Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Disfagia berasal dari kata Yunani yang berarti gangguan makan. Disfagia
biasanya mengacu pada kesulitan dalam makan sebagai akibat dari gangguan
dalam proses menelan. Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan
seseorang karena risiko aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidariasi, penurunan
berat badan, dan obstruksi jalan napas. Sejumlah etiologi telah dikaitkan dengan
disfagia pada populasi dengan kondisi neurologis dan non-neurologic.
Gangguan yang dapat menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi proses
menelan pada fase oral, faring, atau esofagus. Anamnesis secara menyeluruh dan
pemeriksaan fisik dengan teliti sangat penting dalam diagnosis dan pengobatan
disfagia. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan leher, mulut, orofaring,
dan laring. Pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan. Pemeriksaan endoskopi
serat optik pada proses menelan mungkin diperlukan. Gangguan menelan mulut
dan faring biasanya memerlukan rehabilitasi, termasuk modifikasi diet dan
pelatihan teknik dan manuver menelan. Pembedahan jarang diindikasikan untuk
pasien dengan gangguan menelan. Pada pasien dengan gangguan berat, makanan
sulit melewati rongga mulut dan faring secara keseluruhan dan pemberian nutrisi
enteral mungkin diperlukan. Pilihan meliputi gastrostomy endoskopi perkutan dan
kateterisasi intermiten oroesophageal. Disfagia telah dilaporkan dalam beberapa
jenis gangguan, dan dapat digolongkan sebagai neurologis dan non neurologis.
Gangguan menelan neurologis ditemui lebih sering pada unit rehabilitasi medis
daripada spesialisasi kedokteran lainnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
1.

Anatomi faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan

kerongkongan (osefagus), panjangnya 12 cm. Letaknya setinggi vertebra


servikalis IV ke bawah setinggi tulang rawan krikoidea. Faring di bentuk oleh
jaringan yang kuat dan jaringan otot melingkar, kantung fibromuskuler yang
bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah.
Di dalam faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang
banyak mengandung limfosit untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi,
menyaring dan mematikan bakteri / mikroorganisme yang masuk melalui jalan
pencernaan dan pernafasan. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan
ke bawah berhubungan esofagus. Faring berlanjut ke oseofagus untuk pencernaan
makanan.
Faring terdiri atas :

2.

Anatomi esofagus
Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung,

panjangnya sekitar 9 sampai dengan 25 cm dengan diameter sekitar 2,54 cm,


mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. Esofagus
berawal pada area laringofaring, melewati diafragma dan diatus esofagus.
Esofagus terletak dibelakang trakea dan didepan tulang punggung setelah melalui
toraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan
lambung.
Lapisan terdiri dari 4 lapis yaitu mucosa, submucosa, otot (longitudinal dan
sirkuler), dan jaringan ikat renggang. Makanan atau bolus berjalan dalam
oesofagus karena gerakan peristaltik, yang berlangsung hanya beberapa detik saja.
Fungsi esofagus adalah menggerakkan makanan dari faring ke lambung
melalui gerak peristaltis. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mucus
untuk melumasi dan melindungi esofagus tetapi esofagus tidak memproduksi
enzim pencernaan.

3.

Anatomi laring
Larynx (laring) atau tenggorokan merupakan salah satu saluran pernafasan

(tractus respiratorius). Laring membentang dari laryngoesophageal junction dan


menghubungkanfaring (pharynx) dengan trachea. Laring terletak

setinggi

Vertebrae Cervical IV VI.

Cartilago Larynx
Laring dibentuk oleh beberapa cartilage, antara lain :

Cartilago epiglottica
Cartilago elastic berbentuk daun terletak di posterior dari radix linguae.
Berhubungan dengan corpus ossis hyoidea di anteriornya dan cartilage thyroidea
di posteriornya. Sisi epiglottis berhubungan dengan cartilage arytenoidea melalui
plica aryepiglottica. Sedangkan di superiornya bebas dan membrane mucosanya
melipat ke depan dan berlanjut meliputi permukaan posterior lidah sebagai plica
glossoepiglottica mediana et lateralis. Dimana diantaranya terdapat cekungan
yang

disebut

dengan

valecullae.

