Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS INDONESIA

Tatalaksana Anestesia Operasi Sectio Caesaria pada Ibu Hamil


dengan Regurgitasi mitral dan Hipertensi Pulmonal ec Riwayat
Rheumatic Heart Disease

LAPORAN KASUS

Hario Tri Hendroko


NPM 1606969314

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
JAKARTA 2020
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Laporan kasus ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber, baik
yang dikutip maupun yang dirujuk, telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : dr. Hario Tri Hendroko


NPM : 1606969314
Tanggal : Febuari 2020
Tanda tangan :

i Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini diajukan oleh:


Nama : dr. Hario Tri Hendroko
NPM : 1606969314
Program Studi : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Judul Tinjauan Pustaka : Tatalaksana Anestesia Operasi Sectio Caesaria
pada Ibu Hamil dengan Regurgitasi mitral dan
Hipertensi Pulmonal Ec Riwayat Rheumatic Heart
Disease

Telah berhasil dipresentasikan dan dinilai di hadapan Pembimbing dan


Sejawat, dan diterima sebagai bagian persyaratan untuk melanjutkan ke
tahap pendidikan selanjutnya pada program studi Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Pembimbing

dr. Anas Alatas, SpAn-KaKV (…………………………………………)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Februari 2020

ii Universitas Indonesia
Pendahuluan
Penyakit jantung valvular pada kehamilan menimbulkan risiko tambahan bagi ibu
dan janin. Meskipun ada prevalensi yang terus menurun di negara – negara maju,
namum penyebab kelainan katup akibat penyakit jantung rematik tetap menjadi
masalah yang signifikan di negara berkembang. Tingkat mortalitas tahunan yang
dilaporkan adalah 6,3%, dengan tinggi morbiditas setelah 10 tahun (gagal jantung
63% dan fibrilasi atrium 30%). Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan
katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, yang
melibatkan katup dan edokardium. Lesi terutama dapat menimbulkan stenosis
atau insufisiensi atau keduanya pada katup mitral (75%), aorta (25%), jarang
mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.

Perubahan fisiologis normal pada kehamilan menyebabkan masalah tersendiri


pada ibu dengan penyakit jantung rematik. Volume intravaskular dan curah
jantung yang meningkat sementara vaskular sistemik resistensi (SVR) menurun
untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata normal (MAP). Selama persalinan,
setiap kontraksi uterus menghasilkan auto transfusi darah, menghasilkan curah
jantuh yang lebih tinggi 10-25%, selain itu rasa sakit dan kecemasan
menyebabkan peningkatan simpatik yang memediasi peningkatan SVR, denyut
jantung dan kardiak output sehinggga menyebabkan beban stres lebih lanjut pada
jantung.

Dengan perubahan hemodinamik ini, harus disadari bagaimana penyakit katup


jantung dapat dipengaruhi selama kehamilan.. Pentingnya komunikasi dan
manajemen antara berbagai multidisiplin dalam perawatan pasien yang kompleks,
mulai dari persiapan rencana hingga pengelolaan komplikasi bila terjadi.
Pemeriksaan preoperatif mulai dari bidang kebidanan, kardiologi, dan anestesi
harus dilakukan. Kurangnya persiapan pre-operatif akan mempersulit melakukan
manajemen preoperatif pada pasien dengan kondisi ini. Oleh karena itu tulisan ini
akan membahas tatalaksana anestesia pada pasien Ibu Hamil dengan Regurgitasi
mitral dan Hipertensi Pulmonal Ec Riwayat Rheumatic Heart Disease

1 Universitas Indonesia
Ilustrasi Kasus
Pre-operatif
Pasien ibu hamil usia 38 tahun, berat badan 90 kg dan tinggi badan 150 cm (IMT=
34,7 kg/m2) dengan umur kehamilan 40 minggu, datang ke RSUPN Cipto
Mangunkusumo dengan keluhan mulas dan keluar air – air dengan sedikit darah
beserta lendir dari kemaluan sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluh sesak terutama bila tidur terlentang. Pasien lebih nyaman tidur dalam
posisi setengah duduk Riwayat terbangun karena sesak dimalam hari terkadang
dirasakan. Pasien merasa cepat lelah meskipun beraktivitas ringan. Pasien
diketahui rutin mengkonsumsi obat jantung sebelumnya seperti Candesartan 1 x 8
mg PO, Bisoprolol 1x 2,5 PO mg, furosemid 1x40 mg dan Spironolakton 1x 25
mg PO, namun sejak usia kandungan 24 minggu pasien mulai berhenti konsumsi
obat yang dimilikinya dan keluhan sesak memberat..

