Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan
keseimbangan) . Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan
mendengar.
Trauma telinga adalah kompleks, karena agen berbahaya yang berbeda dapat
mempengaruhi berbagai bagian telinga. Agen penyebab untuk trauma telinga termasuk faktor
mekanik dan termal, cedera kimia, dan perubahan tekanan. Tergantung pada jenis trauma, baik
eksternal, tengah, dan / atau telinga bagian dalam bisa terluka.
Lesi dapat berkisar dari trauma tumpul sederhana terhadap pinna, tanpa kehilangan
jaringan, melalui ruptur sederhana dari membran timpani hingga fraktur transversal petrosa dari
rulang temporal dengan kehilangan total dari fungsi telinga bagian dalam dan nervus fasialis.1

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN
ANATOMI TELINGA
Telinga adalah alat indra yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang ada di sekitar kita
sehingga kita dapat mengetahui / mengidentifikasi apa yang terjadi di sekitar kita tanpa harus
melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Orang yang tidak bisa mendengar disebut tuli.
Telinga kita terdiri atas tiga bagian yaitu bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam.1

Gambar 1. Anatomi telinga.2

Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus akustikus eksternus. Auricula mempunyai
bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara, auricula terdiri atas lempeng
tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Auricula juga mempunyai otot intrinsic dan
ekstrinsik, yang keduanya dipersarafi oleh N.facialis.3,4
Auricula atau lebih dikenal dengan daun telinga membentuk suatu bentuk unik yang
terdiri dari antihelix yang membentuk huruf Y, dengan bagian crux superior di sebelah kiri dari
fossa triangularis, crux inferior pada sebelah kanan dari fossa triangularis, antitragus yang berada
di bawah tragus, sulcus auricularis yang merupakan sebuah struktur depresif di belakang telinga
2

di dekat kepala, concha berada di dekat saluran pendengaran, angulus conchalis yang merupakan
sudut di belakang concha dengan sisi kepala, crus helix yang berada di atas tragus, cymba
conchae merupakan ujung terdekat dari concha, meatus akustikus eksternus yang merupakan
pintu masuk dari saluran pendengaran, fossa triangularis yang merupakan struktur depresif di
dekat anthelix, helix yang merupakan bagian terluar dari daun telinga, incisura anterior yang
berada di antara tragus dan antitragus, serta lobus yang berada di bagian paling bawah dari daun
telinga, dan tragus yang berada di depan meatus akustikus eksternus.
Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis yang
dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang berfungsi
meneruskan getaran membran timpani (gendang telinga) ke perilympha telinga dalam. Kavum
timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar
dengan bidang membran timpani. Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasopharing melalui
tuba auditiva dan di belakang dengan antrum mastoid. 3,4
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior, dinding
lateral, dan dinding medial. Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang disebut tegmen
timpani, yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini memisahkan
kavum timpani dan meningens dan lobus temporalis otak di dalam fossa kranii media. Lantai
dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian
diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini memisahkan kavum timpani dari bulbus superior V.
jugularis interna. Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang
memisahkan kavum timpani dari a. carotis interna. Pada bagian atas dinding anterior terdapat
muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih ba- wah menuju tuba
auditiva, dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk m. tensor
tympani. Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-saluran ini diperpanjang ke belakang
pada dinding medial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat. Di bagian atas dinding
posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak beraturan, yaitu auditus antrum. Di bawah ini
terdapat penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit, kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis
ini keluar tendo m. stapedius. Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membran timpani. 3,4
Telinga Dalam
3

Telinga dalam terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis, medial terhadap telinga
tengah dan terdiri atas (1) telinga dalam osseus, tersusun dari sejumlah rongga di dalam tulang;
dan (2) telinga dalam membranaceus, tersusun dari sejumlah saccus dan ductus membranosa di
dalam telinga dalam osseus.3,4
FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh pinna dalam bentuk
gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran tersebut menggetarkan
membrane timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian
perbandingan lurus membran timpani dan tingkap lonjong. 5
Energi getaran tersebut akan diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap lonjong
sehingga perilimfe pada skala vestibula bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner
yang mendorong endolimfe sehingga akan menimbulkan gerakan relative antara membran
basalis dan membrantektoria.
Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik
dari badan sel. Keadaan ini meimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius,
lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis.5

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
TELINGA LUAR
Trauma pada telinga luar umum terjadi pada semua kelompok usia. Aurikula yang tidak
terlindungi berisiko untuk semua jenis trauma termasuk cedera termal dingin atau panas dan
cedera tumpul atau tajam yang mengakibatkan ekimosis, hematoma, laserasi, atau fraktur.1
Hematoma Aurikula
Hematoma aurikula biasanya terjadi setelah trauma tumpul dan umum terjadi di antara
pegulat dan petinju. Mekanisme ini biasanya melibatkan gangguan traumatis dari pembuluh
darah peikondrial. Akumulasi darah dalam ruang subperikondrial menghasilkan pemisahan
perikondrium dari kartilago. Jika kartilago ini fraktur, darah merembes melalui garis fraktur dan
meluas ke bidang subperikondrium pada kedua sisi.

Hal ini menciptakan pembengkakan

kebiruan, biasanya melibatkan seluruh aurikula, meskipun mungkin terbatas pada bagian atas.
Jika lesi tidak ditangani sejak dini, darah akan berorganisasi menjadi massa fibrosa, yang
menyebabkan nekrosis kartilago karena gangguan sirkulasi. Massa ini membentuk bekas luka
yang bengkok, terutama setelah trauma berulang, menciptakan deformitas dikenal sebagai
"cauliflower ear.6,7

Gambar 2. Cauliflower ear yang dihasilkan oleh hematoma aurikula.6

Pengobatan didasarkan pada evakuasi hematoma dan aplikasi tekanan untuk mencegah
akumulasi kembali darah. Aspirasi jarum sederhana adalah pengobatan yang tidak memadai dan
5

sering menyebabkan fibrosis dan organisasi hematoma. Perawatan yang paling efektif untuk
hematoma aurikula adalah insisi yang memadai dan drainase dengan through-and-through suture
secured bolsters.6,7

Gambar 3. Otohematoma. A, Hematoma dari daun telinga. B, Hematoma diinsisi dan dievakuasi. C,
gulungan dental anterior diikat dengan gulungan dental posterior pada permukaan telinga. D, tampilan
pinggir, menunjukkan bagaimana bolster diamankan.6

Insisi harus ditempatkan dalam scapha, menselaraskan heliks. Paparan yang cukup harus
diperoleh untuk mengeluarkan seluruh hematoma dan untuk memeriksa rongga. Jika penundaan
telah menghasilkan beberapa bekuan, kuret cincin tajam dapat digunakan untuk menghilangkan
bekuan darah. Gulungan dental dipotong dengan ukuran yang tepat, diterapkan pada kedua sisi
aurikula, dan diikat dengan jahitan nilon atau sutra through-and-through. Salep antibiotik
diaplikasikan di atas sayatan. Gulungan dental dibiarkan ditempatnya selama 7 sampai 14 hari.6,7
Laserasi
Laserasi aurikula dengan atau tanpa kehilangan bagian dari aurikula umum diakibatkan
oleh trauma tajam. Hasil yang sangat baik mungkin dapat dicapai jika prinsip-prinsip bedah
6

diterapkan. Sebuah usaha harus dilakukan untuk memperbaiki, mempertahankan semua jaringan
yang viabel yang tersisa. Ketika aurikula tidak benar-benar terputus, sebagian besar ia dapat
disambung.6
Frosbite
Aurikula sangat rentan terhadap frosbite karena lokasinya terbuka dan kurangnya
jaringan subkutan atau jaringan adiposa untuk melindungi pembuluh darah. Anestesi yang
berkembang di daerah yang terkena dingin yang berat menghalangi pasien dari setiap peringatan
ancaman

bahaya.

Awalnya

terdapat

vasokonstriksi,

meninggalkan telinga, terutama ditepi heliks, pucat dan dingin ketika disentuh. Hiperemia dan
edema terjadi setelahnya dan disebabkan oleh peningkatan bermakna dalam permeabilitas
kapiler. Kristalisasi es dari cairan intraseluler terutama bertanggung jawab untuk kondisi ini,
serta nekrosis seluler pada jaringan sekitarnya. Telinga menjadi bengkak, merah, dan tender, dan
bula bisa terbentuk di bawah kulit, yang menyerupai luka bakar derajat pertama.7
Frostbite telinga harus cepat dihangatkan. Katun steril basah dengan suhu 38 sampai
42C digunakan sampai telinga menjadi hangat. Telinga harus diperlakukan dengan lembut
karena risiko kerusakan lebih lanjut pada jaringan yang sudah mengalami trauma dan melemah.
Analgesik dan antibiotik profilaksis mungkin diperlukan. Jaringan nekrotik dibersihkan, yang
inhibitor tromboksan topikal dari lidah buaya dipakai, dan obat-obatan antiprostaglandin seperti
ibuprofen mungkin berguna.1,6,7
Luka Bakar
Luka bakar secara tradisional diklasifikasikan dalam tiga derajat keparahan: eritema
(derajat pertama), blistering (derajat kedua), dan destruksi ketebalan penuh (derajat ketiga). Luka
bakar karena cairan panas atau terbakar sering dengan ketebalan penuh. Jika tidak diterapi, luka
bakar dapat menyebabkan perikondritis. Penting untuk menghindari tekanan pada telinga, dan
membersihkan dengan lembut dan menggunakan antibiotik topikal. Penggunaan antibiotik
profilaksis antipseudomonas dianjurkan. Antibiotik dapat diinjeksikan subperikondrium di
beberapa lokasi injeksi yang berbeda di seluruh permukaan anterior dan posterior aurikula.
Penggunaan krim mafenide acetate (Sulfamylon) setelah membersihkan luka dianjurkan. Pada

tahap akhir, debridement dan skin grafting mungkin diperlukan. Perikondritis dan kondritis harus
ditangani dengan iontoforesis antibiotik, debridement dini, dan grafting.6

MEMBRAN TIMPANI DAN TELINGA TENGAH


Trauma pada membran timpani dan telinga tengah dapat disebabkan oleh (1)
overpressure, (2) luka bakar termal atau kaustik, (3) luka tumpul atau penetrasi, dan (4)
barotrauma. Overpressure adalah mekanisme trauma yang paling umum pada membran timpani.
Penyebab utama dari overpressure yaitu cedera tamparan dan luka ledakan. Cedera tamparan
sangat umum dan dapat dihasilkan oleh tamparan tangan atau air. Cedera tamparan biasanya
menghasilkan robekan segitiga atau linear dari membran timpani7.

Gambar 4. Gambar yang mengilustrasikan perforasi membran timpani di bagian anteroinferior dari
drumhead.6

Sebagian besar perforasi tersebut menyebabkan gangguan pendengaran ringan, rasa


penuh di telinga, dan tinnitus ringan. Cedera ledakan, meskipun kurang umum, berpotensi lebih
serius. Cedera ledakan mungkin disebabkan oleh ledakan bom, ledakan bensin, dan penyebaran
kantung udara dalam kecelakaan mobil. Cedera ledakan dari ledakan bom tidak hanya
mengganggu membran timpani tetapi juga dapat menyebabkan fraktur tulang temporal,
diskontinuitas osikular, atau gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi karena cedera
8

koklea. Selain itu, cedera ledakan dapat menyebabkan fistula perilimfatik (PLF), dengan
gangguan pendengaran progresif dan berfluktuasi, vertigo, dan disekuilibrium.8
Dalam sebuah laporan oleh Hallmo, audiometri konduksi udara dan tulang dalam rentang
frekuensi masing-masing 0.125 sampai 18 kHz dan 0,25 sampai 16 kHz, dilakukan pada 38
pasien dengan perforasi membran timpani unilateral traumatik, yang sebagian besar disebabkan
oleh cedera overpressure. Peningkatan ambang konduksi tulang ditemukan pada 16 telinga.
Peningkatan ambang konduksi tulang dan tinnitus berkurang seiring dengan waktu, tetapi pada 9
pasien ia permanen. Penutupan perforasi membran timpani menghasilkan perbaikan 7 sampai 20
dB dari ambang konduksi udara, sedikit kurang di atas dibandingkan pada frekuensi yang lebih
rendah. Gangguan pendengaran konduktif akhir rata-rata 3 dB ditemukan sekitar 5 bulan setelah
cedera, mungkin karena bekas luka pada lokasi bekas perforasi. 8
Setelah cedera overpressure, darah, sekret purulen, dan debris harus secara hati-hati
disedot dari kanal telinga, dan ukuran perforasi dan lokasi harus dicatat. Irigasi dan otoskopi
pneumatik harus secara spesifik dihindari pada pasien ini. Kemampuan mendengar bisikan serta
tes

garpu

tala

harus

didokumentasikan,

dan

audiogram harus diperoleh segera setelah kondisi pasien memungkinkan. Pemeriksaan


neurotologik lengkap juga harus dilakukan pada pasien untuk mendokumentasikan status dari
saraf kranial termasuk saraf fasialis dan saraf vestibular begitu juga dengan sistem saraf pusat.
Jika perforasi membran timpani kering, ia harus diobservasi (yaitu, tetesan tidak diindikasikan).
Jika terdapat drainase yang melalui perforasi membran timpani, klinisi harus menentukan dan
memperhatikan apakah drainase sesuai dengan cairan cerebrospinal (CSF). Jika dicurigai adanya
kebocoran CSF, CT scan tulang temporal segera harus diperoleh untuk menyingkirkan fraktur.
Jika drainase tidak sesuai dengan CSF, antibiotik oral dan ciprofloxacin serta hidrokortison tetes
telinga harus diresepkan. Riwayat vertigo atau mual dan muntah dan audiogram yang
menunjukkan gangguan pendengaran konduktif lebih dari 30 dB menyarankan terganggunya
rantai osikular. Gangguan pendengaran sensorineural yang bermakna juga menandakan
kerusakan oval window atau kerusakan koklea.
Cedera termal terhadap membran timpani termasuk cedera pengelasan dan cedera petir.
Cedera pengelasan terjadi ketika arang besi panas memasuki kanal telinga dan melewati
membran timpani. Sebagian besar cedera ini mengakibatkan inflamasi di telinga tengah dengan
drainase. Panosian dan Dutcher melaporkan dua pasien dengan paralisis fasialis yang disebabkan
9

oleh arang besi panas di telinga tengah. Salah satu pasien mereka juga menderita gangguan
pendengaran sensorineural. Cedera pengelasan sering mengakibatkan perforasi yang tidak
sembuh, baik sebagai akibat dari infeksi atau mungkin karena arang besi membakar atau
mendevaskularisasi membran timpani saat melewatinya. Jika infeksi terjadi, pasien diobati
dengan

ciprofloxacin

dan

tetes

telinga

hidrokortison

serta antibiotik oral. Jika perforasi kering, ia harus diobservasi selama jangka waktu 12 minggu
untuk penyembuhan spontan. Jika drumhead tidak sembuh-sembuh, timpanoplasti harus
dilakukan.
Cedera petir dan listrik tidak jarang, dan cedera telinga yang paling sering adalah
perforasi dari membran timpani.
transien.

Gangguan vestibular yang paling umum adalah vertigo

Temuan klinis lainnya meliputi gangguan pendengaran sensorineural, gangguan

pendengaran konduktif, tinnitus, fraktur tulang temporal, avulsi dari prosesus mastoid, luka
bakar dari kanal telinga, dan paralisis saraf fasialis. Jones dkk melaporkan satu pasien dengan
PLF oval window bilateral setelah sambaran petir. Manajemen awal pasien yang tersambar petir
terdiri dari langkah-langkah pendukung kehidupan. Setelah itu, pasien harus menjalani
pemeriksaan audiovestibular menyeluruh. Perforasi membran timpani yang disebabkan oleh
cedera petir sering tidak sembuh, mungkin sebagai akibat dari kauterisasi atau devaskularisasi
dari membran timpani, seperti cedera pengelasan. Cedera ini diterapi seperti yang dijelaskan
sebelumnya untuk cedera pengelasan. Timpanoplasti harus ditunda pada pasien ini selama 12
minggu karena penyembuhan spontan dapat terjadi selama waktu tersebut.
Cedera kaustik pada membran timpani dapat menyebabkan perforasi. Dengan kaustik
alkali, membran timpani rusak dengan likuefaksi nekrosis, yaitu, kaustik alkali menembus
membran timpani, yang menyebabkan oklusi pembuluh darah yang dapat meluas lebih jauh dari
perforasi yang terlihat. Akibatnya, ukuran perforasi dapat tidak sepenuhnya ditentukan sampai
semua inflamasi selesai. Selanjutnya, setelah cedera kaustik, telinga tengah dapat
mengembangkan reaksi granulasi yang luas dengan skarifikasi, fiksasi osikular, dan infeksi
kronis. Luka kaustik juga dapat menyebabkan penumpulan kanal karena permukaan baku yang
mengelilingi kanal membentuk sikatriks, yang mengarah ke penyempitan kanal telinga dan
hilangnya permukaan vibrasi membran timpani. Demikian pula, setelah cedera kaustik,
miringitis kronis dapat terjadi di permukaan membran timpani, yang menciptakan raw weeping
suurface dengan granulasi pada permukaan drumhead tersebut. Cedera kaustik pada awalnya
10

diterapi dengan ciprofloxacin dan tetes telinga hidrokortison, antibiotik oral, dan analgesik.
Penilaian audiologi dan evaluasi neurotologi lengkap diindikasikan dalam luka kaustik untuk
menentukan sejauh mana cedera. Ketika telinga telah stabil, dan sebaiknya ketika drainase telah
berkurang, telinga tengah dan membran timpani dapat direkonstruksi.
Perforasi membran timpani secara historis memiliki tingkat kesembuhan yang mendekati
80%. Ulasan Kristensen pada lebih dari 500 teks mengenai masalah tersebut menemukan bahwa
tingkat penyembuhan spontan tampaknya 78,7% pada 760 kasus yang dapat dievaluasi dari
perforasi membran timpani traumatis dari segala sumber yang dilihat dalam waktu 14 hari
setelah cedera. Ruptur yang diinduksi oleh panas atau korosi, benda asing, dan tekanan air
kurang mungkin untuk sembuh, mungkin karena mereka lebih besar atau lebih mungkin
terinfeksi. Rybak dan Johnson juga melaporkan bahwa cedera tamparan air kurang mungkin
untuk sembuh sebagai akibat dari infeksi. 8
Griffin melaporkan 227 perforasi traumatik yang diterapi di prakteknya pada tahun 19691977. Dia menyimpulkan bahwa perforasi yang lebih besar, cedera petir dan pengelasan, dan
telinga yang terinfeksi kurang mungkin untuk sembuh. Hasil pendengaran yang baik ditemukan
terlepas dari metode timpanoplasti, meskipun penyembuhan spontan menghasilkan hasil akhir
yang terbaik. 8
Apapun metode yang digunakan, kesuksesan timpanoplasti membutuhkan paparan yang
memadai, debridement granulasi telinga tengah dan jaringan parut, de-epitelisasi dari perforasi,
dan penempatan graft dengan hati-hati termasuk dukungan dari graft hingga penyembuhan
terjadi.
Trauma penetrasi pada telinga tengah dapat, tentu saja, menghasilkan perforasi membran
timpani, tetapi tidak seperti overpressure dan cedera termal, kejadian gangguan osikular, saraf
fasialis, dan cedera telinga tengah lainnya jauh lebih besar. Penyebab paling umum yaitu
tembakan kecepatan rendah diikuti dengan cedera oleh benda asing seperti tongkat atau
instrumen. Jenis cedera ini harus dicurigai pada pasien dengan perforasi membran timpani, darah
di telinga tengah atau liang telinga, dan adanya vertigo atau pusing, gangguan pendengaran
konduktif lebih besar dari 25 dB, gangguan pendengaran sensorineural, atau paralisis fasialis.
Pada pasien ini, kanal telinga harus dengan lembut disedot dan dibersihkan di bawah penglihatan
mikroskopis, dan membran timpani dan telinga tengah harus dengan hati-hati diperiksa.
Pemeriksaan neurotologi menyeluruh, termasuk evaluasi saraf fasialis dan pemeriksaan terhadap
11

nistagmus, stabilitas gait, tes fistula, tes Romberg, dan tes Dix- Hallpike, harus dilakukan.
Pencitraan termasuk CT scan tulang temporal, magnetic resonance imaging (MRI), dan bahkan
arteriografi dapat diindikasikan tergantung pada jenis cedera yang dicurigai. 8

Fraktur Tulang Temporal


Fraktur dari tulang temporal disebabkan oleh cedera tumpul, dan tergantung pada gaya
dan arah dari pukulan yang diterima, berbagai jenis fraktur dapat terjadi. Trauma tumpul dapat
dihantarkan oleh suatu obyek yang menyerang kepala atau dengan kepala yang dibenturkan
terhadap suatu obyek yang padat. Secara tradisional, fraktur tulang temporal diklasifikasikan
sebagai longitudinal (ekstrakapsular) atau transversal (kapsular) sehubungan dengan aksis
panjang dari bagian petrosa dari tulang temporal. Keduanya merupakan fraktur basis kranii dan
mengakibatkan ekimosis dari kulit postaurikula (tanda Battle). 8

Gambar 5. Gambar yang menunjukkan anatomi dari basis kranii. Di bagian kiri merupakan fraktur
longitudinal atau ekstrakapsular. Di bagian kanan yaitu fraktur transversal atau kapsular. 8

Fraktur longitudinal, sejauh ini, merupakan yang paling sering terjadi, yaitu sekitar 7090% dari fraktur tulang temporal, dan biasanya dihasilkan dari pukulan lateral langsung pada
aspek temporal atau parietal dari kepala. Fraktur longitudinal dimulai dari kanal auditori
eksternal dan memanjang melalui telinga tengah dan di sepanjang aksis panjang dari piramida
petrosa. Secara karakteristik, terdapat perdarahan dari kanal telinga akibat laserasi dari kulitnya

12

dan dari darah yang keluar melalui membran timpani yang mengalami perforasi. Paralisis fasialis
terjadi pada 15%, dan gangguan pendengaran sensorineural terjadi pada 35%7.
Fraktur transversal biasanya dihasilkan dari impaksi deselerasi pada area oksipital. Garis
fraktur menyeberangi aksis panjang dari bagian petrosa dari tulang temporal dan biasanya
memanjang melalui koklea dan kanal fallopi, yang menghasilkan gangguan pendengaran
sensorineural dan paralisis fasialis pada kebanyakan kasus. Terdapat perdarahan ke dalam telinga
tengah, tetapi membran timpani tetap intak dan menjadi biru kehitaman akibat hemotimpanum7.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Ksilevsky VE, et al. Ear Trauma: Investigating the Common Concerns. The Canadian
Journal of Diagnosis. 2003;111-115
2. Gambar anatomi telinga. Diunduh dari :
http://www.jludwick.com/Notes/Miscellaneous/Insurance.html . Pada tanggal 20 Juni 2014.
3. Moore,keith L. Anatomi Klinis Dasar.EGC. Jakarta .2002
4. Snell Richard : Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Penerbit: EGC.
Jakarta 2006.
5. Arsyad Soepardi, Efiaty; Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi Resuti. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher; Edisi ke-tujuh. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2012.
6. Menner AL. 2003. A Pocket Guide to the Ear. Thieme Stuttgart:New York. pp.47-48
7. Sharma K, et al. Auricular Trauma and Its Management. Indian Journal of Otolaryngology
and Head and Neck Surgery, 2006; 58(3):232-233
8. Schwaber MK. Trauma to the Middle Ear, Inner Ear, and Temporal Bone. In: Snow JB,
Ballenger JJ. 2003. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery . 16th edition.
BC Decker Inc: Spain. Pp. 345-355

14

Anda mungkin juga menyukai