early PTS yang terjadi dalam 7 hari VII. Simpulan
pertama pasca trauma. Namun adanya early
PTS tidak berhubungan dengan luaran terapi Literatur yang ada saat ini mendukung
yang lebih buruk. Rasionalisasi diberikannya penggunaan OAE dalam satu minggu pertama
terapi profilaksis dengan OAE untuk mencegah pasca COT berat (GCS <8) untuk mencegah
bangkitan pasca COT adalah mengingat insidensi early PTS. Terapi profilaksis diberikan dalam 1
bangkitan kejang cukup tinggi serta terdapatnya minggu pertama pasca COT, dan akan bermanfaat
potensi manfaat pencegahan bangkitan pasca terutama bagi pasien yang memiliki faktor risko
COT ini. Menurut panduan dari The Brain terjadinya bangkitan. Kejadian early PTS tidak
Trauma Foundation yang dikeluarkan pada tahun berhubungan dengan luaran terapi yang lebih
2007 telah membuat rekomendasi level I, II dan buruk. Namun karena insidensinya cukup tinggi,
III berdasarkan data/bukti kelas I, II atau III. terapi profilaksis menurunkan insidensi early
Rekomendasi Level I dibuat berdasarkan data PTS, dan sekitar 6% dari epilepsi berhubungan
(evidence) yang paling kuat (data kelas I seperti dengan cedera kepala sebelumnya, maka terapi
RCT yang berkualitas) dan manfaat klinisnya profilaksis ini dapat dipertimbangkan.
jelas. Rekomendasi level II mengindikasikan Belum ada bukti bahwa terapi profilaksis dapat
manfaat klinis tingkat sedang, sedangkan bermanfaat mencegah terjadinya late PTS,
rekomendasi level III, manfaat klinisnya belum walaupun pada pasien dengan faktor risiko.
jelas.20 PHT dan valproat tidak direkomendasikan untuk
mencegah late PST. Diantara OAE yang tersedia,
Dari penelitian yang ada (umumnya termasuk data PHT merupakan obat yang paling banyak
84 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

diteliti untuk tujuan ini, dan direkomendasikan of the new antiepileptic drugs, I: treatment
oleh AAN dan Brain Trauma Foundation of new onset epilepsy. Epilepsy Currents.
untuk profilaksis early PTS. Sementara OAE 2005;5(1):30–32.
lain seperti asam valproat, karbamazepin dan
fenobarbital masih sangat terbatas datanya. 7. Sirven JI, Noe K, Hoerth M, Drazkowski J.
Mengingat isu keamanan dan karakteristik Antiepileptic Drugs 2012: Recent Advance
farmakodinamik yang tidak menguntungkan, and Trends. Mayo Clin Proc. 2012;87(9):879–
obat-obat ini tidak lebih bermanfaat dibanding 89.
PHT dan tidak direkomendasikan untuk terapi
profilaksis bangkitan pada COT. LEV merupakan 8. Patsalos PN. Clinical pharmacokinetics of
OAE generasi lebih baru memperlihatkan efikasi levetiracetam. Clin Pharmacokinet. 2004;
yang setara dengan PHT, dan berhubungan 43:707–24.
dengan efek samping yang lebih sedikit dan
profil farmakokinetik yang lebih “bersahabat”. 9. Temkin NR, Dikmen SS,Wilensky AJ, Keihm
LEV merupakan alternatif pengganti PHT yang J,Chabal S, Winn HR. A randomized, double
menjanjikan. Namun belum banyak bukti terkait blind study of phenytoin for the prevention
efikasi dan keamanan. Diperlukan penelitian of post-traumatic seizures. N Engl J Med.
lebih lanjut untuk mendukung penggunaan LEV 1990;323(8):497–502.
dalam pencegahan bangkitan pasca COT.
  10. Haltiner AM, Newell DW, Temkin NR,
Daftar Pustaka Dikmen SS, Winn HR. Author information.
Side effects and mortality associated with use
1. Temkin NR. Preventing and treating of phenytoin for early posttrau- matic seizure
posttraumatic seizures: the human experience. prophylaxis. J Neurosurg. 1999; 91:588–92.
Epilepsia. 2009;50(Suppl 2):10–13.
11. Chang BS, Lowenstein DH; Quality Standards
2. Szaflarski JP, Nazzal Y, Dreer LE. Post- Subcommittee of the American Academy of
traumatic epilepsy: current and emerging Neurology. Practice parameter: antiepileptic
treatment options. Neuropsychiatric Dis drug prophylaxis in severe traumatic brain
Treat 2014;10:1469–77. injury: report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of
3. Torbic H, Forni AA, Anger KE, Degrado Neurology. Neurology. 2003;60(1):10–16.
JR, Greenwood BC. Use of antiepileptics
for seizure prophylaxis after traumatic 12. Dikmen SS, Temkin NR, Miller B, Machamer
brain injury. Am J Health-Syst Pharm. J, Winn HR. Neurobehavioural effects of
2013;70:759–66. phenytoin prophylaxis of posttraumatic
seizures. JAMA. 1991; 265:1271–7.
4. Kraus J, McArthur D. Epidemiology of brain
injury. Dalam: Cooper P, Golfinos J, eds. 13. Bhullar IS, Johnson D, Paul JP, Kerwin AJ,
Head injury. 4th ed. New York: McGraw- Tepas JJ 3rd, Frykberg ER. More harm than
Hill; 2000:1–26. good: antiseizure prophylaxis after traumatic
brain injury does not decrease seizure
5. Porter RJ and Meldrum BS. Antiseizure rates but may inhibit functional recovery. J
Drugs. Dalam: Katzung BG, Masters SB, Trauma Acute Care Surg. 2014;76(1):54–60;
Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. discussion 60–61.
11th ed., San Fransisco; McGraw Hill-Lange,
2009,399–422. 14. Jones KE, Puccio AM, Harshman KJ,
Falcione B, Benedict N, Jankowitz BT, et al.
6. Ben-Menachem E. Efficacy and tolerability Levetiracetam versus phenytoin for seizure
Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan 85
pada Cedera Otak Traumatik

