Anda di halaman 1dari 20

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Trauma adalah penyebab utama kematian pada usia 1-35 tahun di USA. Hingga 1/3
kasus di seluruh rumah sakit di USA berkaitan langsung dengan trauma. 50 % kasus trauma
berakhir kematian segera, dan 30% lainnya terjdi beberapa jam setelah kejadian (golden
hour). Dikarenakan banyak korban trauma memerlukan operasi secepatnya, ahli anestesi
mempengaruhi tingkat keselamatan korban. Pada faktanya, ahli anestesi yang memberikan
resusitasi primer, dan memberikan tindakan anestesi sebagai tindakan selanjutnya. Adalah
penting bagi ahli anestesi untuk selalu waspada terhadap pecandu obat, intoksikasi akut,
hepatitis atau HIV. Bab ini menjelaskan kerangka berpikir tentang penilaian awal pasien
trauma dan tindakan anestesi dalam terapi pasien cedera kepala leher, dada, perut, dan
ekstemitas. Di akhir bab ada diskusi kasus tentang luka bakar.

1.2 Penilaian awal/Initial assessment


Pemeriksaan awal pasien trauma terbagi menjadi primary survey, secondary survey,
dan tertiary survey. Primary survey tidak boleh lebih dari 2-5 menit, dan harus meliputi
rangkaian ABCDE : airway, breathing, circulation, disability neurologis, dan eksposure
(lingkungan). Apabila ABC terganggu resusitasi harus segera di lakukan. Pada pasien kritis
resusutasi dan penilaian awal dilakukan bersamaan oleh team trauma. Monitoring dasar
ECG, NIBP, Pulse oxymetry harus segera dipasang sampai pasien mendapat terapi. Prinsip
dari CPR dibahas pada bab 47. Resusitasi pasien trauma terdiri dari 2 fase yaitu : kontrol
pendarahan, dan terapi definitive untuk traumanya. Secondary survey dan tertiary survey
dilakukan setelah primary survey selesai.

Page 1 of 20

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 PRIMARY SURVEY


a. Airway
Membebaskan dan Menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas pertama. Bila
pasien dapat berbicara airway biasanya bagus (clear), namun bila pasien tidak sadar
biasanya membutuhkan bantuan airway dan ventilator. Tanda adanya obstruksi yaitu
Snoring (mengorok), gurgling, stridor, gerakan dada yang parodoksikal. Adanya benda
asing di jalan nafas harus selalu dipikirkan apabila menghadapi pasien tak sadar. Manjemen
airway lanjut (advance) (seperti ETT, krikotirotomi, trakeostomi) diindikasikan bila terjadi
apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofacial, cedera leher dengan
hematom, dan trauma dada berat.
Cedera leher sepertinya tidak pada orang sadar dengan tidak adanya gejala nyeri leher
dan nyeri tekan leher. 5 kriteria adanya kecurigaan cedera leher:
1 .nyeri leher
2. severe distracting pain/ nyeri yang sangat hebat
3. adanya defisit neurologis
4. intoksikasi
5. kehilangan kesadaran pada saat kejadian

fraktur cervical harus dicurigai bila ada minimal salah satu tanda tersebut, meski
tidak ditemukan jejas di atas klavukula. Meskipun telah menggunakan criteria ini, insidensi
cedera leher sebesar 2%. Insidensi cedera leher naik menjadi 10% dengan adanaya cedera
kepala. Untuk mencegah hiperekstensi leher, manuver jaw thrust terpilih untuk
membebaskan jalan nafas. Oropharing dan nasofaring tube bisa menjaga patensi jalan

Page 2 of 20

nafas. Dalam Pasien tak sadar dengan trauma berat selalu dipikirkan adanya aspirasi, jalan
nafas harus segera dijaga menggunakan ETT atau dilakukan trakeostomi.
Hiperekstensi leher dan traksi leher ke sumbu aksial (depan belakang) harus di hindari
bila ada kecurigaan cedera leher. Imobilisasi manual kepala leher harus dilakukan pada saat
pengunaan laringoskop (Manuai In Line Stabilization atau MILS). Asisten diletakkan di
kedua sisi kepala pasien, memegang occiput dan menjaga jangan sampai kepala
bergerak/berotasi. Hasil Penelitian bahwa terjadi pergerakkan leher , terutama V. C1 dan
V.C2 pada saat pemasangan sungkup oksigen dan tindakan laringoskop meski telah
dilakukan stabilisasi leher (contoh : MILS, axial traction, kantung pasir, forehead tape, soft
collar, Philadelphia collar). Dari semua teknik yang dipakai MILS merupakan teknik yang
paling efektif, tetapi juga membuat tindakan laringoskop menjadi lebih sulit. Karena hal itu
ada sebagian ahli anestesi lebih memilih intubasi nasal (blind atau fiberoptik) pada pasien
dengan nafas spontan yang dicurigai cedera leher, dan teknik ini juga meningkatkan resiko
aspirasi. Dan penggunaan lainnya dari lightwand, bullard laryngoskop, Wuscope atau
intubating LMA. Keahlian dan pilihan teknik ahli anestesi sangat menentukan dalam
pemilihan teknik yang digunakan, sekaligus manfaat dan resiko yang diterima pasien.
Kebanyakan praktisi sangat akrab dengan intubasi oral, dan teknik ini sebaiknya dipakai
untuk pasien apne dan pasien yang membutuhkan intubasi segera. Intubasi nasal sebaiknya
dihindari unuk pasien dengan fraktur wajah atau basis kranii. Bila esophageal obturator
airway telah dipasang, maka alat ini tidak boleh di cabut sampai trakea telah iintubasi, untk
mencegah regurgitasi.
Adanya Trauma laring membuat situasi lebih buruk. Luka terbuka bisa terlihat
pendarahan pembuluh darah besar leher, obstruksi hematom atau edeme, emfisema
subkutaneus, dan cedera leher. Trauma laring tertutup kurang terlihat jelas, gejelanya yaitu
krepitasi di leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau suara serak. Intubasi sadar (awake
intubation) dengan ETT kecil (6 in) dengan laringoskop atau bronkoskopi fiberoptik dalam
anestesi topikal bisa dilakukan bila laring bisa terlihat jelas. Bila trauma wajah (facial) atau
trauma leher menghalangi tindakan intubasi, maka tindakan trakeostomi dalam anestesi
local harus dipikirkan. Obstruksi akut akibat trauma saluran nafas atas mugkin
membutuhkan tindakan krikotirotomi, perkutaneus atau operasi trakeostomi (lihat diskusi
bab 5)
Page 3 of 20

