DISUSUN OLEH:
Lavenia Quinta Saraswati
1810221044
PEMBIMBING :
dr. Maryastuti, Sp. Rad (K)
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik bagian Radiologi di
RSUP Persahabatan
Disusun Oleh :
Lavenia Quinta Saraswati 1810221044
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala karunia-Nya
sehingga referat ini berhasil diselesaikan Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dr.
Maryastuti, Sp. Rad (K) selaku pembimbing dan pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan referat ini.
Referat ini penulis susun dengan tujuan untuk membantu mempermudah pembaca
dalam memahami radiologi pada peritonitis tuberkulosis. Penulis menyadari bahwa
referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itulah penulis mohon maaf
atas segala kesalahan maupun kekurangan tersebut, dan atas pengertian serta sarannya
penulis mengucapkan terima kasih.
3
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………...…1
LEMBAR PENGESAHAN…………………….………………………………..2
KATA PENGANTAR……………………………………………………………3
DAFTAR ISI ………………………………………..……………………………4
BAB I……………………………………………………………………………...5
BAB II…………………………………………………………………………….7
BAB III ……………………………………………………………………….....20
BAB IV…………………………………………………………………………..34
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...35
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
(Srivastava, et al, 2014). foto polos abdomen menyajikan fitur yang bervariasi dan tidak
khas, ultrasonografi dapat berguna dalam pencitraan peritonitis TB karena mampu
mendeteksi cairan, limfadenopati, serta penebalan dinding peritoneum, serta CT scan
dapat membantu membedakan peritonitis TB dengan karsinomatosis peritoneum
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
II.2 EPIDEMIOLOGI
7
II.2 ANATOMI
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling kompleks yang
terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup
(coelom) dengan batas anterior dan lateral (permukaan bagian dalam dinding abdomen),
posterior (retroperitoneum), inferior (struktur ekstraperitoneal di pelvis), superior (bagian
bawah dari diafragma). Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yaitu peritoneum viseral
yang menutupi permukaan eksternal dari kebanyakan organ digestif dan akan berlanjut ke
peritoneum parietal yang akan membatasi dengan dinding abdomen. Diantara peritoneum
parietal dan viseral terdapat ruang yang disebut Peritoneal Cavity atau rongga peritoneal,
merupakan ruang yang mengandung cairan yang disekresi oleh membran serosa, cairan
serosa tersebut berfungsi untuk lubrikasi organ digestif, sehingga organ digestif dapat
bergerak dengan mudah serta meminimalisir friksi saat organ tersebut menjalankan
fungsi digestifnya (Marieb, EN, Hoehn, K. 2007. Human Anatomy and Physiology;
seventh Edition)
8
parietal dipersarafi oleh serabut tepi yang berasal dari T6-L1 (saraf somatik), sedangakan
peritoneum viseral di persarafi oleh serabut sensoris yang menerima rangsangan melalui
saraf simpatis dan N. Splanchnicus T5-L3. Peritoneum parietal akan menimbulkan nyeri
somatik karena rangasangan pada bagian yang di persarafi saraf tepi, misalnya regangan
pada peritoneum parietal ataupun luka dinding perut. Nyeri dirasakan seprti di tusuk-
tusuk, dan pasien dapat menunjukan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsangan yang
menimbulkan nyeri dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi ataupun proses
radang. Peritoneum parietal mempunyai komponen somatic dan visceral dan
memungkinkan lokalisasi rangsangan yang berbahaya dengan menimbulkan defans
muscular dan nyeri lepas. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf otonom dan tidak
peka terhadap rabaan atau pemotongan, hanya berespon terhadap traksi dan regangan.
Lokasi nyeri yang timbul tidak jelas dan diffuse. Pasien akan menunjukan lokasi nyeri
dengan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional organ yang terlibat (Maryani,
2003).
II.3 ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang
1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup
tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh
ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.Komponen antigen
ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.
Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa
9
(kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang
bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi
(somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya
antigen 30.000 α, protein MTP 40 dan lain lain (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
di Indonesia, 2006).
II.4 PATOFISIOLOGI
Penyebaran Mycobacterium tuberculosis ke peritoneum dapat melalui beberapa
cara yaitu
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian lain yang mmengatakan peritoneal
TB merupakan hasil dari reaktivasi fokus laten di peritoneum melalui hematogen yang
berasal dari limfonodus mesentrikus yang sebelumnya terinfeksi TB paru. Ingesti dari
basil, melalui jalur patch peyer di mukosa usus ke kelenjar getah bening mesentrik,
adalah rute lain yang mungkin menginfeksi peritoneum, seperti penyebaran lanjutan dari
kelenjar getah bening atau ileocecal yang terinfeksi TB. Penyebaran yang jarang
ditemukan misalnya langsung dari tuba fallopi atau penyebaran hematogen dari penyakit
paru aktif atau TB miliaria dapat terjadi 15% sampai 20% pasien dengan TB abdominal
yang memiliki penyakit paru aktif. Selain itu Mycobacterium bovis telah dilaporkan
menyebabkan abdominal TB melalui konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi (Vaid dan
10
Kane, 2011), serta penelitian lain yang memaparkan bahwa tuberkulosis peritonitis
berasal dari rupturnya kelenjar getah bening atau organ intra-abdominal yang telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis serta dapat melalui penyebaran hematogen
(Chugh, SN dan Jain, V, 2007).
Pada pemeriksaan fisik gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan.Keadaan umum pasien dapat
cukup baik hingga keadaan kurus dan kahexia, pada wanita sering dijumpai tuberkulosa
peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada
genital dapat ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan
kista ovari. Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik pada penderita
peritonitis tuberkulosa ternyata jarang ditemukan (13%) (Maryani, 2003). Pada penelitian
lain pemeriksaan fisik yang umumnya ditemukan yaitu asites (95%) (Manohar, A, et al,
1990).
II.6 DIAGNOSIS
11
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada pemeriksaan penunjang, banyak metode yang dapat digunakan dalam
membuat diagnosis.
A. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan yang terjadi secara kronis. Lama keluhan
biasanya berkisar 2 minggu sampai dengan 2 tahun rata-rata 16 minggu. Keluhan timbul
perlahan disertai nyeri perut hebat yang bersifat lokal maupun umum, pembengkakan
perut, disusul tidak nafsu makan, berat badan menurun, batuk, dan demam. Pada fase
yang lebih lanjut sakit perut lebih terasa dan timbul manifestasi seperti sub obstruksi
seperti mual hingga muntah (Maryani, 2003)
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan klinis umumnya ditemukan demam, distensi abdominal, nyeri
tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, ataupun difus, nyeri lepas, dan secara klasik
bising usus melemah atau menghilang. Peritonitis bakterial kronik (tuberculous)
memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan,
dan distensi abdominal. Fenomena papan catur yang khas pada peritonitis tuberculosis
cukup jarang ditemui (Maryani, 2003).
C. Pemeriksaan Penunjang
Perubahan indeks hematologis tidak spesifik. Anemia normokromik ringan, sedang,
dan anemia normositik dan trombositosis adalah temuan yang sering. Jumlah sel
darah putih (WBC) biasanya normal tetapi, limfomonositosis juga sering ditemukan.
Tingkat sedimentasi eritrosit hampir selalu meningkat hingga mencapai 50% dari
kasus, tetapi tidak melebihi 60 mm / jam. Meningkatkan nilai cut-off tidak mengubah
spesifikasi tes ini karena pasien dengan ascites pada umumnya memiliki nilai yang
sama (Sanai & Bzeizi, 2005).
Analisis cairan asites secara rutin dilakukan dalam mengevaluasi semua pasien yang
datang dengan ascites. Sel darah putih dalam TB Peritoneal bervariasi namun
sebagian besar pasien memiliki jumlah sel antara 500 dan 1500 sel / mm 3. Sel-sel
didominasi limfosit dengan kemungkinan pengecualian pasien dengan gagal ginjal.
Peningkatan limfosit juga dapat dilihat pada asites hipertensi portal pada akhir
12
diuresis atau segera setelah terapi antibiotik pada peritonitis bakterial spontan yang
sebelumnya tidak diketahui. Karena itu pemeriksaan ascites lymphomonocytic bukan
merupakan penanda yang dapat diandalkan untuk TB dan harus dianggap hanya
sebagai indikasi untuk penyelidikan lebih lanjut (Sanai & Bzeizi, 2005).
Nilai glukosa asites dilaporkan sedikit rendah dalam beberapa penelitian. Namun,
tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung pengukuran glukosa cairan ascitic rutin
pada pasien dengan dugaan TBP (Sanai & Bzeizi, 2005). Laktat Dehidrogenase
(LDH) telah dilaporkan tinggi dalam beberapa penelitian. Pada infeksi, tingkat LDH
asites meningkat karena terjadi pelepasan LDH oleh neutrophil. Peningkatkan LDH
di atas 90 U/L membawa sensitivitas 90% dan spesifisitas 14% untuk TB Peritoneal.
Peningkatan LDH ascitic dengan derajat kepekaan yang sama juga terjadi pada pasien
dengan karsinomatosis peritoneum, ascites pankreas dan sekitar 20% dari mereka
dengan sirosis atau gagal jantung kongestif (Sanai & Bzeizi, 2005).
Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. Perbandingan
serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan yaitu < 1,1
gr/dl, namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma nefrotik,
penyakit pankreas, kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan
>1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa
cairan asites dengan darah pada tuberkulosis peritoneal <0,96 sedangkan pada asites
dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan Ph cairan asites dan peningkatan
kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan
berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan
kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum menjadi suatu kepastian
karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau
spontaneous bacterial peritonitis (Maryani, 2003).
13
Pemeriksaan Tuberkulosis Hipertensi Keganasan,
Peritonial, Portal Sindrom Nefrotik,
Penyakit pancreas
& Empedu
SAAG (serum <1,1 gr/dl >1,1 gr/dl <1,1 gr/dl
asites albumin
serum)
Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapatkan hasil kurang dari 5 % yang
menunjukkan hasil positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20%
hasilnya positif (Maryani, 2003).
Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah
pemeriksaan ADA (adenosin deminase activity), interferon gama (IFNϒ) dan PCR.
Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai sensitifitas 100%, spesifitas 95%, dan
dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati atau keganasan.
Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari Tuberculosis
Peritoneal (14 ± 10,6 u/l) (Maryani, 2003). Pada pasien dengan konsentrasi protein
yang rendah dijumpai nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan
pada konsentrasi asites dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi false
negatif. Untuk itu pemeriksaan Gama interferon merupakan pemeriksaan yang lebih
baik walaupun nilainya sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada
pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah dibandingkan kedua pemeriksaan tersebut.
Angka sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gamma
interferon adalah 90,9 %, ADA:18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing
spesifitas 100% (Maryani, 2003).
Pemeriksaan CA-125. CA-125 (Cancer antigen 125) termasuk tumor associated
glycoprotein yang terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen terkait
karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal,
namun CA-125 ini dilaporkan juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna,
dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada
trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis, mioma uteri dan salpingitis,
juga kanker primer ginekologi lain seperti endometrium, tuba falopi, endocervix,
14
pankreas, ginjal, colon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal
kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti
tuberkulosis, perikardium dan pleura. Beberapa laporan yang telah mendapatkan
peningkatan CA-125 dan menyimpulkan bila dijumpai peningkatan serum CA-125
disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang
dominan maka tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis
(Maryani, 2003).
Biopsi peritoneum memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dan merupakan gold
standard pemeriksaan peritoneal TB. Hal ini dapat dilakukan dengan prosedur yang
berbeda, seperti biopsi peritoneal perkutan, atau biopsi peritoneal yang dipandu CT,
USG, laparotomi, ataupun laparoskopi. Biopsi peritoneal dipandu laparoskopi sangat
baik untuk mendiagnosis peritonitis TB. Biopsi peritoneum yang dipandu secara
laparoskopi telah mendeteksi granuloma kaseik pada 76% -100% pasien spesimen
biopsi laparoskopi mengungkapkan hasil positif pada 3% -25% basil tahan asam dan
kultur positif untuk M. tuberculosis pada 38% -98% (Khan, 2018). Tingkat
sensitivitas dan tingkat spesifisitas pada biopsy peritoneal adalah 93% dan 98%
ketika temuan makroskopik dikombinasikan dengan temuan histologis (epitheliod
granulomata dengan kaseosa atau identifikasi mikobakteri) (Sanai & Bzeizi, 2005).
Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan pemeriksaan makroskopi yang sangat berguna
untuk menegakkan diagnosa Tuberkulosis Peritonitis. Laparaskopi adalah cara yang
relatif aman, mudah, dan terbaik untuk mendiagnosa Tuberkulosis peritonitis.
Karakteristik penampilan laparoskopi meliputi asites, nodul berwarna putih
kekuningan atau tuberkel pada peritoneum viseral dan parietal, adhesi peritoneal atau
visceral, dan kadang-kadang perdarahan yang meradang pada peritoneum. Telah
dilaporkan bahwa gambaran makroskopis peritoneum selama laparoskopi adalah
sugestif terhadap TB pada 85% -100% kasus. Pada salah penelitian lain dilaporkan
bahwa laparoskopi dapat mendiagnosis hingga 94%, tetapi diagnosis ini harus
dikonfirmasi oleh pemeriksaan histologi. Laparoskopi baik digunakan untuk
mendapatkan diagnosa pasien-pasien muda dengan gejala sakit perut yang tidak jelas
penyebabnya. Laparoskopi dengan biopsi merupakan gold standar untuk diagnosis
15
Tuberkulosis Peritonitis. Cara ini dapat mendiagnosa Tuberkulosis peritonitis 85% -
95% dan dengan biopsi yang terarah dapat dilakukan pemeriksaan histologi agar
dapat menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85% - 90% dari seluruh
kasus, dan bila dilakukan kultur dapat ditemui BTA hampir 75%. Hasil histologi yang
lebih penting lagi adalah bila didapatkan granuloma yang lebih spesifik yaitu
granuloma dengan perkijuan (Maryani, 2003).
16
penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsi harus selalu
diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi
anatomi mendukung suatu peritonitis tuberkulosis. Peritonoskopi tidak selalu mudah
dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara
teknis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan. Adanya perlengketan
yang luas merupakan hambatan dan kesulitan dalam memasukkan alat dan ruangan
yang sempit di dalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak
jarang alat peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan
perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi organ yang normal
dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik
(Maryani, 2003).
Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering dilakukan,
namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika dengan
cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika dijumpai
indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang
bernanah (Maryani, 2003).
17
Bagan 1. Algoritma evaluasi pasien dengan suspek peritoneal tuberculosis (Sanai &
Bzeizi, 2005)
18
II.8 TATALAKSANA
Prinsip pengobatan TB diluar paru sama dengan TB paru (paduan obat 2
RHZE/10 RH), Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan
bedah dilakukan untuk tujuan diagnosis seperti mendapatkan bahan / spesimen untuk
penegakkan diagnosis serta untuk pengobatan. Intervensi bedah pada peritonitis
tuberculosis disediakan untuk komplikasi yang timbul dari perlengketan dan inflamasi,
termasuk perforasi usus, penyumbatan, fistula, abses, dan perdarahan usus (Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2006).
II.9 PROGNOSIS
19
BAB III
RADIOLOGI
X-ray dada mungkin menunjukkan bukti lama tuberkulosis paru namun relatif
tidak spesifik, 38% rontgen dada menunjukkan beberapa kelainan, dan hanya 14%
menunjukkan penyakit paru aktif. Adanya gambaran tuberculoid di paru membuktikan
bahwa penyebaran secara hematogen dari focus paru (Srivastava, et al, 2014).
Gambar 3. TB paru aktif, tampak adanya opasitas inhomogen disertai dengan beberapa
kavitas di lobus superior paru kanan (Maryani, 2003).
20
A. Foto Polos Abdomen dan Abdomen 3 Posisi
Gambar
4. Foto polos abdomen pada pasien dengan ileus obstruktif sekunder akibat peritonitis
TB. Tampak air fluid level dan distensi usus halus pada posisi erect (A) dan supine (B)
(Debi, et al, 2014)
21
dengan peritonitis TB. Tampak
pneumatosis intestinalis atau
peningkatan gas usus (Debi, et al, 2014)
B. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG juga bisa digunakan sebagai alat bantu biopsi untuk
menegakkan diagnosis peritonitis tuberkulosa. Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya
cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-
kantong) gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang
bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa
didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan
mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat
dan harus diperiksa dengan seksama (Maryani, 2003). USG memiliki sensitifitas sebesar
17.07% dan spesifisitas sebesar 77.7% untuk menilai asites, dan sensitifitas sebesar 39%
dan spesifisitas sebesar 55.5% untuk menilai omentum (Ahmed, et al, 2015).
22
Gambar 7. USG abdomen yang menunjukkan perbesaran multiple limfonodus pada
retroperitoneum dengan hipoechoic centers karena proses kaseosa (Debi, et al, 2014)
Gambar 8. Gambaran asites bebas dengan cairan jernih (Shivde, et al, 2016)
23
Gambar 9. Gambaran loculated asites (Shivde, et al, 2016)
Gambar 10. Gambaran localized atau focal asites (Shivde, et al, 2016)
24
Gambar 11. Gambaran asites disertai debris (Shivde, et al, 2016)
Gambar 12. A. Penebalan peritoneal dilihat sebagai lembaran echogenic ireguler yang
tidak teratur. B. Penebalan peritoneum dengan ascites (Shivde, et al, 2016)
C. CT Scan
25
untuk menyelidiki kemungkinan tuberkulosis abdominal, namun pengetahuan tentang
modalitas pencitraan lain, seperti pemeriksaan barium enema, penting untuk menghindari
missdiagnosis dalam kasus-kasus di mana tuberkulosis pada awalnya kurang dicurigai.
26
Gambar 13. CT scan kontras menunjukkan ascites (panah) yang hiperatenuasi relatif
terhadap urin di dalam kandung kemih (kepala panah) (Burrill, 2006).
Gambar 14. Peritonitis TB tipe fibrotik. CT scan dengan kontras menunjukkan omental
cake (panah) dengan penebalan usus kecil (*) (Burril, et al, 2006).
27
Gambar 15. CT scan kontras menunjukkan penebalan dan nodularitas yang menyebar
dari omentum (kepala panah A, B), infiltrasi mesenterium (panah), dan sejumlah kecil
hemoperitoneum (tanda bintang dalam A, B) (Srivastava, et al, 2014).
28
Gambar 17. CT scan dengan kontras (a) potongan axial (b) potongan coronnal,
menunjukkan free asites yang tergambar hiperdens (*) bila dibandingkan dengan urin
(tanda panah), yang mengindikasikan tingginya protein. Keadaan ini diirngi dengan
limfodenopati mesentric (kepala panah) dan wet tuberlucous peritonitis (Suadrez, T, et al,
2010)
D. MRI
Pada jenis wet typed menggambarkan asites primer, dengan atau tanpa
penebalan peritoneal secara difus dan rata. Pada dry typed peritonitis, ada dominasi
penebalan peritoneal dan mesenterika dengan nodul kaseosa, pembesaran kelenjar
getah bening dan adhesi fibrous. Fibrotic fixed typed peritonitis dikarakteristikan
dengan penebalan omentum dan pelebaran dinding usus, yang secara klinis
menyerupai massa, terkadang dengan asites terlokalisir mirip dengan gambaran
karsinomatosis peritoneal (Rocha, et al, 2015).
Asites yang bebas atau terlokalisir mungkin terjadi dalam 30-100% kasus,
dan kepadatan tomografi bervariasi (20–45 HU), tergantung pada fase penyakit.
Hanya 3% pasien yang datang dengan peritonitis tuberkulosa tipe kering atau dry
typed. Kehadiran tingkat lemak dalam hubungan dengan kelenjar getah bening
nekrotik sangat spesifik untuk asites tuberkulosis (Rocha, et al, 2015).
29
Gambar 18. Gambaran MRI peritoneal (A) menunjukkan asites besar dengan beberapa
septa halus. (B) menunjukkan penebalan peritoneal difus, halus dan teratur (panah)
(Rocha, et al, 2015).
Gambar 19. Gambaran MRI menunjukkan omentum (panah tipis) dan peritoneal (panah
tebal) mengalami penebalan difus menempati rongga pelvis (kepala panah) (Rocha, et al,
2015).
30
D. Diagnosis Banding
31
Gambar 20. CT Scan tuberkulosis peritonitis. Peritoneum mengalami penebalan uniform
halus pada potongan axial CT Scan (tanda panah) (Wang, et al, 2016).
32
Gambar 22. CT Scan
peritoneal karsinomatosis. Peritoneum mengalami penebalan ireguler di regio pelvic pada
potongan axial CT Scan (tanda panah) (Wang, et al, 2016).
Gambar 23. CT Scan peritoneal karsinomatosis. Dengan nodul abnormal (tanda panah)
pada CT Scan axial (Wang, et al, 2016).
33
BAB IV
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, I., Dogar, I., Medhi, A., Gautam M., Masood, M., 2015. Comparison Of
Computerized Tomographic And Ultrasonographic Findings In Abdominal
Tuberculosis. Department of Radiology, KEMU / Mayo Hospital, LahoreBurrill,
Joshua. et al. 2007. Tuberculosis: A Radiologic Review. Radio Graphics 2007;
27:1255–1273
Marieb, EN, Hoehn, K. 2007. Human Anatomy and Physiology; seventh Edition. Pearson
Education, Inc
Kolawole, T.M, Lewis, E.A. 1975. A Radiologic Study Of Tuberculosis of The Abdomen
(Gastrointestinal Tract). Ibadan, Nigeria.
Manohar A. et al. 1990. Symptoms and investigative Findings in145 patients with
Tuberculous Peritonitis Diagnosed by Peritoneoscopy and Biopsy over a Five
Year Period. Departments of Medicine (Gastrointestinal Unit) and Surgery,
University of Natal/King Edward VIII Hospital Durban, Sourth Africa.
Pearce, Evelyn C, 2009, Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic, PT Gramedia Pustaka
Umum: Jakarta
Rocha1, E., Bruno, C., Renata, L., Marcelo, L., Lucas, R., Giuseppe, D., 2015.
Abdominal tuberculosis: a radiological review with emphasis on computed
35
tomography and magnetic resonance imaging findings. Radio Bras
Sanai, F.M. & Bzeizi, K.I., 2005. Systematic review: Tuberculous peritonitis - Presenting
features, diagnostic strategies and treatment. Alimentary Pharmacology and
Therapeutics, 22(8), pp.685–700.
Shivde, R., Krutik, P., Saurav, M., Shopnil, P. 2016. Ultrasound Findings In Abdominal
Tuberculosis: Usual And Unusual Appearances. National Journal of Medical and
Allied Sciences.
Srisajjakul, Sitthipong, et al. 2014. Imaging of Uncommon Pertoneal Disease.
Department of Radiology, Siriraj Hospital, Mahidol Unversity, Bangkok,
Thailand.
Srivastava, U. et al., 2014. Tuberculous peritonitis. Radiology Case Reports, 9(3), p.971.
Wang, Shao-Bo, et al. 2016. PET/CT for differentiating between tuberculous peritonitis
and peritoneal carcinomatosis, The Parietal Peritoneum. Observational Study
36