prophylaxis in severe traumatic brain injury. Neurology. 2000;54(4):895–902.


Neurosurg Focus. 2008; 25:E3.
18. Glötzner FL, Haubitz I, Miltner F, Kapp G,
15. Szaflarski JP, Sangha KS, Lindsell CJ, Pflughaupt KW. Seizure prevention using
Shutter LA. Prospective, randomized, single- carbamazepine following severe brain
blind comparative trial of intravenous leveti- injuries. Neurochirurgia. 1983;26:66–79.
racetam versus phenytoin for seizure pro-
phylaxis. Neurocrit Care. 2010; 12:165–72. 19. Manaka S. Cooperative prospective study on
posttraumatic epilepsy: risk factors and the
16. Kruer RM, Harris LH, Goodwin H, Kornbluth effect of prophylactic anticon- vulsant. Jpn J
J, Thomas KP, Slater LA, Haut ER. Changing Psychiatry Neurol. 1992; 46:311–5.
trends in the use of seizure prophylaxis after
traumatic brain injury: A shift from phenytoin 20. Bratton S, Bullock MR, Carney N, Chestnut
to levetiracetam. J Crit Care. 2013;28:883. RM, Coplin W, Ghajar J, et al. Brain
e9–883.e13. trauma foundation, american association
of neurological surgeons, congress of
17. Dikmen SS, Machamer JE, Winn neurological surgeons. Guidelines for the
HR, Anderson GD, Temkin NR. management of severe traumatic brain injury.
Neuropsychological effects of valproate in J Neurotrauma. 2007;24(suppl 10):S83–86.
traumatic brain injury: a randomized trial.
Indeks Penulis

B Rovina Ruslami, 77
Bambang J. Oetoro, 35, 41, 57
S
D Sandhi Christanto, 24
Dewi Yulianti Bisri, 35, 41, 57 Siti Chasnak Saleh, 35, 41, 57
Sri Rahardjo, 13, 24, 44
I Suwarman, 68
Iwan Abdul Rachman, 1
T
P Tatang Bisri, 1, 68, 77
I Putu Pramana Suarjaya, 13, 24, 44
W
Wahyu Sunaryo Basuki, 35
R
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, 57
Riyadh Firdaus, 13, 44
Indeks Subjek

A L
Anak, 35 Levetiracteam, 77
Anestesi, 44,57
Anelgesia, 68 M
MVD (microvascular decompression), 13
B
Bangkitan, 77 N
Nyeri, 68
C
Cedera otak traumatik, 77 P
Cerebellopontine angle tumor, 24 Pascakraniotomi, 68
Cliping, 44 Perdarahan intraserebral, 35
Pengelola perioperatif anestesi, 35
D
Disfungsi batang otak, 1 R
Dexmedetomidin, Ruptur anerisma, 44, 54

E S
Epidural hematom, 35 Subarachnoid hemorrhage, 57
Epilepsi, 77 Stroke perdarahan, 35

