Anda di halaman 1dari 15

LO BLOK 14 03 September 2021

SKENARIO : MICROBIAL INFECTION

“Batukku Membawa Penderitaan”

Oleh:

Andi moch ictiar

N10118074

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN 2020/2021
Learning Objektif
1. Penyebab penurunan kesadaran
Jawab:
Sepsis
merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai
definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah
definisi yang ditetapakan dalam konsensus American Collage of Chest Physician and
Society of Critical Care Medicine yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi
sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok/
renjatan septik.

Sindroma respons inflamasi sistemik (SIRS: Systemic Inflammatory Response


Syndrome).

Secara patologi, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh :

1. Gangguan metabolik, infeksi , toksik, yang menyebar difus ke korteks otak, ARAS
atau keduanya
2. Masa di supratentorial yang menyebabkan penekanan atau pergeseran diensefalon atau
brainstem.

3. Masa atau lesi disruptif di subtentorial yang menyebabkan penekanan atau merusak
ARAS.
4. Trauma, hipoksik-iskemik, kerusakan akson akibat gangguan metabolic yang
mengganggu kedua hemisfer otak, ARAS atau koneksinya.

Penurunan kesadaran disebabkan gangguan fungsi neuron di area tersebut. Koma yang
berkepanjangan akibat cedera kepala berat disebabkan kerusakan akson tanpa adanya
cedera berat di korteks atau ARAS. Oleh karena itu pasien dengan cedera kepala berat
akibat trauma mempunyai prognosis yang lebih baik untuk pemulihan kesadaran
dibandingkan pasien dengan cedera otak akibat hipoksik-iskemik

Sumber :
Dewi,R. 2018. Pediatric Practice For Millennial Generation Parents. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia

2. Tatalaksana awal dan lanjutan


Jawab:

1. Antibiotik spectrum luas


Pemberian antibiotic spectrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen awal.
Pemilihan antibiotic disesuaikan dengan bakteri empiric yang ditemukan.

2. Cairan intravena

Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis dengan
hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 ml/kgBB cairan
kristaloid; tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. Pada kondisi tertentu
seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati-hati.
Beberapa teknik untuk menilai respon:

3. Passive leg raising test.


Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis kategori responder atau non- responder, dengan
sensitivitas 97% dan spesifisitas 94%. Bila pulse pressure bertambah >10% dari baseline,
dianggap responder. Penilaian ini bertujuan untuk menilai peningkatan cardiac output
dengan penambahan volume.
4. Fluid challenge test.
Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jantung (stroke volume) atau tekanan
sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse pressure). Pemberian cairan dapat
mengembalikan distribusi oksigen dalam darah dan perfusi ke organ vital untuk
mencegah gangguan kerusakan organ.
5. Stroke volume variation (SVV)
Penilaian variasi sekuncup jantung akibat perubahan tekanan intra-toraks saat pasien
menggunakan ventilasi mekanik. Syarat penilaian responsivitas cairan dengan metode ini
adalah:
1. Pasien dalam control ventilasi mekanis penuh
2. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight)
3. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SSV>12%
6. C. Pemberian vasopressor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan, terutama
perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah resusitasi cairan,
pemberian vasopressor tidak boleh ditunda. Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam
pertama untuk mempertahankan MAP >65 mmHg. Dalam review beberapa literature
ditemukan pemberian vasopressor/inotropic sebagai penanganan awal dari sepsis.
Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopressor lini pertama. Penambahan vasopressin
(sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk mencapai target MAP dapat dilakukan.
Dopamine sebagai vasopressor alternative norepinefrin hanya direkomendasikan
untuk pasien tertentu, misalnya pada pasien berisiko rendah takiaritmia dan bradikardi
relative. Penggunaan dopamine dosis rendah untuk proteksi ginjal sudah tidak
direkomendasikan lagi. Dobutamin disarankan diberikan pada hipoperfusi menetap
meskipun sudah diberi cairan adekuat dan vasopressor. Dobutamin dapat diberikan
sampai dosis 20 ug/kgBB/menit atau ditambahkan bersama vasopressor lain apabila
terdapat: disfungsi miokard yang ditandai peningkatan tekanan pengisian jantung dan
curah jantung yang rendah dan penurunan perfusi yang terus berlanjut meskipun volume
intravascular dan tekanan rerata arteri adekuat telah tercapai. Dobutamin tidak dipakai
untuk meningkatkan indeks curah jantung sampai supranormal. Steroid dapat digunakan
apabila dengan norepinefrin target MAP masih belum tercapai.

Sumber :
Milizia A. 2019. Penatalaksanaan Sepsis. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. Vol.
2(3); 28-37.

3. Anatomi system pernapasan


Jawab:

3. Anatomi system pernapasan


Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina,
bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis,
bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat Lobus,
dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus inferior. Sinistra ada 2
lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo dextra terdapat fissura horizontal
yang membagi lobus superior dan lobus media, sedangkan fissura oblique membagi lobus
media dengan lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus
superior dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis
(luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum
pleura)

1. Hidung

Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior yang dindingnya
tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit
dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis
silindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya ada konka nasalis
superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa hidung umumnya
mengandung banyak pleksus pembuluh darah.

2. Alat penghidu

Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet, dengan lamina basal
yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis sel: sel penyokong, sel basal dan sel
olfaktoris.

4. Sinus paranasal

Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak


yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis, etmoidalis
dan sphenoidalis.

5. Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu dan
menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada saat bernapas
udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring, orofaring, dan laringofaring. 7
Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan
laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki muskularis
mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu
dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis
gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.
6. Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara faring dan
trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik
mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada tulang tiroid
dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel bertingkat silia.
Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi laring untuk
membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis). Ada 2 lipatan
mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah diantara
pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan lamina propria. Pita
suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot rangka). Vaskularisasi: A.V
Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N Laringealis superior.

7. Trakea

Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh


jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel
bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.

8. Bronchus

Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar, bronki segmental, bronki subsegmental. Struktur
bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak
teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang sama
sekali. Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas lipatan
memanjang. Epitel bronkus : kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar
submukosa. Lamina propria : serat retikular, elastin, limfosit, sel mast, eosinofil.

9. Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar.
Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak
mengandung sel goblet.

10. Bronchiolus respiratorius


Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan : epitel kuboid,
kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli).
11. Duktus alveolaris

Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.

12. Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya pertukaran
oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200 - 500
juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan
elastis halus. Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar
( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% , menempati 95
% alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar.
Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal bulat,
ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan berlamel. Sel alveolar besar
menghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps
alveoli pada akhir ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial.
Mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara
alveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar.
Pada perokok sitoplasma sel ini terisi badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag
melebihi jumlah sel lainnya.

13. Pleura

Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat elastin, fibroblas,
kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang melekat pada dinding
toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfe.
Saraf adalah cabang n. frenikus dan n. interkostal.

Sumber :
Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system relevant
to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), p.533.

4. CRP
Jawab:
Protein Fase Akut C-Reactive Protein (CRP) C-reactive protein (CRP) adalah protein
fase akut yang dilepaskan oleh sel hati setelah distimulasi oleh mediator inflamasi seperti
IL-6. C-reactive protein berikatan dengan polisakarida dan peptidopolisakarida yang
terdapat pada bakteri, fungi, dan parasit dengan adanya kalsium. Selain itu, CRP dapat
juga terikat pada komponen inti sel pejamu yang apoptosis atau nekrosis seperti
ribonukleoprotein, sehingga berperan pada pembersihan jaringan. Konsentrasi CRP
serum pada populasi dewasa normal rata-rata ialah 0,8 mg/L (kisaran 0,3-1,7 mg/L) dan
<10mg/L pada 99% sampel normal. Peningkatan konsentrasi mulai terjadi 4-6 jam
setelah stimulus, meningkat dua kali lipat setiap 8 jam, dan mencapai puncaknya pada
36-50 jam. Dengan stimulus yang sangat intens, konsentrasi CRP dapat mencapai 500
mg/L atau lebih dari 1000 kali lipat nilai rujukan. Setelah stimulus hilang, CRP menurun
dengan cepat karena memiliki waktu paruh 19 jam. Di satu sisi, CRP bisa tetap tinggi
bahkan untuk waktu yang lama jika penyebab yang mendasari terus berlanjut.
Sumber :

Sumber: Milizia A. 2019. Penatalaksanaan Sepsis. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika.


Vol. 2(3); 28-37. Dilihat pada 1 September 2021. Dari: http://jknamed.com

5. Laktat darah prokalsitonin


Jawab:
Prokalsitonin (PCT) Prokalsitonin adalah protein prekursor hormon kalsitonin
(prohormon kalsitonin), tetapi memiliki fungsi biologik dan cara diinduksi yang berbeda
dibanding kalsitonin. Prokalsitonin terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul
14,5 kDa dan dikode oleh gen Calc-1 pada lengan pendek kromosom 11. Prokalsitonin
terdiri atas tiga komponen, yaitu peptida yang terletak pada ujung amino terminal
(aminoPCT), peptida yang terletak di tengah dan merupakan kalsitonin imatur, dan
peptida ujung karboksi terminal (calcitonin carboxylterminus peptida 1/CCP-1, disebut
juga katakalsin). Konsentrasi PCT pada orang sehat sangat rendah (<0,05 ng/mL) .Jika
ada stimulus, konsentrasi PCT mulai meningkat dalam waktu 4 jam setelah stimulus,
mencapai puncaknya pada 6 jam dan bertahan pada 8-24 jam. Dibandingkan dengan
biomarker inflamasi lain, PCT mencapai puncak setelah peningkatan TNF-α (90 menit)
dan IL-6 (3 jam). Selain itu, TNF-α kembali ke baseline setelah 6 jam dan IL-6 8 jam,
menyebabkan rentang waktu pengujian kedua sitokin ini sangat sempit dalam
penggunaannya

Sumber :
Sumber: Milizia A. 2019. Penatalaksanaan Sepsis. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika.
Vol. 2(3); 28-37. Dilihat pada 1 September 2021. Dari: http://jknamed.com

6. Komplikasi
Jawab:
Terdapat beberapa komplikasi dari pneumonia yaitu:
a) Efusi Pleura
Pada pneumonia infeksi parenkim paru akan menyebabkan aktivasi makrofag
alveolar yang akan mengeluarkan sitokin inflamasi yang merangsang peningkatan
permeabilitas vaskular. Permeabilitas vascular yang meningkat menyebabkan cairan
kaya protein keluar dari vaskular menuju interstisial sehingga dapat menyebabkan
effusi pleura eksudat.
b) Abses paru
Abses paru adalah nekrosis jaringan pulmoner dan pembentukan kavitas yang
berisi debris nekrotik atau cairan yang disebabkan infeksi bakteri. Pembantukan abses
kadang-kadang disebut sebagai nekrosis pada pneumonia. Kegagalan untung
mengenali dan mengobati abses paru berakibat prognosa yang buruk.
c) Sepsis
Sepsis dapat terjadi apabila kuman di parenkim paru menyebar melalui
pembuluh darah dan menyebabkan reaksi inflamasi sistemik yang ditandai dengan 2
dari 4 kriteria yaitu: demam ( suku tubuh > 38o C) atau (hipotermia) lebih kecil dari
36oC, takipnea (laju pernafasan lebih besar dari 24 x per menit), takikardi ( denyut
jantung lebih dari 90x/menit), dan leukositosis ( lebih besar dari 12.000/L) atau
leukopenia ( >4.000/L) atau neutrophil batang >10% (PDPI, 2011).

Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2011.

7. Mekanisme rujukan sepsis


Jawab:
Diagnosis PPK 1 PPK 2 PPK 3
Sepsis et Skrining dan Penegakkan Penegakkan
causa
Pneumonia diagnosis klinis diagnosis diagnosis
Penanganan di
- Penangan Penanganan untuk PPK 3
an pneumonia :
pendahulu - Pneumonia Saran /
an dengan Prasarana :
- Rujuk penyulit. - ICU /
PPK 2 - Pneumonia Ventilat
(RS dengan or.
Kelas B / penyakit - CT
RS penyerta Scan.
Regional) (DM /
Gagal Rujuk PPK 3
Ginjal, puncak /
Keganasan, rujukan
dll). nasional bila
- Pneumonia tidak tertangani
dengan di PPK 3
HIV.

Sarana / Prasarana :
- Foto
Thorax.
- USG.
- CT Scan.

Rujuk Ke PPK 3
bila :
- Pneumonia
dengan
impending
gagal napas.
- Pneumonia
dengan
gagal napas.
- Pneumonia
dengan
sepsis /
septic syok.
Sumber :
- Rosyid, A., N., Marhana, I., A., Hasan, H. 2020. Kedokteran Respirasi 2020. Surabaya
: Airlangga University Press.
- Guntur, H., A. 2008. Sirs, Sepsis dan Syok Septik (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan). Surakarta : UNS Press.

8. Scoring pneumonia ( PSI Dan CURB 65 )


Jawab:

Skor PSI adalah skor dengan 20 variabel yang mengklasifikasikan pasien ke dalam lima
kategori risiko. Skor PSI menggunakan 3 variabel demografis (usia, jenis kelamin dan
tempat tinggal panti jompo), 5 variabel komorbiditas (gagal jantung kongestif, penyakit
serebrovaskular, kanker, penyakit ginjal dan penyakit hati), 5 variabel pemeriksaan fisik
(takipnea, takikardia, tekanan darah, kesadaran dan suhu tubuh) dan 7 variabel dari tes
laboratorium dan radiologis. Tujuan dari sistem skoring ini adalah untuk mengidentifikasi
pasien dengan risiko kematian dan rencana perawatan pasien untuk rawat jalan atau rawat
inap. Skor PSI dipakai di Negara Amerika bagian Utara dan Australia. Penilaian beratnya
pneumonia menggunakan skor PSI seperti yang dapat dilihat pada table.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) merekomendasikan jika menggunakan PSI Kriteria
yang di pakai untuk indikasi rawat inap pasien pneumonia komunitas adalah:

1. Skor PSI lebih dari 70


2. Bila Skor PSI kurang dari 70, pasien tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah

satu dari kriteria di bawah ini:

1. Frekuensi Nafas > 30 kali / menit


2. PaO2/FI02 kurang dari 250 mmHg
3. Foto toraks menunjukkan infiltrat multilobus
4. Tekanan Sistolik < 90 mmHg
5. Tekanan Diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA.
Kelebihan skor PSI ini adalah skor ini menggunakan variabel yang lebih teliti

karena mengunakan 20 variabel, akan tetapi kekurangannya adalah skor ini memerlukan waktu
yang lebih lama untuk mengumpulkan data dari 20 variabel tersebut apabila dibandingkan
dengan skor CURB-65 yang hanya menggunakan 5 variabel.

Skor CURB-65 adalah skor klinis yang lebih sederhana daripada PSI karena hanya
menggunakan lima variabel: kebingungan, urea, laju pernapasan, tekanan darah dan usia yang
lebih tua dari 65 tahun. Skor CURB-65 dikembangkan sebagai modifikasi dari skor British
Thoracic Society CURB. Pada tahun 2003 variabel usia lebih dari atau sama dengan 65 tahun
ditambahkan sebagai faktor risiko. Seperti halnya PSI, CURB- 65 dikembangkan untuk
memprediksi risiko kematian 30 hari. Skor ini ini telah direkomendasikan oleh Guideline British
Thoracic Society sejak 2004 dan juga direkomendasikan oleh Guideline IDSA / ATS untuk
pneumonia komunitas.10 Skor CURB-65 dipakai di Negara-negara Eropa, Belanda, Swedia dan
Inggris. Skor CURB- 65 adalah penilaian terhadap setiap faktor risiko yang diukur. Setiap nilai
faktor risiko dinilai satu. Faktor-faktor risiko tersebut adalah:
1. Confussion, didefinisikan sebagai disorientasi pada orang, waktu dan tempat
2. Urea> 7 mmol/L atau BUN (Blood Urea Nitrogen) > 19 mg/dL
3. Respiratory Rate ≥ 30 / menit
4. Blood Pressure : Sistolik < 90 mmHg atas Diastolik ≤ 60 mmHg
5. Age≥ 65 Tahun.

Kelebihan penggunaan skor CURB-65 ini apabila dibandingkan dengan PSI skor adalah lebih
sederhana dalam penggunaannya karena hanya menggunakan 5

variabel, sedangkan Skor PSI menggunakan 20 variabel yang tentunya lebih kompleks dan
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengumpulkan variabelnya.
sumber :
Pakpahan, F., S. 2020. PERBANDINGAN AKURASI SKOR CURB-65 DAN SKOR PSI
(PNEUMONIA SEVERITY INDEX) DALAM MENENTUKAN PROGNOSIS PADA PASIEN
PNEUMONIA KOMUNITAS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

9. Patomekanisme sepsis dibuat bagan


Jawab:

Sumber :
Dugar, S., Choudhary, C., Duggal, A. 2020. Sepsis and septic shock: Guideline-based
management. Cleveland Clin J Med. 87(1):53-64.

10. Epidemiologi sepsis (Gunakan data yang dekat dengan wilayah geografis)
Jawab:
Kejadian sepsis secara global sulit untuk dipastikan, meskipun publikasi ilmiah terbaru
memberikan estimasi bahwa pada tahun 2017 terdapat 48,9 juta kasus dan 11 juta
kematian yang berkaitan dengan sepsis di seluruh dunia yang menyumbang hampir 20%
dari semua kematian global. Pada tahun 2017, hampir sebagian dari keseluruhan kasus
sepsis di dunia terjadi diantara anak-anak dengan estimasi 20 juta kasus dan 2,9 juta
kematian di dunia pada anak usia di bawah 5 tahun. Terdapat disparitas regional yang
signifikan dalam insiden dan kematian sepsis. Sekitar 85,0% kasus sepsis dan kematian
terkait sepsis di seluruh dunia terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah
(WHO, 2020)
Kejadian sepsis di negara berkembang yaitu 2,5 juta pasien per tahun dan memiliki
tingkat mortalitas sekitar 650.000 pasien per tahun. Hal ini menyebabkan terdapat 19 juta
kasus sepsis dalam satu tahun secara global dengan perkiraan 5 juta kematian. Estimasi
ini sangat tidak akurat karena terdapat kekurangan pada data epidemiologi pada negara
dengan pendapatan rendah dan menengah. Kurangnya layanan primer yang memadai,
pencegahan infeksi yang adekuat, penanganan antibiotik yang tepat waktu, buruknya
tingkat kepegawaian dan penanganan kondisi kritis adekuat menyebabkan perbedaan
situasi pada negara ini. Data WHO pada tahun 2015 yaitu 3 penyakit infeksi yang
termasuk dalam 10 penyakit penyebab kematian di seluruh dunia pada tahun 2015 yaitu
lower respiratory disease, diare, dan tuberkulosis dengan kombinasi mortalitas 7.3 juta
orang. Sebagian besar dari kematian ini terjadi di negara berkembang. Tingkat kematian
sepsis menurun di negara berkembang akibat kesadaran lebih awal dan penanganan klinis
(Wiersinga & Seymour, 2018).
Sepsis diderita oleh 75.000 pasien setiap tahun di Amerika serikat dan merupakan
penyebab utama kematian pada pasien dengan kondisi kritis. Sepsis menyebabkan
kematian lebih dari 210.000 orang per tahun. Sebanyak 15% pasien dengan sepsis akan
menjadi syok septik, yang merupakan 10% dari pasien di intensive care units (ICUs) dan
memiliki tingkat kematian lebih dari 50%. Kejadian sepsis meningkat dua kali lipat di
Amerika serikat antara tahun 2000 dan 2008, kemungkinan disebabkan oleh penyakit
kronik pada populasi lansia disertai peningkatan resistensi antibiotik dan peningkatan
prosedur invasif, obat imunosupresan, dan kemoterapi (Dugar et al., 2020)
Sumber:
Dugar, S., Choudhary, C., Duggal, A. 2020. Sepsis and septic shock: Guideline-based
management. Cleveland Clin J Med. 87(1):53-64.

Wiersinga, W.J., Seymour, C.W. 2018. Handbook of Sepsis. Cham: Springer


International Publishing AG.

World Health Organization. 2020. Sepsis.


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/sepsis. 31 Agustus 2021 (16:30).

11. Diagnosis banding kasus


Jawab:
Untuk diagnosis banding dari sepsis yaitu Sirs, Sepsis Berat,Syok Sepsis. Pada sepsis
yang menimbulkan disfungsi organ merupakan sepsis berat yang berkembang menjadi
syok sepsis. Dimana setiap diagnosis banding ini memiliki kriteria masing-masing
sebagai berikut:
Sumber : Putra, I. M. P. (2018). Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. Cermin Dunia
Kedokteran, 45(8), 606-609.
Sumber : Putra, I. M. P. (2018). Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. Cermin Dunia
Kedokteran, 45(8), 606-609.

Anda mungkin juga menyukai