Fisiologi Respirasi
Amelia Septiani* dr. Andy Hutariyus, Sp. An**
Fisiologi Respirasi
Oleh :
Amelia Septiani
G1A219013
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT, dan atas segala
kemudahan yang diberikannya sehingga laporan refrat ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Tidak lupa shalawat dan salam kepada junjungan dan teladan kita
nabi Muhammad SAW.
Refrat dengan judul “Fisiologi Respirasi” dibuat sebagai salah satu syarat pada
kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setingi-tingginya saya
berikan kepada dr. Andy Hutarius, Sp. An selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis saat mengikuti kepaniteraan klinik senior
di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa refrat ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dapat diharapakan untuk kesempurnaan di masa yang akan datang. Saya berharap
semoga refrat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
v
Gambar 2.1 Otor Pernafasan
vi
Dalam prosesnya membekali masing – masing paru, trakea bercabang sampai
dengan alveoli menurut hukum dichotomous division, dimana setiap ranting
bercabang menjadi dua cabang baru hingga mencapai 23 divisi . Selain
percabangan yang semakin banyak, terjadi juga perubahan struktur dari saluran
pernafasan. Yang awalnya berupa sel kolumnar bersilia lalu berubah menjadi
kuboid dan sel epithelium pada respiratory bronchioles (divisi ke 17-19). Sel
epithelium yang datar ini memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Dinding dari
bronkus juga akan kehilangan struktur cartilage dan otot polos yang awalnya
dimilikinya sehingga cabang saluran pernapasan yang kecil menjadi elastis dan
diameternya bergantung pada volume paru. Dinding dari saluran nafas juga
berangsur-angsur akan kehilangan kartilagonya (bronkiolus) kemudian otot
polosnya. Hilangnya kartilago akan menyebabkan patensi dari jalan nafas kecil
menjadi sangat begantung terhadap traksi radial dan kemampuan recoil elastik
dari jaringan sekitarnya. Diameter jalan nafas menjadi sangat dipengaruhi oleh
jumlah total volume paru.
2.1.1.3 Alveoli1
Besar alveoli kurang lebih 0.05 – 0.33 m yang dipengaruhi oleh gravitasi
(terbesar pada apeks dan terkecil pada dasar paru) dan volume paru. Setiap alveoli
berdekatan dengan jaringan kapiler pulmoner. Pada bagian yang tipis akan terjadi
pertukaran gas melalui endotel kapiler dan epitel alveoli yang hanya dilapisi oleh
lapisal tipis sel dan membrane basal. Pada bagian yang tebal terdapat pertukaran
cairan dan solute melalui epitel alveoli dan endotel kapiler yang dilapisi oleh
ruang interstitial pulmoner yang terbentuk oleh elastin, kolage, dan serabut saraf.
Terdapat dua tipe epitel pulmoner yaitu ; pneumocyte type I dan pneumocyte
type II. Pneumocyte type I terdapat dalam jumlah lebih dikit dan membentuk tight
junction (1 mm) satu dengan yang lain untuk mencegah masuknya molekul besar
seperti albumin kedalam alveoli. Pneumocyte type II terdapat dalam jumlah yang
lebih banyak dan merupakan round cell yang berisi surfaktan. Pneumocyte type II
juga mampu untuk berdivisi dan menghasilkan pneumocyte type I serta resisten
terhadap toksisitas oksigen.
vii
Gambar 2.3. Ruangan pulmonari interstisial
2.1.1.4 Inervasi1
Otot diafragma di inervasi oleh phrenic nerve (yang berasal dari C3 – C5)
dan lesi unilateral dapat menyebabkan penurunan fungsi sebanyak 25%,
sedangkan lesi bilateral dapat menyebabkan penurunan fungsi yang lebih berat
walau dapat dikompensasi melalui penggunaan otot respiratorik aksesoris.
