KASUS I
DISUSUN OLEH :
NIM : G1B117004
UNIVERSITAS JAMBI
2020
KASUS TUTOR 1
Tn. D usia 54 tahun dirawat di ICU karena mengalami penurunan kesadaran pada
saat dilakukan Haemodialisa. Riwayat kesehatan saat ini. Tampak selang
nefrostomi kiri dan kanan. 3 Bulan sebelum masur rumah sakit pasien mengalami
nyeri pinggang kiri dan kanan. Nyeri hilang timbul dan panas badan. Terdapat
nyeri pada saat BAK, BAK panas dan keruh. Pasien merasa mual dan lemah.
Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 2 tahun yang lalu dan pasien disarankan
untuk operasi, namun pasien menolak. 6 hari SMRS pasien dirujuk ke RS Santosa
untuk dilakukan HD. Pada saat dilakukan HD pasien mengalami penurunan
kesadaran, sesak, dan batuk. Riwayat kesehatan dahulu pasien memilii penakit
hipertensi sejak 5 tahun lalu namun tidak pernah dikontrol. Klien terpasang alat
bantu nafas ventilator dengan mode SIMV PS yang disetting dengan FiO2 80%,
Peep 5, , RR 10 x/m, Peak pressure dalam rentang 13-18, tidal volume dalam
rentang 315-500, SaO2 dalam rentamg 97-100%. Tidak tampak adanya retraksi
interkostal. perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah (crackles) pada
bagian kiri bawah. Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5 cmH20 , TD :
150/100 mmHg, Nadi teraba lemah dan cepat 112 x/m. akral terlihat pucat, CRT <
2’, terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah +/+ dengan grade 3,
konjungtiva anemis. TD sistolik dalam rentang 105-155 mmHg, MAP dalam
rentang 55-110 mmHg, dan diastolic dalam rentang 80-100 mmHg. Hasil
pemeriksaan AGD pH : 7,44, PaO2 : 80, HCO3 : 21, PCO2 : 30
Lo :
Jawab :
1. Jika VC adalah bantuan penuh maka SIMV adalah bantuan sebagian dengan
targetnya volume. SIMV memberikan bantuan ketika usaha nafas spontan
pasien mentriger mesin ventilator. Tapi jika usaha nafas tidak sanggup
mentriger mesin, maka ventilator akan memberikan bantuan sesuai dengan
jumlah frekwensi yang sudah diatur.
2. Nefrostomi adalah prosedur yang dilakukan untuk mengalirkan urine
langsung dari ginjal melalui kateter. Tindakan ini dilakukan bila terdapat
sumbatan pada ureter, yang semestinya berfungsi mengalirkan urine dari
ginjal ke kandung kemih. Nefrostomi umumnya dilakukan ketika terjadi
sumbatan urine akibat infeksi saluran kemih, batu ginjal, tumor, atau kelainan
anatomis, cedera fisik, peradangan, dan kanker yang menyebabkan kerusakan
atau kebocoran pada ureter. Selain itu, nefrostomi juga bisa dipergunakan
sebagai jalur untuk membantu prosedur medis lainnya, baik untuk tujuan
diagnosis maupun terapi.
3. FiO2 adalah jumlah oksigen yg dihantarkan/diberikan oleh ventilator ke
pasien. Konsentrasi berkisar 21-100%. Rekomendasi untuk setting FiO2 pada
awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak
boleh terlalu lama sebab rersiko oxygen toxicity (keracunan oksigen) akan
meningkat. Sedangkan PEEP meningkatkan kapasitas residu fungsional paru
dan sangat penting untuk meningkatkan PaO2 yg refrakter. Nilai PEEP selalu
dimulai dari 5 cmH2O. Setiap perubahan pada PEEP harus berdasarkan
analisa gas darah, toleransi dari PEEP, kebutuhan FiO2 dan respon
kardiovaskular. Jika PaO2 masih rendah sedangkan FiO2 sudah 60% maka
PEEP merupakan pilihan utama sampai nilai 15 cmH2O
4. CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga
ujungnya berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP
disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS). Tekanan vena sentral secara
langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak langsung
menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada
akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral
adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai
normal CVP adalah 4 – 10 mmHg. Perawat harus memperhatikan perihal
yaitu mengadakan persiapan alat – alat, pemasangan manometer pada
standard infus, menentukan titik nol, memasang cairan infus, fiksas,
fisioterapi dan mobilisasi
5. Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah dan dialisa = pemisahan zat-zat
terlarut. Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan
untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara
akut atau secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
Untuk melakukan hemodialisa, prosesnya akan dibantu menggunakan mesin
canggih dan khusus untuk menggantikan ginjal yang rusak agar tubuh bisa
menyaring darah. Mesin ini berperan sebagai ginjal artifisial (ginjal buatan)
yang dapat menyingkirkan zat-zat kotor, garam, serta air berlebih yang ada di
dalam darah pengidap. Dalam proses ini, pembuluh darah pasien akan
dimasukkan jarum oleh petugas medis. Tindakan ini bertujuan untuk
menghubungkan aliran darah tubuh pasien ke mesin pencuci darah. Setelah
itu, darah kotor akan disaring dalam mesin pencuci darah. Setelah proses
penyaringan usai, selanjutnya darah yang bersih akan dialirkan ke dalam
tubuh pasien. Cuci darah dengan menggunakan metode hemodialisa
menghabiskan waktu sekitar empat jam per sesi. Dalam seminggu, pengidap
perlu menjalani setidaknya 3 sesi dan hanya bisa dilakukan di klinik cuci
darah atau rumah sakit.