Cartilago thyroidea
Terdiri atas 2 lamina cartylago hyaline yang bertemu di linea mediana
anterior mjd sebuah tonjolan sudut V yang disebut dengan Adams apple/
5

commum adamum/ prominentia piriformis (jakun). Pinggir posterior tiap lamina


menjorok ke atas membentuk cornu superior dan ke bawah membentuk cornu
inferior. Pada permukaan luar lamina terdapat line oblique sebagai tempat
melekatnya m. sternothyroideus, m. thyrohyoideeus, dan m. constrictor pharyngis
inferior.
Cartilago cricoidea
Merupakan cartilage yang berbentuk cincin utuh dan terletak di bawah dari
cartilago thyroidea. Cartilago ini mempunyai arcus anterior yang sempit dan
lamina posterior yang lebar. Pada bagian lateral nya ada facies articularis sirkular
yang akan bersendi dengan cornu inferior cartilage thyroidea. Sedangkan di
bagian atasnya terdapat facies articularis yang akan bersendi dengan basis
cartilage

arytenoidea.

Cartilago arytenoidea
Merupakan cartilage kecil berbentuk pyramid yang terletak di belakang dari
larynx pada pinggir atas lamina cartilage cricoidea. Masing-masing cartilago
memiliki apex di bagian atas dan basis di bagian bawahnya. Dimana bagian apex
nya ini akna menyangga dari cartilage corniculata, sdengankn pada bagian basis
nya bersendi dengan cartilage cricoidea. Pada basis nya terdapat 2 tonjolan yaitu
proc. Vocalis yang menonjol horizontal ke depan merupakn perlekatan dari lig.
Vocale, dan proc. Muscularis yang menonjol ke lateral dan merupakan perlekatan
dari

m.

crycoarytenoideus

lateralis

et

posterior.

Cartilago cuneiformis (Wrisbergi)


Merupakan cartilage kecil berbentuk batang yang terdapat di dalam 1 plica
aryepiglottica yang berfungsi untuk menyokong plica tersebut.
Cartilago corniculata (Santorini)
Merupakan dua buah nodulus kecil yang bersendi dengan apex cartilaginis
arytenoidea dan merupakan tmp lekat plica aryepiglottica shg menyebabkan
6

pinggir

atas

plica

aryepiglottica

dextra

et

sinistra

agak

meninggi.

Aditus Laryngis
Merupakan pntu masuk larynx yang menghadap ke dorsocranial dan
menghadap ke laryngopharynx. Aditus laryngis memiliki syntopi :
- Ventral : pinggir atas epiglottis
- Lateral : plica aryepiglottica.
- Dorsocaudal : membrane mucosa antar cartilage arytenoidea.

Cavitas Laryngis
Cavitas laryngis terbentang dari aditus laryngis hingga ke pinggir bawah
cartilage cricoidea dan di bagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian atas (vestibulum laryngis)
Terbentang dari aditus laryngis hingga ke plica vestibularis. Rima vestibularis
adalah celah di antara plica vestibularis. Sedangkan, lig. Vestibulare terletak
dalam plica vestibularis.
2. Bagian tengah (Recessus laryngeus)
Terbentang dari plica vestibularis hingga setinggi plica vocalis yang berisi lig.
Vocalis. Rima glottidis adalah celah di antara plico vocalis. Diantara plica
7

vestibularis dan plica vocalis ini terdapat recessus kecil yaitu sinus laryngis dan
ventriculus laryngis.
3. Bagian bawah (Fossa infraglottidis)