Pada tahun 2015, pasien memiliki riwayat operasi Mitral Valve Replacement di
Rs.Harapan Kita dengan perawatan paska tindakan di CICU. Pasien sebelumnya
memilki riwayat penyakit jantung rematik berupa kelainan katup dan
pembengkakan jantung sejak dirujuk dan didiagnosis dokter di Rs. Harapan tahun
2007. Saat itu pasien mengaku sedang hamil anak pertama, sering merasa
berdebar dan sesak saat beraktivitas berat. Pasien menjalani operasi Sectio
Caesaria dengan dengan pembiusan Anestesi Spinal dan perawatan paska
tindakan selama 1 minggu di ICU . Pasien mulai rutin mengkonsumsi obat
jantung.

Riwayat penyakit asma dan alergi terhadap obat – obatan lain tidak ada. Riwayat
komorbid untuk penyakit-penyakit yang lain disangkal.

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dijumpai pasien compos mentis dengan


tekanan darah 136/72 mmHg, frekuensi nadi 108 x/menit regular dengan isi
cukup, laju napas 24 x/menit, suhu badan 36.7 0C, saturasi 95-96% dengan simple
mask 6 lpm. Pemeriksaan fisik preoperatif didapatkan distensi vena jugular,ronki
basah halus minimal di basal kedua paru dan murmur. Pemeriksaan jalan napas
ditemukan buka mulut 3 jari, malampati 2 dan ekstensi leher maksimal. Hasil

2 Universitas Indonesia
pemeriksaan laboratorium dengan Anemia Hb 10,8 dan foto toraks menunjukan
Cardiomegali dengan awal bendungan paru. Hasil Echocardiografi dengan
Hipokinetik Segmental, Dilatasi LA, D-Shape, katup jantung TR moderate, MR
moderate, High probabilty of PH, fungsi Sistolik menurun EF : 50,8%, Fungsi
Sistolik RV baik ( Tapse : 18,1).

Pasien disimpulkan dengan ASA III dengan Valvular Heart Disease ec riwayat
Rheumatic Heart Disease dengan Post Mitral Valve Replacement 4 tahun lalu
dengan klinis FC IV, Ortopneu (+), Paroxymal Nocturnal Dyspneu (+), dan
Dypsneu on effort (+), dengan Echocardiografi dengan Hipokinetik Segmental,
Dilatasi LA, D-Shape, katup jantung TR moderate, MR moderate, High probabilty
of PH, fungsi Sistolik menurun EF : 50,8%, Fungsi Sistolik RV baik ( Tapse :
18,1), dengan terapi Candesartan 1 x 8 mg PO, Bisoprolol 1x 2,5 PO mg,
furosemid 1x40 mg dan Spironolakton 1x 25 mg PO, Anemia Hb 10,8, Obesitas
IMT 34,7 kg/m2, Stop Bang Score 2, Low Risk OSA dan tanpa penyulit jalan
nafas.

Pasien kemudian dianjurkan untuk melakukan pedoman puasa perioperatif.


Pemasangan akses vena perifer nomor 20 G terpasang di tangan kiri sejak di
ruangan sebelum di antar ke kamar operasi gawat darurat.

Intra-operatif

Pasien dilakukan pemasangan monitor yang terdiri dari EKG 3-lead continous
recording, pengukur tekanan darah non-invasif, pengukur suhu, pulse oksimetri,
Central venous Preasure dan Arterial blood Preasure. Pemasangan Central Venous
Catheter dilakukan pada Vena Jugular interna dextra dan Arterial line dipasang
pada arteri radialis kiri dengan infiltrasi Lidokain lokal pada jaringan kulit
diatasnya.

Penilaian pra induksi pada pasien menunjukkan kondisi compos mentis dengan
tekanan darah 136/70 mmHg, frekuensi nadi 105 x/menit, laju napas 23 x/menit,
suhu 36.7 0C, CVP 19 dan saturasi oksigen 95 % pada simple mask 6 lpm. Akses

3 Universitas Indonesia
vena perifer dan sentral dipastikan lancar. Komunikasi dengan operator untuk
bersiap dan dapat mulai insisi setelah pasien terintubasi.