6. Retraksi interkostal menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menghalangi atau
mempersempit jalan napas Anda. Asma, pneumonia, dan penyakit pernapasan
lainnya dapat menyebabkan penyumbatan. Untuk mengatasi retraksi
interkostal, sangat disarankan bagi Anda untuk segera mencari pertolongan
di rumah sakit terdekat. Langkah pertama dalam mengatasi retraksi
interkostal adalah dengan mengamankan jalan napas. Kemudian Anda
mungkin akan menggunakan oksigen tambahan atau obat-obatan untuk
melancarkan pernapasan. Retraksi interkostal biasanya ditangani
berdasarkan penyebab yang mendasarinya. Jika retraksi interkostal
disebabkan oleh sumbatan, maka satu-satunya cara adalah dengan
membebaskan sumbatan tersebut. Jika retraksi interkostal disebabkan oleh
penyakit seperti pneumonia, asma, bronkiolitis, croup atau reaksi anafilaksis,
maka penanganan harus berdasarkan penyakit yang mendasarinya.
7. Infiltrat merupakan gambaran radiologi paru yang abnormal, yang berbentuk
titik-titik atau bercak dengan batas tidak tegas. Infiltrat menggambarkan
proses peradangan paru yang aktif.
8. Lasix/Furosemix adalah diuretik loop atau pil air yang mencegah tubuh Anda
untuk menyerap banyak garam, sehingga garam tidak akan lewat untuk
dibuang ke urine. Obat Lasix/Furosemide adalah obat yang biasanya
digunakan untuk para penderita edema. Furosemide bekerja dengan cara
menghalangi penyerapan natrium di dalam sel-sel tubulus ginjal dan
meningkatkan jumlah urine yang dihasilkan oleh tubuh. Obat ini tersedia
dalam bentuk tablet dan suntik. Penggunaan furosemide berpotensi
menyebabkan sejumlah efek samping, yaitu pusing, vertigo, mual dan
muntah, diare, penglihatan buram, sembelit.
9. Meropenem adalah antibiotik yang digunakan untuk menangani berbagai
kondisi yang diderita akibat adanya infeksi bakteri. Obat ini bekerja dengan
cara mencegah pertumbuhan bakteri dan membunuh penyebab infeksi
tersebut. Pemberian morepenem dilakukan oleh petugas medis atas anjuran
dokter. Obat ini diberikan melalui suntikkan ke pembuluh darah vena.
Umumnya, pemberian obat dilakukan tiap 8 jam. Dosis yang diberikan akan
disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan respons tubuh pasien terhadap
obat. Pada anak-anak, berat badan menjadi salah satu tolak ukur dokter dalam
menentukan dosis morepenem.
10. Midazolam adalah obat golongan benzodiazepine yang diberikan sebelum
operasi, untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh menjadi
rileks, serta menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri. Obat ini
bekerja dengan cara memperlambat kerja otak dan sistem saraf. beberapa
kegunaaan midazolam yaitu sebagai obat bius atau anestesi bagi pasien yang
akan menjalani operasi, menurunkan kesadaran, memberikan rasa kantuk atau
efek yang menenangkan (sedatif) bagi pasien yang menggunakan alat bantu
pernapasan di unit perawatan intensif.
11. Peak inspiratory pressure (PIP) adalah tingkat tekanan tertinggi yang
diterapkan ke paru-paru selama penghirupan. Dalam ventilasi mekanis, angka
tersebut mencerminkan tekanan positif dalam sentimeter tekanan air
(cmH2O). Pada pernapasan normal, terkadang disebut sebagai tekanan
inspirasi maksimal (MIPO), yang merupakan nilai negatif.
STEP 2 (IDENTIFIKASI MASALAH )
1. LO STEP 2
1) Nomor 2: Fisiologi terjadinya penurunan kesadaran dengan tindakan
hemodialisa
Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat
kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing
merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
a. Disfungsi otak difus
1) Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas
neuronal.
2) Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik
atau oleh pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat
subseluler atau molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang
tersebar.
3) Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada
kerusakan thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya
impuls talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa
karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau
perdarahan otak bilateral).
4) Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas
metabolik sel-sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak
seperti meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang
bisa terjadi pada kasus henti jantung.
5) Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara
dengan penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.
b. Efek langsung pada batang otak
1) Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang
merusak/menghambat reticular activating system.
2) Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau
midbrain di mana neuron-neuron ARAS terlibat langsung.
c. Efek kompresi pada batang otak
1) Kausa kompresi primer atau sekunder
2) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah.
3) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau
perdarahan intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi
ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia
alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini
mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma
karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur tengah
bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang
berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih
meluas di seluruh hemisfer.
4) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan
area retikular batang otak atas dan menggesernya maju ke depan
dan ke atas.
5) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang
terkait lesi seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.
2) Nomor 3: Sebutkan masalah keperawatan pada kasus
A. Pengkajian
1. Biodata
Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Umur : 54 Tahun
Ruangan : ICU
Dx. Medis : Gagal Ginjal Kronik
Identitas Penanggung Jawab : Tidak terkaji
2. Keluhan Utama : Klien mengalami penurunan kesadaran pada saat
haemodialisa
3. Riwayat Kesehatan Sekarang : Klien terpasang selang nefrostomi kiri dan
kanan. Klien terpasang alat bantu nafas ventilator dengan mode SIMV PS
yang disetting dengan FiO2 80%, Peep 5, , RR 10 x/m, Peak pressure
dalam rentang 13-18, tidal volume dalam rentang 315-500, SaO2 dalam
rentamg 97- 100%. Tidak tampak adanya retraksi interkostal. perkusi
redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah (crackles) pada bagian kiri
bawah. Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5 cmH20 dan klien
terpasang NGT
4. Riwayat Kesehatan Masa Lalu : Klien memiliki riwayat penyakit hipertensi
5 tahun yang lalu tetapi tidak pernah dikontrol. 6 hari SMRS klien dirujuk
ke RS Santosa untuk dilakukan HD. Pada saat dilakukan HD klien
mengalami penurunan kesadaran, sesak, dan batuk. 3 Bulan sebelum masur
rumah sakit klien mengalami nyeri pinggang kiri dan kanan. Nyeri hilang
timbul dan panas badan. Terdapat nyeri pada saat BAK, BAK panas dan
keruh. Klien merasa mual dan lemah. Keluhan ini sudah dirasakan pasien
sejak 2 tahun yang lalu dan pasien disarankan untuk operasi, namun pasien
menolak.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga : Tidak Terkaji
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Klien mengalami penurunan kesadaran
b. TTV :
Nadi : 112 x/ menit
RR : 10 x/menit
TD : 150/100
c. Pemeriksaan Head to Toe
- Kepala :
Mata : konjungtiva anemis
Mulut dan faring : Klien terpasang NGT
- Pemeriksaan Thorax dan Paru: Klien terpasang alat bantu nafas
ventilator dengan mode SIMV PS. Tidak tampak adanya retraksi
interkostal. perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah
(crackles) pada bagian kiri bawah. Klien terpasang CVP dengan
tekanan 12.5 cmH20.
- Pemeriksaan Jantung : Nadi teraba lemah dan cepat, MAP dalam
rentang 55 – 110 mmHg, Sistolik dalam Rentang 105- 155 mmHg,
dan Diastolic dalam rentang 80-100 mmHg
- Pemeriksaan Integumen : CRT < 2
- Ekstremitas : Terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah +/+
grade 3.
7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
Pemeriksaan AGD :
- pH 7,44 (Normal)
- PaO2 80 (Normal)
- HCO3 21 (Menurun)
- PCO2 30 (Menurun)
- SaO2 97 – 100%
(Normal)
Analisa Data
DO :
1. Terdapat edema pada
ekstremitas atas dan bawah
dengan grade 3
2. TD : 150/100
3. Hasil foto thorax terdapat
efusi pleura pada paru kiri
4. Pekusi redup
5. Diberikan terapi lasik 20
mg/jam
3 DS : Prosedur Invasif Resiko Infeksi
DO :
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan gangguan mekanisme regulasi
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor ventilator
pertukaran keperawatan selama 1 x 24 2. Setting ventilator
jam diharapkan gangguan dengan kemampuan
gas pertukaran gas dapat pernafasan pasien
teratasi kriteria hasil : 3. Pantau analisa gas
darah
1. Adanya tanda
4. Meningkatkan
ventilasi da
frekuensi nafas
oksigenasi yang
5. Sesuaikan dengan
adekuat
mask yang di pakai
2. Agd dalam rentang
6. Auskultasi suara
normal
nafas, catat adanya suara
3. TTV dalam rentang
nafas tambahan
normal
7. Auskultasi suara paru
setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
8. Kolaborasi
pemasangan cest
cube/wsd
2 Kelebihan Setelah dilakukan tindakan 1. Catat intake dan output
Volume keperawatan selama 2x24 cairan
Cairan jam diharapkan volume 2. Monitor status
cairan seimbang dengan hemodinamik termasuk
Penumpuk
kriteria hasil : CVP, MAP
an natrium
3. Monitor tanda-tanda vital
1. Terbebas dari edema,
Treatment 4. Monitor status nutrisi
efusi pleura
kelebihan 5. Monitor status cairan dan
2. Bunyi nafas bersih
volume elektrolit
tidak ada dyspnea
cairan dgn 6. Pasang kateter urin bila
3. TTV dalam rentang
ggk diperlukan
normal
7. Kolaborasi dengan dokter
pemberian diuretic sesuai
indikasi
3 Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihkan lingkungan
Infeksi keperawatan selama 3 x 24 setelah dipakai pasien lain
jam diharapkan resiko 2. Pertahankan teknik isolasi
Dimana,
infeksi teratasi dengan 3. Batasi pengunjung
lebih
kriteria hasil : 4. Instruksikan pada
spesifik
pengunjung untuk
1. Klien bebas dari tanda
Oral mencuci tangan saat
dan gejala infeksi
hygine berkunjung dan setelah
2. Menunjukkan perilaku
berkunjung meninggalkan
hidup sehat
pasien
5. Gunakan sabun
antimikroba untuk cuci
tangan
6. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
7. Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
8. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
9. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
10. Berikan terapi antibiotik
bila perlu untuk proteksi
terhadap infeksi
2) Prinsip-prinsip penatalaksanaan ventilasi mekanik.