- Otot-Otot Intrinsik Laryng


Otot yang perlekatan di bagian laryng. Otot ini memiliki peranan untuk
mengubah panjang dan ketegangan plica vocalis dalam produksi suara dan
mengubah ukuran rima glottidis untuk masuknya udara ke paru. Otot-otot yang
termasuk dan innervasinya yakni adalah :
1. M. Cricothyroideus (R.externus n. laryngeus superior)
2. M. Cricoarytenoidea posterior (Safety Muscle) (R.Posterior n. laryngeus
inferior)
3. M. Cricoarytenoidea lateral (R. anterior n. laryngeus inferior)
4. M. Arytenoidea transversus (R. Posterior n. Laryngeus inferior)
5. M. arytenoidea obliquus (R. anterior n. laryngeus inferior)
6. M. Thyroarytenoidea (R. anterior n. laryngeus inferior)
Adapun fungsinya :

1. Mengatur Rima Glottidis


a. Membuka : m.cricoarytenoidea posterior
b. Menutup : m. cricoarytenoidea lateral, m. arytenoidea transversa, m.
cricothyroidea, dan m. Thyroarytenoide.
2. Mengatur ketegangan lig.vocale
a. Menegangkan : m.cricothyroidea
b. Mengendorkan : m. Thyroarytenoidea
3. Mengatur aditus laryngeus
a. Membuka : m. Thyroepiglotticus
b. Menutup : m. aryepiglotticus dan m. arytenoideus obliquus
- Otot-Otot Ekstrinsik Laryng
Merupakan otot-otot di sekitar laryng yang mempunyai salah satu
perlekatan pada laryng atau os.hyoideus. Berfungsi untuk menggerakkan laryng
secara keseluruhan. Otot ekstrinsik laryng terbagi atas :
a. Otot-otot Depressor :
- m. Omohyoideus
- m. Sternohyoideus
- m. Sternothyroideus
b. Otot-otot Elevator :
- m. Mylohyoideus
- m. Stylohyoideus
- m. Thyrohyoideus
- m. Stylopharyngeus
- m. Palatopharyngeus
- m. constrictor pharyngeus medius
- m. constrictor pharyngeus inferior

Vaskularisasi Larynx

10

Suplai arteri berasal dari R. laryngeus superior a. thyroidea superior. Dan


bagian bawah divaskularisasi oleh R. laryngeys inferior a. thyroidea inferior.
Sedangkan aliran limfe nya bermuara ke nodi lymphoidei cervicales profundi.

2.2 FISIOLOGI
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut:
1) Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik
2) Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan
3) Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat
respirasi
4) Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring
5) Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong
bolus makanan ke arah lambung
6) Usaha untuk membersihkan kembali esofagus.
Proses menelan di mulut, faring, laring dan esofagus secara keseluruhan akan
terlibat secara berkesinambungan. Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase,
yaitu:

11

1. Fase oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak
dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat
kontraksi otot intrinsik lidah.
Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding
posterior faring (passavants ridengane) akan terangkat pula. Bolus terdorong
keposterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi
penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli palatini.
Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglossus yang menyebabkan ismus
faucium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus
makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.

12

2. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring
bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirotiroid
dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup epiglotis, sedangkan ketiga sfingter
laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup
karena m.ariepiglotika dan m.arietenoid obligus. Bersamaan dengan ini
terjadi juga penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang
menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke
dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah
esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.
3. Fase Esofagal
Fase esofagal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada fase akhir faringeal, maka terjadi
relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka
sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada
waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan
demikian refluks dapat dihindari.
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus.
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan
tekanan rata-rata 8 milimeter Hg lebih dari tekanan di dalam lambung,
sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung.
Pada akhir fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke

13

distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan
menutup kembali.

14

2.3 DEFINISI
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengalirkan makanan padat
atau cair dari mulut melalui esofagus. Penderita disfagia mengeluh sulit menelan
atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Disfagia harus dibedakan dengan
odinofagia (sakit waktu menelan). Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan pada
masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan fase esofageal.
Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi
ke hidung, terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai menelan.
Sedangkan disfagia fase esofageal, pasien mampu menelan tetapi terasa bahwa
yang ditelan terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta sering disertai
nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama terjadi pada waktu
menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula pada makanan
cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural.
Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan penyebabnya
adalah gangguan neuro muskular. Bila keluhan bersifat progresif bertambah berat,
sangat dicurigai adanya proses keganasan.