F V
Fossa posterior, 1 VAE, 1
Fenitoin, 77 Vasopasme, 44

H W
Hipertensi, 35 Wanita hamil, 57

I
Intraoperatif neurologik monitoring, 24
Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan


memori. Faktor yang diduga mempengaruhi
Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah
Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel
Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah mengalami gangguan atensi, 36% sampel
yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah mengalami gangguan memori dan 52% sampel
naskah lengkap yang belum dipublikasikan mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi.
dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang Pemeriksaan kognitif yang mengalami
telah dimuat dalam proceeding pertemuan penurunan bermakna adalah digit repetition
ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat test, immediate recall, dan paired associate
izin tertulis dari panitia penyelenggara. learning. Analisa logistik regresi variabel usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan
2. Judul durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian
DKPO menunjukkan hubungan yang tidak
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, bermakna. Namun bila dianalisa pada masing
judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih
3. Abstrak
tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan
Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit
Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada
pasien yang menjalani operasi elektif di
Abstrak Penelitian: GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi
Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO
Result, and Discussion). Dalam introduction meskipun secara statistik tidak signifikan.
mengandung latar belakang dan tujuan penelitian.
Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif
pascaoperasi, memori
Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:
Abstrak Laporan Kasus:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi
kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan,
dan menjadi masalah serius karena dapat simpulan
menurunkan kualitas hidup pasien yang
menjalani pembedahan dan meningkatkan beban Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:
pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO Abstrack
pada pasien yang menjalani operasi elektif
di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa Meningoencephaloceles are very rare congenital
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. malformations in the world that have a high
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan incidence in the population of Southeast Asia,
50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih include in Indonesia. Children with anterior
yang menjalani pembedahan lebih dari dua meningoencephaloceles should have surgical
jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi correction as early as possible because of the facial
kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan
caused by increasing brainprolapse, and risk nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik
of infection of the central nervous system. In dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial
the report, we presented a case of a 9 months- atau drainase ventrikel atau keduanya.
old baby girl with naso-frontal encephalocele
and hydrocepahalus non communicant, posted Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke
for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) perdarahan
and cele excision. Becaused of the mass,
nasofrontal or frontoethmoidal and occipital Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang
meningoencephalocele leads the anaesthetist to ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.
problems since the anaesthesia during the operation
until post operative care. Anaesthetic challenges 4. Cara Penulisan Makalah
in management of meningoencephalocele, Penulisan Daftar Pustaka:
which most of the patients are children, include
securing the airway with intubation with the • Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan
mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its datang” di dalam teks, Vancouver style.
associated complications and accurate assessment • Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal
of blood loss and prevention of hypothermia 20 buah.

Key words: Anaesthesia, difficult Contoh cara penulisannya:


ventilation, difficult intubation, naso-frontal,
Dari Jurnal:
meningoencephalocele, padiatrics
1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and
Abstrak Tinjauan Pustaka:
head trauma. Common effect and common
mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl
Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan
1):S107–S110.
2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer
Abstrak
HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus
intracerebral haemorrhage. N Engl J Med
Stroke hemoragik merupakan penyakit yang
2001,344(19):1450–58.
mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup
dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum Dari Buku:
dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid
haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
dari arteriovenous malformation (AVM), hemorrhage: Intensive care management.
atau perdarahan intraserebral. Perdarahan Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
intraserebral sering dihubungkan dengan of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–
lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, 36.
atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical
lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke Care. New York: Cambridge University
iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Press;2010,143–56.
Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala,
mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal Materi Elektronik
yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan
letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B,
dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai Fosha D. Attachment as a transformative process
koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1) in AEDP: operationalizing the intersection of
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus
kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA


(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)
Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA
(Universitas Atmajaya Khatolik‒ Jakarta)
Dr. Diana Lalenoh, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes
(Universitas Sam Ratulangi – Manado)
Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKMN, KNA
(Universitas Udayana – Denpasar)
Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si
Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang

Redaksi
FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama Lengkap : ………………………………………………………………...
Alamat Rumah : ………………………………………………………………...
………………………………………………………………...
……………….. Kode pos………………………….................
Telepon …………………………Faks ………………….........
HP ………………………………E-mail…………...................
Alamat Praktik : ………………………………………………………………...
Telepon …………………………Faks ……………….............
Alamat Kantor : ………………………………………………………................
……………………….. Kode pos……………………………..
Telepon …………………………Faks ……………………......
Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan
sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui :
□ Langsung ke Sekretariat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161
Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah


□ Alamat praktik
□ Alamat Kantor

Bandung, …………………………………

Hormat Saya


( )

* pilih salah satu


** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi
*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten

Anda mungkin juga menyukai