Anda di halaman 1dari 71

LOGBOOK TUTOR

KASUS I

DISUSUN OLEH :

Nama : Rika Amaliya

NIM : G1B117004

Dosen Pembimbing : Ns. Nurhusna, S.Kep., M.Kep

Blok : Keperawatan Kritis

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
KASUS TUTOR 1

Tn. D usia 54 tahun dirawat di ICU karena mengalami penurunan kesadaran pada
saat dilakukan Haemodialisa. Riwayat kesehatan saat ini. Tampak selang
nefrostomi kiri dan kanan. 3 Bulan sebelum masur rumah sakit pasien mengalami
nyeri pinggang kiri dan kanan. Nyeri hilang timbul dan panas badan. Terdapat
nyeri pada saat BAK, BAK panas dan keruh. Pasien merasa mual dan lemah.
Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 2 tahun yang lalu dan pasien disarankan
untuk operasi, namun pasien menolak. 6 hari SMRS pasien dirujuk ke RS Santosa
untuk dilakukan HD. Pada saat dilakukan HD pasien mengalami penurunan
kesadaran, sesak, dan batuk. Riwayat kesehatan dahulu pasien memilii penakit
hipertensi sejak 5 tahun lalu namun tidak pernah dikontrol. Klien terpasang alat
bantu nafas ventilator dengan mode SIMV PS yang disetting dengan FiO2 80%,
Peep 5, , RR 10 x/m, Peak pressure dalam rentang 13-18, tidal volume dalam
rentang 315-500, SaO2 dalam rentamg 97-100%. Tidak tampak adanya retraksi
interkostal. perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah (crackles) pada
bagian kiri bawah. Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5 cmH20 , TD :
150/100 mmHg, Nadi teraba lemah dan cepat 112 x/m. akral terlihat pucat, CRT <
2’, terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah +/+ dengan grade 3,
konjungtiva anemis. TD sistolik dalam rentang 105-155 mmHg, MAP dalam
rentang 55-110 mmHg, dan diastolic dalam rentang 80-100 mmHg. Hasil
pemeriksaan AGD pH : 7,44, PaO2 : 80, HCO3 : 21, PCO2 : 30

Pasien terpasang NGT. Hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan terdapat


infiltrat, pneumonia susp efusi pleura pada paru kiri.Terapi yang didapatkan
NorAdrenalin : 0,3 mg/kgbb/jam, lasik : 20 mg/jam, paracetamol : 4 x 1 gt.
Meronem : 3 x 1 gr, dan midazolam : 3 mg/jam yang diberikan melalui syringe
pump.

Lo :

1. Askep pada kasus tersebut

2. Prinsip-prinsip penatalaksanaan ventilasi mekanik.


STEP I (IDENTIFIKASI ISTILAH SULIT)

1. Ventilator mode SIM V PS


2. Selang nefrostomi
3. FiO2 80%, peep 5
4. Cvp
5. Hemodialialisa
6. Refraksi interkostal
7. Infiltrat
8. Lasix
9. Meronem
10. Midazolam
11. Peak preasure

Jawab :

1. Jika VC adalah bantuan penuh maka SIMV adalah bantuan sebagian dengan
targetnya volume. SIMV memberikan bantuan ketika usaha nafas spontan
pasien mentriger mesin ventilator. Tapi jika usaha nafas tidak sanggup
mentriger mesin, maka ventilator akan memberikan bantuan sesuai dengan
jumlah frekwensi yang sudah diatur.
2. Nefrostomi adalah prosedur yang dilakukan untuk mengalirkan urine
langsung dari ginjal melalui kateter. Tindakan ini dilakukan bila terdapat
sumbatan pada ureter, yang semestinya berfungsi mengalirkan urine dari
ginjal ke kandung kemih. Nefrostomi umumnya dilakukan ketika terjadi
sumbatan urine akibat infeksi saluran kemih, batu ginjal, tumor, atau kelainan
anatomis, cedera fisik, peradangan, dan kanker yang menyebabkan kerusakan
atau kebocoran pada ureter. Selain itu, nefrostomi juga bisa dipergunakan
sebagai jalur untuk membantu prosedur medis lainnya, baik untuk tujuan
diagnosis maupun terapi.
3. FiO2 adalah jumlah oksigen yg dihantarkan/diberikan oleh ventilator ke
pasien. Konsentrasi berkisar 21-100%. Rekomendasi untuk setting FiO2 pada
awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak
boleh terlalu lama sebab rersiko oxygen toxicity (keracunan oksigen) akan
meningkat. Sedangkan PEEP meningkatkan kapasitas residu fungsional paru
dan sangat penting untuk meningkatkan PaO2 yg refrakter. Nilai PEEP selalu
dimulai dari 5 cmH2O. Setiap perubahan pada PEEP harus berdasarkan
analisa gas darah, toleransi dari PEEP, kebutuhan FiO2 dan respon
kardiovaskular. Jika PaO2 masih rendah sedangkan FiO2 sudah 60% maka
PEEP merupakan pilihan utama sampai nilai 15 cmH2O
4. CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga
ujungnya berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP
disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS). Tekanan vena sentral secara
langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak langsung
menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada
akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral
adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai
normal CVP adalah 4 – 10 mmHg. Perawat harus memperhatikan perihal
yaitu mengadakan persiapan alat – alat, pemasangan manometer pada
standard infus, menentukan titik nol, memasang cairan infus, fiksas,
fisioterapi dan mobilisasi
5. Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah dan dialisa = pemisahan zat-zat
terlarut. Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan
untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara
akut atau secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
Untuk melakukan hemodialisa, prosesnya akan dibantu menggunakan mesin
canggih dan khusus untuk menggantikan ginjal yang rusak agar tubuh bisa
menyaring darah. Mesin ini berperan sebagai ginjal artifisial (ginjal buatan)
yang dapat menyingkirkan zat-zat kotor, garam, serta air berlebih yang ada di
dalam darah pengidap. Dalam proses ini, pembuluh darah pasien akan
dimasukkan jarum oleh petugas medis. Tindakan ini bertujuan untuk
menghubungkan aliran darah tubuh pasien ke mesin pencuci darah. Setelah
itu, darah kotor akan disaring dalam mesin pencuci darah. Setelah proses
penyaringan usai, selanjutnya darah yang bersih akan dialirkan ke dalam
tubuh pasien. Cuci darah dengan menggunakan metode hemodialisa
menghabiskan waktu sekitar empat jam per sesi. Dalam seminggu, pengidap
perlu menjalani setidaknya 3 sesi dan hanya bisa dilakukan di klinik cuci
darah atau rumah sakit.
6. Retraksi interkostal menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menghalangi atau
mempersempit jalan napas Anda. Asma, pneumonia, dan penyakit pernapasan
lainnya dapat menyebabkan penyumbatan. Untuk mengatasi retraksi
interkostal, sangat disarankan bagi Anda untuk segera mencari pertolongan
di rumah sakit terdekat. Langkah pertama dalam mengatasi retraksi
interkostal adalah dengan mengamankan jalan napas. Kemudian Anda
mungkin akan menggunakan oksigen tambahan atau obat-obatan untuk
melancarkan pernapasan. Retraksi interkostal biasanya ditangani
berdasarkan penyebab yang mendasarinya. Jika retraksi interkostal
disebabkan oleh sumbatan, maka satu-satunya cara adalah dengan
membebaskan sumbatan tersebut. Jika retraksi interkostal disebabkan oleh
penyakit seperti pneumonia, asma, bronkiolitis, croup atau reaksi anafilaksis,
maka penanganan harus berdasarkan penyakit yang mendasarinya.
7. Infiltrat merupakan gambaran radiologi paru yang abnormal, yang berbentuk
titik-titik atau bercak dengan batas tidak tegas. Infiltrat menggambarkan
proses peradangan paru yang aktif. 
8. Lasix/Furosemix adalah diuretik loop atau pil air yang mencegah tubuh Anda
untuk menyerap banyak garam, sehingga garam tidak akan lewat untuk
dibuang ke urine. Obat Lasix/Furosemide adalah obat yang biasanya
digunakan untuk para penderita edema. Furosemide bekerja dengan cara
menghalangi penyerapan natrium di dalam sel-sel tubulus ginjal dan
meningkatkan jumlah urine yang dihasilkan oleh tubuh. Obat ini tersedia
dalam bentuk tablet dan suntik. Penggunaan furosemide berpotensi
menyebabkan sejumlah efek samping, yaitu pusing, vertigo, mual dan
muntah, diare, penglihatan buram, sembelit.
9. Meropenem adalah antibiotik yang digunakan untuk menangani berbagai
kondisi yang diderita akibat adanya infeksi bakteri. Obat ini bekerja dengan
cara mencegah pertumbuhan bakteri dan membunuh penyebab infeksi
tersebut. Pemberian morepenem dilakukan oleh petugas medis atas anjuran
dokter. Obat ini diberikan melalui suntikkan ke pembuluh darah vena.
Umumnya, pemberian obat dilakukan tiap 8 jam. Dosis yang diberikan akan
disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan respons tubuh pasien terhadap
obat. Pada anak-anak, berat badan menjadi salah satu tolak ukur dokter dalam
menentukan dosis morepenem.
10. Midazolam adalah obat golongan benzodiazepine yang diberikan sebelum
operasi, untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh menjadi
rileks, serta menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri. Obat ini
bekerja dengan cara memperlambat kerja otak dan sistem saraf. beberapa
kegunaaan midazolam yaitu sebagai obat bius atau anestesi bagi pasien yang
akan menjalani operasi, menurunkan kesadaran, memberikan rasa kantuk atau
efek yang menenangkan (sedatif) bagi pasien yang menggunakan alat bantu
pernapasan di unit perawatan intensif.
11. Peak inspiratory pressure (PIP) adalah tingkat tekanan tertinggi yang
diterapkan ke paru-paru selama penghirupan. Dalam ventilasi mekanis, angka
tersebut mencerminkan tekanan positif dalam sentimeter tekanan air
(cmH2O). Pada pernapasan normal, terkadang disebut sebagai tekanan
inspirasi maksimal (MIPO), yang merupakan nilai negatif.
STEP 2 (IDENTIFIKASI MASALAH )