b. Breathing
Penilaian ventilasi nafas yang terbaik yaitu dengan cara look (dilihat), listen
(didengar), feel (dirasakan). Dilihat apakah ada cianosis, retraksi dinding dada, flail chest,
trauma tembus atau trauma tidak tembus (sucking) dada. Dengarkan apakah suara nafas ada
atau tidak, atau terdengar lemah. Rasakan apakah ada emfisema subkutan, pergeseran
trakea, dan iga yang patah. Klinisi harus selalu waspada akan tension pneumothorax dab
hematotorax, biasanya hal ini terjadi pada pasien dengan (gagal nafas) respiratory distress.
Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum foto torax dilakukan.
c. Circulation
Adekuatnya atau tidaknya sirkulasi bisa dilihat dari frekuensi nadi, kuat atau
tidaknya nadi, tekanan darah dan perfusi perifer. Tanda tidak adekuatnya sirkulasi yaitu
takikardi, lemah atau tak terabanya arteri perifer, hipotensi, ekstremitas yang pucat, dingin
dan sianosis. Prioritas utama dalam menciptakan sirkulasi adekuat adalah menghentikan
perdarahan, prioritas selanjutnya yaitu mengganti cairan intravaskular. Henti jantung pada
saat di jalan atau segera sesudah sampai di rumah sakit, karena trauma tembus dada, segera
memerlukan emergency room thoracotomy (ERT). Resusitasi torakotomi, segera
menghentikan perdarahan yang jelas terlihat, membuka pericardium, menjahit luka di
jantung, menutup (cross clamping) aorta diatas diafragma. Beberapa ahli bedah trauma
menggunakan ERT untuk kasus henti jantung karena trauma tumpul abdomen. Pasien hamil
aterm yang mengalami henti jantung atau shock hanya dapat diresusitasi setelah bayinya
dilahirkan.
d. Perdarahan (hemorrhage)
Asal perdarahan harus segera dicari dan dihentikan dengan cara balut tekan.
Perdarahan ekstremitas mudah dihentikan dengan cara balut tekan, torniket bisa
menyebabkan reperfusion injury (trauma reperfusi). Perdarahan trauma dada biasanya
berasal dari arteri intercostal dan biasanya berkurang atau berhenti setelah paru-paru
mengembang (setelah dipasang CTT). Perdarahan trauma abdomen, tergantung tingkat
keparahannya, bisa berhenti sendiri, bisa diberikan resusitasi cairan dan tranfusi darah,
bersamaan dengan tindakan operasi. Pakaian antishok pneumatic (pneumatic antishock
garment) bisa mengurangi perdarahan di perut dan ekstemitas bawah, meningkatkan
Page 4 of 20

resistensi vascular, dan meningkatkan perfusi jantung dan otak. Perdarahan diatas pakaian
ini (dada dan kepala) dikontraindikasikan untuk menggunakan pakaian ini, karena resiko
bertambahnya perdarahan .
Shock merupakan kegagalan sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi
organ dan pemenuhan oksigen jaringan (oksigen delivery). Ada berbagai macam shock, dan
pada pasien trauma biasanya merupakan shok hipovolemik. Respon fisiologis perdarahan
yaitu hipotensi, takikardi, capillary refill buruk, penurunan tekanan nadi, takipnea, dan
delirium (table 41-2). Hematokit serum dan kadar hemoglobin tidak akurat dalam
menentukan banyaknya perdarahan akut. Stimulasi somatic tepi somatik dan kerusakan
hebat jaringan mengurangi cardiac output dan isi sekuncup (stroke volume) pada pasien
dengan shok hipovolemik. Ketidakstabilan hemodinamik ini membutuhkan tekanan darah
arterial invasif. Pada hipovolemik yang berat, nadi dapat menghilang pada saat inspirasi.
Tingkat hipotensi pada saat operasi berkaitan erat dengan tingkat kematian.

Table 411. Classification of Shock by Mechanism and Common Causes.1


Hypovolemic shock
Loss of blood (hemorrhagic shock)
External hemorrhage
Trauma
Gastrointestinal tract bleeding
Internal hemorrhage
Hematoma
Hemothorax or hemoperitoneum
Loss of plasma
Burns
Exfoliative dermatitis
Loss of fluid and electrolytes
External
Vomiting
Diarrhea
Excessive sweating
Hyperosmolar states (diabetic ketoacidosis, hyperosmolar nonketotic coma)
Page 5 of 20

Internal ("third-spacing")
Pancreatitis
Ascites
Bowel obstruction
Cardiogenic shock
Dysrhythmia
Tachyarrhythmia
Bradyarrhythmia
Pump failure (secondary to myocardial infarction or other cardiomyopathy)
Acute valvular dysfunction (especially regurgitant lesions)
Rupture of ventricular septum or free ventricular wall
Obstructive shock
Tension pneumothorax
Pericardial disease (tamponade, constriction)
Disease of pulmonary vasculature (massive pulmonary emboli, pulmonary hypertension)
Cardiac tumor (atrial myxoma)
Left atrial mural thrombus
Obstructive valvular disease (aortic or mitral stenosis)
Distributive shock
Septic shock
Anaphylactic shock
Neurogenic shock
Vasodilator drugs
Acute adrenal insufficiency
1
Reproduced, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency Diagnosis
& Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.