a. Ada 3 golongan Ventilator :
1. Ventilator Tekanan Negative
Bekerja dengan cara membuat lingkungan bertekanan negative di
sekeliling dada, sehingga udara dapat masuk kedalam paru-paru.
2. Ventilator Tekanan Positive
Bekerja dengan cara membuat tekanan positive kedalam jalan
nafas, sehingga udara dapat masuk kedalam paru-paru.
3. Extra Corporeal Membrane Oxygenation.
b. Tujuan Bantuan nafas dengan Ventilator:
1. Mengurangi kerja pernafasan.
2. Memperbaiki ventilasi alveolar.
3. Memberikan oksigenasi adekuat.
c. Indikasi Bantuan nafas dengan Ventilator:
1. Gangguan Ventilasi
a) Gangguan fungsi otot pernafasan (kelelahan, gangguan dinding
dada).
b) Penyakit Neuromuskuler.
c) Ventilatory drive menurun.
d) Obstruksi atau airway resistence meningkat.
2. Gangguan Oksigenasi
a) Hypoxemia berulang.
b) Perlu pemberian PEEP.
c) Kerja pernafasan berat.
3. Indikasi lain
a) Mencegah atelectase.
b) Menurunkan TIK ( ICP ).
c) Menurunkan kebutuhan oksigen ( systemic atau myocardial ).
d) Penggunaan muscle relaxant dan sedasi.
d. Mode pada ventilator mekanik
1. Controlled Mechanical Ventilation
Pernafasan pasien diatur sepenuhnya oleh ventilator, tergantung
frekuensi yang ditetapkan. Digunakan pada pasien yang tidak dapat
bernafas spontan dan diberikan Trigger of sensitivity = - 20
cmH2O, sehingga pasien tidak dapat membuka katup inspirasi pada
ventilator. Pada umumnya diberi muscle relaxant dan sedasi.
2. Assist Controle Ventilation
Bantuan nafas diberikan atas dasar pacuan nafas pasien. Trigger of
sensitivity = - 2 cmH2O.
3. Intermittent Mandatory Ventilation.
IMV merupakan campuran antara nafas spontan pasien dan control
ventilator. Ventilator memberikan bantuan inspirasi sesuai dengan
frekuensi yang ditetapkan pada selang waktu tertentu, diluar itu
pasien masih dapat bernafas sendiri, sehingga dapat terjadi
tabrakkan antara pernafasan pasien dan pernafasan dari ventilator.
Trigger of sensitivity = - 2 cmH2O. Frekuensi nafas ventilator
harus lebih rendah dari frekuensi nafas spontan pasien.
4. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation.
SIMV berbeda dari IMV karena mandatory breath was
synchronized. Ventilator memberikan bantuan inspirasi sesuai
dengan frekuensi nafas yang ditetapkan, tetapi bantuan inspirasi
jatuh tepat pada saat pasien memulai usaha nafas spontan. SIMV
frequency dimulai dari 10 breaths/min, respiratory rate pasien
sesuai kemampuan (mis: 20 x/min). Trigger of sensitivity = - 2
cmH2O.
5. SIMV + Pressure Support.
Ventilator bekerja untuk SIMV dengan volume cycle sedangkan
untuk PS dengan pressure cycle. Di mulai dengan PS = 15 cmH2O
( pressure limit = 15 cmH2O ). SIMV disini sebagai back up, bila
dengan PS terjadi apnea.