Induksi dilakukan dengan tehnik Rapid Sequence Induction. Pasien dipasang NGT
No 16 pada hidung kanan dan NGT dialirkan. Pemberian obat antiemetik injeksi
intravena ondansentron 4 mg dan preoksigenasi diberikan sebelum induksi.
Preoksigenasi dengan fraksi oksigen 80% selama 3 menit melalui sungkup dengan
mempertahankan kesadaran pasien masih sadar penuh dan bernafas spontan
seperti biasanya .

Pembiusan dimulai dengan premedikasi menggunakan midazolam injeksi intra


vena 0.03 mg/kg, kemudian dilanjukan induksi anestesia dengan dimulai dengan
diberikan injeksi intravena fentanil 3 mcg/kg, ketamin 1 mg/kg, rocuronium 1,2
mg/kgbb dan volatil sevofluran titrasi sampai volume 1%. Setelah dipastikan
anestesia cukup dalam dan pasien berhenti nafas, kemudian pasien dilakukan
intubasi tanpa kesulitan dengan ETT no 7, fiiksasi ETT sejauh 20 cm dan ETT
disambungkan ke mesin ventilator. Pola pernapasan pasien diatur dengan
pemberian pressure control Pins 20, laju napas 20 x/menit, PEEP 5 cmH 2O, FiO2
60%, dengan volume tidal 6-7 mL/kg tercapai dengan target ETCO2 30-35. Paska
induksi dilakukan penilaian hemodinamik dengan tekanan darah 98/65 mmHg,
frekuensi nadi 101 x/menit, laju napas 20 x/menit, suhu 36,1 0C, CVP 17 dan
saturasi oksigen 98 % dengan ventilator. Prosedur operasi segera dimulai setelah
pasien terinduksi dan terintubasi.

Pemeliharaan anestesia intraoperatif dilakukan dengan teknik balanced


anesthesia menggunakan sevofluran 1 vol % dengan FiO 2 60 %, analgetik fentanil
1 mcg/kg dan rocuronium 0,2 mg/kgbb. Obat penunjang kardiovaskular
digunakan ketika memulai induksi hingga akhir operasi dengan dopamin 2,5-5
mcg/kgbb/menit, milrinone 0,2 mcg/kgbb/menit dan dobutamin 2-3
mcg/kgbb/menit. Setelah bayi lahir diberikan Oksitosin drip 20 unit dalam asering
500 ml dengan kecepatam 20 tetes per menit.

Pembiusan berlangsung selama 1 jam 30 menit dan operasi berlangsung selama 1


jam 15 menit, dengan total fentanil 300 mcg dan rokuronium 70 mg. Pendarahan
600 ml, cairan kristaloid masuk 300 ml dan urine output 2,2 ml/kgbb/jam. Obat-

4 Universitas Indonesia
obat lain yang diberikan antara lain ranitidin 50 mg dan asam traneksamat 1000
mg. Hemodinamik terakhir dengan tekanan darah 105/74 mmHg, frekuensi nadi
103 x/menit, laju napas 14 x/menit, suhu 36,10C, CVP 15 dan saturasi oksigen 98
% dengan ventilator. Pasien kemudian ditransfer ke ruang perawatan intensif
untuk dilakukan weaning ventilator dan pemantauan lebih lanjut.

Pasca-operatif

Hemodinamik stabil selama perawatan di ICU. Selama di ICU, ventilator masih


terpasang dengan mode PSIMV, pressure control Pins 12, laju napas 10 x/menit,
PEEP 6 cmH2O, FiO2 50% dengan volume tidal 6-7 mL/kg. Pasien diekstubasi
setelah 24 jam weaning ventilator. Milrinone dan dobutamine di titrasi hingga
berhenti 48 jam paska perawatan pasien. Pasien tetap mendapatkan furosemide
1x40 mg iv selama perawatan. Pasien dipindahkan ke ruangan di hari ke 3 pasca
operasi.