Table 412. Clinical Classification of Shock.1,2


Pathophysiology

Clinical Manifestations

Mild (< 20% Decreased peripheral perfusion only Patient complains of feeling cold.
of

blood of

volume lost)

organs

prolonged

able
ischemia

to

withstand Postural
(skin,

hypotension

and

fat, tachycardia. Cool pale moist skin;

muscle, and bone). Arterial pH collapsed neck veins; concentrated

Page 6 of 20

Pathophysiology

Clinical Manifestations

normal.

urine.

Moderate (20 Decreased

central

perfusion

of Thirst. Supine hypotension and

40% of blood organs able to tolerate only brief tachycar-dia


volume lost)

ischemia

(liver,

gut,

(variable).

Oliguria

kidneys). and anuria.

Metabolic acidosis present.


Severe (> 40% Decreased perfusion of heart and Agitation,
of

confusion,

or

blood brain. Severe metabolic acidosis. obtundation. Supine hypotension

volume lost)

Respiratory
present.

acidosis

possibly and tachycardia invariably present.


Rapid, deep respiration.

Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency

Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.


2

These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock but apply to

other types of shock as well.

Terapi utama dari shock hemoragik adalah resusitasi cairan dan transfusi darah. IV
kateter dengan diameter besar (no 14-16) dan pendek (1,5-2in) dipakai bila akses ke vena
mudah. Pasien dengan kemungkinan trauma vena cava atau hepar sebaiknya akses cairan
menggunakan ke dua sistem vena cava, apabila dibutuhkan penutupan (cross clamping)
pembuluh darah dalam tindakan operasi. Meski CVP bisa menentukan status volume tubuh,
tetapi tindakan ini menghabiskan banyak waktu dan kemungkinan terjadinya komplikasi
mengancam jiwa ( misal, pneumothorax). Akses intra vena perifer biasanya cukup untuk
resusitasi.
Perdarahan hebat mengurangi kompartemen intravaskular. Cairan akan berpindah
dari kompartemen interstitial ke kompartemen intravaskular untuk mempertahankan
hemodinamik tubuh, dan kompartemen interstitialpun akan bergerak memasuki sel.
Metabolisme anaerob akan menyebabkan penurunan ATP, disfungsi Na-K-ATP dependent,
dan menyebabkan edema sel.

Page 7 of 20

e. Terapi cairan
Pemilihan terapi cairan ditentukan pertama kali oleh ketersediaan cairan itu sendiri.
Meskipun cross-match tranfusi darah (whole blood) sangat ideal, tetapi waktu untuk cross
match sekitar 45-60 menit. Golongan darah spesifik bisa menyebabkan reaksi antibodi,
tetapi merupakan terapi yang baik, dan diberikan segera setelah tersedia (5-10 menit).
Tranfusi golongan darah O-negatif sebaiknya diberikan kepada pasien perdarahan yang
mengancam jiwa dan tidak tercukupi dengan resusitasi cairan (contoh, exsanguination).
Komplikasi dari trnfusi pada perdarahan hebat dibhas di bab 29.
Cairan kristaloid selalu tersedia dan harganya murah. Resusitasi cairan
membutuhkan jumlah cairan banyak, dikarenakan cairan kristaloid tidak bertahan lama di
kompartemen intravaskular. Injeksi ringer laktat lebih sedikit menyebabkan asidosis
hiperkloremik dari pada NaCl fisiologis, meski kalsium sedikit lebih cocok untuk tranfusi
darah. Cairan dextrose bisa memperhebat kerusakan otak iskemik dan sebaiknya dihindari
bila tidak ditemukan hipoglikemi. Dan cairan ringer laktat pun sedikit hipotonik dan
apabila diberikan dalam jumlah besar bisa memperberat edema cerebral. Cairan hipertonik
seperti NaCl 3% atau 7% efektif untuk resusitasi cairan dan menyebabkan edema cerebral
lebih sedikit dari pada RL dan NaCl fisiologis pada kasus cedera otak. Dan pemberian kecil
cairan NaCl hipertonis, akan cepat meningkatkan volume plasma, penggunaannya dibatasi
jangan sampai terjadi hipernatremi. Vasodilatasi dan hipotensi sementara sebaiknya di
observasi.
Cairan koloid lebih mahal daripada cairan kristaloid, tetapi lebih efektif dalam
meningkatkan volume intravaskular. Kekurangan cairan interstitial karene shok
hipovolemik, lebih baik diterapi dengan cairan kristaloid, atau kombinasi cairan kolod dan
kristaloid. Albumin terpilih digunakan daripada dextran atau hetastarch, karena
dikhawatirkan terjadi induksi koagulopati.
Apapun cairan yang diberikan sebaiknya dihangatkan terlebih dahulu sebelum
pemberian. Infus cepat dengan IV kateter besar dan cairan hangat sangat penting saat
tranfusi pada perdarahan hebat. Selimut hangat dan alat pemanas ruangan akan menjaga
kehangatan suhu tubuh. Hipotermi memperburuk ketidakseimbangan asam basa ,
koagulopati, dan disfungsi miokard. Hal itu juga menggeser kurva oksigen hemoglobin ke

Page 8 of 20

kiri dan menurunkan metabolisme laktat, sitrat, dan beberapa obat anestesi. jumlah
pemberian cairan tergantung pada klinis pasien, tekanan darah, tekanan nadi, dan denyut
jantung (heart rate).
CVP dan output urin menunjukkan adekuatnya perfusi organ.
Tidak adekuatnya perfusi organ akan berpengaruh pada metablisme aerob,
meningkatnya asam laktat dan asidosis metabolik. Natrium bikarbonat akan berubah
menjadi ion bikarbonat dan CO2, untuk sementara waktu, dapat memperburuk asidosis
intrasel

karena membran sel relatif tidak soluble untuk bikarbonat dibanding CO 2.