6. Continuous Positive Airway Pressure.
Pasien bernafas spontan, tetapi ventilator memberikan bantuan
tekanan positive yang kontinyu sepanjang siklus respirasi. Tekanan
positive yang diberikan antara 2 – 7 cmH2O, tekanan yang terlalu
tinggi akan mengganggu venous return. CPAP dapat meningkatkan
FRC dan memperbaiki oksigenasi.
e. Variasi pada Ventilator.
1. Sigh function ( nafas dalam ).
Diberikan untuk mencegah collapse alveoli. Besarnya 1,5 – 2 kali
TV normal, frekuensi diatur berapa kali perjam.
2. Positive End Expiratory Pressure.
a) Ventilator memberikan tekanan positive pada akhir ekspirasi.
PEEP fisiologis:
Pediatrik = 2 – 3 cm H2O
Dewasa = 3 – 5 cm H2O.
Pada umumnya PEEP dinaikkan antara 5 – 15 cmH2O, untuk
memperbaiki oksigenasi.
b) Pemberian PEEP awal sebesar 5 cm H2O dan dititrasi secara
bertahap 2-3 cm H2O. Pengaruh pemberian PEEP tidak akan
terlihat dalam waktu beberapa jam. Monitor blood pressure,
heart rate dan PaO2 selama pemberian PEEP secara titrasi dan
pada interval waktu tertentu selama terapi pemberian PEEP.
c) Efek samping penggunaan PEEP:
1) Barotrauma.
2) Hipotensi dan penurunan cardiac output
3) Peningkatan PaCO2.
4) Oksigenasi memburuk
3. Inspiratory Pause.
Selesai phase inspirasi, ventilator dapat menahan aliran gas di
dalam paru-paru selama beberapa saat untuk memberi kesempatan
difusi oksigen dari alveoli kedalam kapiler.
4. Inspiratory Time dan I : E ratio.
Inspiratory time adalah waktu yang dibutuhkan oleh aliran gas dari
ventilator untuk masuk kedalam paru-paru. Expiratory time adalah
waktu yang diperlukan oleh aliran gas untuk keluar dari paru-paru,
yang dimulai pada akhir inspirasi sampai inspirasi berikutnya.
Waktu inspirasi lebih pendek dari waktu ekspirasi ( I : E ratio = 1:
2 ), bila sebaliknya disebut I : E ratio terbalik. Bila I : E ratio
terbalik terlalu besar akan terjadi : retensi CO2, venous return
terganggu, barotrauma. Inspiratory time normal = 0,3 – 1,5 detik,
dengan rata-rata = 0,75 detik. Siklus respirasi terdiri dari :
inspiratory time + inspiratory pause + expiratory time I : E ratio
= ( Ti + Tp ) : Te.
5. Peak Inspiratory Pressure.
Nilai normal:
Pediatrik = 12 – 18 cmH2O
Dewasa = 25 – 35 cmH2O.
6. Respiratory Rate.
Usia: < 2 tahun = 20 – 25 breaths/min.
2 – 10 tahun = 15 – 20 breaths/min.
> 10 tahun = 10 – 15 breaths/min.
7. Minute Volume and Tidal Volume.
Minute Volume = TV x RR.
Tidal Volume : Pediatrik = 7 – 8 ml/kg
Dewasa = 9 –10 ml/kg.
Dead space volume = 2 ml/kg.
Compressible Volume adalah volume gas dari ventilator yang
berada pada pipa penyalur, yang tidak ikut dalam pertukaran gas.
Besarnya 1 – 2 ml/cm H2O pada pediatric dan 2 – 4 ml/cmH2O
pada dewasa (pertekanan tekanan gas inspirasi). Agar ventilasi
alveolar adekuat, maka tidal volume minimal = 15 – 20 ml/kg
( TV pasien + dead space volume + compressible volume ).
7. Inspiratory Fraction of Oxygen ( FiO2 ).
Awal berikan 100 %, secepatnya turunkan jadi < 50%.
8. Flow Rate.
Batas aliran gas terendah adalah 2 kali minute ventilation.
Sebagian
besar ventilator bayi dapat bekerja dengan flow rate gasses 4 – 10
L/min. Maka pada flow cycle diberikan flow = 2 –3 L/kg
STEP VI (KONSEP TEORI)
A. GAGAL GINJAL KRONIK
1. Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi
struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal
tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi
regulasinya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk
dalam cairan tubuh akibat gangguan eksresi renal dan menyebabkan
gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam-
basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir
yang umum dari berbagai peyakit urinary tract dan ginjal (Arif Muttaqin,
2011)
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner and
Suddart, 2002)
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan
filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau pertanda kerusakan
gagal ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosis penyakit gagal ginjal kronis ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerolus kurang dari 60ml/menit/1,73 m2 (National Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative dikutip dari Arora. 2009)
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang progresif yang berakibat
fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau
transplantasi ginjal) (Nursalam dan Fransisca B.B. 2009)
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi sesuai dengan test kreatinin klien,maka GGK dapat terbagi
menjadi:
100 – 76 ml/mnt disebut insufiensi ginjal berkurang
75 – 26 ml/mnt disebut insufiensi ginjal kronik
25 – 5 ml/mnt disebut GGK
<5ml/mnt disebut gagal ginjal terminal
Derajat Primer LFG (%) Sekunder Kreatinin (mg%)
A Normal Normal
B 50-80 Normal-2,4
C 20-50 2,5-4,9
D 10-20 5-7,9
E 5-10 8-12
F <5 >12
80
70
60
50
40
30
20
10
0
15-29 30-59 60-89 90+
Estimated GFR (ml/min/1.73 m2)
Klasifikasi atas dasar diagnosis dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
– Penyakit ginjal diabetis seperti penyakit diabetes tipe 1 dan tipe 2,
– Penyakit ginjal nondiabetis seperti penyakit glomerular, penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi dan mikroangiopati), penyakit
tubulointerstitial (infeksi saluran kemih, batu obstruksi dan toksisitas obat),
penyakit kistik
– Penyakit pada transplantasi seperti penyakit rejeksi kronis, keracunan obat,
penyakit recurren, transplantasi glomerulopathy (Suhardjono, 2003 dikutip dari
Susalit). Krause (2009) menambahkan bahwa penyebab dari gagal ginjal
kronik sangat beragam. Pengetahuan akan penyebab yang mendasari penyakit
penting diketahui karena akan menjadi dasar dalam pilihan pengobatan yang
diberikan. Penyebab gagal ginjal tersebut diantaranya meliputi :
a. Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta anak-
anak adalah glomerulonefritis dan nefritis interstitial.
b. Infeksi kronik dari traktus urinarius (menjadi penyebab semua golongan
usia).
c. Gagal ginjal kronik dapat pula dialami ana-anak yang menderita kelainan
kongenital seperti hidronefrosis kronik yang mengakibatkan bendungan
pada aliran air kemih atau air kemih mengalir kembali dari kandung
kemih.
d. Adanya kelainan kongenital pada ginjal.
e. Nefropati herediter.
f. Nefropati diabetes dan hipertensi umumnya menjadi penyebab pada usia
dewasa.
g. Penyakit polisistik, kelainan pembuluh darah ginjal dan nefropati
analgesik tergolong penyebab yang sering pula.
h. Pada beberapa daerah, gangguan ginjal terkait dengan HIV menjadi
penyebab yang lebih sering.
i. Penyakit yang tertentu seperti glomerulonefritis pada penderita
transplantasi ginjal. Tindakan dialisis merupakan pilihan yang tepat pada
kondisi ini.
j. Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat
imunosupresif ringan sampai sedang karena menjalani transplantasi
ginjal. Obat imunosupresif selama periode atau masa transisi setelah
transplantasi ginjal yang diberikan untuk mencegah penolakan tubuh
terhadap organ ginjal yang dicangkokkan menyebabkan pasien beresiko
menderita infeksi, termasuk infeksi virus seperti herpes zoster.
3. EPIDEMIOLOGI
Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika Serikat
prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25% setiap
tahunnya. Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir meningkat rata-
rata 6,5 % setiap tahun (Canadian Institute for Health Information (CIHI), 2005),
dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008).
Sedangkan di Indonesia prevalensi penderita gagal ginjal hingga kini belum ada
yang akurat karena belum ada data yang lengkap mengenai jumlah penderita
gagal ginjal kronis di Indonesia. Tetapi diperkirakan, bahwa jumlah penderita
gagal ginjal di Indonesia semakin meningkat. WHO memperkirakan di
Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995-
2025 sebesar 41,4%. Berdasarkan data dari Yayasan Ginjal Diatras Indonesia
(YGDI) RSU AU Halim Jakarta pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 orang
lebih penderita gagal ginjal di Indonesia.
4. PATOFISIOLOGI (terlampir)
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal.
Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea
darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling
sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi
cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan
ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan
cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan
sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan
garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan
diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam
organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan
produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina
dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi
anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang
diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan
sel darah merah.
Pathway (Terlampir)
5. ETIOLOGI
Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal kronis
bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal (Arif Muttaqin, 2011) :
1. Penyakit dari Ginjal
Glomerulonefritis
Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
Batu ginjal: nefrolitiasis
Kista di Ginjal: polcystis kidney
Trauma langsung pada ginjal
Keganasan pada ginjal
Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/struktur.
Penyakit tubulus primer: hiperkalemia primer, hipokalemia kronik,
keracunan logam berat seperti tembaga, dan kadmium.
Penyakit vaskuler: iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis arteri
ginjal, hipertensi maligna atau hipertensi aksekrasi.
Obstruksi: batu ginjal, fobratis retroperi toneal, pembesaran prostat
striktur uretra, dan tumor.
