Anda di halaman 1dari 40

Clinical Science Session (CSS)

FISIOLOGI RESPIRASI TERHADAP ANESTESI

OLEH :
Fathia Deliza 1740312203
Rina Pratiwi Annur 1110312007
Putri Damayanti 1210312098

PRESEPTOR :
dr Rinal Effendy, Sp An

BAGIAN ILMU ANESTESI


RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan ilmiah yang berjudul
“Fisiologi respirasi terhadap anestesi”. Laporan kasus ini ditujukan sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RSUP DR M Djamil Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rinal Effendy, Sp.An
sebagai preseptor. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang membaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap
makalah ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman
tentang “Fisiologi respirasi terhadap anestesi” terutama bagi diri penulis dan bagi
rekan-rekan sejawat lainnya.

Padang, 5 Mei 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Bab I Laporan Kasus
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1.1 Fisiologi Respirasi
2.1.2 Anestesi Secara Umum
2.1.3 Fisiologi Respirasi terhadap Anestesi
Bab III Kesimpulan
Daftar Pustaka

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepentingan dari fisiologi sistem respirasi terhadap praktek anestesi sudah
cukup jelas. Salah sastunya adalah anestesi agen inhalasi yang sangat bergantung
kepada kemampuan uptake dan eliminaso oleh paru. Selain itu, efek samping yang
paling umum dari anestesi umum (GA, general anestesi) adalah gangguan pada
sistem respirasi. Efek lain dari tindakan anestesi seperti paralisis otot, perubahan
posisi pada operasi, dan penggunaan teknik anestesi tertentu (eg. one-lung
anesthesia, dan cardiopulmonal bypass) dapat merubah fisiologi respirasi normal.1
Praktik anestesi sangat berhubungan erat dengan sistem respirasi. Oleh
karena itu, makalah ini membahas mengenai fisiologi respirasi terhadap anestesi
untuk membantu meningkatkan pemahaman dokter muda dan meningkatkan
kemampuannya dalam praktek anestesi.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang fisiologi respirasi, fisiologi anestesi serta
fisiologi respirasi terhadap anestesi.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda mengenai fisiologi respirasi terhadap anestesi sekaligus
sebagai kegiatan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Anestesi RSUP Djamil.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang
merujuk kepada beberapa literatur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Respirasi


2.1.1 Anatomi Respirasi Fungsional
1. Dinding thorax dan otot respirasi1
Dinding thorax berisi dua paru, yang masing-masingnya dilapisi oleh
pleura. Bagian apeks dari rongga dada berukuran kecil, dan memberikan ruang
untuk trakea, pembuluh darah dan esofagus, sedangkan bagian basal dari rongga
dada dibatasi diafragma.
Diafragma adalah otot pernapasan yang terpenting. Kontraksi dari
diafragma akan menurunkan dasar dari dinding dada hingga 1.5 – 7 cm, dan
memberikan ruang untuk paru mengembang. Perubahan dari diafragma
mempengaruhi hingga 75% perubahan pada volume rongga dada. Otot pernapasan
aksesoris juga ikut andil dalam meningkatkan volume dada dan ekspansi dari paru
, melalui kerja mereka terhadap tulang costae. Proses ini dibantu dengan kontraksi
otot aksesoris respiratorik yang mengembangkan dada keatas dan keluar. Otot –
otot tersebut antara lain ialah; intercostal muscle (internal dan external),
abdominal muscle, cervical strap muscle, sternocleidomastoid muscle, pectoralis
muscle dan intervertebral muscle of shoulder girdle. Walaupun tidak selalu
dianggap sebagai otot pernafasan, beberapa otot faring juga berfungsi dalam
mempertahankan patensi jalan nafas. Tonus dan aktivitas refleks saat inspirasi
pada otot genioglossus menjaga lidah jauh dari dinding faring posterior. Aktivitas
tonus dari otot levator palatina, tensor palatina, palatofaringeus dan palatoglossus
mencegah soft palate terjatuh ke belakang ke arah dinding faring posterior,
terutama saat posisi supine.
2. Trakeobronkial Tree1
Tracheobronchial tree mempunyai fungsi untuk menyediakan gas dari dan
untuk alveoli. Trakea dimulai dari cricoid cartilage sampai titik carina dengan
panjang kurang lebih 10-13 cm dan pada karina trakea akan terbagi dua menjadi
bronkus kiri dan kanan (tracheal bifurcation). Pembagian ini terletak disekitar
angulus ludovici. Bronkus kanan memiliki sudut yang lebih tajam dibandingkan

5
dengan bronkus kiri (manifestasi klinisnya ialah lebih sering terjadi penyumbatan
pada paru kanan dibandingkan kiri). Selanjutnya bronkus kanan akan terbagi
menjadi tiga sesuai dengan jumlah lobus di paru kanan sedangkan bronkus kiri
akan terbagi menjadi dua sesuai dengan jumlah lobus di paru kiri.

Dalam prosesnya membekali masing – masing paru, trakea bercabang


sampai dengan alveoli menurut hukum dichotomous division, dimana setiap
ranting bercabang menjadi dua cabang baru hingga mencapai 23 divisi . Selain
percabangan yang semakin banyak, terjadi juga perubahan struktur dari saluran
pernafasan. Yang awalnya berupa sel kolumnar bersilia lalu berubah menjadi
kuboid dan sel epithelium pada respiratory bronchioles (divisi ke 17-19). Sel
epithelium yang datar ini memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Dinding dari
bronkus juga akan kehilangan struktur cartilage dan otot polos yang awalnya
dimilikinya sehingga cabang saluran pernapasan yang kecil menjadi elastis dan
diameternya bergantung pada volume paru. Dinding dari saluran nafas juga
berangsur-angsur akan kehilangan kartilagonya (bronkiolus) kemudian otot
polosnya. Hilangnya kartilago akan menyebabkan patensi dari jalan nafas kecil
menjadi sangat begantung terhadap traksi radial dan kemampuan recoil elastik
dari jaringan sekitarnya. Diameter jalan nafas menjadi sangat dipengaruhi oleh
jumlah total volume paru.
3. Alveoli1
Besar alveoli kurang lebih 0.05 – 0.33 m yang dipengaruhi oleh gravitasi
(terbesar pada apeks dan terkecil pada dasar paru) dan volume paru. Setiap alveoli
berdekatan dengan jaringan kapiler pulmoner. Pada bagian yang tipis akan terjadi