ketidakseimbangan asam basa akan teratasi dengan resusitasi cairan dan baiknya perfusi
organ. Laktat akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat dan H+ diekskresikan oleh
ginjal.
Pasien shok hemoragik dengan hipotensi harus diterapi agresif dengan resusitasi
cairan dan tranfusi darah, bukan dengan obat vasopresor, kecuali bila hipotensinya tidak
berespon dengan pemberian cairan, atau mungkin adanya shock kardiogenik dan henti
jantung.
Shok yang tidak berespon dengan resusitasi cairan, mungkin bisa disebabkan
perdarahan yang banyak yang melebihi jumlah cairan yang diberikan, atau adanya shok
kardiogenik ( missal, tamponade pericardial, kontusio miokard, miokard infark), shok
neurogenik ( kerusakan batang otak, spinal cord transection), shok septic (komplikasi
lambat), kerusakan paru (pneumothorax dan hematothorax) dan asidosis dan hipotermi
berat.
f. Disability
Evaluasi untuk mengetahui disabilitas neurology, dengan pemeriksaan cepat
neurologis. Dikarenakan untuk menilai GCS lama, maka digunakan system AVPU : awake,
verbal responsive, pain responsive, dan unresponsive.
g. Exposure
Pasien sebaiknya dibuka seluruh pakaiannya, untuk melihat apakah ada jejas. Inline immobilization sebaiknya dipakai bila pasien dicurigai ada cedera tulang belakang.

Page 9 of 20

2.2 SECONDARY SURVEY


Secondary survey dimulai bila ABC sudah stabil. Di Secondary survey pasien di
nilai dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan tes lainnya ( foto Rontgen, tes
laboratorium, dan prosedur invasive dianostik) yang dibutuhkan. Pemeriksaan kepala
mencari jejas di scalp, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis mencakup GCS dan
evaluasi system motorik sensorik dan reflek. Pupil dilatasi (fixed dilated pupils)tidak selalu
menunjukkan kerusakan otak ireversibel. Dada di inspeksi dan di auskultasi lagi, untuk
mencari apakah ada fraktur dan integritas fungsional (flail chest). Suara nafas yang
menurun menunjukkan adanya pneumothorax yang membuthkan CTT. Suara jantung
menghilang, perbedaan tekanan sistolik dan diastolik yang dekat, teregangnya vena leher
kemungkinan adanya tamponade pericardial, dan harus dilakukan pericardiocentesis. Meski
pada pemeriksaan awal (primary survey) normal, tetap tidak menyingkirkan hal ini.
Pemeriksaan abdomen terdiri dari inspeksi, auskultasi dan palpasi. Ekstremitas di periksa,
apakah ada fraktur, dislokasi dan terabanya nadi perifer. Kateter urin dan NGT biasanya
dipasang pada pasien trauma.
Pemeriksaan laboratorium dasar meliputi pemeriksaan darah rutin (hematokrit atau
hemoglobin), elektrolit, glukosa, ureum dan kreatinin. Analisa gas darah pun sangat
membantu. Foto torax sebaiknya dilakukan pada semua pasien dengan trauma berat. Untuk
menyingkirkan cedera leher, maka ketujuh vertebra di foto posisi lateral dan posisi
swimmers. foto cervical hanya mendeteksi 80-90% terjadinya faktur, dan dengan CT-Scan
alat yang reliable (dapat dipercaya) untuk menentukan ada atau tidaknya cedera leher. Foto
tambahan lainnya yaitu foto kepala, pelvis dan foto tulang panjang. A focused assessment
with sonogaraphy for trauma (FAST) scan adalah alat yang cepat, portable, pemeriksaan
ultrasonografi untuk mengidentifikasi perdarahan intraperitoneum atau tamponade
pericardial. FAST dipakai untuk memeriksa cairan di 4 daerah yaitu: perihepatic,
perisplenic, pelvis dan pericardium. Tergantung dari trauma dan kondisi hemodinamik
pasien, pemeriksaan lain (seperti, CT-scan dada atau angiografi) atau tes diagnostik seperti
diagnostic Lavage (DPL) bisa dilakukan.

2.3 TERTIARY SURVEY

Page 10 of 20

Banyak pusat trauma memakai tertiary survey untuk menghindari cedera yang
terlewat. Antara 2-50% trauma bisa terlewat dengan primary dan secondary survey,
biasanya pada trauma tumpul multiple (seperti, kecelakaan mobil). Tertiary survey adalah
evaluasi pasien yang mengidentifikasi semua cedera yang dialami pasien setelah indakan
resusitasi dan operasi. Dan biasanya dilakukan 24 jam setelah kejadian. Evaluasi ini pada
pasien lebih sadar, dan tentunya bisa lebih berkomunikasi, untuk mengetahui mekanisme
trauma lebih detail, dan rekam medik yang lebih detil untuk menentukan faktor
komorbidnya.
Tertiary survey berguna untuk menilai kembali trauma yang sudah diketahui atau
trauma yang terlewat pada primary dan secondary survey. Pemeriksaannya dengan
memeriksa kembali dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan mereview semua hasil
laboratorium dan semua hasil foto. Trauma yang terlewat biasanya fraktur pelvis, trauma
kepala,trauma tulang belakang, trauma abdomen dan kerusakan saraf perifer.

2.4 Pertimbangan umum anastesi


Anestesi regional tidak praktis dan tidak pada tempatnya untuk pasien yang
hemodinamiknya tak stabil dengan trauma mengancam jiwa.
Bila pasien sampai ke kamar operasi telah diintubasi, maka posisi ETT harus
diperiksa kembali. Pasien dengan suspek cedera kepala diberikan hiperventilasi untuk
menurunkan tekanan intra kranial. Ventilasi mungkin berkurang karena adanya
pneumothorax, flail chest, sumbatan ETT, atau cedera paru-paru.
Bila pasien tidak diintubasi maka prinsip manajemen airway seperti di atas harus
dilakukan di kamar operasi. Bila cukup waktu maka hipovolemia sebaiknya telah dikoreksi
meski sebagian ,sebelum dilakukan anestesi umum. Resusitasi cairan dan tranfusi darah
harus diteruskan selama induksi dan tindakan anestesi. Zat penginduksi yang biasa
digunakan untuk pasien trauma yaitu ketamin dan etomidate. Meski setelah resusitasi
cairan yang adekuat , dosis induksi propofol yang dibutuhkan 80-90% lebih rendah pada
pasien dengan trauma mayor. Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide yang
normalnya menstimulasi secara tidak langsung fungsi jantung, bisa menimbulkan efek

Page 11 of 20

depresi jantung (cardio depressan) pada pasien shok atau sudah mendapat stimulasi
simpatik maksimal. Hipotensi bisa juga dialami setelah pemberian etomidate.
Tindakan anestesi pada pasien tak stabil yang utama menggunakan muscle relaxant
(neuromuscular blocking agent), dengan anestesi umum dipakai tergantung respon pasien
(MABP >50-0 mmHg) untuk menciptakan sekurang-kurangnya amnesia pasien. Dosis kecil
intermiten ketamin (25mg setiap 15 menit) biasanya di toleransi dengan baik dan
menurunkan insidence of recall, khususnya bila dipakai dengan zat volatil konsentrasi
rendah (< 0,5 minimum alveolar concentration). Obat lain yang berguna untuk mencegah
recall yaitu midazolam (img intermiten) dan scopolamine (0,3mg). Banyak para klinisi
tidak menggunakan nitrous oxide, karena ada kemungkinan terjadinya pneumothorax dan
juga membatasi konsentrasi oksigen inspirasi. Obat yang cenderung untuk menurunkan
tekanan

darah

(contoh,

pelepasan

histamin

pada

pemberian

atracurarium

dan

mivacurarium) sebaiknya dihindari pada pasien dengan shok hipovolemik. Tingkat


konsentrasi alveolar zat anestesi inhalasi meningkat pada kondisi shok disebabkan kardiak
outputnya yang rendah dan meningkatnya ventilasi. Semakin tinggi tekanan parsial anestesi
alveolar (alveolar anesthetic partial pressure) semakin tunggi pula tekanan parsial arteri
(arterial partial pressures) dan semakin tinggi pula beban miokard. Efek dari obat anestesi
akan meningkat sebab di masukkan ke dalam cairan intravaskular yang lebih kecil dari
normal. Kunci untuk manajemen anestesi yang aman dari pasien shok adalah untuk
memberikan dosis lebih kecil, apapun obatnya.
Monitor invasive (pengukuran Tekanan darah arteri langsung, CVP, mpnitor tekanan
arteri pulmonal) bisa sangat membantu dalam patokan pemberian cairan, tetapi monitoring
invasive ini jangan sampai mengganggu proses resusitasi. Pengukuran darah serial
hematokrit ( hemoglobin) analisa gas darah, elektrolit serum (K) sangat membantu dalam
resusitasi.
2.5 Trauma kepala dan tulang belakang
Semua pasien trauma dengan penurunan kesadaran harus selalu diduga adanya trauma otak.
Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS.
Cedera yang membutuhkan tindakan bedah segera yaitu epidural hematoma, acute
subdural hematome, trauma tembus otak, fraktur depressed tengkorak kepala. Trauma
Page 12 of 20

lainnya yaitu fraktur basis kranii dan perdarahan intraserebral. Fraktur basis kranii
tandanya yaitu raccoon eye, battle sign, dan cairan cerebrospinal yang keluar melalui
telinga dan hidung. Tanda lain kerusakan otak yaitu gelisah, kejang, disfungsi nervus
kranialis (seperti, pupil nonreaktif). Trias cushing ( hipertensi, bradikardi, dan gangguan
nafas) merupakan tanda yang tak bisa dipercaya untuk mengetahui adanya herniasi otak.
Hipotensi jarang disebabkan hanya oleh trauma kepala. Pasien yang dicurigai trauma
kepala, tidak diperbolehkan untuk mendapatkan premedikasi obat yang dapat
mempengaruhi status mental pasien (seperti, sedatif, analgesik) atau pemeriksaan
neurologis (misal, dilatasi pupil yang diinduksi obat antokolinergik).
Trauma otak biasanya diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial karena
adanya hematom atau edema. Tekanan tinggi intrakranial dikontrol dengan restriksi cairan
(kecuali

bila

ada

tanda

shok

hipovolemik),

diuretic

(misal,

dengan

manitol

0,5g/kg),barbiturat dan kondisi hipokapnia (PaCO2 28-32 mmHg). Intubasi Endotrakeal


sangat dibutuhkan , dan juga menjaga dari resiko aspirasi akibat reflek muntah. Hipertensi
atau takikardi pada saat intubasi dapat dikurangi dengan pemberian slidokain atau fentanyl
intravena. Intubasi sadar (Awake intubation) bisa meningkatkan tekanan intrakranial.
Pemasangan endotrakeal tube atau nasogastrik tube pada pasien fraktur basis kranii bisa
menyebabkan perforasi cribriformis plate dan infeksi LCS. Sedikit peninggian kepala akan
memningkatkan drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial. Pengaruh
kortikosteroid pada pasien cedera kepala masih menjadi kontroversi, kebanyakan studi
tidak menunjukkan efek samping maupun manfaat kortikosteroid. Obat anestesi yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial sebaiknya tidak dipergunakan (contohnya, ketamin).
Hiperglikemia sebaiknya dihindari dan diobati dengan insulin bila terjadi. Hipotermi ringan
memberikan manfaat untuk mencegah iskemia-induced injury pada pasien cedera kepala.
Autoregulasi aliran darah cerebral biasanya terganggu pada daerah yang cedera,
hipertensi arteri bisa memperburuk edema cerebral dan menyebabkan tekanan tinggi
intrakranial. Dan hipotensi arteri akan menyebabkan iskemik serebral regional. Umumnya
tekanan perfusi cerebral/cerebral perfusion pressure (selisih MABP di otak dengan CVP
atau tekanan intrakranial) harus dijaga > 60 mmHg.