Pembahasan

Pada kehamilan terdapat beberapa perubahan hemodinamik terutama pada


trimester kedua dan ketiga. Perubahan yang terjadi berasal fungsi kardiovaskular,
ventilasi, hormonal hinggal hematologik. Curah jantung dapat meningkat
mencapai tingkat maksimum hingga 40 % pada usia kehamilan 20-32 minggu.
Perubahan tersebut akibat penigkatan volume sekuncup hingga 50% dan frekuensi
denyut jantung sekitar 20%.. Pada periode postpartum, curah jantung bisa
meningkat segera lebih dari 80% dari nilai prelabour akibat autotransfusi dari
kontraksi uterus.1

Peningkatan curah jantung dan volume plasma dikompensasi dengan penurunan


Pulmonary Vascular Resistance pada maternal akibat peningkatan produksi
progesteron, prostasiklin dan vasodilator nitric oxide yang menyebabkan relaksasi
otot polos pembuluh darah. Pada wanita hamil sehat, sirkulasi paru mengalami
vasodilatasi, untuk mengakomodasi perubahan hemodinamik , namun pada pasien
dengan hipertensi pulmonal , sirkulasi paru tidak mampu mentoleransi perubahan

5 Universitas Indonesia
tersebut. Resiko terjadinya dekompensasi fungsi otot jantung dapat muncul mulai
usia kehamilan 24 minggu, saat persalinan dan paska persalinan. Ventrikel kanan
dapat gagal meningkatkan curah jantung dan pasien mengalami dispnea, gagal
jantung, dan sinkop. Jika preload juga menurun, pasien dengan hipertensi arteri
pulmonalis mungkin mengalami kolaps kardiovaskular. Mekanisme lain yang
dapat menyebabkan kematian mendadak meliputi: aritmia, emboli paru atau
stroke akibat pirau intrakardiak.2

Pasien ini memiliki riwayat penyakit jantung rematik dan menjalani operasi
Mitral Valve Replacement sekitar 5 tahun lalu. Pasien teratur dalam konsumsi
obat namun sejak kehamilannya mencapai usia 24 minggu pasien tidak lagi
kontrol dan tidak minum obat karena merasa keluhan sesak membaik. Pada usia
kehamilan 31 minggu gejala sesak memberat dan cepat lelah. Manifestasi klinis
sesak pada pasien mulai muncul kembali terjadi karena peningkatan curah jantung
dan volume plasma pada maternal mulai mengalami peningkatan. Perubahan
tersebut mengakibatkan peningkatan venous return, preload dan aliran darah ke
pulmonal. Tekanan paru akan meningkat namun tidak dapat ditoleransi baik
dengan fungsi sistolik ejeksi fraction pada pasien yang menurun. Selain itu pasien
memiliki kelainan katup insufisiensi mitral akibat penyakit jantung rematik,
dimana sebagian stroke volume dapat regurgitasi kembali, menimbulkan beban
volume pada atrium kiri, aliran akan diteruskan ke vena paru dan mikrovaskulatur
paru-paru.

Regurgitasi mitral dapat meningkatkan beban volume berlebihan pada ventrikel


dan atrium kiri. Awalnya ventrikel dan atrium kiri akan kompensasi dilatasi untuk
meningkatkan fungsi diastolik dan sistolik untuk maksimalkan stroke volume,
namun bila proses tersebut terus berlangsung, fungsi diastolik dan sistolik akan
mengalami penurunan dan dekompensasi. Volume regurgitasi akan diteruskan
kembali ke vena pulmonal dan arteri pulmonal menimbulkan peningkatan tekanan
pulmonal dan gejala sesak pada pasien. Akumulasi cairan dan aliran darah
ventrikel jantung sisi kanan selain menyebabkan aliran balik ke atrium kanan,

6 Universitas Indonesia
juga akan menyebabkan pergeseran septum jantung ke kiri dan menyebabkan
gangguan pengisian ventrikel kiri sehingga dapat menurunkan curah jantung.
Tekanan tersebut meningkatkan beban kerja ventrikel kanan dan dapat
menyebabkan terjadi kegagalan biventrikular. Hasil echocardiografi pasien
menunjukan terdapat regurgitasi mitral moderate, regurgitasi trikuspid moderate,
dilatasi atrium kiri dan High probabilty of PH. Berdasarkan klinis, pemeriksaan
fisik dan penunjang, pasien sudah mengalami tahap dekompensasi dan
kemungkinan terjadinya hipertensi pulmonal. Namun pemeriksaan kateterisasi
jantung sebagai gold standard untuk pemeriksaan tekanan arteri pulmonal belum
dilakukan.3

Pasien memiliki lesi jantung akibat dari penyakit jantung rematik ataupun dari
komplikasinya meskipun sudah dioperasi. Prosedur mitral valve replacement atas
indikasi kemungkinan mitral stenosis atau regurgitasi belum diketahui secara jelas
karena pasien tidak dapat mengingat keterangan terperinci tentang operasi
tersebut. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang
menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, yang melibatkan katup dan
edokardium. Lesi terutama dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau
keduanya pada katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid,
dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.4