1. Jelaskan hubungan riwayat kesehatan dahulu dengan yang dialami sekarang ?


2. Fisiologi terjadinya penurunan kesadaran dengan tindakan hemodialisa ?
3. Sebutkan masalah keperawatan pada kasus ?
4. Penyebab pasian mengalami efusi pleura ?
5. Mengapa pada saat dilakukan HD pasien mengalami penurunan kesadaran,
sesak dan batuk, apakah ada hubungan dgn kesehatan yg lalu atau yg
sekarang?
6. Penyebab pasien merasa mual dan lemah ?
7. Interpretasi hasil pemeriksaan pada kasus ?
8. Pada pasien dengan gejala dan penyakit apa saja yang dapat dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik ?
9. Penyebab nyeri BAK, BAK panas dan keruh ?
10. Apakah ada hubungan hipertensi dengan penyakit ginjal yang sekarang ?
11. Komplikasi apa saja yang dialami pasien? Jelaskan keterkaitannya satu sama
lain ?
12. Bagaimana pengkajian nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran ?
STEP 3 (ANALISA MASALAH)
1. Ada hubunganya, karena seseorang yang menderita penyakit ginjal kronik
tekanan darah tinggi akan berisiko memburuknya penyakit ginjal. Jika cairan
sudah bertumpuk dalam pembulu darah itulah yang meningkatkan tekanan
darah jadi lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan pecah pembulu darah di
ginjal maka sangat besar kemungkinanya untuk terjadi gagal ginjal kronik
( GGK ).
2. LO
3. LO
4. Tertimbunya cairan dalam ruang pleura sehingga menyebabkan
ketidakmampuan ginjal untuk membuang cairan menuyebabkan terjadinya
overload cairan pada tubuh Dan akhirnya terjadi peningkatan tekanan darah
hidrostatik yang berujung pada kebocoran cairan ke ruang – ruang potensial
tubuh termasuk rongga pleura.
5. Karena pasien mengalami gagal ginjal kronik. Ada, karena tekanan darah
tinggi dapat menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik (PGK), seiring
waktu tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh darah ke seluruh tubuh
termasuk pembuluh darah ginjal menjadi menebal dan kaku (atheroscleorosis).
Jika terjadi pembuluh darah pecah tersebut di ginjal, maka penyakit gagal
ginjal kronik sangat besar kemungkinan untuk terjadi.
6. Karna pasien mengalami hipertensi peningkatan tekanan darah dikepala ketika
pembuluh darah menjadi rusak, nefron yang menyaring darah tidak menerima
oksigen dan nutrisi yang mereka butuhkan agar berfungsi dengan baik.
7. AGD Ph : 7,44 ↑ Meningkat
PaO2 : 80 Normal
HCO3 : 21 Normal
PaCO2 : 30 Normal
8. Beberapa kondisi atau penyakit yang membuat pasien membutuhkan mesin
ventilator adalah:
1) Gangguan paru-paru berat, seperti gagal napas, ARDS (acute respiratory
distress syndrome), asma berat, pneumonia, PPOK (penyakit paru obstruktif
kronis), dan pembengkakan paru (edema paru).
2) Gangguan sistem saraf yang menyebabkan kelemahan otot
pernapasan, koma, atau stroke.
3) Gangguan pada jantung, seperti gagal jantung, serangan jantung, atau henti
jantung.
4) Keracunan karbon dioksida.
5) Gangguan keseimbangan asam basa, yaitu asidosis dan alkalosis.
6) Cedera berat, misalnya luka bakar luas dan cedera kepala berat.
7) Syok.
8) Dalam pengaruh pembiusan total, sehingga kehilangan kemampuan
bernapas, misalnya pada pasien yang menjalani operasi.
9. Terjadinya infeksi pada saluran kencing,yang berawal dari uretra atau kandung
kemih dan menyebar pada salah satu atau kedua ginjal,yang disebabkan oleh
bakteri e-Coli yang memasuki saluran kemih melalui uretra kemudian
berkembang biak dan menyebar ke ginjal.
10. Ada, karena penyakit yang di alami pasien saat ini merupakan komplikasi dari
penyakit yang di alami pasien dahulu.
11. Penyakit jantung dan pembuluh darah. Karena terjadi penumpukan kelebihan
cairan di rongga tubuh. Misalnya edema paru atau asites. Anemia atau
kekurangan sel darah merah. Kerusakan sistem saraf pusat dan dapat
menimbulkan kejang.
12. LO
STEP IV (MIND MAPPING)

Riwayat kesehatan dahulu :


Tn. D 54 tahun
a. hipertensi sejak 5 tahun lalu
(tidak pernah kontrol)
b. 2 tahun lalu px nyeri pada
saat BAK, BAK panas dan
6 hari SMRS pasien dirujuk untuk keruh. Pasien merasa mual
dilakukan HD. dan lemah. (disrankan operasi
namun ditolak)
c. 3 bulan lalu nyeri pinggang
kiri dan kanan Nyeri hilang
Saat dilakukan Haemodialisa timbul dan panas badan.
pasien mengalami penurunan
kesadaran, sesak, dan batuk

Riwayat kesehatan saat ini :


a. Tampak selang nefrostomi kiri dan kanan
b. Klien terpasang alat bantu nafas ventilator
Dx Gagal ginjal kronik mode SIMV PS :
1. Fio2 80%,
2. Peep 5,
3. RR 10 x/m,
Terapi yang didapatkan : 4. Peak pressure dalam rentang 13-18,
a. Noradrenalin : 0,3 mg/kgbb/jam, 5. Tidal volume dalam rentang 315-500,
b. Lasik : 20 mg/jam, 6. Sao2 dalam rentamg 97- 100%.
c. Paracetamol : 4 x 1 gt. c. Tidak tampak adanya retraksi interkostal.
d. Meronem : 3 x 1 gr, Perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi
e. Midazolam : 3 mg/jam yang basah (crackles) pada bagian kiri bawah.
diberikan melalui syringe pump. d. Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5
cmh20 ,
e. TD : 150/100 mmhg,
f. Nadi teraba lemah dan cepat 112 x/m.
g. Akral terlihat pucat,
h. CRT < 2’,
i. Terdapat edema pada ekstremitas atas dan
bawah +/+ dengan grade 3,
j. Konjungtiva anemis.
k. TD sistolik dalam rentang 105-155 mmhg,
l. MAP dalam rentang 55-110 mmhg,
m. Diastolic dalam rentang 80-100 mmhg.
n. Hasil pemeriksaan AGD ph : 7,44, pao2 :
80, HCO3 : 21, PCO2 : 30
o. Pasien terpasang NGT.
p. Hasil pemeriksaan foto thorax
menunjukkan terdapat infiltrat, pneumonia
susp efusi pleura pada paru kiri
STEP V (LEARNING OBJEKTIF)

1. LO STEP 2
1) Nomor 2: Fisiologi terjadinya penurunan kesadaran dengan tindakan
hemodialisa
Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat
kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing
merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
a. Disfungsi otak difus
1) Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas
neuronal.
2) Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik
atau oleh pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat
subseluler atau molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang
tersebar.
3) Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada
kerusakan thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya
impuls talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa
karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau
perdarahan otak bilateral).
4) Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas
metabolik sel-sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak
seperti meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang
bisa terjadi pada kasus henti jantung.
5) Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara
dengan penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.
b. Efek langsung pada batang otak
1) Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang
merusak/menghambat reticular activating system.
2) Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau
midbrain di mana neuron-neuron ARAS terlibat langsung.
c. Efek kompresi pada batang otak
1) Kausa kompresi primer atau sekunder
2) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah.
3) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau
perdarahan intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi
ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia
alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini
mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma
karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur tengah
bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang
berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih
meluas di seluruh hemisfer.
4) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan
area retikular batang otak atas dan menggesernya maju ke depan
dan ke atas.
5) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang
terkait lesi seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.
2) Nomor 3: Sebutkan masalah keperawatan pada kasus

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan


ventilasi-perfusi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan gangguan mekanisme regulasi
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

3) Nomor 12: Pengkajian nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran


Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) merupakan alat ukur nyeri
yang direkomendasikan untuk mengukur nyeri pada pasien dengan
penurunan kesadaran. CPOT adalah sebuah skala sikap yang disarankan
oleh para ahli untuk menilai nyeri pada pasien-pasien kritis yang tidak
dapat berkomunikasi secara verbal. CPOT dikembang oleh Gelines (dkk)
pada tahun 2006.
Petunjuk Penilaian Nyeri dengan CPOT (Gelinas, 2006)
1. Amati pasien selama satu menit
2. Kemudian pasien harus diamati selama mendapatkan tindakan
pengobatan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi
3. Pasien harus diamati sebelum dan pada puncah tindakan pengobatan
untuk menilai apakah pengobatan efektif atau tidak dalam
menghilangkan nyeri
4. Amati nilai CPOT setelah dilakukan tindakan pengobatan.

No Indikator Kriteria Skor Deskripsi


1. Ekspresi Santai, 0 Tidak ada ketegangan
wajah netral otot
Tegang 1 Merengut, alis
menurun, orbit
menegang dan terdapat
kerutan lewator atau
perubahan lainnya
(misalnya membuka
mata atau menangis
selama prosedur
invasive)

Meringis 2 Semua gerakan mata


pada skor 1 ditambah
kelopak tertutup rapat
(pasien dapat
mengalami mulut
terbuka atau menggigit
endotrakeal tube)
2. Gerakan Tidak 0 Tidak bergerak sama
tubuh adanya sekali (tidak berarti
gerakan atau adanya rasa sakit) atau
posisi poisis normal (gerakan
normal tidak dilakukan
terhadap bagian yang
terasa nyeri atau tidak
dilakukan untuk tujuan
perlindungan)
Ada gerakan 1 Gerakan lambat,
perlindunga gerakan hati-hati,
n menyentuh atau
menggosok bagian yang
nyeri (mencari
perhatian melalui
gerakan)
Kegelisahan/ 2 Menarik-narik tube,
agitasi mencoba untuk duduk,
menggerakan tungkai /
meronta-ronta, tidak
mengikuti perintah,
menyerang staf,
mencoba turun dari
tempat tidur.
3. Kepatuhan Toleransi 0 Alarm tidak aktif/tidak
terhadap terhadap bunyi, ventilasi mudah
pemasangan ventilator
ventilator atau gerakan
Batuk tapi 1 Batuk, alarm aktif/bunyi
(pasien
masih tapi berhenti secara
terpasang
toleransi spontan
intubasi)
Melawan 2 Tidak singkron,
ventilator ventilasi tertahan, alarm
sering berbunyi.
4. Vokalisasi Berbicara 0 Berbicara dalam suara
(Pasien dalam nada normal atau tidak sama
yang tidak normal atau sekali
terpasang tidak ada
ventilator) suara
Menghela 1 Menghela napas,
napas, merintih
merintih
Menangis, 2 Menangis, terisak-isak
terisak-isak
5. Ketegangan Santai 0 Tidak ada perlawanan
otot pada gerakan pasif
Tegang kaku 1 Ada perlawanan pada
gerakan pasien
Sangat 2 Perlawanan kuat pada
tegang dan gerakan pasif atau tidak
sangat kaku biasa dilakukan gerakan
pasif
2. LO Kasus
1) Askep pada kasus tersebut

A. Pengkajian
1. Biodata
Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Umur : 54 Tahun
Ruangan : ICU
Dx. Medis : Gagal Ginjal Kronik
Identitas Penanggung Jawab : Tidak terkaji
2. Keluhan Utama : Klien mengalami penurunan kesadaran pada saat
haemodialisa
3. Riwayat Kesehatan Sekarang : Klien terpasang selang nefrostomi kiri dan
kanan. Klien terpasang alat bantu nafas ventilator dengan mode SIMV PS
yang disetting dengan FiO2 80%, Peep 5, , RR 10 x/m, Peak pressure
dalam rentang 13-18, tidal volume dalam rentang 315-500, SaO2 dalam
rentamg 97- 100%. Tidak tampak adanya retraksi interkostal. perkusi
redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah (crackles) pada bagian kiri
bawah. Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5 cmH20 dan klien
terpasang NGT
4. Riwayat Kesehatan Masa Lalu : Klien memiliki riwayat penyakit hipertensi
5 tahun yang lalu tetapi tidak pernah dikontrol. 6 hari SMRS klien dirujuk
ke RS Santosa untuk dilakukan HD. Pada saat dilakukan HD klien
mengalami penurunan kesadaran, sesak, dan batuk. 3 Bulan sebelum masur
rumah sakit klien mengalami nyeri pinggang kiri dan kanan. Nyeri hilang
timbul dan panas badan. Terdapat nyeri pada saat BAK, BAK panas dan
keruh. Klien merasa mual dan lemah. Keluhan ini sudah dirasakan pasien
sejak 2 tahun yang lalu dan pasien disarankan untuk operasi, namun pasien
menolak.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga : Tidak Terkaji
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Klien mengalami penurunan kesadaran
b. TTV :
Nadi : 112 x/ menit
RR : 10 x/menit
TD : 150/100
c. Pemeriksaan Head to Toe
- Kepala :
Mata : konjungtiva anemis
Mulut dan faring : Klien terpasang NGT
- Pemeriksaan Thorax dan Paru: Klien terpasang alat bantu nafas
ventilator dengan mode SIMV PS. Tidak tampak adanya retraksi
interkostal. perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah
(crackles) pada bagian kiri bawah. Klien terpasang CVP dengan
tekanan 12.5 cmH20.
- Pemeriksaan Jantung : Nadi teraba lemah dan cepat, MAP dalam
rentang 55 – 110 mmHg, Sistolik dalam Rentang 105- 155 mmHg,
dan Diastolic dalam rentang 80-100 mmHg
- Pemeriksaan Integumen : CRT < 2
- Ekstremitas : Terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah +/+
grade 3.
7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :

Jenis pemeriksaan Hasil

Pemeriksaan AGD :
- pH 7,44 (Normal)
- PaO2 80 (Normal)
- HCO3 21 (Menurun)
- PCO2 30 (Menurun)
- SaO2 97 – 100%
(Normal)

Foto Thorax : Hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan terdapat


infiltrate, pneumonia susp efusi pleura pada paru kiri.

8. Terapi Obat – Obatan : NorAdrenalin : 0,3 mg/kgbb/jam, lasik : 20 mg/jam,


paracetamol : 4 x 1 gt. Meronem : 3 x 1 gr, dan midazolam : 3 mg/jam yang
diberikan melalui syringe pump.

Analisa Data

No Data Fokus Etiologi Problem


1 DS : Ketidakseimbangan Gangguan
ventilasi- perfusi Pertukaran
DO : Gas

1. Klien mengalami penurunan


kesadaran
2. Tidak tampak adanya
retraksi interkostal.
3. Perkusi redup, sura nafas
vesikuler, ronkhi basah
(crackles) pada bagian kiri
bawah
4. Hasil pemeriksaan AGD pH
: 7,44, PaO2 : 80, HCO3 :
21, PCO2 : 30
5. Klien terpasang alat bantu
nafas ventilator dengan
mode SIMV PS yang
disetting dengan FiO2 80%,
Peep 5, , RR 10 x/m, Peak
pressure dalam rentang 13-
18, tidal volume dalam
rentang 315-500, SaO2
dalam rentamg 97- 100%
2 DS : Gangguan Kelebihan
mekanisme volume cairan
1. 3 bulan sebelum masuk
regulasi
rumah sakit pasien
mengalami nyeri pinggang (hidronefrosis)
kiri dan kanan
2. Nyeri hilang timbul dan
panas badan

DO :
1. Terdapat edema pada
ekstremitas atas dan bawah
dengan grade 3
2. TD : 150/100
3. Hasil foto thorax terdapat
efusi pleura pada paru kiri
4. Pekusi redup
5. Diberikan terapi lasik 20
mg/jam
3 DS : Prosedur Invasif Resiko Infeksi

DO :

1. Tampak terpasang selang


nefrostomi kanan dan kiri
2. Klien terpasang alat bantu
nafas ventilator
3. Klien terpasang NGT

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan gangguan mekanisme regulasi
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor ventilator
pertukaran keperawatan selama 1 x 24 2. Setting ventilator
jam diharapkan gangguan dengan kemampuan
gas pertukaran gas dapat pernafasan pasien
teratasi kriteria hasil : 3. Pantau analisa gas
darah
1. Adanya tanda
4. Meningkatkan
ventilasi da
frekuensi nafas
oksigenasi yang
5. Sesuaikan dengan
adekuat
mask yang di pakai
2. Agd dalam rentang
6. Auskultasi suara
normal
nafas, catat adanya suara
3. TTV dalam rentang
nafas tambahan
normal
7. Auskultasi suara paru
setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
8. Kolaborasi
pemasangan cest
cube/wsd
2 Kelebihan Setelah dilakukan tindakan 1. Catat intake dan output
Volume keperawatan selama 2x24 cairan
Cairan jam diharapkan volume 2. Monitor status
cairan seimbang dengan hemodinamik termasuk
Penumpuk
kriteria hasil : CVP, MAP
an natrium
3. Monitor tanda-tanda vital
1. Terbebas dari edema,
Treatment 4. Monitor status nutrisi
efusi pleura
kelebihan 5. Monitor status cairan dan
2. Bunyi nafas bersih
volume elektrolit
tidak ada dyspnea
cairan dgn 6. Pasang kateter urin bila
3. TTV dalam rentang
ggk diperlukan
normal
7. Kolaborasi dengan dokter
pemberian diuretic sesuai
indikasi
3 Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihkan lingkungan
Infeksi keperawatan selama 3 x 24 setelah dipakai pasien lain
jam diharapkan resiko 2. Pertahankan teknik isolasi
Dimana,
infeksi teratasi dengan 3. Batasi pengunjung
lebih
kriteria hasil : 4. Instruksikan pada
spesifik
pengunjung untuk
1. Klien bebas dari tanda
Oral mencuci tangan saat
dan gejala infeksi
hygine berkunjung dan setelah
2. Menunjukkan perilaku
berkunjung meninggalkan
hidup sehat
pasien
5. Gunakan sabun
antimikroba untuk cuci
tangan
6. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
7. Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
8. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
9. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
10. Berikan terapi antibiotik
bila perlu untuk proteksi
terhadap infeksi
2) Prinsip-prinsip penatalaksanaan ventilasi mekanik.
a. Ada 3 golongan Ventilator :
1. Ventilator Tekanan Negative
Bekerja dengan cara membuat lingkungan bertekanan negative di
sekeliling dada, sehingga udara dapat masuk kedalam paru-paru.
2. Ventilator Tekanan Positive
Bekerja dengan cara membuat tekanan positive kedalam jalan
nafas, sehingga udara dapat masuk kedalam paru-paru.
3. Extra Corporeal Membrane Oxygenation.
b. Tujuan Bantuan nafas dengan Ventilator:
1. Mengurangi kerja pernafasan.
2. Memperbaiki ventilasi alveolar.
3. Memberikan oksigenasi adekuat.
c. Indikasi Bantuan nafas dengan Ventilator:
1. Gangguan Ventilasi
a) Gangguan fungsi otot pernafasan (kelelahan, gangguan dinding
dada).
b) Penyakit Neuromuskuler.
c) Ventilatory drive menurun.
d) Obstruksi atau airway resistence meningkat.
2. Gangguan Oksigenasi
a) Hypoxemia berulang.
b) Perlu pemberian PEEP.
c) Kerja pernafasan berat.
3. Indikasi lain
a) Mencegah atelectase.
b) Menurunkan TIK ( ICP ).
c) Menurunkan kebutuhan oksigen ( systemic atau myocardial ).
d) Penggunaan muscle relaxant dan sedasi.
d. Mode pada ventilator mekanik
1. Controlled Mechanical Ventilation
Pernafasan pasien diatur sepenuhnya oleh ventilator, tergantung
frekuensi yang ditetapkan. Digunakan pada pasien yang tidak dapat
bernafas spontan dan diberikan Trigger of sensitivity = - 20
cmH2O, sehingga pasien tidak dapat membuka katup inspirasi pada
ventilator. Pada umumnya diberi muscle relaxant dan sedasi.
2. Assist Controle Ventilation
Bantuan nafas diberikan atas dasar pacuan nafas pasien. Trigger of
sensitivity = - 2 cmH2O.
3. Intermittent Mandatory Ventilation.
IMV merupakan campuran antara nafas spontan pasien dan control
ventilator. Ventilator memberikan bantuan inspirasi sesuai dengan
frekuensi yang ditetapkan pada selang waktu tertentu, diluar itu
pasien masih dapat bernafas sendiri, sehingga dapat terjadi
tabrakkan antara pernafasan pasien dan pernafasan dari ventilator.
Trigger of sensitivity = - 2 cmH2O. Frekuensi nafas ventilator
harus lebih rendah dari frekuensi nafas spontan pasien.
4. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation.
SIMV berbeda dari IMV karena mandatory breath was
synchronized. Ventilator memberikan bantuan inspirasi sesuai
dengan frekuensi nafas yang ditetapkan, tetapi bantuan inspirasi
jatuh tepat pada saat pasien memulai usaha nafas spontan. SIMV
frequency dimulai dari 10 breaths/min, respiratory rate pasien
sesuai kemampuan (mis: 20 x/min). Trigger of sensitivity = - 2
cmH2O.
5. SIMV + Pressure Support.
Ventilator bekerja untuk SIMV dengan volume cycle sedangkan
untuk PS dengan pressure cycle. Di mulai dengan PS = 15 cmH2O
( pressure limit = 15 cmH2O ). SIMV disini sebagai back up, bila
dengan PS terjadi apnea.
6. Continuous Positive Airway Pressure.
Pasien bernafas spontan, tetapi ventilator memberikan bantuan
tekanan positive yang kontinyu sepanjang siklus respirasi. Tekanan
positive yang diberikan antara 2 – 7 cmH2O, tekanan yang terlalu
tinggi akan mengganggu venous return. CPAP dapat meningkatkan
FRC dan memperbaiki oksigenasi.
e. Variasi pada Ventilator.
1. Sigh function ( nafas dalam ).
Diberikan untuk mencegah collapse alveoli. Besarnya 1,5 – 2 kali
TV normal, frekuensi diatur berapa kali perjam.
2. Positive End Expiratory Pressure.
a) Ventilator memberikan tekanan positive pada akhir ekspirasi.
PEEP fisiologis:
Pediatrik = 2 – 3 cm H2O
Dewasa = 3 – 5 cm H2O.
Pada umumnya PEEP dinaikkan antara 5 – 15 cmH2O, untuk
memperbaiki oksigenasi.
b) Pemberian PEEP awal sebesar 5 cm H2O dan dititrasi secara
bertahap 2-3 cm H2O. Pengaruh pemberian PEEP tidak akan
terlihat dalam waktu beberapa jam. Monitor blood pressure,
heart rate dan PaO2 selama pemberian PEEP secara titrasi dan
pada interval waktu tertentu selama terapi pemberian PEEP.
c) Efek samping penggunaan PEEP:
1) Barotrauma.
2) Hipotensi dan penurunan cardiac output
3) Peningkatan PaCO2.
4) Oksigenasi memburuk
3. Inspiratory Pause.
Selesai phase inspirasi, ventilator dapat menahan aliran gas di
dalam paru-paru selama beberapa saat untuk memberi kesempatan
difusi oksigen dari alveoli kedalam kapiler.
4. Inspiratory Time dan I : E ratio.
Inspiratory time adalah waktu yang dibutuhkan oleh aliran gas dari
ventilator untuk masuk kedalam paru-paru. Expiratory time adalah
waktu yang diperlukan oleh aliran gas untuk keluar dari paru-paru,
yang dimulai pada akhir inspirasi sampai inspirasi berikutnya.
Waktu inspirasi lebih pendek dari waktu ekspirasi ( I : E ratio = 1:
2 ), bila sebaliknya disebut I : E ratio terbalik. Bila I : E ratio
terbalik terlalu besar akan terjadi : retensi CO2, venous return
terganggu, barotrauma. Inspiratory time normal = 0,3 – 1,5 detik,
dengan rata-rata = 0,75 detik. Siklus respirasi terdiri dari :
inspiratory time + inspiratory pause + expiratory time  I : E ratio
= ( Ti + Tp ) : Te.
5. Peak Inspiratory Pressure.
Nilai normal:
Pediatrik = 12 – 18 cmH2O
Dewasa = 25 – 35 cmH2O.
6. Respiratory Rate.
Usia: < 2 tahun = 20 – 25 breaths/min.
2 – 10 tahun = 15 – 20 breaths/min.
> 10 tahun = 10 – 15 breaths/min.
7. Minute Volume and Tidal Volume.
Minute Volume = TV x RR.
Tidal Volume : Pediatrik = 7 – 8 ml/kg
Dewasa = 9 –10 ml/kg.
Dead space volume = 2 ml/kg.
Compressible Volume adalah volume gas dari ventilator yang
berada pada pipa penyalur, yang tidak ikut dalam pertukaran gas.
Besarnya 1 – 2 ml/cm H2O pada pediatric dan 2 – 4 ml/cmH2O
pada dewasa (pertekanan tekanan gas inspirasi). Agar ventilasi
alveolar adekuat, maka tidal volume minimal = 15 – 20 ml/kg
( TV pasien + dead space volume + compressible volume ).
7. Inspiratory Fraction of Oxygen ( FiO2 ).
Awal berikan 100 %, secepatnya turunkan jadi < 50%.
8. Flow Rate.
Batas aliran gas terendah adalah 2 kali minute ventilation.
Sebagian
besar ventilator bayi dapat bekerja dengan flow rate gasses 4 – 10
L/min. Maka pada flow cycle diberikan flow = 2 –3 L/kg
STEP VI (KONSEP TEORI)
A. GAGAL GINJAL KRONIK
1. Definisi Gagal Ginjal Kronik
 Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi
struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal
tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi
regulasinya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk
dalam cairan tubuh akibat gangguan eksresi renal dan menyebabkan
gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam-
basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir
yang umum dari berbagai peyakit urinary tract dan ginjal (Arif Muttaqin,
2011)
 Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner and
Suddart, 2002)
 Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan
filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau pertanda kerusakan
gagal ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosis penyakit gagal ginjal kronis ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerolus kurang dari 60ml/menit/1,73 m2 (National Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative dikutip dari Arora. 2009)
 Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang progresif yang berakibat
fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau
transplantasi ginjal) (Nursalam dan Fransisca B.B. 2009)
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
 Klasifikasi sesuai dengan test kreatinin klien,maka GGK dapat terbagi
menjadi:
 100 – 76 ml/mnt disebut insufiensi ginjal berkurang
 75 – 26 ml/mnt disebut insufiensi ginjal kronik
 25 – 5 ml/mnt disebut GGK
 <5ml/mnt disebut gagal ginjal terminal
Derajat Primer LFG (%) Sekunder Kreatinin (mg%)
A Normal Normal
B 50-80 Normal-2,4
C 20-50 2,5-4,9
D 10-20 5-7,9
E 5-10 8-12
F <5 >12

 Berdasarkan stadiumnya gagal ginjal di bedakan menjadi 3 stadium :


 Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal (GFR turun 50%)
- Tahap ringan dimana faal ginjal masih bagus
- Asimptomatik
- Kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal
- Gangguan dapat di lihat dengan : tes pemekatan urin dan GFR teliti
 Stadium 2 : insufisiensi ginjal
- Tahap dimana dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak,
yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan
sendiri karena beratnya beban yang mereka terima.
- Kreatinin dan BUN mulai meningkat diatas batas normal (tergantung
dari kadar protein diet pasien)
- Nokturia dan poliuria (dapat terjadi karena gagal untuk melakukan
pemekatan urin)
- Ada 3 derajat insufisiensi ginjal :
1. Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang
15% - 40 % fungsi ginjal normal
3. Berat
<20% fungsi ginjal normal
 Stadium 3 : tahap akhir (GGK terminal) atau uremia
- GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron
fungsional yang tersisa (sekitar 90% dari massa nefron telah hancur
dan rusak).
- Kreatinin dan BUN meningkat sangat mencolok sehingga penurunan
fungsi ginjal.
- Gejala parah karena ketidakmapuan ginjal menjaga homeostasis
cairan dan elektrolit tubuh
- Oliguria bisa terjadi (output urin kurang dari 500 ml/ hari karena
kegagalan glomerulus)
- Uremia terjadi.
- Pada seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.

 Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan nilai laju glomerulus, yaitu


stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang
lebih rendah. (Parazella, 2005)
Tabel Klasifikasi dari GFR (Clarkson, 2005 dan K. K. Zadeh (2011) dan E.
Chang (2010):
LFG
Std Deskripsi
(ml/mnt/1,73m2)
0 Risiko meningkat >90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal dengan LFG >90
normal/meningkat
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal <15 dan dialisis

Pengukuran nilai GFR untuk menentukan tahapan PGK yang paling


akurat adalah dengan menggunakan Chronic Kidney Disease Epidemiology
Collaburation (CKD-EPI) dibanding dengan model Modification of Diet in
Renal Disease (MDRD) atau dengan rumus Cockcroft-Gault (Michels,
Grootendorst & Verduijn, 2010). Praktek pengukuran GFR untuk menentukan
tahapan PGK yang sering digunakan adalah menggunakan rumus Cockcroft-
Gault. Adapun rumus dari Cockcroft-Gault dalam Ahmed & Lowder (2012)
adalah :

Rumus Cockcroft-Gault untuk laki-laki :


GFR = (140-umur) x BB
72 x serum Creatin

Sedangkan untuk wanita adalah :


GFR = (140-umur) x BB x 0,85
72 x serum Creatin

Klasifikasi GGK (Tryani, 2005)

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik


Stadium 1 Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG
yang masih normal >90ml/menit
Stadium 2 Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG
(ringan) antara 60-89 ml/menit
Stadium 3 Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit
(sedang)
Stadium 4 Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit
(berat)
Stadium 5 Kelainan ginjal dengan LFG antara 15 ml/menit
(terminal)

Hypertension* Hemoglobin < 12.0 g/dL


Unable to walk 1/4 mile Serum albumin < 3.5 g/dL
Serum calcium < 8.5 mg/dL Serum phosphorus > 4.5 mg/dL
90
Proportion of population (%)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
15-29 30-59 60-89 90+
Estimated GFR (ml/min/1.73 m2)

*>140/90 or antihypertensive medication p-trend < 0.001 for each abnormality

Klasifikasi atas dasar diagnosis dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
– Penyakit ginjal diabetis seperti penyakit diabetes tipe 1 dan tipe 2,
– Penyakit ginjal nondiabetis seperti penyakit glomerular, penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi dan mikroangiopati), penyakit
tubulointerstitial (infeksi saluran kemih, batu obstruksi dan toksisitas obat),
penyakit kistik
– Penyakit pada transplantasi seperti penyakit rejeksi kronis, keracunan obat,
penyakit recurren, transplantasi glomerulopathy (Suhardjono, 2003 dikutip dari
Susalit). Krause (2009) menambahkan bahwa penyebab dari gagal ginjal
kronik sangat beragam. Pengetahuan akan penyebab yang mendasari penyakit
penting diketahui karena akan menjadi dasar dalam pilihan pengobatan yang
diberikan. Penyebab gagal ginjal tersebut diantaranya meliputi :
a. Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta anak-
anak adalah glomerulonefritis dan nefritis interstitial.
b. Infeksi kronik dari traktus urinarius (menjadi penyebab semua golongan
usia).
c. Gagal ginjal kronik dapat pula dialami ana-anak yang menderita kelainan
kongenital seperti hidronefrosis kronik yang mengakibatkan bendungan
pada aliran air kemih atau air kemih mengalir kembali dari kandung
kemih.
d. Adanya kelainan kongenital pada ginjal.
e. Nefropati herediter.
f. Nefropati diabetes dan hipertensi umumnya menjadi penyebab pada usia
dewasa.
g. Penyakit polisistik, kelainan pembuluh darah ginjal dan nefropati
analgesik tergolong penyebab yang sering pula.
h. Pada beberapa daerah, gangguan ginjal terkait dengan HIV menjadi
penyebab yang lebih sering.
i. Penyakit yang tertentu seperti glomerulonefritis pada penderita
transplantasi ginjal. Tindakan dialisis merupakan pilihan yang tepat pada
kondisi ini.
j. Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat
imunosupresif ringan sampai sedang karena menjalani transplantasi
ginjal. Obat imunosupresif selama periode atau masa transisi setelah
transplantasi ginjal yang diberikan untuk mencegah penolakan tubuh
terhadap organ ginjal yang dicangkokkan menyebabkan pasien beresiko
menderita infeksi, termasuk infeksi virus seperti herpes zoster.

3. EPIDEMIOLOGI
Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika Serikat
prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25% setiap
tahunnya. Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir meningkat rata-
rata 6,5 % setiap tahun (Canadian Institute for Health Information (CIHI), 2005),
dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008).
Sedangkan di Indonesia prevalensi penderita gagal ginjal hingga kini belum ada
yang akurat karena belum ada data yang lengkap mengenai jumlah penderita
gagal ginjal kronis di Indonesia. Tetapi diperkirakan, bahwa jumlah penderita
gagal ginjal di Indonesia semakin meningkat. WHO memperkirakan di
Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995-
2025 sebesar 41,4%. Berdasarkan data dari Yayasan Ginjal Diatras Indonesia
(YGDI) RSU AU Halim Jakarta pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 orang
lebih penderita gagal ginjal di Indonesia.

4. PATOFISIOLOGI (terlampir)
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal.
Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea
darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling
sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi
cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan
ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan
cairan sering tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya
oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan
sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan
garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan
diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam
organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan
produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina
dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi
anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang
diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan
sel darah merah.
 Pathway (Terlampir)

5. ETIOLOGI
Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal kronis
bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal (Arif Muttaqin, 2011) :
1. Penyakit dari Ginjal
 Glomerulonefritis
 Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
 Batu ginjal: nefrolitiasis
 Kista di Ginjal: polcystis kidney
 Trauma langsung pada ginjal
 Keganasan pada ginjal
 Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/struktur.
 Penyakit tubulus primer: hiperkalemia primer, hipokalemia kronik,
keracunan logam berat seperti tembaga, dan kadmium.
 Penyakit vaskuler: iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis arteri
ginjal, hipertensi maligna atau hipertensi aksekrasi.
 Obstruksi: batu ginjal, fobratis retroperi toneal, pembesaran prostat
striktur uretra, dan tumor.
 Menurut David Rubenstein dkk. (2007), penyebab GGK diantaranya:
Penyakit ginjal herediter, Penyakit ginjal polikistik, dan Sindrom Alport
(terkait kromosom X ditandai dengan penipisan dan pemisahan
membrane basal glomerulus)

2. Penyakit dari Luar Ginjal


 DM, hipertensi, kolesterol tinggi
 Dyslipidemia
 SLE
 TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
 Preeklamsi
 Obat-obatan
 Luka bakar
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis : Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai
penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum
memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum,
1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus : Menurut American Diabetes Association (2003) dalam
Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa
kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi: tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal
(Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik: Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic
kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di
atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak
kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah
penyakit ginjal polikistik dewasa.

6. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus
atau hipertensi, obesitas , perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan dengan
riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga. (National Kidney Foundation, 2009)

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :


 Diabetes : Diabetes tipe 2 merupakan penyebab nomor satu. Dengan
mengendalikan kadar gula darah risiko terjadinya kerusakan ginjal dapat
dicegah.
 Tekanan darah tinggi (hipertensi) : Hipertensi yang berkelanjutan dapat
merusak atau mengganggu pembuluh darah halus dalam ginjal yang lama
kelamaan dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah.
Dengan menjaga berat badan tetap ideal, berolahraga teratur, dan
menggunakan obat yang sudah diresepkan dokter dapat membantu mencegah
atau memperlambat perkembangan penyakit ginjal menjadi gagal ginjal.
 Mengkonsumsi obat pereda rasa nyeri yang mengandung ibuprofen
berlebihan maupun dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan
timbulnya nefritis intersitialis, yaitu peradangan ginjal yang dapat mengarah
pada gagal ginjal. Jika Anda mengalami gangguan fungsi ginjal dan sedang
mengkonsumsi obat secara rutin, coba konsultasikan ke dokter. Untuk obat
baru, konsultasikan dengan dokter bila Anda mengalami gejala tertentu.
Penyalahgunaan obat / zat tertentu Pemakaian obat terlarang, seperti heroin
atau kokain, dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal yang dapat
mengarah pada gagal ginjal.
 Agent : NTA akibat toksik terjadi akibat menelan zat-zat nefrotoksik. Ada
banyak sekali zat atau obat-obat yang dapat merusak epitel tubulus dan
menyebabkan GGA, yaitu seperti : Antibiotik : aminoglikosoid, penisilin,
tetrasiklin, amfotersisin B, sulfonamida, dan lain-lainnya. Obat-obat dan zat
kimia lain : fenilbutazon, zat-zat anestetik, fungisida, pestisida, dan kalsium
natrium adetat. Pelarut organik : karbon tetraklorida, etilon glikol, fenol, dan
metal alkohol. Logam berat : Hg, arsen, bismut, kadmium, emas, timah,
talium, dan uranium. Pigmen heme : Hemoglobin dan mioglobin
 Radang : Penyakit tertentu, seperti glomerulonefritis (radang pada
glomerulus/unit penyaring ginjal) dapat merusak ginjal, sehingga ginjal tidak
bisa lagi menyaring zat-zat sisa metabolisme tubuh. Untuk mengetahui lebih
lanjut, biasanya dokter akan meminta Anda melakukan serangkaian
pemeriksaan di laboratorium.
 Pekerjaan : Orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan bahan-
bahan kimia akan dapat mempengaruhi kesehatan ginjal. Bahan-bahan kimia
yang berbahaya jika terpapar dan masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan
penyakit ginjal. Misalnya pada pekerja di pabrik atau industri.
 Perilaku minum : Air merupakan cairan yang sangat penting di dalam tubuh.
Lebih kurang 68% berat tubuh terdiri dari air. Minum air putih dalam jumlah
cukup setiap hari adalah cara perawatan tubuh terbaik. Air ini sebagai
simpanan cairan dalam tubuh. Sebab bila tubuh tidak menerima air dalam
jumlah yang cukup, tubuh akan mengalami dehidrasi. Di mulai dengan
simpanan air tubuh yang menurunan dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan. Organ-organ tubuh yang vital juga sangat peka terhadap
kekurangan air, salah satunya adalah ginjal. Ginjal tidak dapat berfungsi
dengan baik bila tidak cukup air. Pada proses penyaringan zat-zat racun,
ginjal melakukannya lebih dari 15 kali setiap jam, hal ini membutuhkan
jumlah air yang banyak sebelum diedarkan ke dalam darah. Bila tidak cukup
cairan atau kurang minum, ginjal tidak dapat bekerja dengan sempurna maka
bahan-bahan yang beredar dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan dengan baik
sehingga dapat menimbulkan keracunan darah dan menyebabkan penyakit
ginjal.
 Environment : Cuaca panas dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ginjal.
Jika seseorang bekerja di dalam ruangan yang bersuhu panas, hal ini dapat
mempengaruhi kesehatan ginjalnya. Yang terjadi adalah berkurangnya aliran
atau peredaran darah ke ginjal dengan akibat gangguan penyediaan zat-zat
yang diperlukan oleh ginjal dan pada ginjal yang rusak hal ini akan
membahayakan
Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, adalah:
 Riwayat Keluarga Penyakit Ginjal : Jika ada anggota keluarga menderita
GGK, atau yang sedang menjalani dialisis, atau transplantasi ginjal, Anda
memiliki risiko mengalami penyakit ini. Salah satu jenis penyakit yang
bersifat diturunkan adalah penyakit ginjal polikistik, yaitu penyakit ketika
jaringan normal ginjal secara perlahan digantikan oleh kista-kista berisi
cairan.
 Kelahiran Premature : Bayi prematur (lahir kurang dari 32 minggu
kehamilan) berisiko memiliki penumpukan endapan kalsium di bagian nefron
ginjal, yang dikenal dengan nefrokalsinosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh
menurunnya kemampuan menghambat proses penggumpalan kristal akibat
beban kalsium yang disaring meningkat dan ekskresi sitrat berkurang. Bila
tidak diatasi, bayi yang memiliki kondisi seperti ini memiliki risiko untuk
menderita gangguan fungsi ginjal di kemudian hari.
 Usia : Seiring dengan pertambahan usia, fungsi ginjal pun dapat menurun.
Usia penderita gagal ginjal berkisar antara 40-50 tahun, tetapi hampir semua
usia dapat terkena penyakit ini. Menurut penelitian D.W. Bates penyakit
gagal ginjal paling banyak pada penderita yang berumur 45 tahun.
 Jenis kelamin : Kejadian pada laki-laki dan wanita hampir sama. Menurut
penelitian Orfeas Liangas dkk (2001), dari 558.032 penderita gagal ginjal
51,8% adalah laki-laki, sedangkan perempuan sebesar 48,2%.
 Ras/etnik : (African-American, Hispanic, American Indian,Asian)
 Trauma atau Kecelakaan : Kecelakaan, cedera, beberapa jenis operasi,
juga dapat mengganggu atau merusak ginjal.
 Jenis Penyakit Tertentu dapat meningkatkan risiko terjadinya GGK.
Penyakit ini antara lain penyakit lupus, anemia sel sabit (sickle cell anemia),
kanker, AIDS, hepatitis C dan gagal jantung berat. (Bahan dari Koesh-
Bandung)

7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala menurut (Long,1996 : 369)
 Gejala dini : lethargi,sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang,mudah tersinggung, depresi
 Gejala yg lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah,nafas dangkal
Gejala berdasarkan organ yang terkena, antara lain:
1. Kardiovaskuler: Hipertensi,nyeri dada, gagal jantung kongesti, edema
pulmoner,perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema
periorbital, friction rub pericardial, pembesaran vena leher (peningkatan
JVP)
2. Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, pucat,kulit kering bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, dan pernafasan
kussmaul
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau
ammonia, Ulserasi,perdarahan mulut, konstipasi, diare, perdarahan saluran
cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, keletihan, perubahan
tingkat kesadaran, disorientasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki,
perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal : Keram otot, kekuatan otot hilang, pegal kaki sehingga
selalu digerakkan (kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki),
tremor, miopati (kelemahan dan hipertrofi otot-otot ekstremitas)
7. Endokrin: gangguan seksualitas, libido fertilisasi dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa, lemak dan
vitamin D
8. Persendian : Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang
9. Kelainan mata : Azotemia ameurosis, retinopati, nistagmus, miosis dan
pupil asimetris, red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi,
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronis
akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
10. Sistem hematologi : Kelainan hemopoeisis, Anemia normokrom normositer
dan normositer (MCV 78-94 CU), Kelelahan dan lemah karena anemia atau
akumulasi substansi buangan dalam tubuh. Perdarahan karena mekanisme
pembekuan darah yang tidak berfungsi. Selain itu hemopoesis dapat terjadi
karena berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis, defisiensi besi
11. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa: Biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis,
hiperkalemia, hipomagnesia, hipokalsemia
12. Farmakologi : Obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal
13. Gejala lain : Gangguan pengecapan, berat badan turun dan lesu, gatal-gatal,
gangguan tidur, cairan diselaput jantung dan paru-paru, otot-otot mengecil,
Gerakan-gerakan tak terkendali, kram, Sesak nafas dan confusion,
Perubahan berkemih : Poliuria, nokturia, oliguria
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKA
 Pemeriksaan Laboratorium
 Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia
 Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
 Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis
 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein
 Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
 Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
 Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
 BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir. Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
 GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
 Protein albumin : menurun
 Natrium serum: rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari tergantung berapa
banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.
 Kalium, magnesium : meningkat
 Kalsium : menurun
 Pemeriksaan Urin
 Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin
(anuria)
 Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat
yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak,
fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin.
 Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
 Klirens kreatinin : mungkin menurun.
 Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
 Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1

 Pemeriksaan Radiologi: ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan


menilai derajat dari komplikasi yang terjadi
a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal,
kandung kemih serta prostat.
b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah
ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram
memberikan hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan
memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak
puasa.
 Endoskopi : untuk menentukkan pelvis ginjal, batu, hematuria, dan
pengangkatan tumor selektif
d. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan
kanan, tanda-tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
f. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan
ekstravaskularisasi serta adanya masa.
g. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.

 Pemeriksaan Patologi Anatomi


 Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik
atau perlu diketahui etiologi daru penyakit ini

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan
cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
 Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal
dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan
kerja ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang
tinggi (uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit.4)Mencegah atau mengurangi progresifitas gagal ginjal,
dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus (Almatsier,
2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi,
diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Karbohidrat cukup, yaitu :
kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari protein dan
lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria,
atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium
dibatasi (60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5
mEq), oliguria, atau anuria.
 Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. Energi cukup
yaitu 35 kkal/kg BB.
 Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan
dibatasi yaitu sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan (±500 ml).
 Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
 Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat,
vitamin C, vitamin D.
b. Terapi Simtomatik
 Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
 Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
 Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
 Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan
yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau
operasi subtotal paratiroidektomi.
 Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
 Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari
kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal .
 Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan
membantu penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat
terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu
kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Terdapat dua teknik
yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
 Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan atau produk limbah karena dalam tubuh
penderita gagal ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut
(Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin (2000), hemodialisis
adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa
darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk kedalam
sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan
dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa
shunt (AV-shunt). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat
untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal.

 Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan


hemodialisa antara lain :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi eksresi, yaitu


membuang sisa-sisa metabolisme (ureum, kreatinin, dll).

b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan


tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal
sehat

c. Meningkatan kualitas hidup klien yang menderita


penurunan fungsi ginjal.
 Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini jarang
dipakai untuk jangka panjang. Akhir-akhir ini sudah populer
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal
di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien
anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal.

 Koreksi Hiperkalemi : Mengendalikan kalium darah sangat penting


karena hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang
pertama diingat jangan menimbulkan hiperkalemia. Bila terjadi
hiperkalemia, maka obati dengan mengurangi intake kalium, pemberian
Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
 Koreksi Anemia: Usaha pertama harus dilakukan untuk mengatasi factor
defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat
diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi
kuat, misalnya: insufisiensi koroner.
 Koreksi Asidosis: Pemberian makanan dan obat harus dihindari. Natrium
Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100
mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan. Jika diperlukan
dapat diulang. Hemodialisis dan dialysis peritoneal juga dapat mengatasi
asidosis.
 Pengendalian Hipertensi : Pemberian obat Beta-Blocker, Alpa
Metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dan
mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak sama gagal ginjal
disertai retensi natrium.
 Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien
GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan
program transplantasi ginjal :
 Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal
ginjal
 Kualitas hidup normal kembali
 Survival rate meningkat
 Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
 Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah
beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri
renalis berimplantasi pada arteri iliaca interna dan vena renalis
beranastomosis dengan vena iliaca komunis atau eksterna.

 Terapi Obat
 hindari antacids or laxatives àmagnesium to prevent magnesium
toxicity.
 antipruritics, such as diphenhydramine (Benadryl)
 vitamin supplements (particularly B vitamins and vitamin D)
 loop diuretics, such as furosemide (if some renal function remains),
along with fluid restriction to reduce fluid retention
 digoxin (Lanoxin) to mobilize edema fluids
 antihypertensives to control blood pressure and associated edema
 antiemetics taken before meals to relieve nausea and vomiting
 famotidine (Pepcid) or nizatidine (Axid) to decrease gastric irritation.

Penatalaksanaan Menurut Derajat CKD


LFG Perencanaan
Derajat
(ml/mnt/1,873 m2) Penatalaksanaan Terapi
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya,
kondisi kormobid, evaluasi perburukan
1 >90
(progresion) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler.
Menghambat perburukan (progresion) fungsi
2 60-89
ginjal
Mengevaluasi dan melakukan terapi pada
3 30-59
komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis)
Dialysis dan mempersiapkan terapi
5 <15
penggantian ginjal (transplantasi ginjal)

10. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah satu fungsi
ginjal adalah mengatur tekanan darah,maka anda bisa mengalami tekanan
darah tinggi ketika terjadi gangguan kronis dari fungsi ginjal. Selanjutnya
kondisi demikian akan mempercepat peningkatan risiko penyakit jantung.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
j. Anemia
k. Perdarahan
l. Neuropati perifer
m. Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
n. Hipertrofi ventrikel kiri
o. Kardiomiopati dilatasi, Oateodistrofi
p. Penyakit Jantung. Ketika anda mengalami GGK, maka anda sangat
berisiko terkena penyakit jantung. Dan dilaporkan lebih dari
separuhkematian pada orang dengan GGK berasal dari adanya penyakit
jantung ini. Serangan Jantung dan Stroke. Penyakit jantung dan pembuluh
darah merupakan penyebab utama kematian lebih dr 20 juta org di
Amerika Serikat yang menderita GGK. Penderita dg GGK memiliki risiko
lebih tinggi utk mengalami serangan jantung atau stroke, bahkan pada
penderita yg masih pada stadium awal atau ringan sekalipun.
q. Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan
garam kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa
gatal ini secara alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2 sampai
terluka dan terinfeksi. Proses ini tidak kunjung membaik hingga keindahan
kulit menjadi rusak, bahkan terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung
(kasar & kering)
r. Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam
kejadian di lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau
kejang otot jantung, atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat
sebelumnya.

11. PENCEGAHAN
 Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat
netrotoksik, menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu,
mencegah kehamilan pada penderita yang berisiko tinggi, konsumsi garam
sedikit. makin tinggi konsumsi garam, makin tinggi pula kemungkinan
ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat mempermudah terbentuknya
kristalisasi ikatan kalsium urat oleh sodium.
 Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang terdiri
atas pengobatan penyakit-penyakit co morbid (penyakit penyerta) untuk
menghambat progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti yang
terdiri dari dialisis dan transplantasi ginjal. Pengobatan Konservatif :
memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor
pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal
 Pengaturan diet kalium, natrium dan cairan
 Diet rendah kalium .Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah
40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar
kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia. Selain itu,Diet rendah
natrium Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na).
Dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi
gagal jantung kongestif. Pengaturan cairan Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema. Sedangkan
asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan
gangguan fungsi ginjal
 Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat atau kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik tetapi
juga menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi penderita GG
dapat berupa: mengurangi stress, menguatkan sistem pendukung sosial
atau keluarga untuk mengurangi pengaruh tekanan psikis pada penyakit
GGK, meningkatkan aktivitas sesuai toleransi, hindari imobilisasi karena
hal tersebut dapat meningkatkan demineralisasi tulang, meningkatkan
kepatuhan terhadap program terapeutik, mematuhi program diet yang
dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang optimal agar kualitas
hidup dan rehabilitasi dapat dicapai.

B. HEMODIALISA

1. Definisi

Kata ini berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialisis
sendiri merupakan proses pemurnian suatu sistem koloid dari
partikel-partikel bermuatan yang menempel pada permukaan.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka
pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan
penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD)
yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan
hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.
2. Indikasi

Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA


untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien
tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat
indikasi :
a. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l)

b. Asidosis

c. kegagalan terapi konservatif

d. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah

e. Kelebihan cairan.
f. Perikarditis dan konfusi yang berat.

g. Hiperkalsemia dan hipertensi.

3. Prinsip Kerja Hemodialisa

h. Proses Difusi :

Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang


disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut
dalam darah dan dialisat. Perpindahan molekul terjadi dari zat
yang berkonsentrasi tinggi ke yang berkonsentrasi lebih rendah.
Pada HD pergerakan molekul / zat ini melalui suatu membran
semi permeable yang membatasi kompartemen darah dan
kompartemen dialisat.

i. Proses Ultrafiltrasi :

Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi


permeable akibat perbedaan tekanan hidrostatik pada
kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan
hidrostatik / ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar dari
kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Besar tekanan ini
ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen darah
(positive pressure) dan tekanan negative dalam kompartemen
dialisat (negative pressure) yang disebut TMP (trans membrane
pressure) dalam mmHg.
j. Proses Osmosis :

Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena


adanya perbedaan tekanan osmotik (osmolalitas) darah dan
dialisat. Proses osmosis ini lebih banyak ditemukan pada
peritoneal dialisis.
4. Komponen Utama pada Hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 komponen
dasar yaitu :
a. Sirkulasi darah

Bagian yang termasuk dalam sirkulasi darah adalah mulai dari


jarum

/ kanula arteri (inlet), arteri blood line (ABL), kompartemen


darah pada dializer, venus blood line (VBL), sampai jarum /
kanula vena (outlet).

b. Sirkulasi Dialisat

Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk prosedur HD.


Berada dalam kompartemen dialisat berseberangan dengan
kompartemen darah yang dipisahkan oleh selaput semi
permeable dalam dializer. Terdapat 2 dialisat yaitu dialisat
pekat (concentrate) dan air.
c. Membrane Semi permeabel

Membrane semi permeabel adalah suatu selaput atau lapisan


yang sangat tipis dan mempunyai lubang (pori) sub
mikroskopis. Dimana partikel dengan BM kecil & sedang
(small and middle molekuler) dapat melewati pori membran,
sedangkan partikel dengan BM besar (large molekuler) tidak
dapat melalui pori membran tersebut.

5. Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisa

Hemodilisa merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai


upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat
menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodiaisa
dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal.
Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar
tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang
penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa. Adapun
anjuran pemberian diet pada pasien hemodialisa 2 x/ minggu :
i. Protein : 1 – 1,2 gr/kgBB/hari
ii. Kalori : 126 – 147 kj/ kgBB (30 – 35 kal/kgBB/hari)
iii. Lemak : 30 % dari total kalori
iv. Hidrat arang : sedikit gula (55 % total kalori)
v. Besi : 1,8 mmol/hari (100 mg)
vi. Ca : 25 – 50 mmol/hari (1000 – 2000)
vii. Air : 750 – 1000 ml/hari (500 + sejumlah urin/24 jam).

6. Komplikasi Terapi Hemodialisa

Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut :

i. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan


dikeluarkan.

ii. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
iii. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan
dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
iv. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
v. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan
cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika
terdapat gejala uremia yang berat.
vi. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
vii. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

7. Kualitas Hidup

a. Definisi
Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti,
hanya orang tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas
hidup merupakan suatu yang bersifat subyektif.
Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisinya dalam
kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu
tersebut, dan hubungan terhadap tujuan, harapan, standard dan
keinginan. Hal ini merupakan suatu konsep, yang dipadukan dengan
berbagai cara seseorang untuk mendapat kesehatan fisik, keadaan
psikologis, tingkat independen, hubungan sosial, dan hubungan
dengan lingkungan sekitarnya.
b. Kualitas Hidup dari Berbagai Aspek

Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subjektif dan objektif.


Dari segi subjektif merupakan perasaan enak dan puas atas segala
sesuatu secara umum, sedangkaan secara objektif adalah
pemenuhan tuntutan kesejahteraan materi, status social dan
kesempurnaan fisik secara sosial atau budaya. Penilaian kualitas
hidup penderita gagal ginjal dapat dilihat pada aspek kesehatan
fisik, kesehatan mental, fungsi sosial, role function dan perasaan
sejahtera.
Kualitas hidup dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yang
berpusat pada aspek hidup yang baik, yaitu :
i. Kualitas hidup subjektif yaitu suatu hidup yang baik yang
dirasakan oleh masing-masing individu yang memilikinya.
Masing-masing individu secara personal mengevaluasi
bagaimana mereka menggambarkan sesuatu dan perasaan
mereka.
ii. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup
seseorang merupakan level yang berhak untuk dihormati dan
dimana individu dapat hidup dalam keharmonisan.

Kualitas hidup objektif yaitu bagaimana hidup seseorang


dirasakan oleh dunia luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan
dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi pada nilai-
nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.
c. Penilaian kualitas hidup

Terdapat beberapa instrumen untuk menganalisis kualitas hidup


yang meliputi persepsi fisik, psikologi dan hubungan sosial pasien,
seperti Sickness Impact Profile, Karnofsky Scales, Kidney Disease
Quality of Life (KDQL) kuesioner dan Medical Outcomes Study
36-Item Short-Form Health Survey (SF-36) yang telah banyak
digunakan dalam mengevaluasi kualitas hidup pasien penderita
penyakit-penyakit kronis. SF-36 adalah salah satu instrumen untuk
menilai kualitas hidup, sederhana, mudah dan secara luas telah
dipakai untuk mengevaluasi kualitas hidup pada penyakit ginjal
stadium akhir.

Instrumen non spesifik biasanya digunakan pada hampir semua


penelitian penyakit kronis dan bisa juga digunakan untuk menilai
kualitas hidup pada populasi yang sehat. SF-36 telah terbukti dapat
dipakai untuk menilai kualitas hidup penderita penyakit kronis
termasuk gagal ginjal kronis. SF-36 berisi 36 pertanyaan yang
terdiri dari 8 skala antara lain :
1. Fungsi fisik (Physical Functioning)

Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas


seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat dan
gerak badan. Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua
aktivitas tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan
kemampuan melakukan semua aktivitas fisik termasuk latihan
berat.

2. Keterbatasan akibat masalah fisik (Role of Physical)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar


kesehatan fisik mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari
lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik
menimbulkan masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain
tidak dapat melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam
melakukan aktivitas tertentu atau kesulitan di dalam melakukan
aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak
menimbulkan masalah terhadap pekerjaan ataupun aktivitas
sehari-hari.

3. Perasaan sakit/nyeri (Bodily Pain)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri


dan pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal baik di dalam
maupun di luar rumah. Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit
yang sangat berat dan sangat membatasi aktivitas. Nilai yang
tinggi menunjukkan tidak ada keterbatasan yang disebabkan oleh
rasa nyeri.
4. Persepsi kesehatan umum (General Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan termasuk


kesehatan saat ini, ramalan tentang kesehatan dan daya tahan
terhadap penyakit. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan
terhadap kesehatan diri sendiri buruk atau memburuk. Nilai yang
tinggi menunjukkan perasaan terhadap kesehatan diri sendiri
sangat baik.
5. Energi/Fatique (Vitality)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan,


capek dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah,
capek dan lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan
perasaan penuh semangat dan energi selama 4 minggu yang lalu.
6. Fungsi Sosial (Social Functioning)
Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan
fisik atau masalah emosional mengganggu aktivitas sosial yang
normal. Nilai yang rendah menunjukkan gangguan yang sering
dan sangat terganggu. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada
gangguan selama 4 minggu yang lalu.
7. Keterbatasan akibat masalah emosional (Role Emotional)

Terdiri dari 3 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat dimana


masalah emosional mengganggu pekerjaan atau aktivitas sehari-
hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan masalah emosional
mengganggu aktivitas termasuk menurunnya waktu yang
dihabiskan untuk aktivitas, pekerjaan menjadi kurang sempurna
dan bahkan tidak dapat bekerja seperti biasanya. Nilai yang
tinggi menunjukkan tidak ada gangguan aktivitas karena masalah
emosional.
8. Kesejahteraan mental (Mental Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental


secara umum termasuk depresi, kecemasan dan kebiasaan
mengontrol emosional. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan
tegang dan depresi sepanjang waktu. Nilai yang tinggi
menunjukkan perasaan penuh kedamaian, bahagia dan tenang
sepanjang 4 minggu yang lalu. Skala SF-36 ini kemudian dibagi
menjadi 2 dimensi, dimana persepsi kesehatan umum, energi,
fungsi sosial dan keterbatasan akibat masalah emosional disebut
sebagai dimensi Kesehatan Mental (Mental Component Scale)
dan fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah fisik, perasaan
sakit/nyeri, persepsi kesehatan umum dan energi disebut sebagai
dimensi Kesehatan Fisika (Physical Component Scale). Masing-
masing skala dinilai dengan kemungkinan cakupan nilai 0-100,
dimana skor yang lebih tinggi menandakan kualitas hidup yang
lebih baik.
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien
Gagal Ginjal Kronis
a. Umur

Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya


umur. Penderita GGK usia muda akan mempunyai kualitas
hidup yang lebih baik oleh karena biasanya kondisi fisiknya
yang lebih baik dibanding yang berusia tua. Penderita yang
dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat
dia masih muda mempunyai harapan hidup yang tinggi,
sementara yang sudah berusia tua lebih menyerahkan
keputusan pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari
mereka merasa sudah tua, capek hanya menunggu waktu,
akibatnya mereka kurang motivasi dalam menjalani terapi
haemodialisis.

b. Jenis Kelamin

Laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibanding


perempuan dan semakin lama menjalani hemodialisa akan
semakin rendah kualitas hidup penderita.
c. Status Nutrisi

Penderita gagal ginjal terminal yang dilakukan hemodialisa


kronis sering mengalami protein kalori malnutrisi. Malnutrisi
akan menyebabkan defisiensi respon imun, sehingga penderita
mudah mengalami infeksi dan septikemia. Ternyata semakin
jelek status nutrisi semakin jelek kualitas hidup penderita
gagal ginjal terminal. Malnutrisi pada gagal ginjal terminal
disebabkan oleh toksin uremi dan oleh prosedur hemodialisa.
d. Pendidikan

Pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan


mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan
pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah
yang dihadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi,
berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat
bagaimana mengatasi kejadian serta mudah mengerti tentang
apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan dapat
mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu
tersebut dalam membuat keputusan. Perilaku yang didasari
pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari
pengetahuan.

e. Pekerjaan

Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas


seseorang yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor,
perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau
gaji baik berupa uang maupun barang demi memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Penghasilan yang rendah
akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan
maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada mungkin karna tidak
mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar
tranportasi.
f. Lama menjalani Hemodialisa

Pada awal menjalani hemodialisa respon pasien seolah-olah


tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya, marah
dengan kejadian yang ada dan merasa sedih dengan kejadian
yang dialami sehingga memerlukan penyesuaian diri yang
lama terhadap lingkungan yang baru dan harus menjalani
hemodialisa dua kali seminggu. Waktu yang diperlukan untuk
beradaptasi masing-masing pasien berbeda lamanya, semakin
lama pasien menjalani hemodialisa adaptasi pasien semakin
baik karena pasien telah mendapat pendidikan kesehatan atau
informasi yang diperlukan semakin banyak dari petugas
kesehatan
g. Anemia

Anemia adalah kondisi klinis yang dihasilkan akibat


insufisiensi suplai darah merah yang sehat, volume sel darah
merah, dan atau jumlah hemoglobin (Hb) dengan hasil
pemeriksaan laboratorium kadar Hb
<11 gr/dl. Nilai Hb yang direkomendasikan pada pasien gagal
ginjal kronik berdasarkan National Kidney Foundation’s
Kidney Disease Quality Initiative (NKF-K/DOQI) adalah pada
level 11-12 gr/dl.

h. Hipertensi

Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah


terhadap pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume
darah dan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan
darah disebabkan peningkatan volume darah atau elastisitas
pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan
menurunkan tekanan darah, adapun klsifikasi tekanan darah:

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC VII

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal <120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Derajat 1 140-159 90-99
Derajat 2 ≥ 160 ≥100
DAFTAR PUSTAKA

Bayhakki. 2012. Sari Asuh Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta :
EGC.

Dianati, N.A. 2015. Gout and Hyperuricemia. Jurnal Majority. 4 (3) : 82-89

Edmund, L. 2010. Clinical chemistry and molecular diagnosis. 4th ed. Kidney
function tests. America: Elsevier.

Frank, C. 2010. Biomarkers of impaired renal function. Wolters Kluwer Health.


Gowda S, dkk. 2010. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Jurnal Amerika Utara tentang
Ilmu Kedokteran 2 (4): 170-173.

Mantiri, dkk. 2017. Gambaran Kadar Asam Urat pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik Stadium 5 yang belum Menjalani Hemodialisis. Jurnal e-Biomedik (eBm).
5 (2) : 148-154

Myers, G. 2012. Penanda risiko penyakit ginjal dan kardiovaskuler.


Cardiovascular.
Putra, TR. 2009. Hiperurisemia, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta : EGC.

Wortmann, RL. 2009. Gout and Hyperuricemia, dalam Firestein GS, dkk. 8 th ed.
Philadelphia: Saunders.

Pranata, PB. 2012. Hubungan Kadar Asam Urat dalam Darah pada Penderita
Penyakit Gnjal Kronik dengan Kejadian Artritis Gout Di RSUD Dr.Moewardi
Surakarta. Skipsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Prasasti, SP. 2009. Pengaruh Pemberian Allopurinol Terhadap Perubahan kadar
Asam Urat Penyakit Ginjal Kronik dengan Hiperurisemia. Skripsi. Universitas
Airlangga.

Price, S. A dan Wilson, L. M. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC.

Rahmawati, F. 2018. Aspek laboratorium Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah


Kedokteran Wijaya Kusuma. 6 (1) : 14-22.

Rohayati. 2014. Korelasi Kadar Gula Darah Terhadap kadar Ureum dan Kreatinin
pada Penderita diabetes Mellitus tipe 2 di RSUD Brebes. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Semarang.

Silbernagl dan Lang. 2012. Gagal Ginjal Kronis : Gangguan Fungsi, Dalam :
Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Soeroso, Joewono dan Hafid Algristian. 2011. Asam Urat. Jakarta : Penebar
Plus.

Anda mungkin juga menyukai