Page 13 of 20

Pasien dengan cedera kepala berat lebih rentan terjadinya hipoksemia arteri dari
sirkulasi pintas paru (pulmonary shunting) dan Ventilasi/perfusi mismatch. Perubahan ini
bisa disebabkan aspirasi, atelectasis, perubahan langsung saraf dan pembuluh darah paruparu. Tekanan tinggi intrakranial menjadi faktor predisposisi edema paru karena
meningkatnya system saraf simpatis.
Tingkat kerusakan fisiologis pasien dengan trauma tulang belakang, sesuai dngan
tinggi lesinya di medulla spinalis. Penanganan khususu harus dilakukan untuk mencegah
trauma lebih lanjut pada saat transportasi dan intubasi. Lesi di leher bisa mengenai nervus
phrenicus (C3-C5) dan menyebabkan apnea. Rusaknya fungsi interkosta,

membatasi

cadangan udara paru (pulmonary reserve), dan kemampuan untuk batuk. Trauma tinggi
dada akan mengganggu persarafan simpatis jantung (T1-T4), menyebabkan bradikardi.
Trauma tinggi medulla spinalis akut bisa menyebabkan spinal shock, suatu kondisi ditandai
hilangnya fungsi simpatis, baik kapasitas maupun resistensi pembuluh darah yang berada di
bawah lesi, menyebabkan hipotensi, bradikardi, areflexia, atoni gastrointestinal. Distensi
vena di kedua kaki adalah tanda trauma medulla spinalis. Hipotensi pada pasien ini
membutuhkan terapi cairan yang agresif- waspada akan kemungkinan edema paru setelah
keadaan akut telah teratasi. Suksinilkolin aman pada saat 48 jam setelah trauma, tetapi
setelahnya bisa menyebabkan hiperkalemia yang mengancam jiwa. Dosis tinggi dan
pemberian

cepat

kortikosteroid

dengan

metilprednisolon

(30mg/kg

diteruskan

5,4mg/kg/jam untuk 23 jam) meningkatkan kesembuhan neurologis (neurological outcome)


pasien dengan trauma medulla spinalis. Hiperreflexia otonom terjadi bila lesi di atas V. T5
tetapi bukan menjadi masalah pada menajemen akut.
2.6 Trauma Dada
Trauma dada bisa sangat menggangu fungsi jantung dan paru, menyebabkan shok
kardiogenik atau hipoxia. Pneumothorak sederhana (Simple Pneumothorak) adalah
terkumpulnya udara diantara pleura parietal dan visceral. Kolapnya paru-paru yang terkena
menyebabkan abnormalitas ventilasi/perfusi berat dan hipoxia. Pada pemeriksaan dinding
dada yang sakit ditemukan pada perkusi hiperresonan, suara nafas menurun atau hilang,
dan pada foto torax terlihat paru-paru kolap. Nitrous oxide akan memperluas pneumotorax
dan dikontraindikasikan pada kondisi tersebut. Penanganannya dengan pemasangan CTT di

Page 14 of 20

ICS 4-5, di depan midaxilary line. Kebocoran udara persisten setelah pemasangan CTT
menunjukkan adanya trauma bronkus mayor.
Pada tension pneumothorak, udara dapat memasuki rongga pleura tetapi tidak dapat
keluar (one-way valve), dan udara berkumpul di paru-paru atau dinding dada. Udara
memasuki rongga dada pada saat inspirasi tetapi tidak dapat keluar pada saat ekspirasi.
Akibatnya, paru-paru sisi sakit akan kolap, mediastinum dan trakea akan terdorong ke sisi
yang sehat. Simple pneumotorax bisa berubah menjadi tension pneumothorax bila
terjadinya ventilasi tekanan positif di paru-paru (Positive pressure ventilation). Venous
return dan ekspansi paru sisi sehat akan terganggu. Tanda klinis yaitu pada sisi sakit suara
nafas akan hilang dan hiperresonan pada perkusi, trakea akan terdorong ke sisi sehat, dan
vena leher akan teregang. Masukkan IV kateter no 14 ke ICS 2 pada midclavicula line akan
merubah tension menjadi simple pneumotorax. Terapi definitive yaitu pemasangan CTT.
Fraktur kosta multiple menurunkan fungsi integritas dinding dada , menghasilkan
keadaan yang disebut flail chest. Hipoksia sering diperburuk dengan adanya penyakit paru
dan hemothorax. Kontusio paru disebabkan gagal nafas yang lama. Hemotorax dibedakan
dengan pneumotorax yaitu pada perkusi paru akan didapatkan perkusi dull.
Hemomediastinum, seperti halnya hematothorax, bisa disebabkan oleh shok hemoragik.
Hemoptisis massif mungkin membutuhkan isolasi paru sakit dengan Double lumen tube
(DLT) untuk mencegah darah masuk ke paru yang sehat. Penggunaan ETT lumen tunggal
dengan bronchial blocker lebih aman bila sulit dalam penggunaan laringoskop atau
penggunaan DLT tidak berhasil. Trauma bronkus besar juga membutuhkan pemisahan paru
sakit dan paru sehat, ventilasi hanya menggunakan paru sehat. High frequency jet
ventilation bisa menjadi alternatif untuk bantuan ventilasi tekanan jalan nafas rendah
(lower airway pressure) dan meminimalisasi kebocoran udara bronkus bila terdapat
kebocoran bronkus bilateral atau pemisahan paru tidak bisa dilakukan. Kebocoran udara
bronkus yang terkena trauma bisa masuk ke vena pulmonary yang rusak menyebabkan
emboli paru dan sistemik. Sumber kebocoran harus segera dicari dan diperbaiki.
Kebanyakan ruptur bronkus bejarak 2,5 cm dari carina.
Tamponade jantung merupakan trauma dada mengnancam jiwa dan harus dikenali
secara dini. Bila tidak tersedia FAST atau Echocardiografi, trias Becks (distensi vena leher,

Page 15 of 20

hipotensi, muffled heart tones), pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 10 mmHg
pada saat inspirasi), dan kecurigaan pada penyakit tersebut akan membantu menegakkan
diagnosis. Pericardiocentsis merupakan terapi sementara. Dengan cara menusukkan kateter
no 16 (panjangnya sekitar 15cm) dari Xipohocondral junction ke ujung kiri scapula dengan
sudut 45o, dibantu transthoracic echocardiografi atau EKG. Perubahan gambaran EKG
menunjukkan kateter mengenai miokardium. Terapi definitive pericardial tamponade
dengan torakotomi. Menajemen anestesi untuk keadaan ini harus memaksimalkan
inotropik, kronotropik dan preload jantung. Oleh karenanya, ketamin merupakan obat
terpilih. Trauma tembus jantung atau pembuluh darah besar membutuhkan tindakan operasi
segera. Tindakan pada jantung berulang, menyebabkan episode bradikardi intermiten dan
hipotensi berat.
Kontusio miokard biasanya didiagnosa dengan perubahan konsisten EKG, yang
menunjukkan iskemik (ST-segmen elevation), peningkatan enzim jantung( CK-MB atau
kadar troponin) atau perubahan EKG. Pergerakan abnormal dinding jantung bisa terlihat
dengan transthoracic echocardiography. Pasien cenderung lebih mudah terserang disritmia,
seperti heart block dan fibrilasi ventrikel. Operasi elektif harus ditunda, sampai semua
tanda trauma jantung teratasi.
Trauma lainnya pada dada yaitu transeksi atau diseksi aorta, avulsi (terobeknya)
arteri subclavia kiri, rusaknya katup mitral atau aorta, herniasi diafragmatika traumatika,
ruptur esophagus. Transeksi aorta biasanya terjadi di distal arteri subklavia kiri, karena
trauma deselerasi berat, secara klasik terlihat pada foto radiografi mediastinmnya lebar dan
biasanya diiringi dengan fraktur iga pertama.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) komplikasi trauma paru lambat dan
biasanya disebabkan : sepsis, trauma langsung dada, aspirasi, cedera kepala, emboli paru,
transfusi berlebihan, dan keracunan oksigen. Pasien trauma sering terkena resiko seperti
siatas. Meski dengan teknologi modern, tingkat kematian ARDS sekitar 50%. Dalam
beberapa kasus ARDS terjadi cepat, pada saat di kamar operasi. Pneumonia aspirasi,
terjadinya sebelum pasien diintubasi, biasanya terjadi di kamar operasi dan bisa tertukar
dengan ARDS. Ventilator mekanik pada mesin anestesi, tidak bisa mancukupi kebutuhan

Page 16 of 20

oksigen pasien dengan komplian paru yang buruk. Penggunaan ventilator ICU yang
memberikan tekanan udara tinggi mungkin diperlukan.

2.7 Trauma Abdomen


Pasien dengan rauma multiple harus selalu dicurigai trauma abdomen, sampai
terbukti tidak. Sampai 20% pasien dengan trauma abdomen tidak mengeluh sakit atau
menunjukkan tanda rangsang peritoneum (defans muscular, nyeri tekan, tanda ileus) pada
pemeriksaan pertama. Jumlah darah banyak (akut hemoperitoneum) mungkin terjadi pada
trauma abdomen (contoh, trauma hepar atau trauma limpa) dengan tanda minimal. Trauma
abdomen terbagi manjadi trauma tembus (luka tembak, luka tusuk) dan trauma tidak
tembus (deselerasi, tabrakan, trauma kompresi).
Trauma tembus abdomen biasanya terlihat jelas di perut atau di bagian bawah dada.
Organ yang paling sering terkena yaitu hati. Pasien terbagi menjadi : 1. tak ada denyut nadi
2. hemodinamik tak stabil 3. stabil. Pasien tak ada denyut nadi dan pasien dengan
hemodinamik tak stabil (dengan pemberian resusitasi cairan sebanyak 1-2 l, tetap tak bisa
menaikkan tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg) harus segera dilakukan
laparotomi. Biasanya akibat sobek pembuluh darah besar atau cedera organ solid. Pasien
stabil dengan tanda peritonitis atau evicerasi sebaiknya harus segera dilakukan laparotomi.
Dan pasien dengan hemodinamik stabil dengan trauma tembus abdomen dan tidak
menunjukkan tanda peritonitis, harus dievaluasi secara cermat, untuk menghindari
laparotomi yang tak perlu. Tanda penting adanya trauma abdomen yaitu udara bebas di
bawah diafragma pada foto torax, darah dari NGT, hematuria, dan darah dari rectum.
Evaluasi lebih lanjut untuk pasien dengan hemodinamik stabil yaitu pemeriksaan fisik
serial, eksplorasi luka, diagnostik peritoneal lavage (DPL), FAST, CT abdomen, atau
laparoskopi diagnostik. Dengan penggunaan FAST dan CT Scan, tindakan DPL dapat
dikurangi.
Trauma tumpul abdomen penyebab tertinggi kematian dan kesakitan karena trauma
dan merupakan kasus trauma intraabdominal paling banyak. tersobek atau ruptur lien
adalah kejadian yang paling sering. Pada trauma tumpul abdomen, Hasil FAST positive dan
hemodinamik buruk, memerlukan tindakan operasi segera. Bila FAST negatif atau
Page 17 of 20

equivocal pada pasien hemodinamik tak stabil, khususnya tanpa tanda rangsang
peritoneum, maka harus dicari sumber perdarahan atau sebab lain yang menyebabkan shok
nonhemoragik. Pada pasien trauma tumpul abdomen hemodinamik stabil berdasar hasil
FAST. Bila FAST positif, keputusan untuk melakukan laparoskopi atau laparotomi berdasar
hasil CT abdomen. Bila hasil FAST negatif, pasien diobservasi dengan pemeriksaan serial
dan pemeriksaan FAST.
Hipotensi berat biasanya terjadi setelah pembukaan dinding perut, karena hilangnya
efek tampon terhadap extravasasi darah di perut. Bila cukup waktu, pesiapan resusitasi
cairan dan tranfusi darah dengan alat infus (rapid infusion device) harus dilakukan sebelum
laparotomi. Nitrous oxide tidak dipakai untuk mencegah semakin teregangnya usus.
Pemasangan NGT dapat mengurangi regangan usus, tetapi harus dipasang melalui mulut
bila pasien tersangka fraktur cribriformis plate. Tranfusi darah banyak, harus dipersiapkan
bila trauma abdomen dengan trauma vascular, hepatic, lien, trauma ginjal, fraktur pelvis,
atau pedarahan retroperitoneal. Hiperkalemia yang diinduksi tranfusi darah (tranfusioninduced hyperkalemia), sama berbahayanya dengan exsangunasi dan harus cepat diterapi.
Perdarahan perut masif mungkin membutuhkan penyekatan daeran perdarahan
dan/atau peng-kleman (clamping) aorta abdominal, sampai sumber perdarahan dapat
ditemukan, dan resusitasi sudah bisa mencukupi kehilangan darah. Peng-kleman
(clamping) arteri yang lama bisa menyebabkan trauma iskemik pada liver, ginjal, usus,
sindroma kompartemen pada ekremitas bawah, dan lebih lanjut bisa menyebabkan gagal
ginjal akut dan rhabdomiolisis. Penggunaan manitol dan diuretik (sebelum clamping aorta)
bersamaan dengan terapi cairan bisa mencegah terjadinya gagal ginjal, tapi hal ini masih
kontroversi. Cepatnya terapi cairan dan tranfusi darah , cepatnya mengontrol perdarahan,
waktu clamping arteri yang pendek ,dapat mengurangi insidensi komplikasi.
Edema usus berkelanjutan (progressive) oleh trauma dan resusitasi cairan bisa
menghalangi penutupan pada saat akhir operasi. Penutupan perut terlalu ketat, bisa
meningkatkan tekanan intraabdomen, menyebabkan kompartemen sindrom di abdomen
akibatnya terjadi iskemik ginjal dan iskemik lien. Meski dengan penggunaan muscle
relaxant yang banyak, seringkali oksigenasi dan ventilasi sangat buruk. Oliguri dan
kerusakan ginjal (renal shutdown) terjadi setelahnya. Pada kasus ini, maka perut tetap

Page 18 of 20

dibiarkan terbuka (menggunakan penutup steril- dengan plastik cairan intravena) 48-72
jam, sampai edema berkurang dan penutupan bisa dilakukan.
2.8 Trauma Ekstremitas
Trauma ekstremitas bisa mengancam jiwa, karena rusaknya pembuluh darah dan
karena infeksi sekunder. Trauma vascular bisa menyebabkan perdarahan massif dan
membahayakan viabiitas dari ekstremitas. Contohnya, Fraktur femur kehilangan darah 2-3
labu, dan fraktur pelvis tertutup bisa menyebabkan kehilangan darah lebih banyak lagi dan
menyebabkan shok hipovolemik. Penanganan yang terlambat atau salah memposisikan
pasien bisa memperparah dislokasi dan kerusakan saraf lebih lanjut. Emboli lemak karena
fraktur pelvis dan tulang panjang bisa menyebabkan insufficiency paru, disritmia, peteki
kulit, perubahan kesadaran 1-3 hari setelah kejadian. Diagnosis laboratorium emboli paru
berdasar pada kenaikan serum lipase, adanya lemak di urin dan trombositopenia.
Sindroma kompartemen bisa terjadi pada hematom intramuskular luas, luka remuk
(crush injury), fraktur dan luka amputasi. Peniningkatan tekanan fascia interna dan
penurunan tekanan arteri menyebabkan iskemik, hipoksia jaringan, dan pembengkakan
yang progresif. Seperti yang telah didiskusikan, rhabdomiolisis dan gagal ginjal bisa
terjadi. Trauma karena reperfusi darah bisa memperparah edema dan trauma. Lengan atas
dan tungkai bawah yang paling beresiko untuk terkena. Diagnosis ditegakkan secara klinik
berdasar pengukuran langsung tekanan kompartemen : diatas 45 mmHg atau 10-30 mmHg
dari tekanan darah diastolik. Fasiotomi segera diperlukan, untuk menyelamatkan
ekstremitas.
Dengan teknik operasi modern sudah bisa memperbaiki (reimplanation) ekstremitas
dan jari yang terkena trauma. Bagian tubuh yang telah diamputasi, dan telah didinginkan,
masih bisa disambung kembali (reimplanasi) bahkan sampai 20 jam setelah amputasi,
sedangkan yang tidak didinginkan hanya sampai 6 jam. Bila trauma terisolasi, teknik
anestesi regional (blok plexus brachialis atau interscalene) direkomendasikan untuk
meningkatkan laju darah perifer (periferal blood flow) dengan cara menghambat persarafan
simpatis. Pada saat tindakan anestesi umum, pasien harus selalu hangat, dan keadaan
menggigil harus dicegah untuk memaksimalkan perfusi darah.

Page 19 of 20

DAFTAR PUSTAKA

Boffard KD, Brooks AJ: Pancreatic traumainjuries to the pancreas and pancreatic duct.
Eur J Surg 2000;166:4. [PMID: 10688209]
Brooks AJ, Rowlands BJ: Blunt abdominal injuries. Br Med Bull 1999;55:844. [PMID:
10746334]
Dabrowski GP, Steinberg SM, Ferrara JJ, Flint LM: A critical assessment of endpoints of
shock resuscitation. Surg Clin North Am 2000;80:825. [PMID: 10897263]
Dutton RP, Sharrar SR: Trauma. Int Anesth Clin 2002:40:1.
Dykes EH: Paediatric trauma. Br J Anaesth 1999;83:130. [PMID: 10616340]
Ferrada R, Birolini D: New concepts in the management of patients with penetrating
abdominal wounds. Surg Clin North Am 1999;79:1331. [PMID: 10625982]
Ho AM, Ling E: Systemic air embolism after lung trauma. Anesthesiology 1999;90:564.
[PMID: 9952165

Page 20 of 20

Anda mungkin juga menyukai