Klinis pasien dengan gejala klinis NYHA IV sehingga memerlukan pemantauan


monitoring yang khusus intraoperatif. Klasifikasi fungsional penyakit gagal
jantung yang dibuat oleh New York Heart Association (NYHA) telah dijadikan
acuan klinis pada kasus gagal jantung atau hipertensi pulmonal. Pemantauan
monitor standar berdasarkan ASA seperti Elektrokarfiografi berkelanjutan, pulse
oksimetri, pemantauan tekanan darah berkala dan EtCO2 akhir ekspirasi dapat
dianggap cukup pada kasus ringan FC I-II, namun pada kasus menengah sampai
berat dengan FC III-IV, hipertensi pulmonal dan disfungsi ventrikel kanan,
diperlukan pemantauan khusus seperti pengukuran tekanan darah arteri invasif
kontinu dan akses vena sentral untuk pengukuran tekanan atrial kanan, pengaturan
pemberian cairan dan jalur pemberian inotropik bila diperlukan. Analisis gas

7 Universitas Indonesia
darah intermiten juga terkadang diperlukan dari arteri. Sebaliknya, penggunaan
kateter arteri pulmoner masih diperdebatkan karena peningkatan risiko ruptur
arteri paru dan trombosis pada PH. Pada pasien ini dilakukan pemasangan
Central Venous Catheter jugular interna dekstra dan monitoring kontinyu dengan
arterial line intraoperasi.5

Hipertensi pulmonal adalah tekanan arteri pulmonalis rerata (mean pulmonary


artery pressure/mPAP) yang lebih dari 25 mmHg, dapat diakibatkan oleh
berbagai macam proses. Nilai 20 ≤ PAPm ≤ 24 mmHg disebut sebagai garis batas
PH. Tekanan arteri paru rata-rata pada orang sehat adalah 14 ± 3mmHg.
Hipertensi paru pada kehamilan jarang terjadi, dengan insidensi 0,7 per 100.000
kehamilan. Hipertensi pulmonal dalam kehamilan berhubungan dengan angka
kematian yang tinggi, yang sebelumnya ditemukan 30-50%. , tetapi menurun
dalam ulasan terbaru (16–25%). 6-7

Pada sebagian besar kasus, peningkatan tekanan paru adalah akibat dari penyakit
jantung kiri, yang menimbulkan efek tekanan balik pada vena dan diteruskan ke
arteri yang berakibat terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Perubahan
tersebut menyebabkan hipertrofi dan kegagalan ventrikel kanan. Selama
kehamilan, ibu hamil dengan kelainan katup, perubahan kardiovaskular dan paru
fisiologis beresiko dapat menimbulkan hipertensi pulmonal dan disfungsi
ventrikel kanan. Prosedur kateterisasi jantung kanan diperlukan untuk
menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal secara definitif dan digunakan untuk
evaluasi respon terhadap tatalaksana. Pada pasien ini belum dilakukan kateterisasi
jantung, namun dari klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang menunjukan
kemungkinan sudah terjadinya hipertensi pulmonal.8

Pemilihan teknik anestesi umum atau neuraxial keduanya dapat ditoleransi dengan
pada pasien regurgitasi mitral tergantung pada kondisi pasien. Teknik anestesi
regional menawarkan keuntungan karena tidak mengganggu pernapasan spontan
dan menghindari peningkatan tekanan paru, yang disebabkan oleh ventilasi
mekanis. Anestesi spinal tunggal dianjurkan dihindari pada hipertensi paru sedang
hingga berat, karena dapat menyebabkan gangguan hemodinamik yang

8 Universitas Indonesia
signifikan seperti penurunan SVR akut, preload dan hipotensi sehingga
kontraindikasi pada pasien hipertensi pulmonal.9

Tehnik regional epidural dapat dijadikan pilihan pada pasien hipertensi pulmonal.
Pemberian anestesi lokal dengan titrasi untuk menghindari penurunan yang
bermakna pada resistensi vascular sistemik, pengurangan perfusi koroner, dan
gagal jantung kanan. Pilihan lain kombinasi anestesi spinal-epidural juga dapat
memberikan blok sensorik yang lebih baik daripada anestesi epidural saja dan
tidak ada risiko hipotensi bila dosis spinal yang digunakan sangat rendah. 10