6
pertukaran gas melalui endotel kapiler dan epitel alveoli yang hanya dilapisi oleh
lapisal tipis sel dan membrane basal. Pada bagian yang tebal terdapat pertukaran
cairan dan solute melalui epitel alveoli dan endotel kapiler yang dilapisi oleh
ruang interstitial pulmoner yang terbentuk oleh elastin, kolage, dan serabut saraf.
Terdapat dua tipe epitel pulmoner yaitu ; pneumocyte type I dan
pneumocyte type II. Pneumocyte type I terdapat dalam jumlah lebih dikit dan
membentuk tight junction (1 mm) satu dengan yang lain untuk mencegah
masuknya molekul besar seperti albumin kedalam alveoli. Pneumocyte type II
terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dan merupakan round cell yang berisi
surfaktan. Pneumocyte type II juga mampu untuk berdivisi dan menghasilkan
pneumocyte type I serta resisten terhadap toksisitas oksigen.
4. Sirkulasi Pulmonal dan Sirkulasi Limfatik1
Paru diperdarahi oleh dua sirkulasi yaitu sirkulasi pulmoner dan sirkulasi
bronchial. Sirkulasi bronkial berasal dari jantung kiri dan berfungsi untuk
membawa kebuttuhan metabolisme untuk tracheobronchial tree. Percabangan
dari arteri bronkial akan memperdarahi dinding dari bronkus hingga ke terminal
bronkiol. Dalam perjalanannya, pembuluh darah bronkial akan beranastomosis
dengan sirkulasi arteri pulmoner dan terus berlanjut hingga duktus alveolus.
Sirkulasi pulmoner mendapatkan suplai darah dari jantung kanan melalui
arteri pulmoner, yang terbagi menjadi dua untuk memperdarahi paru kanan dan
kiri. Darah yang belum teroksigenasi akan mengalir melalui kapiler pulmoner
5. Inervasi1
Otot diafragma di inervasi oleh phrenic nerve (yang berasal dari C3 – C5)
dan lesi unilateral dapat menyebabkan penurunan fungsi sebanyak 25%,
sedangkan lesi bilateral dapat menyebabkan penurunan fungsi yang lebih berat
walau dapat dikompensasi melalui penggunaan otot respiratorik aksesoris.
Intercostal muscle di inervasi oleh intercostal thoracic nerve root. Implikasi
klinisnya ialah lesi pada vertebra C5 keatas dapat menyebabkan depresi
pernafasan berat karena mengenai persarafan phrenic dan intercostal thoracic
nerve root.
Vagus nerve menginervasi sensorik terhadap tracheobronchial tree dan
menyebabkan bronkokonstriksi serta peningkatan sekresi mukus melalui

7
muscarinic receptors. Tracheobronchial tree juga dipersarafi oleh persarafan
simpatik dan parasimpatetik. Persarafan simpatik dari T1 – T4 memediai
bronkodilasi serta mengurangi sekresi melalui β-2 receptor. Persarafan simpatik
memberikan efek signifikan terhadap sistem respirasi diantaranya adalah α-1
(vasokonstriksi) dan β-2 (vasodilasi). Persarafan parasimpatetik yang memberikan
efek vasodilasi kebanyakan di mediasi oleh pelepasan nitric oxide.

2.1.2 Mekanisme Pernafasan1


Untuk menghasilkan pertukaran gas pada paru, harus terjadi ventilasi dari
dan menuju alveoli, difusi melalui kapiler alveoli dan sirkulasi atau perfusi dari
kapiler pulmonal. Ventilasi spontan timbul karena adanya perubahan tekanan
internal rongga dada. Ventilasi mekanik timbul karena adanya tekanan intermiten
positif pada saluran nafas atas.
1. Ventilasi Spontan1
Variasi tekanan normal saat pernafasan spontan terlihat pada gambar 2.2.
Tekanan di dalam alveoli selalu lebih besar daripada tekanan disekitarnya
(tekanan intrathorax) kecuali jika alveoli kolaps. Tekanan alveoli sama dengan
tekanan atmosfer (0 mmHg) saat akhir inspirasi dan akhir ekspirasi. Tekanan di
jalan nafas (tekanan transpulmonal) dapat dihitung dengan rumus :
Ptranspulmonal = P alveolar – P intrapleural
Pada akhir ekspirasi, tekanan intrapleural normalnya sekitar -5 cmH2O,
dan karena pada akhir ekspirasi tekanan alveolar adalah 0 (tidak ada aliran), maka
tekanan transpulmonal adalah +5 cmH2O.
Diafragma dan otot interkostal aktif saat inspirasi untuk mengembangkan
rongga dada dan akan menurunkan tekanan intrapleura dari -5 cmH2O menjadi -8
s/d -9 cmH2O. Akibatnya, tekanan alveolar juga ikut menurun (antara -3 s/d -4
cmH2O) dan udara akan mengalir dari saluran nafas atas menuju ke alveoli. Pada
akhir inspirasi (ketika aliran udarah sudah berhenti), tekanan alveolar kembali
menjadi 0, namun tekanan intrapleura tetap rendah (karena paru masih
mengembang) dan adanya tekanan transpulmonal (5 cmH2O) membantu
mempertahankan ekspansi paru.

8
Saat ekspirasi, relaksasi diafragma mengembalikan tekanan intrapleura
menjadi -5 cmH2O. Pada saat ini, tekanan transpulmonal yang baru tidak dapat
membantu mempertahankan ekspansi paru dan daya rekoil dari paru
menyebabkan udara mengalir keluar dari alveoli dan volume paru akan berkurang.
2. Ventilasi Mekanik1
Kebanyakan ventilasi mekanik secara intermiten memberikan tekanan
positif terhadap saluran nafas atas. Saat inspirasi, aliran gas akan menuju ke
alveoli sampai tekanan alveoli sama dengan tekanan pada saluran nafas atas. Saat
ekspirasi, tekanan positif pada ventilator akan hilang/berkurang, sehingga
gradiennya berbalik dan gas akan mengalir keluar dari alveoli.

3. Distribusi ventilasi1
Ventilasi alveolar tidak menyebar sama rata di seluruh lapang paru dan
dipengaruhi oleh posisi tubuh. Paru kanan mendapatkan ventilasi lebih banyak
dan area paru bawah juga lebih terventilasi dibandingkan paru bagian atas karena

9
pengaruh gravitasi yang mengakibatkan perbedaan tekanan transpulmonary
menjadi lebih besar.
Tekanan intrapleura akan semakin menjadi positif untuk setiap penurunan
tinggi paru (lokasi paru yang semakin keatas). Karena tekanan transpulmonary
yang tinggi, alveoli pada paru bagian atas cenderung sudah mengembang dengan
maksimal dan hanya dapat mengembang lagi lebih sedikit saat terjadi inspirasi.
Sedangkan alveoli pada area paru bawah memiliki tekanan transpulmonary yang
lebih rendah sehingga lebih mudah mengembang saat inspirasi.

Tekanan Yang Mempengaruhi Keluar Masuknya Udara di Paru1


Paru merupakan struktur elastis yang memiliki kecenderungan untuk
kolaps seperti balon dan mengeluarkan udara keluar menuju trakea jika tidak ada
tekanan yang menjaganya tetap mengembang. Selain itu paru juga tidak
menempel pada dinding dada, melainkan mengambang seperti hanya di tempelkan
ke dada. Hal ini dapat terjadi karena disekitar paru terdapat cairan pleura. Cairan
pleura tersebut secara terus-menerus akan dihisap oleh jaringan limfatik. Hisapan
tersebut yang mengakibatkan paru tetap dapat menempel pada dinding dada
karena menghasilkan tekanan negatif.
1. Pleural Pressure
Pleural pressure adalah tekanan diruang intrapleural ( antara pleura viseral
dan pleura parietal ) yang berasal dari hisapan yang kecil jaringan limfatik
terhadap cairan pleura didalamnya. Pleural pressure memiliki tekanan yang
negatif. Pada saat inspirasi pengembangan paru dan pengangkatan tulang iga
kearah luar akan semakin membuat tekanan menjadi negatif. Tekanan yang
negatif ini akan meningkatkan volume paru.
2. Alveolar Pressure
Alveolar pressure adalah tekanan yang berasal dari udara didalam alveoli.
Saat glottis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir dari dan ke paru, tekanan
pada seluruh saluran pernasan respirastorik sama dengan tekanan atmosfer – dan
disebut sebagai zero reference pressure. Untuk menarik udara masuk ke alveoli
saat inspirasi, tekanan di alveoli harus turun menjadi sedikit dibawah tekanan

10
atmosfer. Begitu juga saat ekspirasi tekanan di alveoli harus naik diatas tekanan
atmosfer.
3. Transpulmonary Pressure
Transpulmonary pressure adalah perbedaan antara tekanan di alveoli
dengan tekanan pleura. Perbedaan tekanan ini merupakan ukuran untuk
mengetahui dorongan elastis paru untuk kolaps pada setiap kali respirasi, yang
disebut “recoil pressure”

2.1.3. Mekanik Sistem Respirasi1


Pergerakan paru bersifat pasif dan bergantung kepada resistensi elastik
jaringan, hubungan gas-liquid, dan resistensi aliran udara. Resistensi elastik
berpengaruh terhadap volume paru dan berhubungan dengan tekanan pada kondisi
statis (tidak ada aliran udara). Resistensi terhadap aliran udara berhubungan
dengan resistensi friksional terhadap aliran udara dan deformasi jaringan.
1. Resistensi Elastik
Kedua paru dan dinding dada memiliki kemampuan elastis. Dinding dada
memiliki kecenderungan untuk mengembang keluar dimana paru memiliki
kencenderungan untuk kolaps. Ketika dada terekspos pada tekanan atmosfer
(pneumothorax terbuka), rongga dada cenderung mengembang sedangkan paru
cenderung kolaps dan udara yang berada didalam paru akan terdorong keluar.
Kemampuan rekoil dari dinding dada akibat adanya tonus otot dinding dada dan,
sedangkan kemampuan rekoid paru akibat banyaknya jaringan elastin dan
surfaktan
2. Surface tension dan surfaktan
Prinsip dari surface tension adalah seperti tetesan air. Saat air bertemu
dengan udara, molekul air yang ada di permukaan tersebut akan berikatan dengan
lebih kuat satu sama lain. Sebagai hasilnya, permukaan air tersebut akan
cenderung berkontraksi. Inilah yang mengakibatkan tetesan air dapat tetap
menyatu ; karena adanya kontraktil dari membran yang sangat kuat dari molekul
air yang menyusun seluruh permukaannya.
Permukaan dalam alveoli juga tersusun dari lapisan air. Lapisan air ini
juga berkontraksi dan akan mendorong udara di alveoli keluar melewati bronkial

11
sehingga alveoli memiliki kecenderungan untuk kolaps. Ini menyebabkan tekanan
kontraktil elastis diseluruh paru yang disebut “surface tension elastic force”.
Surfactant merupakan agen yang dapat menurunkan tekanan permukaan
dari air. Surfactant disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II, yang membentuk 10%
dari area permukaan alveoli. Surfactant bekerja menurunkan tekanan permukaan
air dengan larut sebagian di ke permukaan alveolar, dan sebagian lainnya tetap
berada menyebar diseluruh permukaan air di alveoli. Molekul yang tetap berada di
permukaan air alveolar akan menurunkan tekanannya setengah hingga seperdua
belas tekanan permukaan air normal.
3. Compliance
Paru-paru dapat kempes seperti balon karet sehingga dibutuhkan tekanan
tertentu untuk menjaganya tetap mengembang. Tekanan yang dibutuhkan untuk
menjaga paru tetap mengembang pada volume gas tertentu adalah tekanan pleural
minus tekanan alveolar, atau yang disebut “transpulmonary pressure” (Ptp).

Compliance adalah kemampuan paru untuk mengembang. Compliance


dapat dirumuskan sebagai perubahan dari volume paru dibagi dengan perubahan
dari tekanan yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume (atau penurunan
tekanan yang diikuti oleh penurunan volume). Compliance paru normal sebesar
0.2 hingga 0.3 L/cmH2O. Peningkatan volume paru akan menurunkan
compliance.

Dinding dada juga memiliki kemampuan untuk mengembang dan tidak


terdeteksi saat pernafasan spontan. Compliance dinding dada dapat dirumuskan
sebagai perubahan volume paru dibagi dengan perubahan dari tekanan pleural .
Compliance dari dinding dada memiliki angka yang sama dengan paru yaitu
sekitar 200 mL/cmH2O.

12
2.1.3 Volume Paru1,2,3
1. Kapasitas Paru Total dan Subdivisinya
Terdapat empat jenis volume di paru yang jika digabungkan akan menjadi
volume maksimum paru dapat mengembang :
a. Volume tidal adalah volume udara yang dapat diinspirasi atau diekspirasi
untuk setiap pernafasan normal. Jumlahnya sekitar 500 ml pada laki-laki
dewasa.
b. Inspiratory reserve volume adalah volume udara ekstra yang masih dapat
di inspirasi dengan inspirasi kuat, diluar volume tidal. Volumenya sebesar
3000 ml.
c. Expiratory reserve volume adalah volume udara ekstra yang masih bisa di
ekspirasikan dengan ekspirasi kuat, diluar dari volume tidal. Volumenya
sebesar 1100 ml.
d. Residual volume (RV) adalah udara yang tersisa di paru setelah ekspirasi
maksimum. Jumlahnya sekitar 2-2.5 L. Hal ini dapat terjadi karena saluran
pernafasan distal yang memiliki diameter kurang dari 2 mm akan menutup
sebelum alveoli kolaps. Gas yang terperangkap didalamnya akan
mencegah alveoli kosong dan kempes. Yang kedua, karena dinding dada,
tulang kosta, dan diafragma tidak dapat terdistorsi hingga seluruh gas di
paru dapat keluar.
Kapasitas paru adalah kombinasi dari dua atau lebih volume paru.
Terdapat 4 kapasitas paru yaitu :
a. Inspiratory capacity adalah volume udara yang dapat diinspirasi oleh paru
secara maksimal. Kapasitas ini merupakan volume tidal ditambah
inspiratory reserve volume yang jumlahnya 3500 ml.
b. Functional residual capacity adalah jumlah udara yang tersisa di paru
setelah ekspirasi normal. Kapasitas ini merupakan expiratory reserve
volume ditambah residual volume dengan besar volumenya 2300 ml.
c. Vital capacity adalah volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan
dari paru setelah sebelumnya paru diisi udara hingga maksimum lalu
dilanjutkan ekspirasi maksimum. Kapasitas ini merupakan inspiratory

13
reserve volume ditambah tidal volume dan besarnya adalah 4600 ml atau
60-70 mL/kg.
d. Total lung capacity (TLC) adalah volume maksimum yang bisa
mengakibatkan paru mengembang maksimal dengan usaha inspirasi
maksimal. Kapasitas ini merupakan vital capacity ditambah residual
volume. Jumlahnya sekitar 6-8 L. TLC dapat meningkat pada pasien
dengan COPD karena ekspansi berlebihan atau hiperinflasi dari alveoli
normal, atau kerusakan dari dinding alveoli sehingga kehilangan
elastisitasnya seperti pada emfisema.

14
Minute respiratory volume adalah volume udara baru yang masuk ke
saluran pernapasan setiap menitnya. Ini merupakan tidal volume dikali frekuensi
pernapasan per menit. Minure respiratory volume besarnya 6 L/menit.

2. Functional Residual Capacity (FRC)


Functional residual capacity (FRC) adalah jumlah udara yang tersisa di
paru setelah ekspirasi pasif. Jumlahnya kurang lebih 3-4 L dan bergantung pada
jenis kelamin, umur, tinggi badan dan berat badan. FRC meningkat pada orang
yang tinggi dan usia tua, serta turun pada orang yang gemuk dan pendek.
Volume dari FRC dipengaruhi oleh tekanan kedalam oleh paru dan
tekanan keluar oleh dinding dada. Tekanan kedalam oleh paru atau “elastic
recoil” dipengaruhi oleh jaringan paru yang elastis, tekanan kontraksi dari otot-
otot polos pernapasan, dan tekanan permukaan dari alveoli. Sedangkan tekanan
keluar oleh dinding dada dipengaruhi oleh tulang kosta, sendi, dan otot.
Terdapat dua alasan mengapa masih ada gas yang tersisa setelah ekspirasi.
Yang pertama, jika alveoli sepenuhnya kolaps saat terjadi ekspirasi, lebih banyak
usaha yang dibutuhkan untuk mengembangkannya lagi dibandingkan jika pada
pernapasan normal dimana alveoli tidak kolaps karena masih tersisa gas
didalamnya. Alasan yang kedua, udara yang terinspirasi akan bercampur dengan
gas yang tersisa di paru, sehingga akan menyamakan konsentrasi O2 dan CO2
didalam paru yang awalnya berbeda selama terjadi siklus respirasi. Jika hanya ada
sedikit udara di paru, konsentrasi gas di alveoli akan menjadi lebih besar dan akan
juga mempengaruhi PaO2 dan PaCO2 di darah.
Pada peningkatan ventilasi, seperti saat aktivitas fisik, VT (volume tidal)
juga akan meningkat sehingga FRC menurun hingga 0,5 L. namun jika terdapat
obstruksi pernapasan, seperti asma, ekspirasi akan melambat sehingga level
ekspirasi akhir akan meningkat. Hal ini disebut “air trapping” dan berfungsi
untuk menurunkan resistensi aliran udara pada jalan pernapasan yang menyempit.

3. Closing Capacity
Saluran nafas kecil tidak memiliki kartilago untuk menjaganya agar tidak
kolaps. Patensi pada saluran nafas kecil ini, terutama pada bagian basal paru,

15
sangat bergantung pada volume paru. Volume paru dimana jalan nafas mulai
kolaps/tertutup disebut closing capacity. Pada volume paru yang lebih rendah,
alveoli pada area jalan nafas yang sudah kolaps ini tetap akan terjadi perfusi
namun tidak lagi timbul ventilasi, sehingga dapat timbul intrapulmonal shunting
yaitu keadaan dimana darah melewati alveoli yang tidak memiliki supply oksigen.
Keadaan intrapulmonal shunting dapat menyebabkan hipoksemia.
Closing capacity normalnya berjumlah dibawah FRC, namun berangsur-
angsur meningkat dengan usia. Peningkatan ini kemungkinan berperan terhadap
penurunan normal yang berkaitan usia pada tekanan O2 arteri. Pada usia 44 tahun,
closing capacity berjumlah sama dengan FRC pada posisi supine. Pada usia 66
tahun, closing capacity sama dengan atau melebihi FRC pada posisi berdiri.
Berbeda dengan FRC, closing capacity tidak dipengaruhi oleh postur tubuh.

4. Dead Space dan Ventilasi Alveolar


Pernafasan tidal (ekspirasi dan inspirasi ) yang normal pada manusia
dewasa umumnya sekitar 0.5 – 0.6 L dengan frekuensi napas sekitar 16 kali/menit.
Sehingga ventilasi udara yang terjadi sebanyak 7 – 8 L/menit.
Seluruh udara yang diinspirasi tidak sepenuhya mencapai alveoli. 100-150
ml dari udara tidak ikut mengalami pertukaran dan tetap tinggal di saluran
pernapasan. Hal ini, yang disebut “dead space” menyumbang 30% dari volume
tidal (sehingga VDS/VT sebesar 0.3). Dead space adalah komposisi gas yang
terdapat di saluran pernafasan nonrespirasi dimana tidak terjadi pertukaran gas
(anatomic dead space) dan alveoli yang mengalami gangguan sehingga tidak
mendapatkan perfusi (alveolar dead space). Gabungan dari kedua komponen
tersebut disebut “physiologic dead space”. Volume tidal adalah jumlah udara di
volume paru yang akan mengalami pertukaran saat inspirasi dan ekspirasi. Udara
yang tersisa akan mencapai alveoli dan respiratory bronkiol. Jumlah ventilasi
alveolar sekitar 5L/menit, sama dengan jumlah cadiac output.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan jumlah ventilasi per menit
adalah aktivitas fisik, penurunan jumlah konsenstrasi oksigen yang diinspirasi,
peningkatan ventilasi dead space, dan asidosis metabolik.

16
Jika terjadi peningkatan pada dead space, ventilasi harus ditingkatkan
untuk menutup kehilangan udara ventilasi yang terjadi dan untuk menjaga PaCO2
tetap normal. Dead space umumnya meningkat jika ventilasi terjadi melalu alat
bantu seperti gudel, atau facemask. Ini disebut “apparatus dead space” dan
besarnya sekitar 25 hingga beberapa ratus mililiter, dibandingkan dengan 100-150
ml dead space dari pernapasan biasa “ anatomic dead space”.
Peningkatan dead space yang lebih besar bisa disebabkan oleh ventilasi
dari alveoli yang tidak mengalami perfusi, seperti pada emboli paru yang
menyebabkan aliran darah menuju paru tersumbat ( “alveolar dead space “).
Pasien yang menderita emboli pulmoner akan memiliki rasio VDS/VT yang tinggi
yaitu 0.7 – 0.8 , sehingga untuk menaga ventilasi alveolar tetap 5 L/menit,
ventilasi harus ditingkatkan dari yang normalnya 7-8 L/menit menjadi 20 L/menit.
Pasien lainnya yang akan mengalami peningkatan dead space adalah
pasien dengan penyakit paru obstruktif seperti asma, bronchitis kronik, dan
emfisema. Pada penyakit ini, beberapa daerah tidak dapat diventilasi dengan baik
karena obstruksi pernapasan, sehingga daerah tersebut akan mengalami penurunan
ventilasi dengan perfusi yang tetap ada. Keadaan ini disebut ventilation-perfusion
mismatch (VA/Q mismatch, dengan rasio VA/Q yang rendah). Kondisi ini
menyebabkan udara yang terinspirasi masuk ke daerah yang lain sehingga daerah
tersebut mengalami ventilasi yang berlebihan dibandingkan dengan perfusinya.

2.1.4 Distribusi Gas1,2,3,4

17
Udara yang terinspirasi tidak akan terdistribusi sama besar ke seluruh
lapangan paru. Pada pernafasan biasa, sebagian besar gas akan menuju ke daerah
yang lebih dibawah dan lebih tertekan – basal paru, area diafragma, dalam posisi
berdiri tegak atau duduk, serta daerah dorsal pada posisi supine.
Distribusi gas mengikuti gaya gravitasi. Selain itu distribusi gas juga
dipengaruhi oleh hubungan tekanan-volume paru dan peningkatan tekanan pleura
pada paru bagian bawah. Pada hubungan tekanan-volume, dengan meningkatnya
volume paru, lebih banyak tekanan yang akan dibutuhkan untuk menjaga paru
tetap mengembang. Pada peningkatan tekanan pleura, dengan tekanan alveolar
yang konstan pada seluruh lapang paru, menyebabkan tekanan transpulmonary
menurun mulai dari bagian atas hingga bagian bawah paru. Pada posisi berdiri,
apeks paru memiliki tekanan transpulmonar yang lebih tinggi dibandingkan
dengan basal paru yang lebih tertekan. Ventilasi lebih banyak terjadi pada basal
paru.
Yang mempengaruhi gradien tekanan pleura adalah berat dari paru sendiri,
dengan berat yang lebih ringan akan menghasilkan tekanan pleura yang lebih kecil
pada daerah yang lebih tinggi pada rongga dada dibandingkan dengan daerah yang
lebih rendah. Jika paru menjadi lebih berat, seperti edema, maka tekanan pleura
akan meningkat. Jika berat dikurangi maka tekanan pleura akan menurun.
Saluran pernapasan akan menjadi lebih sempit saat ekspirasi. Jika
dilakukan ekspirasi yang cukup kuat, saluran pernapasan pada daerah yang
tertekan akan menutup. Volume diatas RV saat saluran pernapasan mulai menutup
disebut closing volume (CV). CV ditambah dengan RV akan menghasilkan
closing capacity (CC). penutupan saluran pernapasan merupakan fenomena
fisiologi yang normal sebagai dampak dari meningkatnya tekanan pleura saat
ekspirasi. Tekanan dari luar saluran pernapasan yang lebih besar akan
mengkompresi saluran pernapasan hingga menutupnya. Karena tekanan pleura
lebih tinggi pada daerah yang tertekan ( bagian basal paru) maka saluran
pernapasan menutup mulai dari bagian bawah paru.

2.1.5 Difusi Gas1,2,3,4


1. Partial Pressure

18
Setelah terjadi ventilasi di alveoli, selanjutnya terjadi proses respirasi yaitu
difusi oksigen dari alveoli ke kapiler pulmoner. Gas akan bergerak dari area yang
berkonsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi gas yang rendah. Tekanan suatu
gas berbanding lurus dengan konsentrasi dari gas tersebut dalam suatu campuran
gas. Tekanan sendiri berasal dari molekul-molekul gas yang mengenai permukaan
saluran pernapasan.
Pada fisiologi respirasi, tiga gas yang berpengaruh dalam campuran udara
adalah oksigen, nitrogen dan karbon dioksida. Kecepatan difusi gas tersebut
berbanding lurus dengan tekananyang dimilik masing-masing gas disebut, yang
disebut partial pressure.
Pada udara komposisi nitrogen sebesar 79% dan oksigen sebesar 21%.
Total pressure dari udara sendiri sebesar 760 mmHg. Maka partial pressure dari
nitrogen adalah (79 x 760) 600 mmHg sedangkan partial pressure dari oksigen
sebesar (21 x 760) 160 mmHg. Total pressure adalah gabungan dari masing-
masing partial pressure gas yang membentuk udara.
Partial pressure suatu gas tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasinya
namun juga oleh solubility coefficient sesuai dengan Henry’s Law :

Beberapa gas seperti karbon dioksida sangat mudah larut dalam air dan
disebut memiliki solubility coefficient yang tinggi, sehingga karbon dioksida dapat
berdifusi dengan sangat mudah 20 kali lebih cepat dibandingkan oksigen. Untuk
gas lain yang tidak memiliki solubility coefficient yang besar, partial pressure
mereka akan meningkat sehingga mereka tetap dapat berdifusi.
Saat udara yang belum dihumidifikasi melalui saluran pernapasan, air
yang berada di permukaan saluran pernafasan akan menguap dan melembabkan
udara yang baru masuk. Air memiliki kecenderungan untuk berpindah ke gas.
Partial pressure yang dibutuhkan molekul air untuk berpindah ke gas disebut
vapor pressure. Nilai dari vapor pressure setelah gas sepenuhnya terhumidifikasi
dan keduanya dalam keadaan ekuilibrium adalah 47 mmHg.
Beberapa faktor yang mempengaruhi difusi gas adalah ; 1) perbedaan
partial pressure, 2) cross-sectional area dari cairan , 3) jarak yang harus dilalui
gas untuk berdifusi, 4) berat molekular gas, 5) temperatur dari cairan. Temperatur

19
umumnya konstan dan tidak terlalu diperhitungkan. Semakin besar solubilitas gas,
semakin banyak molekul yang akan berdifusi. Semakin besar cross-sectional area
dari area difusi, semakin banyak jumlah molekul yang berdifusi. Semakin jauh
jarak yang harus ditemuh molekul untuk berdifusi semakin lama waktu yang
dibutuhkan untuk difusi.

2. Difusi pada saluran pernafasan dan alveoli


Luas permukaan saluran pernafasan akan bertambah dari trakea hingga
alveoli. Luar pemukaan yang bertambah akan mengakibatkan kecepatan aliran gas
yang melewati saluran pernapasan melambat. Sehingga gas lebih cepat melakukan
transport melalui difusi antara alveoli dengan kapiler periferal.
Jika dimensi pada alveolar bertambah seperti pada penyakit emfisema,
jarak untuk berdifusi akan bertambah jauh sehingga pencampura udara yang
diinspirasi dengan udara di alveolar akan menjadi sulit.
Udara alveolar tidak memiliki konsentrasi yang sama dengan gas di udara
atmosfer karena 1) udara alveolar hanya tergantikan sebagian oleh udara atmosfer
setiap kali kita bernafas, 2) oksigen secara konstan diabsorbsi oleh darah
pulmoner dari udara alveolar, 3) karbon dioksida secara konstan akan berdifusi
dari darah pulmoner ke alveoli, 4) udara atmosfer yang memasuki saluran
pernafasan akan dihumidifikasi sebelum mencapai alveoli.
Udara atmosfer yang masuk ke saluran pernafasan akan terekspos dengan
air yang melapisi permukaan saluran pernafsan sehingga udara akan
terhumidifikasi. Air, dengan kecenderungan vapor pressurenya akan
mengencerkan seluruh gas dari udara inspirasi sehingga partial pressure gas
seperti oksigen akan berubah dari 159 mmHg menjadi 149 mmHg, serta partial
pressure nitrogen juga berubah dari 597 mmHg menjadi 563 mmHg.

3. Konsentrasi dan Partial Pressure Oksigen di Alveoli


Konsentrasi dan partial pressure oksigen di alveoli dipengaruhi oleh dua
hal yaitu ; 1) kecepatan absorbsi oksigen oleh darah pulmoner, 2) kecepatan
oksigen yang baru memasuki paru melalui ventilasi. Po2 di alveolar adalah 104

20
mmHg karena udara bercampur dengan udara yang sebelumnya sudah ada di
alveoli.

4. Konsentrasi dan Partial Pressure Karbon Dioksida di Alveoli


Pco2 pada alveoli sebesar 40 mmHg. Dan sama seperti oksigen, partial
pressure nya dipengaruhi oleh konsentrasi gas tersebut didalam alveoli.

5. Difusi Antara Alveolar – Membran Kapiler


Oksigen berdifusi secara pasif dari alveoli ke plasma untuk berikatan
dengan sel darah merah terutama dengan hemoglobin. Karbon dioksida berdifusi
dari plasma ke alveoli. Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah gas yang
mengalami difusi : 1) luas permukaan, 2) ketebalan membrane, 3) perbedaan
tekanan parsial gas antar membran, 4) berat molecular dari gas, 5) solubilitas gas.
Semakin kecil luas permukaan, semakin sedikit jumlah gas yang dapat
berdifusi. Semakin tebal membran, akan semakin jauh jarak untuk gas berdifusi
sehinga kapasitas difusi juga akan menurun. Sebagai contoh pada fibrosis paru,
solubilitas O2 dan CO2 akan menurun.
Untuk perbedaan gradient tekanan, semakin besar perbedaan tekanan gas
antara alveolus dan plasma kapiler, difusi akan terjadi semakin cepat. Sebagai
contoh Po2 di kapiler sebesar 40 mmHg dan Po2 di alveolar sebesar 100 mmHg
sehingga perbedaannya 60 mmHg dan oksigen akan berdifusi dari alveoli ke
kapiler dengan mudah.
Sedangkan untuk berat molekular, difusi berbanding terbalik dengan berat
molekular dari gas. Sehingga, semakin besar berat molekular suatu gas, difusi
akan semakin sulit. Untuk solubilitas gas, difusi berbanding linear dengan
solubilitas suatu gas di jaringan. CO2 walaupun memiliki berat molekul yang lebih
besar dari O2 tetapi memiliki solubilitas 30 kali lebih besar dibandingkan O2 di
air. Sehingga kemampuan difusi CO2 20 kali lebih besar dibandingkan O2.

2.1.6 Perfusi Pulmonal


1. Distribusi perfusi pulmonal

21
Aliran darah pulmoner tidak merata dan dipengaruhi oleh posisi tubuh,
dengan daerah bawah (dependent) paru menerima aliran darah lebih banyak
dibandingkan daerah atas (non dependent) paru. Hal ini disebabkan penambahan
tekanan akibat gravitasi 1 cmH2O/cm tinggi paru.
Walaupun tekanan perfusi pulmoner tidak seragam diseluruh lapang paru,
tekanan alveolar tetap konstan. Paru dibagi menjadi 4 bagian (West Zones) sesuai
dengan hubungan antar tiga tekanan yaitu PA (tekanan alveolar), Pa (tekanan arteri
pulmoner), Pv (tekanan vena pulmoner).
Zona 1 (PA>Pa>Pv) mengakibatkan obstuksi dari aliran darah dan
menghasilkan alveolar dead space. Zona 1 umumnya kecil pada pernafasan
normal, namun dapat meningkat pada positive pressure ventilation. Pada zona 2
(Pa > PA > Pv), aliran darah bergantung pada perbedaan tekanan antara Pa dan P A.
Pada zona 3 (Pa > Pv > PA), aliran darah tidak bergantung pada PA. Pada zona 4
(Pa > Pis ) Pv > PA), dibagian paru paling bawah, aliran darah bergantung dengan
perbedaan antara Pa dengan pulmonary interstitial pressure.

2. Ventilasi / Perfusi Ratio (V/Q Ratio)


Ventilasi alveolar (VA) normalnya sebesar 4L/menit, sedangkan perfusi
pulmoner (Q) sebesar 5L/menit. Sehingga V/Q ratio adalah 0.8 untuk setiap
alveolus dengan kapilernya masing-masing. Jika tidak ada ventilasi dengan
perfusi yang normal, jumlah rasionya adalah 0 (intrapulmonary shunt). Jika

22
ventilasi normal namun tidak dapat terjadi perfusi makan jumlah rasionya tidak
terhingga (alveolar dead space).
V/Q ratio berperan penting dalam oksigenasi darah vena serta eliminasi
karbon dioksida. Darah dari vena pulmoner yang berasal dari area dengan V/Q
ratio rendah memiliki PO2 yang rendah dan PCO2 yang tinggi sehingga
menyerupai darah dari vena sistemik.
Jika V nilainya 0 (tidak ada ventilasi) namun masih ada perfusi (Q) maka
V/Q nilainya 0. Udara di alveolus akan menjadi seimbang dengan oksigen dan
karbon dioksida yang terkandung didarah karena gas akan berdifusi dengan darah
dan tidak terjadi ventilasi. Partial pressure gas di udara tersebut akan sama
dengan partial pressure gas tersebut di vena sistemik. Po2 sebesar 40 mmHg dan
Pco2 sebesar 45 mmHg pada kondisi ini.
Jika nilai Q adalah 0 dimana tidak ada difusi yang terjadi, nilai rasionya
akan menjadi tak terhingga. Tidak ada aliran darah yang membawa oksigen ke
alveoli atau yang membawa karbon dioksida dari alveoli ke darah. Maka gas di
alveolar akan memiliki tekanan yang sama dengan udara yang terhumidifikasi.
Po2 sebesar 149 mmHg dan Pco2 sebesar 0 mmHg di alveoli.
Jika ventilasi dan perfusi di alveoli normal maka pertukaran oksigen dan
karbon dioksida akan optimal. Po2 di alveoli sebesar 104 mmhg yang merupakan
tekanan diantara tekanan di udara yang diinspirasi (149 mmHg) dengan tekanan
didarah vena (40 mmHg). Sedangkan Pco2 pada alveoli memiliki nilai 40 mmHg,
kontras dengan nilai di darah vena sebesar 45 mmHg dan 0 mmHg di udara yang
diinspirasi.
Jika V/Q memiliki nilai dibawah normal, dimana terdapat ventilasi yang
tidak adekuat untuk oksigenasi darah yang mengalir melalui kapiler alveolar,
maka akan terjadi shunting. Physiologic shunt adalah volume darah yang
mengalami shunting per menit. Darah yang mengalami shunting ini tidak
teroksigenisasi. Semakin besar angka physiologic shunt, semakin banyak volume
darah yang gagal teroksigenasi.
Jika V/Q memiliki nilai diatas normal, dimana ventilasi alveoli normal
namun aliran darah ke alveoli rendah, maka jumlah oksigen yang tersedia untuk
dibawa ke darah akan menjadi terlalu banyak. Ventilasi alveoli tersebut menjadi

23
sia-sia. Seperti juga ventilasi pada anatomical dead space yang berada di saluran
pernapasan. Gabungan dari kedua tipe ventilasi yang sia-sia ini disebut
“physiologic dead space”

3. Shunts
Shunting adalah kondisi dimana darah vena dari jantung kanan masuk ke
jantung kiri tanpa mengalami oksigenasi oleh paru. Hal ini menyebabkan
konsentrasi O2 arteri menurun, ini adalah tipe right-to-left shunt. Left-to-right
shunt disebabkan oleh kongesti paru dan tidak menyebabkan hipoksemia.
Shunt intrapulmoner dibagi menjadi dua yaitu absolut dan relatif. Shunt
absolut merujuk pada anatomic shunt (anatomic dead space) dan unit alveolar
dengan V/Q ratio 0 ( physiologic dead space). Sedangkan shunt relative memiliki
arti rasio V/Q yang rendah karean kurangnya ventilasi. Hipoksemia yang
disebabkan shunt relative masih dapat diperbaiki dengan meningkatkan
konsentrasi O2 yang diinspirasi.

4. Venous Admixture
Venous admixture adalah hasil dari pencampuran antara darah yang tidak
teroksigenasi (shunt) dengan darah yang sudah teroksigenasi di alveoli. Darah
yang mengalami shunt tersebut dapat berasal dari shunt anatomic dan kondisi-
kondisi yang menyerupai shunt.
Untuk shunt anatomic normal disebabkan oleh aliran darah dari
bronkial,pleural, dan vena thebesian yang langsung mengalir ke vena pulmoner
dan menuju jantung kiri tanpa melewati paru. Sedangkan shunt anatomic
abnormal adalah fistula paru, tumor paru, atrial atau ventricular septal defect,
alveoli yang kolaps. Keduanya dianggap sebagi shunt absolut atau “true shunt”.
Anatomic shunt pada pernafasan orang normal hanya sebesar 5%.
Untuk kondisi yang menyerupai shunt umumnya disebabkan oleh V/Q
ratio mismatch seperti perfusi yang lebih besar dari ventilasi karena hipoventilasi,
aliran darah kapiler pulmoner yang terlalu cepat, berkurangnya aliran udara pada
bronkial karena bronkokonstriksi atau tersumbat mukus.

24
2.1.7 Transport Gas Respirasi di dalam Darah
1. Transport Oksigen dari Paru ke Jaringan Tubuh
Oksigen berdifusi dari alveoli ke darah kapiler pulmoner karena Po2 di
alveoli lebih besar dari Po2 di kapiler pulmoner. Po2 pada alveoli sebesar 104
mmHg sedangkan Po2 arteri pulmoner yang mengandung darah vena sebesar 40
mmHg. Perbedaan tekanan yang besar ini (64 mmHg) menyebabkan oksigen
berdifusi dari alveolar ke darah.
Pada darah shunt, PO2 yang dimiliki sama dengan Po2 pada darah vena
sistemik yaitu 40 mmHg. Setelah bercampur dengan darah yang sudah
teroksigenasi dan menjadi venous admixture, Po2 akan berubah menjadi 95
mmHg. Ini adalah tekanan Po2 yang dipompakan ke aorta.
Po2 pada darah arteri sebesar 95 mmHg sedangkan Po2 pada jaringan
sebesar 40 mmHg sehingga akan terjadi difusi O2 dari arteri ke jaringan
interstisium. Lalu darah yang meninggalkan jaringan menuju vena sistemik akan
memiliki kadar Po2 sebesar 40 mmHg.

2. Peran Hemoglobin
Sebesar 97% transport oksigen dari paru ke jaringan dibawa dalam bentuk
kombinasi dengan hemoglobin di sel darah merah. 3% sisanya ditransport melalui
pelarutan dengan air yang ada di plasma dan sel darah. Oksigen terutama akan
berikatan dengan heme. Jika Po2 tinggi, seperti pada darah di kapiler pulmoner,
oksigen akan berikatan dengan hemoglobin. Namun jika Po2 rendah seperti pada
kapiler jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari hemoglobin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengikatan oksigen dengan
hemoglobin adalah ; 1) Po2, 2) kadar CO2, 3) pH, 4) temperatur , 5) BPG (2.3-
biphosphoglycerate). Peningkatan dari Po2, kadar CO2, temperatur, BPG, serta
penurunan dari pH menyebabkan peningkatan antara oksigen-hemoglobin.

3. Transport Karbon Dioksida ke Jaringan


CO2 paling banyak ditransport dalam bentuk ion bikarbonat (70%). Ion
bikarbonat merupakan hasil dari reaksi CO2 dengan air didalam sel darah, yang
dengan bantuan enzim carbonic anhydrase akan merubah CO2 menjadi carbonic

25
acid. Lalu carbonic acid yang berada didalam sel darah merah akan berdisosiasi
menjadi hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen sebagian besar akan
bergabung dengan hemoglobin di sel darah merah sedangkan bikarbonat akan
berdifusi dari sel darah merah menuju plasma, dan ion klorida akan berdifusi ke
dalam sel darah merah untuk menggantikan tempat ion bikarbonat.
Selain bereaksi dengan air, CO2 juga bereaksi dengan hemoglobin
membentuk carbaminohemoglobin. Ikatan dengan hemoglobin ini longgar
sehingga CO2 dapat dengan mudah di lepaskan ke alveoli, dimana Pco2 lebih
rendah dibandingkan dengan yang di kapiler pulmoner.
Jika CO2 meningkat didalam darah akan menyebabkan O2 terlepas dari
hemoglobin (the Bohr effect) demikian juga sebaliknya jika O2 berikatan dengan
hemoblogin maka hemoglobin akan cenderung melepaskan CO2 dari darah ke
alveoli (Haldan effect).

2.1.8 Regulasi Respirasi


1. Pusat Respirasi
Pusat respirasi merupakan gabungan dari beberapa kelompok neuron yang
berlokasi di medulla oblongata dan pons dari batang otak. Pusat respirasi dibagi
menjadi tiga kelompok besar : 1) Dorsal respiratory group (terletak di bagian
dorsal medulla, menyebabkan inspirasi), 2) Ventral respiratory group (terletak di
ventrolateral medulla, menyebabkan ekspirasi), 3) Pneumotaxic center (terletak di
bagian superior dari pons, berguna mengontrol frekuensi dan kedalaman
pernafasan).

2.2 Anestesi Secara Umum


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan

26
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Anestesi
memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

2. 2.1 Pilhan cara anestesi


 Umur
-Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
-Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan
dilakukan dengan anestesi local atau umum
 Status fisik
-Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah
pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada
komplikasi anestesia dan pasca bedah.
-Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
-Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
-Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia.
Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
 Posisi pembedahan
-Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
 Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
-Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan
dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk
mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian
adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.

27
 Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
 Keinginan pasien
 Bahaya kebakaran dan ledakan
-Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif adalah
pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum5,6:


1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-
paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu.
Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel
alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam
alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang
mempengaruhi hal tersebut adalah:
- Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
- Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi (arterial, vena)
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil
dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan

28
makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia
yang adekuat.
3. Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
- Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial
zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak
menerima 14% curah jantung.
- Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
- Lemak : jaringan lemak
- Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :
ligament dan tendon.
4. Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda.
Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar
concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat
anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan
(respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut.

2.2.3 Stadium Anestesi


Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur,
stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
1. Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian
zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa
sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan

29
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata).
2. Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
3. Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan
spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala
ke kiri dan kekanan dengan mudah.
4. Stadium IV yaitu ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang
kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan
akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini
karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

2.2.4 Tahapan Tindakan Anestesi Umum5,6,7,8


1. Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Penilaian pra bedah yang dapat dilakukan mencakup
anamensis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Selain itu juga dapat
dinilai mengenai kebugaran pasien berdasarkan The American Society of
Anesthesiologist (ASA).

2. Kebugaran untuk anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari.

30
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping
anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
1. Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
2. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Contohnya:
pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
3. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau
pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
4. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat. Contohnya: Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
5. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Contohnya: pasien tua dengan
perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.

3. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi
anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anestesia.

4. Premedikasi

31
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi
dengan tujuan untukl melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
- Memberikan ketenangan (sedative)
- Membuat amnesia
- Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
- Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
- Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
- Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

Pemberian obat premedikasi secara subkutan tidak akan efektif dalam 1


jam, secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang
sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat
dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi
bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali
atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-
lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:


1. Analgesik narkotik
Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik

32
Ponstan, Tramol, Toradon
3. Hipnotik
Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5. Anti emetic
Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
DBP, Narfoz, rantin, primperan.

5. Induksi Anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia
sampai tindakan pembedahan selesai. Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan
‘STATICS’:
S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

33
S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

a. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi,
pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena:
- Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis
3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan
pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .
Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
- Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic
dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan
lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
- Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam

34
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg),
10% ( 1ml = 100 mg).
- Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan
0,3-1 mg/kg/menit.

b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

c. Induksi inhalasi
- N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan
anastetik lain seperti halotan.
- Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi
lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
mininggikan kadar gula darah.

35
- Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding
halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap
otot lurik lebih baik disbanding halotan.
- Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
- Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
- Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari
untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

d. Induksi per rectal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.

e. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan
jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita
tempelkan.

36
6. Maintenance / rumatan
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu
pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-
50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena
dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran
2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu atau dikendalikan.

7. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
- Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut
laring faring dari sekret dan cairan lainnya.

8. Skor pemulihan pasca anastesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau
masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR). Penilaian ini dapat
menggunakan Aldrete Score ataupun Steward Score pada anak-anak

37
2.3 Fisiologi Respirasi Terhadap Anestesi

38
BAB III
KESIMPULAN

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC dan Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s


Clinical Anesthesiology. 5e. New York: McGraw Hill, 2013. 

2. Ronald D. Miller.Miller: Anesthesia. 5th ed. Philadelphia. Churchill
Livingstone, Inc.; 2000 

3. Mccartney, C. “Paul G. Barash, Bruce F. Cullen and Robert K. Stoelting,
Clinical Anesthesia, 5ht Edition, Williams & Wilkins (2005) 

4. Arthur . C. Guyton, M. D , John . E. Hall, Ph. D, Textbook of Medical
Physiology, 11 ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005
5. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin
Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5
6. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan
darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 6-9.
7. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994,
Jakarta. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI,
Anestesiologi, 1989, Jakarta.
8. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2009.

40

Anda mungkin juga menyukai