Intercostal muscle di inervasi oleh intercostal thoracic nerve root. Implikasi
klinisnya ialah lesi pada vertebra C5 keatas dapat menyebabkan depresi
viii
pernafasan berat karena mengenai persarafan phrenic dan intercostal thoracic
nerve root.
Vagus nerve menginervasi sensorik terhadap tracheobronchial tree dan
menyebabkan bronkokonstriksi serta peningkatan sekresi mukus melalui
muscarinic receptors. Tracheobronchial tree juga dipersarafi oleh persarafan
simpatik dan parasimpatetik. Persarafan simpatik dari T1 – T4 memediai
bronkodilasi serta mengurangi sekresi melalui β-2 receptor. Persarafan simpatik
memberikan efek signifikan terhadap sistem respirasi diantaranya adalah α-1
(vasokonstriksi) dan β-2 (vasodilasi). Persarafan parasimpatetik yang memberikan
efek vasodilasi kebanyakan di mediasi oleh pelepasan nitric oxide.
ix
berhenti), tekanan alveolar kembali menjadi 0, namun tekanan intrapleura tetap
rendah (karena paru masih mengembang) dan adanya tekanan transpulmonal (5
cmH2O) membantu mempertahankan ekspansi paru.
Saat ekspirasi, relaksasi diafragma mengembalikan tekanan intrapleura
menjadi -5 cmH2O. Pada saat ini, tekanan transpulmonal yang baru tidak dapat
membantu mempertahankan ekspansi paru dan daya rekoil dari paru
menyebabkan udara mengalir keluar dari alveoli dan volume paru akan
berkurang.4
Gambar 2.4 Perubahan intrapleural dan tekanan alveolar selama respirasi normal
x
2.2.3 Distribusi Ventilasi1
Ventilasi alveolar tidak menyebar sama rata di seluruh lapang paru dan
dipengaruhi oleh posisi tubuh. Paru kanan mendapatkan ventilasi lebih banyak
dan area paru bawah juga lebih terventilasi dibandingkan paru bagian atas karena
pengaruh gravitasi yang mengakibatkan perbedaan tekanan transpulmonary
menjadi lebih besar.
Tekanan intrapleura akan semakin menjadi positif untuk setiap penurunan
tinggi paru (lokasi paru yang semakin keatas). Karena tekanan transpulmonary
yang tinggi, alveoli pada paru bagian atas cenderung sudah mengembang dengan
maksimal dan hanya dapat mengembang lagi lebih sedikit saat terjadi inspirasi.
Sedangkan alveoli pada area paru bawah memiliki tekanan transpulmonary yang
lebih rendah sehingga lebih mudah mengembang saat inspirasi.5
xi
2.3.2 Alveolar Pressure
Alveolar pressure adalah tekanan yang berasal dari udara didalam alveoli.
Saat glottis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir dari dan ke paru, tekanan
pada seluruh saluran pernasan respirastorik sama dengan tekanan atmosfer – dan
disebut sebagai zero reference pressure. Untuk menarik udara masuk ke alveoli
saat inspirasi, tekanan di alveoli harus turun menjadi sedikit dibawah tekanan
atmosfer. Begitu juga saat ekspirasi tekanan di alveoli harus naik diatas tekanan
atmosfer.
xii
sedangkan kemampuan rekoid paru akibat banyaknya jaringan elastin dan
surfaktan.7
2.4.3 Compliance
Paru-paru dapat kempes seperti balon karet sehingga dibutuhkan tekanan
tertentu untuk menjaganya tetap mengembang. Tekanan yang dibutuhkan untuk
menjaga paru tetap mengembang pada volume gas tertentu adalah tekanan pleural
minus tekanan alveolar, atau yang disebut “transpulmonary pressure” (Ptp).
xiii
tekanan yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume (atau penurunan tekanan
yang diikuti oleh penurunan volume). Compliance paru normal sebesar 0.2 hingga
0.3 L/cmH2O. Peningkatan volume paru akan menurunkan compliance.
xiv
mencegah alveoli kosong dan kempes. Yang kedua, karena dinding dada,
tulang kosta, dan diafragma tidak dapat terdistorsi hingga seluruh gas di
paru dapat keluar.
Kapasitas paru adalah kombinasi dari dua atau lebih volume paru. Terdapat 4
kapasitas paru yaitu :
a. Inspiratory capacity adalah volume udara yang dapat diinspirasi oleh paru
secara maksimal. Kapasitas ini merupakan volume tidal ditambah
inspiratory reserve volume yang jumlahnya 3500 ml.
b. Functional residual capacity adalah jumlah udara yang tersisa di paru
setelah ekspirasi normal. Kapasitas ini merupakan expiratory reserve
volume ditambah residual volume dengan besar volumenya 2300 ml.
c. Vital capacity adalah volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan
dari paru setelah sebelumnya paru diisi udara hingga maksimum lalu
dilanjutkan ekspirasi maksimum. Kapasitas ini merupakan inspiratory
reserve volume ditambah tidal volume dan besarnya adalah 4600 ml atau
60-70 mL/kg.
d. Total lung capacity (TLC) adalah volume maksimum yang bisa
mengakibatkan paru mengembang maksimal dengan usaha inspirasi
maksimal. Kapasitas ini merupakan vital capacity ditambah residual
volume. Jumlahnya sekitar 6-8 L. TLC dapat meningkat pada pasien
dengan COPD karena ekspansi berlebihan atau hiperinflasi dari alveoli
normal, atau kerusakan dari dinding alveoli sehingga kehilangan
elastisitasnya seperti pada emfisema. 9
xv
Tabel 2.1 Volume dan Kapasitas Paru
xvi
Gambar 2.6 Usaha pernafasan dan komponen selama inspirasi
Minute respiratory volume adalah volume udara baru yang masuk ke saluran
pernapasan setiap menitnya. Ini merupakan tidal volume dikali frekuensi
pernapasan per menit. Minure respiratory volume besarnya 6 L/menit.1
xvii
pernapasan normal dimana alveoli tidak kolaps karena masih tersisa gas
didalamnya. Alasan yang kedua, udara yang terinspirasi akan bercampur dengan
gas yang tersisa di paru, sehingga akan menyamakan konsentrasi O 2 dan CO2
didalam paru yang awalnya berbeda selama terjadi siklus respirasi. Jika hanya ada
sedikit udara di paru, konsentrasi gas di alveoli akan menjadi lebih besar dan akan
juga mempengaruhi PaO2 dan PaCO2 di darah.
Pada peningkatan ventilasi, seperti saat aktivitas fisik, VT (volume tidal)
juga akan meningkat sehingga FRC menurun hingga 0,5 L. namun jika terdapat
obstruksi pernapasan, seperti asma, ekspirasi akan melambat sehingga level
ekspirasi akhir akan meningkat. Hal ini disebut “air trapping” dan berfungsi
untuk menurunkan resistensi aliran udara pada jalan pernapasan yang menyempit.
xviii
Sehingga ventilasi udara yang terjadi sebanyak 7 – 8 L/menit. Seluruh udara yang
diinspirasi tidak sepenuhya mencapai alveoli. 100-150 ml dari udara tidak ikut
mengalami pertukaran dan tetap tinggal di saluran pernapasan. Hal ini, yang
disebut “dead space” menyumbang 30% dari volume tidal (sehingga VDS/VT
sebesar 0.3). Dead space adalah komposisi gas yang terdapat di saluran
pernafasan nonrespirasi dimana tidak terjadi pertukaran gas (anatomic dead
space) dan alveoli yang mengalami gangguan sehingga tidak mendapatkan perfusi
(alveolar dead space). Gabungan dari kedua komponen tersebut disebut
“physiologic dead space”. Volume tidal adalah jumlah udara di volume paru
yang akan mengalami pertukaran saat inspirasi dan ekspirasi. Udara yang tersisa
akan mencapai alveoli dan respiratory bronkiol. Jumlah ventilasi alveolar sekitar
5L/menit, sama dengan jumlah cadiac output.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan jumlah ventilasi per menit adalah
aktivitas fisik, penurunan jumlah konsenstrasi oksigen yang diinspirasi,
peningkatan ventilasi dead space, dan asidosis metabolik. Jika terjadi peningkatan
pada dead space, ventilasi harus ditingkatkan untuk menutup kehilangan udara
ventilasi yang terjadi dan untuk menjaga PaCO2 tetap normal. Dead space
umumnya meningkat jika ventilasi terjadi melalu alat bantu seperti gudel, atau
facemask. Ini disebut “apparatus dead space” dan besarnya sekitar 25 hingga
beberapa ratus mililiter, dibandingkan dengan 100-150 ml dead space dari
pernapasan biasa “ anatomic dead space”.
Peningkatan dead space yang lebih besar bisa disebabkan oleh ventilasi dari
alveoli yang tidak mengalami perfusi, seperti pada emboli paru yang
menyebabkan aliran darah menuju paru tersumbat ( “alveolar dead space “).
Pasien yang menderita emboli pulmoner akan memiliki rasio VDS/VT yang tinggi
yaitu 0.7 – 0.8, sehingga untuk menaga ventilasi alveolar tetap 5 L/menit, ventilasi
harus ditingkatkan dari yang normalnya 7-8 L/menit menjadi 20 L/menit.
Pasien lainnya yang akan mengalami peningkatan dead space adalah pasien
dengan penyakit paru obstruktif seperti asma, bronchitis kronik, dan emfisema.
Pada penyakit ini, beberapa daerah tidak dapat diventilasi dengan baik karena
obstruksi pernapasan, sehingga daerah tersebut akan mengalami penurunan
xix
ventilasi dengan perfusi yang tetap ada. Keadaan ini disebut ventilation-perfusion
mismatch (VA/Q mismatch, dengan rasio VA/Q yang rendah). Kondisi ini
menyebabkan udara yang terinspirasi masuk ke daerah yang lain sehingga daerah
tersebut mengalami ventilasi yang berlebihan dibandingkan dengan perfusinya.
xx
pada daerah yang lebih tinggi pada rongga dada dibandingkan dengan daerah yang
lebih rendah. Jika paru menjadi lebih berat, seperti edema, maka tekanan pleura
akan meningkat. Jika berat dikurangi maka tekanan pleura akan menurun.
Saluran pernapasan akan menjadi lebih sempit saat ekspirasi. Jika dilakukan
ekspirasi yang cukup kuat, saluran pernapasan pada daerah yang tertekan akan
menutup. Volume diatas RV saat saluran pernapasan mulai menutup disebut
closing volume (CV). CV ditambah dengan RV akan menghasilkan closing
capacity (CC). penutupan saluran pernapasan merupakan fenomena fisiologi yang
normal sebagai dampak dari meningkatnya tekanan pleura saat ekspirasi. Tekanan
dari luar saluran pernapasan yang lebih besar akan mengkompresi saluran
pernapasan hingga menutupnya. Karena tekanan pleura lebih tinggi pada daerah
yang tertekan ( bagian basal paru) maka saluran pernapasan menutup mulai dari
bagian bawah paru.
xxi
nitrogen adalah (79 x 760) 600 mmHg sedangkan partial pressure dari oksigen
sebesar (21 x 760) 160 mmHg. Total pressure adalah gabungan dari masing-
masing partial pressure gas yang membentuk udara.
Partial pressure suatu gas tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasinya
namun juga oleh solubility coefficient sesuai dengan Henry’s Law :
Beberapa gas seperti karbon dioksida sangat mudah larut dalam air dan
disebut memiliki solubility coefficient yang tinggi, sehingga karbon dioksida dapat
berdifusi dengan sangat mudah 20 kali lebih cepat dibandingkan oksigen. Untuk
gas lain yang tidak memiliki solubility coefficient yang besar, partial pressure
mereka akan meningkat sehingga mereka tetap dapat berdifusi.
Saat udara yang belum dihumidifikasi melalui saluran pernapasan, air yang
berada di permukaan saluran pernafasan akan menguap dan melembabkan udara
yang baru masuk. Air memiliki kecenderungan untuk berpindah ke gas. Partial
pressure yang dibutuhkan molekul air untuk berpindah ke gas disebut vapor
pressure. Nilai dari vapor pressure setelah gas sepenuhnya terhumidifikasi dan
keduanya dalam keadaan ekuilibrium adalah 47 mmHg.
Beberapa faktor yang mempengaruhi difusi gas adalah ; 1) perbedaan partial
pressure, 2) cross-sectional area dari cairan , 3) jarak yang harus dilalui gas untuk
berdifusi, 4) berat molekular gas, 5) temperatur dari cairan. Temperatur umumnya
konstan dan tidak terlalu diperhitungkan. Semakin besar solubilitas gas, semakin
banyak molekul yang akan berdifusi. Semakin besar cross-sectional area dari area
difusi, semakin banyak jumlah molekul yang berdifusi. Semakin jauh jarak yang
harus ditemuh molekul untuk berdifusi semakin lama waktu yang dibutuhkan
untuk difusi.
xxii
yang melewati saluran pernapasan melambat. Sehingga gas lebih cepat melakukan
transport melalui difusi antara alveoli dengan kapiler periferal.
Jika dimensi pada alveolar bertambah seperti pada penyakit emfisema, jarak
untuk berdifusi akan bertambah jauh sehingga pencampura udara yang diinspirasi
dengan udara di alveolar akan menjadi sulit.12
Udara alveolar tidak memiliki konsentrasi yang sama dengan gas di udara
atmosfer karena 1) udara alveolar hanya tergantikan sebagian oleh udara atmosfer
setiap kali kita bernafas, 2) oksigen secara konstan diabsorbsi oleh darah
pulmoner dari udara alveolar, 3) karbon dioksida secara konstan akan berdifusi
dari darah pulmoner ke alveoli, 4) udara atmosfer yang memasuki saluran
pernafasan akan dihumidifikasi sebelum mencapai alveoli.
Udara atmosfer yang masuk ke saluran pernafasan akan terekspos dengan air
yang melapisi permukaan saluran pernafsan sehingga udara akan terhumidifikasi.
Air, dengan kecenderungan vapor pressurenya akan mengencerkan seluruh gas
dari udara inspirasi sehingga partial pressure gas seperti oksigen akan berubah
dari 159 mmHg menjadi 149 mmHg, serta partial pressure nitrogen juga berubah
dari 597 mmHg menjadi 563 mmHg.
xxiii
dari plasma ke alveoli. Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah gas yang
mengalami difusi : 1) luas permukaan, 2) ketebalan membrane, 3) perbedaan
tekanan parsial gas antar membran, 4) berat molecular dari gas, 5) solubilitas gas.
Semakin kecil luas permukaan, semakin sedikit jumlah gas yang dapat
berdifusi. Semakin tebal membran, akan semakin jauh jarak untuk gas berdifusi
sehinga kapasitas difusi juga akan menurun. Sebagai contoh pada fibrosis paru,
solubilitas O2 dan CO2 akan menurun.
Untuk perbedaan gradient tekanan, semakin besar perbedaan tekanan gas
antara alveolus dan plasma kapiler, difusi akan terjadi semakin cepat. Sebagai
contoh Po2 di kapiler sebesar 40 mmHg dan Po2 di alveolar sebesar 100 mmHg
sehingga perbedaannya 60 mmHg dan oksigen akan berdifusi dari alveoli ke
kapiler dengan mudah.
Sedangkan untuk berat molekular, difusi berbanding terbalik dengan berat
molekular dari gas. Sehingga, semakin besar berat molekular suatu gas, difusi
akan semakin sulit. Untuk solubilitas gas, difusi berbanding linear dengan
solubilitas suatu gas di jaringan. CO2 walaupun memiliki berat molekul yang lebih
besar dari O2 tetapi memiliki solubilitas 30 kali lebih besar dibandingkan O2 di air.
Sehingga kemampuan difusi CO2 20 kali lebih besar dibandingkan O2.
xxiv
Dead space sebenarnya terdiri dari gas di saluran udara nonrespiratory
(anatomic dead space) dan alveoli yang tidak perfusi (alveolar dead space).
Jumlah dari dua komponen disebut physiological dead space. Dalam posisi tegak,
dead space biasanya sekitar 150 mL untuk kebanyakan orang dewasa (sekitar 2
mL/kg) dan hampir semua anatomi. Berat individu dalam pound kira-kira setara
dengan dead space dalam mililiter. Dead space dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor
Tabel 2.2 Faktor yang mempengaruhi dead space
xxv
23-14). Karena tekanan transpulmonal lebih tinggi, alveoli di daerah paru bagian
atas, maksimal meningkat dan relatif noncompliant, dan mereka mengalami
sedikit ekspansi selama inspirasi. Sebaliknya, alveoli kecil di daerah bawah
memiliki tekanan transpulmonal lebih rendah, lebih compliant, dan mengalami
ekspansi yang lebih besar selama inspirasi.
Gambar 2.8 Efek gravitasi terhadap komplians alveoli saat posisi berdiri
xxvi
2.8.3 Konstanta Waktu
Inflasi paru-paru dapat digambarkan secara matematis oleh konstanta waktu, τ.
τ = Total Compliance × Airway Resistance
Variasi regional dalam resistensi atau compliance tidak hanya mengganggu
pengisian alveolar tetapi dapat menyebabkan asynchrony dalam pengisian
alveolar selama inspirasi; beberapa unit alveolar dapat terus mengisi bagian
kosong lain.
Variasi konstanta waktu dalam paru-paru normal dapat ditunjukkan pada
individu normal bernapas secara spontan selama frekuensi pernapasan abnormal
tinggi. Pernapasan cepat dan dangkal membalikkan distribusi normal ventilasi,
secara istimewa mendukung daerah atas (nondependent) paru-paru di atas area
yang lebih rendah.
xxvii
(campuran vena) dan hipoksia alveolar menginduksi vasokonstriksi, tetapi yang
terakhir adalah stimulus yang lebih kuat. Tanggapan ini tampaknya baik karena
efek langsung dari hipoksia pada pembuluh darah paru atau peningkatan produksi
leukotrien relatif terhadap prostaglandin vasodilator. Penghambatan produksi
oksida nitrat juga mungkin memainkan peran. Vasokonstriksi paru hipoksia
merupakan mekanisme fisiologis penting dalam mengurangi shunting
intrapulmonal dan mencegah hipoksemia. Hyperoxia memiliki sedikit efek pada
sirkulasi paru-paru pada individu normal. Hiperkapnia dan asidosis memiliki efek
pembatas, sedangkan hipokapnia menyebabkan vasodilatasi paru, kebalikan dari
apa yang terjadi dalam sirkulasi sistemik.
xxviii
2.8.7 Shunt
Shunting menunjukkan proses dimana desaturatasi, campuran darah vena
dari jantung kanan kembali ke jantung kiri tanpa resaturasi dengan O2 di paru-
paru. Efek keseluruhan dari shunting adalah untuk menurunkan konten O2 arteri;
jenis shunt ini disebut sebagai right-to-left. Left-to-right shunt (tanpa adanya
kongesti paru), bagaimanapun, tidak menghasilkan hipoksemia.
Shunt intrapulmonal sering diklasifikasikan sebagai absolut atau relatif.
Absolute shunt mengacu pada shunt anatomi dan unit paru di mana V/Q adalah
nol. Sebuah relative shunt merupakan daerah paru-paru dengan rasio V/Q rendah.
Klinisnya, hipoksemia dari relative shunt biasanya sebagian dapat diperbaiki
dengan meningkatkan konsentrasi O2 yang terinspirasi; hipoksemia yang
disebabkan oleh absolute shunt tidak bisa diperbaiki.
xxix
Venous admixture mengacu pada konsep dari pada entitas fisiologis yang
sebenarnya. Vena admixture merupakan jumlah darah vena campuran yang harus
dicampur dengan darah kapiler paru untuk memperhitungkan perbedaan dalam
tekanan O2 antara arteri dan darah kapiler paru. Darah kapiler paru dianggap
memiliki konsentrasi yang sama seperti gas alveolar.
xxx
biphosphoglycerate). Peningkatan dari Po2, kadar CO2, temperatur, BPG, serta
penurunan dari pH menyebabkan peningkatan antara oksigen-hemoglobin.
xxxi
berencana dan menetap mulai dari beberapa detik sampai 30 menit walau sudah
dilakukan penambahan FiO2.4,13
Akibat pertama karena pengaruh anestesia adalah hilangnya tonus otot yang
menyebabkan perubahan keseimbangan antara gaya keluar (otot-otot pernapasan)
dan gaya ke dalam (jaringan elastis paru) sehingga kapasitas residu fungsional
(FRC) akan turun. Peristiwa ini akan menyebabkan penurunan komplians dan
peningkatan resistensi pernafasan.4,5
Pemberian opioid seperti morfin atau fentanyl dapat dapat mendepresi
respon pusat pernafasan terhadap hiperkarbia. Efek ini dapat dinetralisasi dengan
pemberian antagonis opioid, yaitu nalokson. Obat anastetik inhalasi juga dapat
mendepresi pusat pernafasan dan menyebabkan perubahan pada aliran darah di
paru, sehingga menyebabkan mismatch ventilasi/perfusi dan penurunan
oksigenasi.3
xxxii
memiliki sedikit efek pada FRC. kelumpuhan otot tampaknya tidak mengubah
FRC menandakan cantly ketika pasien sudah dibius.
Efek anestesi pada kapasitas penutupan lebih bervariasi. Kedua FRC dan
menutup kapasitas, bagaimanapun, umumnya berkurang pada tingkat yang sama
di bawah anestesi. Dengan demikian, risiko meningkat shunting intrapulmonary
bawah anestesi adalah mirip dengan yang di negara sadar; itu adalah terbesar pada
orang tua, pada pasien obesitas, dan pada mereka dengan penyakit paru yang
mendasarinya.14
xxxiii
Efek yang paling penting dari semua anestesi umum pada pernapasan adalah
kecenderungan untuk mendorong hipoventilasi. Mekanisme ini mungkin ganda:
depresi sentral dari kemoreseptor dan depresi dari aktivitas otot interkostal
eksternal. Besarnya hipoventilasi yang umumnya sebanding dengan kedalaman
anestesi. Dengan meningkatnya kedalaman anestesi, kemiringan kurva PaCO2 /
menit ventilasi berkurang, dan meningkatkan ambang apnea. Efek ini setidaknya
sebagian terbalik dengan stimulasi bedah.
Respon perifer hipoksemia bahkan lebih sensitif terhadap anestesi dari
respon CO2 pusat dan hampir dihapuskan oleh bahkan dosis subanesthetic dari
kebanyakan agen inhalasi (termasuk nitrous oxide) dan banyak agen intravena.
xxxiv
FRC. Ini juga dapat memberikan wawasan bahwa perbedaan posisi dapat
mempengaruhi FRC pasien.
2.11.4 Usia
Oksigenasi arteri menurun dengan peningkatan umur. Penjelasan untuk
hal ini bukan berasal dari atelektasis dan shunting karena mereka tidak berubah
dengan pergantian umur. Akan tetapi mekanisme yang dapat menjelaskan hal
tersebut ialah peningkatan pada V/Q mismatch dan peningkatan perfusi pada
daerah dengan rendah V/Q (relative shunting).
2.11.5 Obesitas
Obesitas memperburuk oksigenasi dari darah, penurunan FRC, dan
peningkatan airway closure dibandingkan dengan non-obesitas. Namun, juga
pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi akan meningkatkan kecenderungan
untuk airway closure. Penanganan yang dapat dilakukan adalah melalui
pemberian CPAP untuk menurunkan insiden airway closure. Juga penentuan
posisi dapat mempengaruhi hal tersebut.
xxxv
penurunan fungsi inspiratorik sebanyak 20% dan ERV dapat mendekati 0.
Fungsi diafragma pada umumnya terselamatkan karena akar sarafnya yang
berasal dari segmen servikal, akan tetapi bila terjadinya blok, maka akan
berakibat fatal. Oksigenasi arteri dan CO 2 dipertahankan dengan baik pada
anestesi regional.
BAB III
KESIMPULAN
Sistem pernafasan atau disebut juga sistem respirasi yang berarti “bernafas
lagi”. Mempunyai peran atau fungsi menyediakan oksigen serta mengeluarkan
gas karbon dioksida dari tubuh. Secara fungsional (faali) sistem respirasi dibagi
menjadi 2 yaitu pars konduktoria (saluran napas) dan pars respiratoria. Pars
konduktoria berfungsi menghantarkan udara napas dari lingkungan sekitar masuk
ke saluran napas. Pars konduktoria terdiri dari cavum nasi, faring, trachea,
bronchus primer, bronchus secunder, bronchus tertier, bronkhiolus dan alveolus di
bronchiolus terminalis. Pars respiratoria adalah bagian sistem respirasi yang
mampu melakukan proses difusi O2-CO2 di mulai dari bronkhiolus respiratorius,
ductus alveolaris, saccus alveolaris, atrium dan berakhir di alveolus.
Pentingnya fisiologi paru untuk praktek anestesi sangatlah jelas. Anestesi
yang paling umum digunakan, agen inhalasi, tergantung pada paru-paru untuk
penyerapan dan eliminasi. Efek samping yang paling penting dari anestesi inhalasi
dan intravena terutama adalah pernapasan. Selain itu, kelumpuhan otot, posisi
yang tidak biasa selama operasi, dan teknik seperti anestesi satu paru dan
cardiopulmonary bypass secara mendalam mengubah fisiologi paru normal. Hal
ini penting untuk diketahui terutama dalam aplikasinya terhadap ilmu anestesi
agar dapat menjamin keselamatan pasien selama melakukan tindakan anestesi.
xxxvi
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 6 th Ed; 2018.
2. Sukmono RB, Madjid AS. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI/RSCM; 2012
3. Snell, Richard S.,M.D,PhD. Anatomi Klinis :Berdasarkan Sistem . Jakarta:
EGC;2012
4. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 13. EGC; 2019.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2010.
6. Artusio. Yao. Anesthesiology problem oriented patient management 7 th ed;
2012.
7. Marino PI, Sutin KM. Analgesia and sedation. In:The ICU book.3th
ed.Philladelphia:Lippincot William&Walkins; 2014.
8. Ganong, W. F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 24. Jakarta: EGC; 2012.
9. Bigatello, L., & Pesenti, A. Respiratory Physiology for the Anesthesiologist.
Anesthesiology; 2019.
10. Apeksh, P. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia; 2015.
11. Ochiai, R. What Should We Know about Respiratory Physiology for the
Optimal Anesthesia Management?. Europe PMC; 2016.
12. Andrew, L. Nunn's Applied Respiratory Physiology. 8th Edition. Elsevier;
2016.
13. Zoltan, R. Maintaining spontaneous ventilation during surgery—a review
article. Journal of emergency and critical care; 2020.
xxxvii
14. McDonell, W. N., & Kerr, C. L. Physiology, Pathophysiology, and Anesthetic
Management of Patients with Respiratory Disease. Veterinary Anesthesia and
Analgesia; 2017.
15. Ntima, N. O., & Lumb, A. B. Pulmonary function tests in anaesthetic practice.
BJA Education; 2019.
xxxviii