Menurut David Rubenstein dkk. (2007), penyebab GGK diantaranya:
Penyakit ginjal herediter, Penyakit ginjal polikistik, dan Sindrom Alport
(terkait kromosom X ditandai dengan penipisan dan pemisahan
membrane basal glomerulus)
6. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus
atau hipertensi, obesitas , perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan dengan
riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga. (National Kidney Foundation, 2009)
7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala menurut (Long,1996 : 369)
Gejala dini : lethargi,sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang,mudah tersinggung, depresi
Gejala yg lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah,nafas dangkal
Gejala berdasarkan organ yang terkena, antara lain:
1. Kardiovaskuler: Hipertensi,nyeri dada, gagal jantung kongesti, edema
pulmoner,perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema
periorbital, friction rub pericardial, pembesaran vena leher (peningkatan
JVP)
2. Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, pucat,kulit kering bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, dan pernafasan
kussmaul
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau
ammonia, Ulserasi,perdarahan mulut, konstipasi, diare, perdarahan saluran
cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, keletihan, perubahan
tingkat kesadaran, disorientasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki,
perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal : Keram otot, kekuatan otot hilang, pegal kaki sehingga
selalu digerakkan (kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki),
tremor, miopati (kelemahan dan hipertrofi otot-otot ekstremitas)
7. Endokrin: gangguan seksualitas, libido fertilisasi dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa, lemak dan
vitamin D
8. Persendian : Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang
9. Kelainan mata : Azotemia ameurosis, retinopati, nistagmus, miosis dan
pupil asimetris, red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi,
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronis
akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
10. Sistem hematologi : Kelainan hemopoeisis, Anemia normokrom normositer
dan normositer (MCV 78-94 CU), Kelelahan dan lemah karena anemia atau
akumulasi substansi buangan dalam tubuh. Perdarahan karena mekanisme
pembekuan darah yang tidak berfungsi. Selain itu hemopoesis dapat terjadi
karena berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis, defisiensi besi
11. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa: Biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis,
hiperkalemia, hipomagnesia, hipokalsemia
12. Farmakologi : Obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal
13. Gejala lain : Gangguan pengecapan, berat badan turun dan lesu, gatal-gatal,
gangguan tidur, cairan diselaput jantung dan paru-paru, otot-otot mengecil,
Gerakan-gerakan tak terkendali, kram, Sesak nafas dan confusion,
Perubahan berkemih : Poliuria, nokturia, oliguria
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKA
Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia
Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein
Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir. Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
Protein albumin : menurun
Natrium serum: rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari tergantung berapa
banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.
Kalium, magnesium : meningkat
Kalsium : menurun
Pemeriksaan Urin
Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin
(anuria)
Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat
yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak,
fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin.
Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
Klirens kreatinin : mungkin menurun.
Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
9. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan
cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal
dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan
kerja ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang
tinggi (uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit.4)Mencegah atau mengurangi progresifitas gagal ginjal,
dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus (Almatsier,
2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi,
diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Karbohidrat cukup, yaitu :
kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari protein dan
lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria,
atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium
dibatasi (60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5
mEq), oliguria, atau anuria.
Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. Energi cukup
yaitu 35 kkal/kg BB.
Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan
dibatasi yaitu sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan (±500 ml).
Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat,
vitamin C, vitamin D.
b. Terapi Simtomatik
Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan
yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau
operasi subtotal paratiroidektomi.
Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari
kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal .
Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan
membantu penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat
terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu
kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Terdapat dua teknik
yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan atau produk limbah karena dalam tubuh
penderita gagal ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut
(Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin (2000), hemodialisis
adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa
darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk kedalam
sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan
dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa
shunt (AV-shunt). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat
untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal.
Terapi Obat
hindari antacids or laxatives àmagnesium to prevent magnesium
toxicity.
antipruritics, such as diphenhydramine (Benadryl)
vitamin supplements (particularly B vitamins and vitamin D)
loop diuretics, such as furosemide (if some renal function remains),
along with fluid restriction to reduce fluid retention
digoxin (Lanoxin) to mobilize edema fluids
antihypertensives to control blood pressure and associated edema
antiemetics taken before meals to relieve nausea and vomiting
famotidine (Pepcid) or nizatidine (Axid) to decrease gastric irritation.
10. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah satu fungsi
ginjal adalah mengatur tekanan darah,maka anda bisa mengalami tekanan
darah tinggi ketika terjadi gangguan kronis dari fungsi ginjal. Selanjutnya
kondisi demikian akan mempercepat peningkatan risiko penyakit jantung.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
j. Anemia
k. Perdarahan
l. Neuropati perifer
m. Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
n. Hipertrofi ventrikel kiri
o. Kardiomiopati dilatasi, Oateodistrofi
p. Penyakit Jantung. Ketika anda mengalami GGK, maka anda sangat
berisiko terkena penyakit jantung. Dan dilaporkan lebih dari
separuhkematian pada orang dengan GGK berasal dari adanya penyakit
jantung ini. Serangan Jantung dan Stroke. Penyakit jantung dan pembuluh
darah merupakan penyebab utama kematian lebih dr 20 juta org di
Amerika Serikat yang menderita GGK. Penderita dg GGK memiliki risiko
lebih tinggi utk mengalami serangan jantung atau stroke, bahkan pada
penderita yg masih pada stadium awal atau ringan sekalipun.
q. Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan
garam kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa
gatal ini secara alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2 sampai
terluka dan terinfeksi. Proses ini tidak kunjung membaik hingga keindahan
kulit menjadi rusak, bahkan terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung
(kasar & kering)
r. Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam
kejadian di lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau
kejang otot jantung, atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat
sebelumnya.
11. PENCEGAHAN
Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat
netrotoksik, menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu,
mencegah kehamilan pada penderita yang berisiko tinggi, konsumsi garam
sedikit. makin tinggi konsumsi garam, makin tinggi pula kemungkinan
ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat mempermudah terbentuknya
kristalisasi ikatan kalsium urat oleh sodium.
Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang terdiri
atas pengobatan penyakit-penyakit co morbid (penyakit penyerta) untuk
menghambat progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti yang
terdiri dari dialisis dan transplantasi ginjal. Pengobatan Konservatif :
memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor
pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal
Pengaturan diet kalium, natrium dan cairan
Diet rendah kalium .Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah
40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar
kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia. Selain itu,Diet rendah
natrium Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na).
Dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi
gagal jantung kongestif. Pengaturan cairan Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema. Sedangkan
asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan
gangguan fungsi ginjal
Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat atau kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik tetapi
juga menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi penderita GG
dapat berupa: mengurangi stress, menguatkan sistem pendukung sosial
atau keluarga untuk mengurangi pengaruh tekanan psikis pada penyakit
GGK, meningkatkan aktivitas sesuai toleransi, hindari imobilisasi karena
hal tersebut dapat meningkatkan demineralisasi tulang, meningkatkan
kepatuhan terhadap program terapeutik, mematuhi program diet yang
dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang optimal agar kualitas
hidup dan rehabilitasi dapat dicapai.
B. HEMODIALISA
1. Definisi
Kata ini berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialisis
sendiri merupakan proses pemurnian suatu sistem koloid dari
partikel-partikel bermuatan yang menempel pada permukaan.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka
pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan
penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD)
yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan
hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.
2. Indikasi
b. Asidosis
e. Kelebihan cairan.
f. Perikarditis dan konfusi yang berat.
h. Proses Difusi :
i. Proses Ultrafiltrasi :
b. Sirkulasi Dialisat
ii. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
iii. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan
dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
iv. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
v. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan
cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika
terdapat gejala uremia yang berat.
vi. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
vii. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
7. Kualitas Hidup
a. Definisi
Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti,
hanya orang tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas
hidup merupakan suatu yang bersifat subyektif.
Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisinya dalam
kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu
tersebut, dan hubungan terhadap tujuan, harapan, standard dan
keinginan. Hal ini merupakan suatu konsep, yang dipadukan dengan
berbagai cara seseorang untuk mendapat kesehatan fisik, keadaan
psikologis, tingkat independen, hubungan sosial, dan hubungan
dengan lingkungan sekitarnya.
b. Kualitas Hidup dari Berbagai Aspek
b. Jenis Kelamin
e. Pekerjaan
h. Hipertensi
Bayhakki. 2012. Sari Asuh Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta :
EGC.
Dianati, N.A. 2015. Gout and Hyperuricemia. Jurnal Majority. 4 (3) : 82-89
Edmund, L. 2010. Clinical chemistry and molecular diagnosis. 4th ed. Kidney
function tests. America: Elsevier.
Mantiri, dkk. 2017. Gambaran Kadar Asam Urat pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik Stadium 5 yang belum Menjalani Hemodialisis. Jurnal e-Biomedik (eBm).
5 (2) : 148-154
Wortmann, RL. 2009. Gout and Hyperuricemia, dalam Firestein GS, dkk. 8 th ed.
Philadelphia: Saunders.
Pranata, PB. 2012. Hubungan Kadar Asam Urat dalam Darah pada Penderita
Penyakit Gnjal Kronik dengan Kejadian Artritis Gout Di RSUD Dr.Moewardi
Surakarta. Skipsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Prasasti, SP. 2009. Pengaruh Pemberian Allopurinol Terhadap Perubahan kadar
Asam Urat Penyakit Ginjal Kronik dengan Hiperurisemia. Skripsi. Universitas
Airlangga.
Rohayati. 2014. Korelasi Kadar Gula Darah Terhadap kadar Ureum dan Kreatinin
pada Penderita diabetes Mellitus tipe 2 di RSUD Brebes. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Silbernagl dan Lang. 2012. Gagal Ginjal Kronis : Gangguan Fungsi, Dalam :
Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Soeroso, Joewono dan Hafid Algristian. 2011. Asam Urat. Jakarta : Penebar
Plus.