Kemampuan pasien untuk berbaring secara datar sering menjadi faktor penentu
untuk memutuskan pilihan antara anestesi regional dan umum (GA) untuk operasi
caesar. Anestesi epidural dapat dipertimbangkan pada pasien dengan klinis
NYHA I dan II, tetapi pada pasien NYHA kelas III dan IV, seperti pada kasus
pasien ini, klinis pasien merasa sesak bila tidur terlentang, pembiusan dengan
anestesi umum. mungkin merupakan pilihan terbaik.11

Beberapa laporan telah dipublikasikan anestesi umum memberikan hasil yang


baik. Namun, laporan lain telah melaporkan peningkatan tekanan arteri paru
diakibatkan laringoskopi dan intubasi trakea. Selain itu efek vasodilatasi sistemik
yang diinduksi agen anestesi dan ventilasi mekanis tekanan positif dapat
menyebabkan penurunan aliran balik vena sehingga tekanan arteri rata-rata
mengalami penurunan signifikan, pengurangan tekanan perfusi koroner dan secara
kritis mempengaruhi kontraktilitas ventrikel kanan.12

Prinsip tujuan hemodinamik manajemen anestesi pasien dengan regurgitasi mitral


dengan hipertensi pulmonal adalah dengan mengoptimalkan curah jantung dari
kedua ventrikel dan meminimalisirkan aliran regurgitasi. Tehnik yang dilakukan
dengan kombinasi menurunkan afterload dan mempertahankan frekuensi detak
jantung sedikit relatif tetap tinggi. Penurunan afterload bertujuan menurunkan
tekanan dan hambatan pada aliran ventrikel kiri sehingga dapat meningkatkan
efektifitas dari curah jantung. Peningkatan frekuensi denyut jantung dapat
menurunkan waktu diastolik, sehingga akan menurunkan interval dan volume dari
regurgitasi. Prinsip ini sangt penting pada pasien dengan tahap dekompensasi,
terutama pada tekanan pulmonal yang tinggi dan disfungsi ventrikel kanan. Selain

9 Universitas Indonesia
pengaturan dua parameter tersebut, pasien bergantung pada preload, sehingga
diperlukan pengaturan ketat kecukupan cairan euvolumia sesuai input dan output,
serta menghindarkan pemilihan penggunaan agen anestesia yang dapat depresi
kardiovaskular. Penurunan kontraktilitas ventrikel kanan, dapat menyebabkan
iskemia dan gagal jantung sisi kanan. Agen anestesi dapat mengakibatkan
penurunan SVR dan venous return secara akut. dimana dapat memperberat
disfungsi ventrikel kanan. Efedrin dapat dijadikan pilihan untuk menigkatkan
SVR dan juga menaikan frekuensi nadi, dibandingkan penggunaan fenilefrin yang
dapat menurunkan nadi dan memperburuk regurgitasi.13

Pasien diinduksi dengan menggunakan ketamin dan fentanyl dikombinasi dengan


volatil anestesi Sevofluran. Untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi,
rokuronium diberikan setelahnya sebagai relaksan. Obat ini memberikan onset
yang cepat untuk Rapid Sequence intubation dan tidak memiliki efek pelepas
histamin seperti atracurium, mivacurium dimana harus dihindari untuk pasien
dengan hipertensi paru, karena berpotensi meningkatkan resistensi paru dan
menurunkan SVR. Ketamin digunakan untuk menghasilkan hipnotik dam fentanyl
sebagai analgesia. Pemilihan agen Induksi dilakukan dengan menghindari obat
yang berpotensi depresi kardiovaskular langsung dengan menurunkan frekuensi
denyut dan kontraksi otot jantung seperti propofol. Selain itu propofol dapat
menurunkan SVR dengan dilatasi vena berpotensi menurunkan preload. Oleh
karena alasan tersebut propofol dihindari digunakan untuk induksi. Ketamin dapat
meningkatkan frekuensi dan kontraksi jantung sehingga dapat menjaga dan
meningkatkan curah jantung . Nadi dapat dipertahankan relatif meningkat
sehingga menurunkan waktu diastolik dan volume regurgitasi. Opioid fentanyl
memberikan efek analgesi yang kuat untuk mencegah nyeri dan efek yang
minimal pada kardiovaskular. Volatil anestesi sevofluran sebagai pemeliharaan
dengan konsentrasi dipertahankan tidak lebih dari 0,5 MAC. Konsentrasi alveolar
minimum menurun secara progresif selama masa kehamilan sekitar 40% namun
konsentrasi kembali normal pada hari ketiga pasca kelahiran. Penggunaan agen
inhalasi volatil juga perlu perhatian karena dapat menurunkan SVR dan memiliki
efek inotropik negatif. Teknik anestesi seimbang untuk pemeliharaan anestesi

10 Universitas Indonesia
dengan kombinasi opioid dan agen anestesi volatile dosis rendah dapat digunakan
sebagai pilihan.14-15

Vasokontriksi paru dapat terjadi akibat hipoksia , hiperkarbia dan asidosis.