2.4 ETIOLOGI
15

Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi :


1. Disfagia mekanik, timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus.
Penyebab : sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing,
peradangan mukosa esofagus, striktur lumen esofagus, penekanan esofagus
dari luar (pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening
dimediastinum, pembesaran jantung dan elongasi aorta), dan letak a.subklavia
yang abnormal (disfagia Lusoria).
2. Disfagia motorik, timbul bila terjadi kelainan neuromuskular yang berperan
dalam proses menelan ( N.V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII ).
Penyebab : akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan
skleroderma esofagus.
3. Disfagia oleh gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat dikenal sebagai
globus histerikus.
Berdasarkan fase letaknya :
1. Fase orofaringeal: penyakit serebrovaskular, miastenia gravis, kelainan
muskular, tumor, divertikulum Zenker, gangguan motilitas/sfingter esofagus
atas.
2. Fase esofageal: inflamasi, striktur esofagus, tumor, ring/web, penekanan dari
luar esofagus, akalasia, spasme esofagus difus, skleroderma.
2.5 TANDA DAN GEJALA
1. Disfagia Oral atau faringeal
- Batuk atau tersedak saat menelan
- Kesulitan pada saat mulai menelan
- Makanan lengket di kerongkongan
- Sialorrhea
- Penurunan berat badan
- Perubahan pola makan
- Pneumonia berulang
- Perubahan suara (wet voice)
- Regurgitasi Nasal
2. Disfagia Esophageal
- Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada
- Regurgitasi Oral atau faringeal
- Perubahan pola makan
- Pneumonia rekuren
16

Keluhan lain : mual, muntah, rasa panas di dada, hematemesis, melena, odinofagia
( rasa nyeri saat menelan ), hipersalivasi.
Kesulitan dalam membersihkan faring posterior, sering disertai dengan
regurgitasi nasal dan aspirasi pulmoner, hampir selalu berkaitan dengan
kelainan neuromuskular orofaring. Pada kasus-kasus demikian, makanan padat
dan cair keduanya dapat mencetuskan gejala-gejala.
Disfagia untuk makanan padat dan cair pada penderita yang dapat
membersihkan faring posterior mengarah pada kelainan esofagus seperti
spasme esofagus difus, akalasia atau skleroderma. Disfagi khas bersifat
intermiten dan tidak progresif.
Disfagi yang progresif lambat, pada awalnya terbatas untuk makanan padat,
pada penderita dengan riwayat refluks gastro-esofagus sebelumnya, mengarah
pada striktur peptik.
Disfagi yang cepat progresif, terutama pada penderita tua, khas untuk lesi
obstruktif ganas.
Nyeri dada disertai dengan disfagi mempunyai nilai diagnostik terbatas dan
terjadi baik pada spasme esofagus maupun pada tiap lesi obstruktif.
2.6

PATOFISIOLOGI
Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari fase

menelan yang dipengaruhinya.


Keberhasilan mekanisme menelan tergantung dari beberapa faktor, yaitu :
1. Ukuran bolus makanan
2. Diameter lumen esofagus yang dilalui (normalnya 4 cm bila kurang dari 2,5cm
maka akan terjadi disfagia)
3. Kontraksi peristaltik esofagus
4. Fungsi sfingter esofagus atas dan bawah
5. Kerja otot otot rongga mulut dan lidah
Fase Oral

17

Gagguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan fase
pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian lidah. Pasien
mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat dan permulaan
menelan. Ketika meminum cairan, psien mungki kesulitan dalam menampung
cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai akibatnya, cairan tumpah
terlalu cepat kadalam faring yang belum siap, seringkali menyebabkan aspirasi.
Logemann's Manual

for

the

Videofluorographic

Study

of

Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai
berikut:
- Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena tidak
rapatnya pengatupan bibir
- Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena
berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah
- Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh lidah
dan koordinasinya
- Tidak mampu mengatupkan gigi untukmengurangi pergerakan madibula
- Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus anterior
karena berkurangnya tonus otot bibir.
- Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena
dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah
- Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau
berkurangnya sensibilitas mulut
- Pencarian gerakan atau ketidakmampuan unutkmengatur gerakan lidah karena
-

apraxia untuk menelan


Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku.
Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan lidah
Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah
Kontak lidah-palatum yang tidaksempurna karena berkurangnya pengangkatan

lidah
- Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah keatas
- Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi dan
kekuatan lidah
- Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease
- Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau melekat
pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan linguavelar
- Piecemeal deglutition
- Waktu transit oral tertunda
18

Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasien mungkin tidak
akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk mempertahankan
hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil makanan biasanya tertahan
pada valleculae atau sinus pyriform setelah menelan. Dalam kasus kelemahan atau
kurangnya koordinasi dari otot-otot faringeal, atau pembukaan yang buruk dari
sphincter esofageal atas, pasien mungkin menahan sejumlah besar makanan pada
faring dan mengalami aspirasi aliran berlebih setelah menelan.
Logemann's Manual

for

the

Videofluorographic

Study

of

Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal


sebagai berikut:
- Penundaan menelan faringeal
- Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal
- Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) lipata mukosa pada dasar lidah
- Osteofit Cervical
- Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena pengurangan
kontraksi bilateral faringeal
- Sisa makanan pada Vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior dari
dasar lidah
- Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau lipatan
-

faringeal
Sisa makanan pada puncak jalan napas Karena berkurangnya elevasi laring
penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan napas
Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring
Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya tekanan laringeal
anterior

Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan
minuman didalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabka oleh
obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan Sphincter
esophageal bawah.

19

Logemann's Manual

for

the

Videofluorographic

Study

of

Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada fase


esophageal sebagai berikut:
-

Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal


Tracheoesophageal fistula
Zenker diverticulum
Reflux

Aspirasi
Aspirasi adalah masuknya makanan atu cairan melalui pita suara. Seseorang
yang mengalami aspirasi beresiko tinggi terkena pneumonia. Beberapa faktor
yang mempengaruhi efek dari aspirasi adalah banyaknya, kedalaman, keadaan
fisik benda yang teraspirasi, dan mekanisme pembersihan paru. Mekanisme
pembersihan palsu antara lain kerja silia dan reflek batuk. Aspirasi normalnya
memicu refleks batuk yang kuat. Jika ada gangguan sensosris, aspirasi dapat
terjadi tanpa gejala.
2.7 PATOGENESIS
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu:
a. Ukuran bolus makanan
b. Diameter lumen esofagus yang dilalui bolus
c. Kontraksi peristaltik esofagus
d. Fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah
e. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuskular
mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring
dan uvula, persarafan esktrinsik esofagus serta persarafan intrinsik otot-otot
esofagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan lancar.
Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen
20

orofaring, otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karena otot
lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti
motor n.vagus, maka aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada kelainan di
otak. Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat peregangan
langsung dinding esofagus.
2.8

DIAGNOSIS

1.

Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesa yang cermat untuk

menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan timbulnya


disfagia. Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi
kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik mula-mula kesulitan menelan hanya
terjadi pada waktu menelan makanan padat. Bolus makanan tersebut kadangkadang perlu didorong dengan air dan pada sumbatan lebih lanjut, cairan pun akan
sulit ditelan. Bila sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan,
maka harus dicurigai kemungkinan adanya proses keganasan di esofagus.
Sebaliknya pada disfagia motorik, yaitu pada pasien akalasia dan spasme difus
esofagus, keluhan sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi dalam waktu
yang bersamaan.
Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari dapat
disebabkan oleh peradangan. Disfagia yang terjadi dalam beberapa bulan dengan
penurunan berat badan yang dapat dicurigai adanya keganasan di esofagus. Bila
disfagia ini berlangsung bertahun-tahun untuk makanan padat perlu dipikirkan
adanya kelainan yang bersifat jinak atau di esofagus bagian distal (lower
esophageal muscular ring).
Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan
esofagus bagian torakal, tetapi bila sumbatan terasa di leher, makan kelainannya
dapat di faring, atau esofagus bagian servikal. Gejala lain yang menyertai disfagia,
seperti masuknya cairan ke dalam hidung waktu minum menandakan adanya
kelumpuhan otot-otot faring.
21

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba adanya
massa tumor atau pembesaran kelenjar limfa yang dapat menekan esofagus.
Daerah rongga mulut perlu diteliti, apakah ada tanda-tanda peradangan orofaring
dan tonsil selain adanya massa tumor yang dapat mengganggu proses menelan.
Selain itu diteliti adanya kelumpuhan otot-otot lidah dan arkus faring yang
disebabkan oleh gangguan di pusat menelan maupun pada saraf otak N.V, N.VII,
N.IX, N.X dan N.XII. Pembesaram jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor
bronkus kiri dan pembesaran kelenjar limfa mediastinum, dapat menyebabkan
keluhan disfagia.
3. Pemeriksaan radilogi
Pemeriksaan penunjang, foto polos esofagus dan yang memakai zat
kontras, dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan esofagus. Pemeriksaan
ini tidak invasif. Dengan pemeriksaan fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan
dinding esofagus, adanya gangguan peristaltik, penekanan lumen esofagus dari
luar, isi lumen esofagus dan kadang-kadang kelainan mukosa esofagus.
Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan karsinoma stadium dini. Akhirakhir ini pemeriksaan radiologi esofagus lebih maju lagi. Untuk memperlihatkan
adanya gangguan motilitas esofagus dibuat cine-film atau video tapenya.
Tomogram dan CT scan dapat mengevaluasi bentuk esofagus dan jaringan
disekitarnya. MRI (magnetic resonance imaging) dapat membantu melihat
kelainan di otak yang menyebabkan disfagia motorik.
4.Esofagoskopi
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen
esofagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop yang kaku (rigid
esophagoscope) atau yang lentur (flexible fiberoptic esophagoscope). Karena
pemeriksaan ini berisfat invasif, maka perlu persiapan yang baik. Dapat dilakukan
dengan analgesia (lokal atau anastesia umum). Untuk menghindari komplikasi
yang mungkin timbul perlu diperhatikan indikasi dan kontraindikasi tindakan.
Persiapan pasien, operator peralatan dan ruang pemeriksaan perlu dilakukan.

22

Risiko dari tindakan, seperti perdarahan dan perforasi pasca biopsi harus
dipertimbangkan.
5.Pemeriksaan manometrik
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik
esofagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan sfingter
esofagus dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif.
6. Videofluoroskopi Swallow Assessment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah
pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mengevaluasi disfagia dan aspirasi.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan pada rongga
mulut, faring, laring dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan bolus kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan
barium. VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan dengan memberikan
bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan beberapa
manuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi optimal dalam
proses menelan.
7. FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing)
Pemeriksaan

evaluasi

fungsi

menelan

dengan

menggunakan

nasofaringoskop serat optik lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi


makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien
dalam proses menelan. Tahap pemeriksaan dibagi dalam 3 tahap:
1) Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswallowing assessment)
untuk menilai fungsi muskular dari oromotor dan mengetahui
kelainan fase oral.
2) Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi
makanan, dinilai kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa
yang paling aman untuk pasien,
3) Pemeriksaan terapi dengan mengapplikasikan berbagai manuver
dan posisi kepala untuk menilai apakah terdapat peningkatan
kemampuan menelan.
Pemeriksaan FEES dapat menilai 5 proses fisiologi dasar, yaitu:
23

1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan


terjadinya aspirasi.
2. Spillage (preswallowing leakage) : masuknya makanan ke dalam

hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi


aspirasi.
3. Residu : menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus
piriformis kanan dan kiri, poskrikoid dan dinding faring posterior sehingga
makanan tersebut akan mudah masuk ke jalan napas pada saat proses
menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.
4. Penetrasi : masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum melewati
pita suara. Sehingga menyebabkan mudah masuknya makanan ke jalan
napas saat inhalasi.
5. Aspirasi : masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara yang
sangat berperan dalam terjadi komplikasi paru.
2.9 PENATALAKSANAAN
Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis dysphagia.
Pertama dokter dan speech-language pathologists yang menguji dan menangani
gangguan menelan menggunakan berbagai pengujian yang memungkinkan untuk
melihat bergagai fungsi menelan. salah satu pengujian disebut dengan,
laryngoscopy serat optik, yang memungkinkan dokter untuk melihat kedalam
tenggorokan. Pemeriksaan lain, termasuk video fluoroscopy, yang mengambil
video rekaman pasien dalam menelan dan ultrasound, yang menghasikan
gambaran organ dalam tubuh, dapat secara bebas nyeri memperlihakab tahapantahapan dalam menelan.
Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan dapat
diberikan. Jika dengan mengobati penyebab dysphagia tidak membantu, dokter
mungkin akan mengirim pasien kepada ahli patologi hologist yang terlatih dalam
mengatasi dan mengobati masalah gangguan menelan.
Pengobatan dapat melibatkan latihan otot ntuk memperkuat otot-otot facial
atau untuk meninkatkan koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan dapat melibatkan
24

pelatihan menelan dengan cara khusus. Sebagai contoh, beberapa orang harus
makan denan posisi kepala menengok ke salah satu sisi atau melihat lurus ke
depan. Meniapkan makanan sedemikian rupa atau menghindari makanan tertentu
dapat menolong orang lain. Sebagai contoh, mereka yang tidak dapat menelan
minuman mungkin memerlukan pengental khusus untukminumannya. Orang lain
mungkin garus menghindari makanan atau minuman yang panan ataupun dingin.
Untuk beberapa orang untuk mengkonsumsi makanan dan minuman lewat
mulut sudah tidak mungkin lagi. Mereka harus menggunakan metode lain untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi. Biasanya ini memerlukan suatu sistem pemberian
makanan, seperti suatu selang makanan (nasogastric tube/NGT), yang memotong
bagian menelan yang tidak mampu bekerja normal.
Berbagai

pengobatan

telah

diajukan

unutk

pengobatan

disfagia

orofaringeal pada dewasa. Pendekatan langsung dan tidak langsung disfagia telah
digambarkan. Pendekatan langsung biasnya melibatkan makanan, pendekatan
tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan.
Modifikasi diet
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia. Suatu
diet makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien dengan kesulitan
pada fase oral, atau bagi mereka yang memiliki retensi faringeal untuk
mengunyah makanan padat. Jika fungsi menelan sudah membaik, diet dapat
diubah menjadi makanan lunak atau semi-padat sampai konsistensi normal.
Suplai Nutrisi
Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi. Banyak produk komersial yang tersedia untuk
memberikan bantuan nutrisi. Bahan-bahan pengental, minuman yang diperkuat,
bubur instan yang diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan nutrisi oral tidak
adekuat, pikirkan pemberian parenteral.
Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan hidrasi
pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terapat dehidrasi
Pembedahan
25

Pembedahan gastrostomy
Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan
laparotomy dengan anestesi umum ataupun lokal.

Cricofaringeal myotomy
Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan unutk
mengurangi tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES) dengan
mengincisi komponen otot utama dari PES. Injeksi botulinum toxin
kedalam PES telah diperkenalkan sebagai ganti dari CPM.

BAB III
KESIMPULAN

Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan yang disadarinya dalam


mengalirkan makanan padat atau cair dari mulut melalui esofagus. Penderita
mengeluh sulit menelan atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Gangguan
pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari fase menelan yang
dipengaruhinya ataupun faktor lain yang mengakibatkan kesulitan untuk menelan
makanan. Penderita harus segera mendapat pertolongan agar nutrisi yang
dipelukan tubuh tetap terpenuhi.

26

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hayes C. Peter, dkk. Segi Praktis Gastroenterologi dan Hepatologi. 1988.


Binarupa Aksara : Jakarta.
Mary Courtney Moore. Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi Edisi II.
Slamet Suyono, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga.
2001. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
William F. Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. 2001.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid I. 2009. Interna
Publishing: Jakarta
Soepardi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Edisi 7. 2012. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai