Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI PADA PERITONITIS TUBERKULOSIS

DISUSUN OLEH:
Lavenia Quinta Saraswati
1810221044

PEMBIMBING :
dr. Maryastuti, Sp. Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
PERIODE 19 NOVEMBER 2018 – 22 DESEMBER 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul :

GAMBARAN RADIOLOGI PADA PERITONITIS TUBERKULOSIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik bagian Radiologi di
RSUP Persahabatan

Disusun Oleh :
Lavenia Quinta Saraswati 1810221044

Jakarta, Desember 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Maryastuti, Sp. Rad (K)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala karunia-Nya
sehingga referat ini berhasil diselesaikan Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dr.
Maryastuti, Sp. Rad (K) selaku pembimbing dan pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan referat ini.
Referat ini penulis susun dengan tujuan untuk membantu mempermudah pembaca
dalam memahami radiologi pada peritonitis tuberkulosis. Penulis menyadari bahwa
referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itulah penulis mohon maaf
atas segala kesalahan maupun kekurangan tersebut, dan atas pengertian serta sarannya
penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Desember 2018

3
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………...…1
LEMBAR PENGESAHAN…………………….………………………………..2
KATA PENGANTAR……………………………………………………………3
DAFTAR ISI ………………………………………..……………………………4
BAB I……………………………………………………………………………...5
BAB II…………………………………………………………………………….7
BAB III ……………………………………………………………………….....20
BAB IV…………………………………………………………………………..34
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...35

4
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar belakang

Peritonitis tuberkulosis adalah peradangan peritoneum parietal atau visceral yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, penyakit ini jarang berdiri sendiri
dan umumnya merupakan kelanjutan proses tuberkulosis di tempat lain terutama dari
tuberkulosis paru, namun sering saat diagnosis ditegakkan proses tuberkulosis paru sudah
tidak terlihat lagi karena proses tuberkulosis paru mungkin sudah sembuh terlebih dahulu
sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain (Maryani, 2003). Peritoneum
merupakan organ ekstrapulmoner keenam yang paling umum terserang TB di Amerika
Serikat (Burill, et al, 2006), penyakit ini lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan
pria dengan perbandingan 1-4:1 dan lebih sering terjadi pada decade usia ke 3 dan 4
(Manohar, A, et al, 1990).

Diagnosis peritonitis TB dapat diperoleh dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis yang umum dijumpai yaitu distensi
abdomen (73%), demam dan keringat malam (53%), anorexia (46%), penurunan berat
badan (44%), nyeri abdomen (35%) rata-rata pasien mengeluhkan gejala yaitu satu
hingga lima bulan (Manohar, A, et al, 1990). Pada pemeriksaan fisik, umum dijumpai
keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal. Fenomena
papan catur yang khas pada peritonitis tuberculosis cukup jarang ditemui (Maryani,
2003). Pemeriksaan penunjang yang sangat membantu, cepat dan non invasive salah
satunya adalah pemeriksaan interferon gamma (IFNϒ) cairan asites dengan angka
sensitifitas 90,9 %, dan spesifitas 100% (Maryani, 2003).

Pemeriksaan radiologi pada peritoneal TB dapat dilakukan dengan foto thorax,


foto abdomen, CT scan, dan MRI. X-ray dada mungkin menunjukkan bukti lama
tuberkulosis paru namun relatif tidak spesifik, 38% rontgen dada menunjukkan beberapa
kelainan, dan hanya 14% menunjukkan penyakit paru aktif. Adanya gambaran
tuberculoid di paru membuktikan bahwa penyebaran secara hematogen dari focus paru

5
(Srivastava, et al, 2014). foto polos abdomen menyajikan fitur yang bervariasi dan tidak
khas, ultrasonografi dapat berguna dalam pencitraan peritonitis TB karena mampu
mendeteksi cairan, limfadenopati, serta penebalan dinding peritoneum, serta CT scan
dapat membantu membedakan peritonitis TB dengan karsinomatosis peritoneum

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis complex (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2006)
Infeksi bakteri ini ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi
dan oleh hipersensitifitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Pada
awalnya penyakit ini secara primer menyerang paru, tetapi selanjutnya dapat mengenai
organ lain (Werdhani, R A, 2017)

Peritonitis Tuberkulosis (TB) merupakan suatu peradangan peritoneum parietal


atau visceral yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Maryani, 2003).
Seementara menurut Bell, et al, 2005 peritonitis tuberkulosis merupakan hasil
keterlibatan peritoneal dalam tuberkulosis, hal ini sering dijumpai dengan gastrointestinal
tuberkulosis lain.

II.2 EPIDEMIOLOGI

Peritoneum adalah organ ekstrapulmoner keenam yang paling umum terserang


TB di Amerika Serikat (Burill, et al, 2006), penyakit ini lebih sering dijumpai pada
wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 1-4:1 dan lebih sering terjadi pada decade
usia ke 3 dan 4 (Manohar, A, et al, 1990), serta terlihat pada 3,5% kasus tuberkulosis
paru, 31%-58% nya disertai TB abdomen baik yang melibatkan saluran pencernaan atau
kelenjar getah bening mesenterika (Srivastava, et al, 2014). Menurut penelitian
Williamns, A.L, et, al, 2010 satu dari tiga pasien TB abdomen mengalami peritonitis TB.
Menurut penelitian Chugh, SN dan Jain, V, 2007 keterlibatan peritoneal terjadi dari 4%
hingga 10% dari seluruh kasus TB ekstra paru.

7
II.2 ANATOMI

Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling kompleks yang
terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup
(coelom) dengan batas anterior dan lateral (permukaan bagian dalam dinding abdomen),
posterior (retroperitoneum), inferior (struktur ekstraperitoneal di pelvis), superior (bagian
bawah dari diafragma). Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yaitu peritoneum viseral
yang menutupi permukaan eksternal dari kebanyakan organ digestif dan akan berlanjut ke
peritoneum parietal yang akan membatasi dengan dinding abdomen. Diantara peritoneum
parietal dan viseral terdapat ruang yang disebut Peritoneal Cavity atau rongga peritoneal,
merupakan ruang yang mengandung cairan yang disekresi oleh membran serosa, cairan
serosa tersebut berfungsi untuk lubrikasi organ digestif, sehingga organ digestif dapat
bergerak dengan mudah serta meminimalisir friksi saat organ tersebut menjalankan
fungsi digestifnya (Marieb, EN, Hoehn, K. 2007. Human Anatomy and Physiology;
seventh Edition)

Selain diatas terdapat peritoneum penghubung (mesenterium, mesogastrin,


mesocolon, mesosigmidem, dan mesosalphinx) dan peritoneum bebas (omentum)
(Pearce, 2009).

Gambar 1. Potongan Transversal Rongga Peritoneum (Marieb, EN, Hoehn, K. 2007.


Human Anatomy and Physiology; seventh Edition)

Bagian parietal mempunyai banyak persarafan dan ketika teriritasi akan


menyebabkan rasa sakit yang hebat yang terlokalisir pada area tertentu. Peritonium

8
parietal dipersarafi oleh serabut tepi yang berasal dari T6-L1 (saraf somatik), sedangakan
peritoneum viseral di persarafi oleh serabut sensoris yang menerima rangsangan melalui
saraf simpatis dan N. Splanchnicus T5-L3. Peritoneum parietal akan menimbulkan nyeri
somatik karena rangasangan pada bagian yang di persarafi saraf tepi, misalnya regangan
pada peritoneum parietal ataupun luka dinding perut. Nyeri dirasakan seprti di tusuk-
tusuk, dan pasien dapat menunjukan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsangan yang
menimbulkan nyeri dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi ataupun proses
radang. Peritoneum parietal mempunyai komponen somatic dan visceral dan
memungkinkan lokalisasi rangsangan yang berbahaya dengan menimbulkan defans
muscular dan nyeri lepas. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf otonom dan tidak
peka terhadap rabaan atau pemotongan, hanya berespon terhadap traksi dan regangan.
Lokasi nyeri yang timbul tidak jelas dan diffuse. Pasien akan menunjukan lokasi nyeri
dengan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional organ yang terlibat (Maryani,
2003).

II.3 ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang
1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup
tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh
ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.Komponen antigen
ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.
Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa

9
(kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang
bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi
(somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya
antigen 30.000 α, protein MTP 40 dan lain lain (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
di Indonesia, 2006).

II.4 PATOFISIOLOGI
Penyebaran Mycobacterium tuberculosis ke peritoneum dapat melalui beberapa
cara yaitu

1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru


2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi

Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi karena reaktifasi proses


laten pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer
terdahulu (infeksi laten “Dorman infection”). Infeksi fase laten ini dapat menetap laten
selama hidup namun reaktifasi bisa berkembang menjadi tuberkulosis pada setiap saat
(Maryani, 2003).

Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian lain yang mmengatakan peritoneal
TB merupakan hasil dari reaktivasi fokus laten di peritoneum melalui hematogen yang
berasal dari limfonodus mesentrikus yang sebelumnya terinfeksi TB paru. Ingesti dari
basil, melalui jalur patch peyer di mukosa usus ke kelenjar getah bening mesentrik,
adalah rute lain yang mungkin menginfeksi peritoneum, seperti penyebaran lanjutan dari
kelenjar getah bening atau ileocecal yang terinfeksi TB. Penyebaran yang jarang
ditemukan misalnya langsung dari tuba fallopi atau penyebaran hematogen dari penyakit
paru aktif atau TB miliaria dapat terjadi 15% sampai 20% pasien dengan TB abdominal
yang memiliki penyakit paru aktif. Selain itu Mycobacterium bovis telah dilaporkan
menyebabkan abdominal TB melalui konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi (Vaid dan

10
Kane, 2011), serta penelitian lain yang memaparkan bahwa tuberkulosis peritonitis
berasal dari rupturnya kelenjar getah bening atau organ intra-abdominal yang telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis serta dapat melalui penyebaran hematogen
(Chugh, SN dan Jain, V, 2007).

II.5 GEJALA KLINIS


Umumnya gejala klinis bervariasi dam timbul perlahan hingga berbulan-bulan,
serta sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2 minggu sampai
dengan 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu. Keluhan nyeri perut,
pembengkakan perut, disusul tidak nafsu makan, batuk, demam hingga gejala sub
obstruksi terkadang juga timbul (Maryani, 2003). Menurut penelitian lain gejala klinis
yang umum dijumpai yaitu distensi abdomen (73%), demam dan keringat malam (53%),
anorexia (46%), penurunan beray badan (44%), nyeri abdomen (35%) rata-rata pasien
mengeluhkan gejala yaitu satu hingga lima bulan (Manohar, A, et al, 1990).

Pada pemeriksaan fisik gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan.Keadaan umum pasien dapat
cukup baik hingga keadaan kurus dan kahexia, pada wanita sering dijumpai tuberkulosa
peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada
genital dapat ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan
kista ovari. Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik pada penderita
peritonitis tuberkulosa ternyata jarang ditemukan (13%) (Maryani, 2003). Pada penelitian
lain pemeriksaan fisik yang umumnya ditemukan yaitu asites (95%) (Manohar, A, et al,
1990).

II.6 DIAGNOSIS

11
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada pemeriksaan penunjang, banyak metode yang dapat digunakan dalam
membuat diagnosis.
A. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan yang terjadi secara kronis. Lama keluhan
biasanya berkisar 2 minggu sampai dengan 2 tahun rata-rata 16 minggu. Keluhan timbul
perlahan disertai nyeri perut hebat yang bersifat lokal maupun umum, pembengkakan
perut, disusul tidak nafsu makan, berat badan menurun, batuk, dan demam. Pada fase
yang lebih lanjut sakit perut lebih terasa dan timbul manifestasi seperti sub obstruksi
seperti mual hingga muntah (Maryani, 2003)

B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan klinis umumnya ditemukan demam, distensi abdominal, nyeri
tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, ataupun difus, nyeri lepas, dan secara klasik
bising usus melemah atau menghilang. Peritonitis bakterial kronik (tuberculous)
memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan,
dan distensi abdominal. Fenomena papan catur yang khas pada peritonitis tuberculosis
cukup jarang ditemui (Maryani, 2003).

C. Pemeriksaan Penunjang
 Perubahan indeks hematologis tidak spesifik. Anemia normokromik ringan, sedang,
dan anemia normositik dan trombositosis adalah temuan yang sering. Jumlah sel
darah putih (WBC) biasanya normal tetapi, limfomonositosis juga sering ditemukan.
Tingkat sedimentasi eritrosit hampir selalu meningkat hingga mencapai 50% dari
kasus, tetapi tidak melebihi 60 mm / jam. Meningkatkan nilai cut-off tidak mengubah
spesifikasi tes ini karena pasien dengan ascites pada umumnya memiliki nilai yang
sama (Sanai & Bzeizi, 2005).
 Analisis cairan asites secara rutin dilakukan dalam mengevaluasi semua pasien yang
datang dengan ascites. Sel darah putih dalam TB Peritoneal bervariasi namun
sebagian besar pasien memiliki jumlah sel antara 500 dan 1500 sel / mm 3. Sel-sel
didominasi limfosit dengan kemungkinan pengecualian pasien dengan gagal ginjal.
Peningkatan limfosit juga dapat dilihat pada asites hipertensi portal pada akhir

12
diuresis atau segera setelah terapi antibiotik pada peritonitis bakterial spontan yang
sebelumnya tidak diketahui. Karena itu pemeriksaan ascites lymphomonocytic bukan
merupakan penanda yang dapat diandalkan untuk TB dan harus dianggap hanya
sebagai indikasi untuk penyelidikan lebih lanjut (Sanai & Bzeizi, 2005).
 Nilai glukosa asites dilaporkan sedikit rendah dalam beberapa penelitian. Namun,
tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung pengukuran glukosa cairan ascitic rutin
pada pasien dengan dugaan TBP (Sanai & Bzeizi, 2005). Laktat Dehidrogenase
(LDH) telah dilaporkan tinggi dalam beberapa penelitian. Pada infeksi, tingkat LDH
asites meningkat karena terjadi pelepasan LDH oleh neutrophil. Peningkatkan LDH
di atas 90 U/L membawa sensitivitas 90% dan spesifisitas 14% untuk TB Peritoneal.
Peningkatan LDH ascitic dengan derajat kepekaan yang sama juga terjadi pada pasien
dengan karsinomatosis peritoneum, ascites pankreas dan sekitar 20% dari mereka
dengan sirosis atau gagal jantung kongestif (Sanai & Bzeizi, 2005).
 Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. Perbandingan
serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan yaitu < 1,1
gr/dl, namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma nefrotik,
penyakit pankreas, kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan
>1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa
cairan asites dengan darah pada tuberkulosis peritoneal <0,96 sedangkan pada asites
dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan Ph cairan asites dan peningkatan
kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan
berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan
kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum menjadi suatu kepastian
karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau
spontaneous bacterial peritonitis (Maryani, 2003).

Tabel 1. Perbandingan serum asites albumin pada Tuberkulosis Peritonial dan


Penyakit lainnya.

13
Pemeriksaan Tuberkulosis Hipertensi Keganasan,
Peritonial, Portal Sindrom Nefrotik,
Penyakit pancreas
& Empedu
SAAG (serum <1,1 gr/dl >1,1 gr/dl <1,1 gr/dl
asites albumin
serum)

 Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapatkan hasil kurang dari 5 % yang
menunjukkan hasil positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20%
hasilnya positif (Maryani, 2003).
 Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah
pemeriksaan ADA (adenosin deminase activity), interferon gama (IFNϒ) dan PCR.
Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai sensitifitas 100%, spesifitas 95%, dan
dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati atau keganasan.
Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari Tuberculosis
Peritoneal (14 ± 10,6 u/l) (Maryani, 2003). Pada pasien dengan konsentrasi protein
yang rendah dijumpai nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan
pada konsentrasi asites dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi false
negatif. Untuk itu pemeriksaan Gama interferon merupakan pemeriksaan yang lebih
baik walaupun nilainya sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada
pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah dibandingkan kedua pemeriksaan tersebut.
Angka sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gamma
interferon adalah 90,9 %, ADA:18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing
spesifitas 100% (Maryani, 2003).
 Pemeriksaan CA-125. CA-125 (Cancer antigen 125) termasuk tumor associated
glycoprotein yang terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen terkait
karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal,
namun CA-125 ini dilaporkan juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna,
dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada
trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis, mioma uteri dan salpingitis,
juga kanker primer ginekologi lain seperti endometrium, tuba falopi, endocervix,

14
pankreas, ginjal, colon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal
kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti
tuberkulosis, perikardium dan pleura. Beberapa laporan yang telah mendapatkan
peningkatan CA-125 dan menyimpulkan bila dijumpai peningkatan serum CA-125
disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang
dominan maka tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis
(Maryani, 2003).
 Biopsi peritoneum memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dan merupakan gold
standard pemeriksaan peritoneal TB. Hal ini dapat dilakukan dengan prosedur yang
berbeda, seperti biopsi peritoneal perkutan, atau biopsi peritoneal yang dipandu CT,
USG, laparotomi, ataupun laparoskopi. Biopsi peritoneal dipandu laparoskopi sangat
baik untuk mendiagnosis peritonitis TB. Biopsi peritoneum yang dipandu secara
laparoskopi telah mendeteksi granuloma kaseik pada 76% -100% pasien spesimen
biopsi laparoskopi mengungkapkan hasil positif pada 3% -25% basil tahan asam dan
kultur positif untuk M. tuberculosis pada 38% -98% (Khan, 2018). Tingkat
sensitivitas dan tingkat spesifisitas pada biopsy peritoneal adalah 93% dan 98%
ketika temuan makroskopik dikombinasikan dengan temuan histologis (epitheliod
granulomata dengan kaseosa atau identifikasi mikobakteri) (Sanai & Bzeizi, 2005).
 Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan pemeriksaan makroskopi yang sangat berguna
untuk menegakkan diagnosa Tuberkulosis Peritonitis. Laparaskopi adalah cara yang
relatif aman, mudah, dan terbaik untuk mendiagnosa Tuberkulosis peritonitis.
Karakteristik penampilan laparoskopi meliputi asites, nodul berwarna putih
kekuningan atau tuberkel pada peritoneum viseral dan parietal, adhesi peritoneal atau
visceral, dan kadang-kadang perdarahan yang meradang pada peritoneum. Telah
dilaporkan bahwa gambaran makroskopis peritoneum selama laparoskopi adalah
sugestif terhadap TB pada 85% -100% kasus. Pada salah penelitian lain dilaporkan
bahwa laparoskopi dapat mendiagnosis hingga 94%, tetapi diagnosis ini harus
dikonfirmasi oleh pemeriksaan histologi. Laparoskopi baik digunakan untuk
mendapatkan diagnosa pasien-pasien muda dengan gejala sakit perut yang tidak jelas
penyebabnya. Laparoskopi dengan biopsi merupakan gold standar untuk diagnosis

15
Tuberkulosis Peritonitis. Cara ini dapat mendiagnosa Tuberkulosis peritonitis 85% -
95% dan dengan biopsi yang terarah dapat dilakukan pemeriksaan histologi agar
dapat menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85% - 90% dari seluruh
kasus, dan bila dilakukan kultur dapat ditemui BTA hampir 75%. Hasil histologi yang
lebih penting lagi adalah bila didapatkan granuloma yang lebih spesifik yaitu
granuloma dengan perkijuan (Maryani, 2003).

Gambar 2. Tuberkulosis Peritonitis pada Laparaskopi (Sumber: Hatakeyama, S &


Okamoto, K, 2018)
Gambaran yang dapat dilihat pada Tuberkulosis peritonitis :
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar
luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai pada permukaan
hepar atau organ lain tuberkel dapat bergabung ataupun sebagai nodul.
2. Perlengketan yang dapat bervariasi, diantaranya pada organ dalam rongga
peritoneum. Sering pada keadaan ini merubah letak anatomi yang normal. Permukaan
hepar dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk dikenali.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar
sehingga kadang gambaran menyerupai nodul.
4. Cairan asites sering dujumpai berwarna kuning jernih, namun cairan dapat tidak
jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemorargis juga dapat dijumpai. Biopsi
dapat ditujukan pada tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang terbukti
mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsi khusus sekaligus cairan dapat
dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran peritonoskopi Tuberculosis
peritonitis dapat dikenal dengan mudah, namun gambarannya bisa menyerupai

16
penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsi harus selalu
diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi
anatomi mendukung suatu peritonitis tuberkulosis. Peritonoskopi tidak selalu mudah
dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara
teknis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan. Adanya perlengketan
yang luas merupakan hambatan dan kesulitan dalam memasukkan alat dan ruangan
yang sempit di dalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak
jarang alat peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan
perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi organ yang normal
dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik
(Maryani, 2003).
 Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering dilakukan,
namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika dengan
cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika dijumpai
indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang
bernanah (Maryani, 2003).

17
Bagan 1. Algoritma evaluasi pasien dengan suspek peritoneal tuberculosis (Sanai &
Bzeizi, 2005)

II.7 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding peritonitis tuberkulosis yaitu peritoneal karsinomatosis. Untuk
menyingkirkan hal tersebut diperlukan CT Scan untuk membedakan peritonitis
tuberkulosis dengan peritoneal karsinomatosis. Umumnya pada CT Scan peritoneal
karsinomatosis ditemukan multinodular dan irregular penebalan dari peritoneal, lalu
terdapat perbesaran limfonodus retroperitoneal yang homogen, dan terdapat omental cake
(Rocha, et al, 2015)

18
II.8 TATALAKSANA
Prinsip pengobatan TB diluar paru sama dengan TB paru (paduan obat 2
RHZE/10 RH), Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan
bedah dilakukan untuk tujuan diagnosis seperti mendapatkan bahan / spesimen untuk
penegakkan diagnosis serta untuk pengobatan. Intervensi bedah pada peritonitis
tuberculosis disediakan untuk komplikasi yang timbul dari perlengketan dan inflamasi,
termasuk perforasi usus, penyumbatan, fistula, abses, dan perdarahan usus (Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2006).

II.9 PROGNOSIS

Peritonitis tuberkulosis jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan


yang tepat akan memberikan hasil yang baik (Maryani, 2003)

19
BAB III
RADIOLOGI

A. Foto Polos Thorax

X-ray dada mungkin menunjukkan bukti lama tuberkulosis paru namun relatif
tidak spesifik, 38% rontgen dada menunjukkan beberapa kelainan, dan hanya 14%
menunjukkan penyakit paru aktif. Adanya gambaran tuberculoid di paru membuktikan
bahwa penyebaran secara hematogen dari focus paru (Srivastava, et al, 2014).

Gambar 3. TB paru aktif, tampak adanya opasitas inhomogen disertai dengan beberapa
kavitas di lobus superior paru kanan (Maryani, 2003).

20
A. Foto Polos Abdomen dan Abdomen 3 Posisi

Nodul-nodul TB dapat menyebar di peritoneum dan omentum, menyebabkan


abses, perlengketan, obstruksi intestinalis, dan ascites. Karena itu, fitur yang muncul
dalam foto polos abdomen bervariasi dan seringkali tidak khas (Sumber : Maryani, 2003).

Gambar
4. Foto polos abdomen pada pasien dengan ileus obstruktif sekunder akibat peritonitis
TB. Tampak air fluid level dan distensi usus halus pada posisi erect (A) dan supine (B)
(Debi, et al, 2014)

Gambar 5. Foto polos abdomen pada pasien

21
dengan peritonitis TB. Tampak
pneumatosis intestinalis atau
peningkatan gas usus (Debi, et al, 2014)

Gambar 6. Protubenrant abdomen dengan ground-glass appearance, bowel loops letak


central, mengindikasikan ascites, pole sekum dan ascending colon tidak tampak gas atau
feses (Kolawole & Lewis, 1975)

B. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG juga bisa digunakan sebagai alat bantu biopsi untuk
menegakkan diagnosis peritonitis tuberkulosa. Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya
cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-
kantong) gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang
bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa
didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan
mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat
dan harus diperiksa dengan seksama (Maryani, 2003). USG memiliki sensitifitas sebesar
17.07% dan spesifisitas sebesar 77.7% untuk menilai asites, dan sensitifitas sebesar 39%
dan spesifisitas sebesar 55.5% untuk menilai omentum (Ahmed, et al, 2015).

22
Gambar 7. USG abdomen yang menunjukkan perbesaran multiple limfonodus pada
retroperitoneum dengan hipoechoic centers karena proses kaseosa (Debi, et al, 2014)

Gambar 8. Gambaran asites bebas dengan cairan jernih (Shivde, et al, 2016)

23
Gambar 9. Gambaran loculated asites (Shivde, et al, 2016)

Gambar 10. Gambaran localized atau focal asites (Shivde, et al, 2016)

24
Gambar 11. Gambaran asites disertai debris (Shivde, et al, 2016)

Gambar 12. A. Penebalan peritoneal dilihat sebagai lembaran echogenic ireguler yang
tidak teratur. B. Penebalan peritoneum dengan ascites (Shivde, et al, 2016)

C. CT Scan

Temuan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis umumnya termasuk asites


ditemukan pada 70%-90% kasus, lalu penebalan dari smooth peritoneal setelah
dipaparkan dengan kontras intravena, densifikasi dari mesentrium yang ditemukan pada
lebih dari 70% kasus, serta perbesaran limfonodus dengan area sentral yang mengalami
nekrosis atau kalsifikasi (Rocha, et al, 2015). Menurut penelitian Maryani, 2003 secara
umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya
perlu dijumpai secara bersamaan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal
(Maryani, 2003). Burrill, et al, 2006 juga mengatakan CT merupakan penunjang andalan

25
untuk menyelidiki kemungkinan tuberkulosis abdominal, namun pengetahuan tentang
modalitas pencitraan lain, seperti pemeriksaan barium enema, penting untuk menghindari
missdiagnosis dalam kasus-kasus di mana tuberkulosis pada awalnya kurang dicurigai.

CT Scan memiliki sensitifitas sebesar 17.07% dan spesifisitas sebesar 77.7%


untuk menilai asites, dan sensitifitas sebesar 82.9% dan spesifisitas sebesar 55.5% untuk
menilai omentum (Ahmed, et al, 2015).

Berdasarkan manifestasinya dapat terlihat gambaran yang lebih spesifik dengan


karateristik sebagai berikut :

1. Wet Ascitic Typed


Peritonitis tipe basah adalah tipe peritonitis yang paling umum dan banyak
ditemukan (90% kasus) (Burril et al, 2006). Tipe ini berkaitan dengan kumpulan
cairan bebas maupun terlokalisir di rongga abdomen, asites biasanya memiliki
densitas protein yang tinggi akibat proses eksudat inflamasi (Debi et al, 2014).
2. Fibrotic Fixed Typed
Peritonitis tipe fibrotik relatif kurang umum, berdasarkan penelitian Burril et al
2006 tipe ini menyumbang 60% kasus peritonitis, ditandai dengan perbesaran
omentum dan mesentric dengan massa seperti ‘cakelike’ serta adanya anyaman
lengkung usus (Burril et al, 2006).
3. Dry Typed
Peritonitis tipe kering terlihat pada 10% kasus dan ditandai dengan penebalan
mesenterik, adhesi fibrous, dan nodul kaseosa (Burril et al, 2006).

26
Gambar 13. CT scan kontras menunjukkan ascites (panah) yang hiperatenuasi relatif
terhadap urin di dalam kandung kemih (kepala panah) (Burrill, 2006).

Gambar 14. Peritonitis TB tipe fibrotik. CT scan dengan kontras menunjukkan omental
cake (panah) dengan penebalan usus kecil (*) (Burril, et al, 2006).

27
Gambar 15. CT scan kontras menunjukkan penebalan dan nodularitas yang menyebar
dari omentum (kepala panah A, B), infiltrasi mesenterium (panah), dan sejumlah kecil
hemoperitoneum (tanda bintang dalam A, B) (Srivastava, et al, 2014).

Gambar 16. CT scan abdomen


dengan kontras, (a) Potongan axial (b) Potongan sagital (c) Potongan coronal.
Menunjukkan penebalan dari omentum major dan mesentrium (*). Penebalan hingga
pelvis (tanda panah) karena keadaan campuran fibrotic dan dry typed peritonitis
(Suadrez,T, et al, 2010)

28
Gambar 17. CT scan dengan kontras (a) potongan axial (b) potongan coronnal,
menunjukkan free asites yang tergambar hiperdens (*) bila dibandingkan dengan urin
(tanda panah), yang mengindikasikan tingginya protein. Keadaan ini diirngi dengan
limfodenopati mesentric (kepala panah) dan wet tuberlucous peritonitis (Suadrez, T, et al,
2010)

D. MRI

Pada jenis wet typed menggambarkan asites primer, dengan atau tanpa
penebalan peritoneal secara difus dan rata. Pada dry typed peritonitis, ada dominasi
penebalan peritoneal dan mesenterika dengan nodul kaseosa, pembesaran kelenjar
getah bening dan adhesi fibrous. Fibrotic fixed typed peritonitis dikarakteristikan
dengan penebalan omentum dan pelebaran dinding usus, yang secara klinis
menyerupai massa, terkadang dengan asites terlokalisir mirip dengan gambaran
karsinomatosis peritoneal (Rocha, et al, 2015).
Asites yang bebas atau terlokalisir mungkin terjadi dalam 30-100% kasus,
dan kepadatan tomografi bervariasi (20–45 HU), tergantung pada fase penyakit.
Hanya 3% pasien yang datang dengan peritonitis tuberkulosa tipe kering atau dry
typed. Kehadiran tingkat lemak dalam hubungan dengan kelenjar getah bening
nekrotik sangat spesifik untuk asites tuberkulosis (Rocha, et al, 2015).

29
Gambar 18. Gambaran MRI peritoneal (A) menunjukkan asites besar dengan beberapa
septa halus. (B) menunjukkan penebalan peritoneal difus, halus dan teratur (panah)
(Rocha, et al, 2015).

Gambar 19. Gambaran MRI menunjukkan omentum (panah tipis) dan peritoneal (panah
tebal) mengalami penebalan difus menempati rongga pelvis (kepala panah) (Rocha, et al,
2015).

30
D. Diagnosis Banding

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa diagnosis banding tuberculosis peritoneal


yaitu pertitoneal karsinomatosis, berikut gambaran CT Scan yang dapat membedakan.
Ditemukan lesi pada peritoneal parietal yang secara primer atau sepenuhnya terlokalisasi
di pelvis dan atau regio kanan subdiafragma, dengan sensitifitas 78.4% dan spesifitas
72.0%, pada TB peritoneal akan menjadi suspek atau sugestif peritonitis TB dengan
gambaran area distribusi uniform merupakan indicator signifikan dengan sensitifias
72.0% dan spesifitas 94.1% serta pada TB peritoneal melibatkan lebih dari sama dengan
empat regio pada parietal peritoneum (extensive involvement) dengan sensitifitas 80.0%
dan spesifitas 80.4%. Lalu ditemukan penebalan peritoneal yang irregular pada peritoneal
karsinomatosis dengan sensitifitas 51.0% dan spesifitas 88.0% dan nodular peritoneum
dengan sensitifitas 21.6% sedangkan pada peritonitis TB dengan sensitifitas 4.0%, pada
peritoneal TB terjadi penebalan uniform yang halus atau smooth dengan sensitifitas
60.0% dan spesifitas 92.2% (Wang, et al, 2016).

Menurut penelitian lain disebutkan bahwa temuan CT Scan yang dapat


membedakan peritoneal karsinomatosis dengan peritoneal tuberculosis, perbedaan yang
umumnya ditemukan yaitu penebalan peritoneum multinodular dan ireguler, lalu terdapat
perbesaran limfonodus retroperitoneal yang homogen, dan terdapat omental cake
sedangkan pada peritonitis TB temuan yang sering ditermukan pada CT Scan yaitu asites
ditemukan pada 70%-90% kasus, lalu penebalan dari smooth peritoneal setelah
dipaparkan dengan kontras intravena, densifikasi dari mesentrium yang ditemukan pada
lebih dari 70% kasus, serta perbesaran limfonodus dengan area sentral yang mengalami
nekrosis atau kalsifikasi (Rocha, et al, 2015).

31
Gambar 20. CT Scan tuberkulosis peritonitis. Peritoneum mengalami penebalan uniform
halus pada potongan axial CT Scan (tanda panah) (Wang, et al, 2016).

Gambar 21. CT Scan axial kontras tuberkulosis peritonitis. A dan B menunjukkan


peritoneum yang mengalami penebalan halus (tanda panah), asites, dan multipel
mesentric nodes dengan nekrosis pada sentral (kepala panah) (Srisajjakul, et al, 2014).

32
Gambar 22. CT Scan
peritoneal karsinomatosis. Peritoneum mengalami penebalan ireguler di regio pelvic pada
potongan axial CT Scan (tanda panah) (Wang, et al, 2016).

Gambar 23. CT Scan peritoneal karsinomatosis. Dengan nodul abnormal (tanda panah)
pada CT Scan axial (Wang, et al, 2016).

33
BAB IV
KESIMPULAN

Pemeriksaan radiologi penting untuk membantu mengarahkan diagnosis


peritonitis tuberkulosis, gambaran foto thorax sugestif TB mendukung diagnosis
peritonitis TB, foto polos abdomen menyajikan fitur yang bervariasi dan tidak khas,
ultrasonografi dapat berguna dalam pencitraan peritonitis TB karena mampu mendeteksi
cairan, limfadenopati, serta penebalan dinding peritoneum, serta CT scan dapat
membantu membedakan peritonitis TB dengan karsinomatosis peritoneum.

CT Scan merupakan imaging terbaik untuk mendiagnosis dan melihat adanya


peritonitis tuberkulosis. CT scan juga dapat membedakan peritonitis TB dengan
karsinomatosis peritoneal (Rocha, et al, 2015). CT scan menjadi modalitas terpilih karena
memiliki sensitifitas dan spesifisitas besar. CT scan memiliki sensitifitas 17.07% dan
spesifisitas 77.07% untuk menilai asites, dan sensitifitas 82.9% dan spesifisitas 55.5%
untuk menilai omentum (Ahmed, dkk 2015). Selain itu CT Scan juga memiliki
sensitifitas 72.0% dan spesifitas 94.1% untuk menilai gambaran distribusi uniform,
menilai extensive involvement dari peritoneal dengan sensitifitas 80.0% dan spesifitas
80.4% serta penebalan uniform yang halus atau smooth dengan sensitifitas 60.0% dan
spesifitas 92.2% (Wang, et al, 2016).

34
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, I., Dogar, I., Medhi, A., Gautam M., Masood, M., 2015. Comparison Of
Computerized Tomographic And Ultrasonographic Findings In Abdominal
Tuberculosis. Department of Radiology, KEMU / Mayo Hospital, LahoreBurrill,
Joshua. et al. 2007. Tuberculosis: A Radiologic Review. Radio Graphics 2007;
27:1255–1273

Bell, Daniel J, et al. 2005. Tuberculous Peritonitis. Diakses 29 November 2018


https://radiopaedia.org/articles/tuberculous-peritonitis

Chugh, SN, Jain, Vinesh. 2007. Abdominal Tuberculosis – Current Concepts in


Diagnosis and Management

Marieb, EN, Hoehn, K. 2007. Human Anatomy and Physiology; seventh Edition. Pearson
Education, Inc

Debi, Uma. et al., 2014. Abdominal Tuberculosis of The Gastrointestinal Tract:


Revisited. World Journal of Gastroenterology

Kolawole, T.M, Lewis, E.A. 1975. A Radiologic Study Of Tuberculosis of The Abdomen
(Gastrointestinal Tract). Ibadan, Nigeria.

Manohar A. et al. 1990. Symptoms and investigative Findings in145 patients with
Tuberculous Peritonitis Diagnosed by Peritoneoscopy and Biopsy over a Five
Year Period. Departments of Medicine (Gastrointestinal Unit) and Surgery,
University of Natal/King Edward VIII Hospital Durban, Sourth Africa.

Maryani.S. 2003. Tuberkulosis Peritoneal. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit


Dalam Universitas Sumatera Utara.

Okamoto, Koh, Hatakeyama, Shuji. 2018. Tuberculous Peritonitis. Images in Clinical.


The New Englang Journal of Medicine

Pearce, Evelyn C, 2009, Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic, PT Gramedia Pustaka
Umum: Jakarta

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis; Pedoman Diagnosis &


Penatalaksanaan di Indonesia

Rocha1, E., Bruno, C., Renata, L., Marcelo, L., Lucas, R., Giuseppe, D., 2015.
Abdominal tuberculosis: a radiological review with emphasis on computed

35
tomography and magnetic resonance imaging findings. Radio Bras

Sanai, F.M. & Bzeizi, K.I., 2005. Systematic review: Tuberculous peritonitis - Presenting
features, diagnostic strategies and treatment. Alimentary Pharmacology and
Therapeutics, 22(8), pp.685–700.

Shivde, R., Krutik, P., Saurav, M., Shopnil, P. 2016. Ultrasound Findings In Abdominal
Tuberculosis: Usual And Unusual Appearances. National Journal of Medical and
Allied Sciences.
Srisajjakul, Sitthipong, et al. 2014. Imaging of Uncommon Pertoneal Disease.
Department of Radiology, Siriraj Hospital, Mahidol Unversity, Bangkok,
Thailand.

Srivastava, U. et al., 2014. Tuberculous peritonitis. Radiology Case Reports, 9(3), p.971.

Suadrez, Tatiana. et al. 2010. Imaging in Abdominal Tuberculosis. Radiology Reiview


Articles

Wang, Shao-Bo, et al. 2016. PET/CT for differentiating between tuberculous peritonitis
and peritoneal carcinomatosis, The Parietal Peritoneum. Observational Study

Werdhani, R A. 2017. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.


Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

36

Anda mungkin juga menyukai