Sehingga pemberian oksigen inspirasi harus diatur ke tingkat yang cukup tinggi
(FiO2 0,6-1,0) untuk meminimalkan risiko fase hipoksia, hiperventilasi dengan
target PaCO2 30-35mmHg) dan mencegah Ph turun dibawah 7,4 dengan
pemeriksaan analisis gas darah atau kapnografi berkala. Pertimbangan pemilihan
mode Ventilator harus bertujuan untuk menghindari ketiga hal tersebut. Ventilasi
dengan volume tidal rendah menggunakan level PEEP minimal dan peningkatan
laju pernapasan telah dianjurkan. Pola pernapasan pasien diatur dengan pemberian
pressure control Pins 20, laju napas 20 x/menit, PEEP 5 cmH 2O, FiO2 60%,
dengan volume tidal 6-7 mL/kg tercapai. dengan target ETCO2 30-35.16

Obat tambahan yang digunakan dalam operasi pasien adalah dopamin 2,5-5
mcg/kgbb/menit, milrinone 0,2 mcg/kgbb/menit dan dobutamin 2-3
mcg/kgbb/menit. Tujuan penggunaan obat tersebut untuk penunjang dari fungsi
kontraksi jantung pasien. Disfungsi ventrikel dan hipertensi pulmonal dapat
diatasi dengan pemberian inotropik positif seperti dopamin atau dobutamin dan
vasodilator pulmonal seperti milrinone. Dobutamine dapat mengurangi resistensi
pembuluh darah paru. Namun, takikardia yang terjadi pada dosis tinggi
khususnya sering kali membatasi terapi dan sehingga pemberian dobutamin hanya
direkomendasikan pada dosis ringan dan sedang pada hipertensi pulmonal. Agen
inotropik lain dengan efek agonistik β-1, seperti efedrin, atau epinefrin, lebih
disukai daripada sebagian besar α-1agonis, seperti fenilefrin, dalam kasus sistemik
hipotensi.17-18

Penggunaan oksitosin dapat menyebabkan hipotensi melalui vasodilatasi sistemik,


dan efek ini diperberat pada pasien yang dianestesi. hal ini dapat memperburuk
tekanan pulmonal dengan mengurangi aliran darah koroner kanan yang
menyebabkan kegagalan ventrikel kanan dan curah jantung yang rendah hinnga
menjadi tidak responsif terhadap volume atau dukungan inotropik. Meskipun
induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin dosis rendah dianggap aman,
ada laporan eksaserbasi PH primer dengan laju infus rendah. Ergometrine dapat

11 Universitas Indonesia
menyebabkan vasokonstriksi paru dan karenanya dikontraindikasikan dalam PH.
19

Periode post operatiif pasien regurgitasi mitral dengan kondisi sedang dan berat
memiliki resiko yang tinggi akibat toleransi kurang baik. Involus uterus pada post
partum dapat meningkatkan volume darah dan kardiak output. Pasien harus
diobservasi karena terdapat resiko pergeseran cairan intravaskular terjadi dan
menyebabkan terjadinya udema pulmonal. Resiko insufisiensi respirasi dan
aritmia sering terjadi, terutama pada pasien hipertensi pulmonal, riwayat penyakit
jantung koroner , pertimbangan perawatan ICU untuk pemantauan pasca operasi
diperlukan. Ketika pembiusan umum dilakukan pada kasus tersebut, ekstubasi
dini tidak memungkinkan dilakukan segera saat operasi selesai. Ventilator
penunjang dan pemantauan hemodinamik kontinyu paska operasi diperlukan atau
prosedur koreksi lesi menjadi pertimbangan rencana selanjutnya. Paska operasi
pasien dirawat di ICU selama 3 hari untuk observasi dan perawatan lanjutan
hingga hemodinamik dan keadaan umum stabil.

Kesimpulan
Prinsip manajemen Anestesi dan pengelolaan hemodinamik pada pasien
regurgitasi Mitral dengan hipertensi pumonal adalah mempertahankan preload,
mengindari peningkatan PVR, pertahankan SVR dan menghindari depresan
miokard serta juga mempertahankan kontraktilitas miokard dan Mempertahankan
irama sinus. Semua faktor tersebut dapat dkontrol oleh dokter anestesi dengan
mencegah pemberiaan cairan berlebihan diluar kebutuhan pasien, mencegah
nyeri, mempertahankan ventilasi adekuat serta mencegah pemakaian obat anestei
yang dapat depresi kardiovaskular.

12 Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
1. Bassily-Marcus AM, Yuan C, Oropello J, et al. Pulmonary hypertension in
pregnancy: critical care management. Pulmonary Medicine. 2012;2012:9.
2. Pieper PG, Lameijer H, Hoendermis ES. Pregnancy and pulmonary
hypertension. Best Practice and Research Clinical Obstetrics and Gynaecology.
2014;28(4):579-591.
3. Enriquez-Sarano M, Akins CW, Vahanian A. Mitral regurgitation. Lancet
2009;373:1382-94
4. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 1 Mei 2016].
5. C. Fox, P. L. Kalarickal, M. J. Yarborough, and J. Y. Jin, “Perioperative
management including new pharmacological vistas for patients with
pulmonary hypertension for noncardiac surgery,” Current Opinion in
Anaesthesiology, vol. 21, no. 4, pp. 467–472, 2008.
6. G. Blaise, D. Langleben, and B. Hubert, “Pulmonary arterial hypertension:
pathophysiology and anesthetic approach,” Anesthesiology, vol. 99, no. 6, pp.
1415–1432, 2003.
7. Bowdle TA, Horita A, Kharasch ED, editors. The Pharmacologic Basis of
Anaesthesiology: Basic Science and Practical Applications. New York:
Churchill Livingstone; 2002
8. Knight M, McClymont C, Fitzpatrick K, et al. On behalf of UKOSS. United
Kingdom Obstetric Surveillance System (UKOSS) Annual Report. National
Perinatal Epidemiology Unit 2012.
9. Viktorsdottir O. Pulmonary hypertension in pregnancy and anesthetic
implications. Current Anesthesiology Reports. 2015;5(1):82-90.
10. G. Kovacs, A. Berghold, S. Scheidl, and H. Olschewski, “Pulmonary arterial
pressure during rest and exercise in healthy subjects: a systematic review,”
European Respiratory Journal, vol. 34, no. 4, pp. 888–894, 2009.
11. Blaise G, Langleben D, Hubert B: Pulmonary arterial hypertension:
Pathophysiology and anesthetic approach. ANESTHESIOLOGY 2003;
99:1415–32
12. Fan SZ, Susetio L, Wang YP, Cheng YJ, Liu CC: Low dose of intrathecal
hyperbaric bupivacaine combined with epidural lidocaine for cesarean section:
A balance block technique. Anesth Analg 1994; 78:474–7

13 Universitas Indonesia
13. Enriquez-Sarano M, Avierinos JF, Messika-Zeitoun D, et al. Quantitative
determinants of the outcome of asymptomatic mitral regurgitation. N Engl J
Med. 2005;352:875-883.
14. C. D. Pritts and R. G. Pearl, “Anesthesia for patients with pulmonary
hypertension, ”Current Opinion in Anaesthesiology, vol. 23, no. 3, pp. 411–
416, 2010
15. L. C. Price, S. J. Wort, S. J. Finney, P. S. Marino, and S. J. Brett, “Pulmonary
vascular and right ventricular dysfunction in adult critical care: current and
emerging options for management, asystematic literature review, ”Critical
Care,vol. 14, no. 5, article 169, 2010.
16. Weitzel N. Perioperative management solutions for pulmonary hypertension.
An update and review. Available: www.ucdenver.edu/academics/colleges/
medicalschool. Accessed 25/04/2018.
17. C. D. Vizza, G. D. Rocca, D. A. Roma et al., “Acute hemodynamic effects of
inhaled nitric oxide, dobutamine and a combination of the two in patients with
mild to moderate secondary pulmonary hypertension,” Critical Care, vol. 5, no.
6, pp. 355–361, 2001
18. Lai HC, Lai HC, Lee WL, Wang KY, Ting CT, Liu TJ. Mitral regurgitation
complicates postoperative outcome of noncardiac surgery. Am Heart J.
2007;153:712-717.

14 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai