Anda di halaman 1dari 38

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior/ GIA219013/ Oktober 2020


**Pembimbing : dr. Andy Hutarius, Sp. An

Fisiologi Respirasi
Amelia Septiani* dr. Andy Hutariyus, Sp. An**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Fisiologi Respirasi

Oleh :
Amelia Septiani
G1A219013

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI / RSUD RADEN MATTAHER PROV.JAMBI

Jambi, Oktober 2020

dr. Andy Hutariyus, Sp. An

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT, dan atas segala
kemudahan yang diberikannya sehingga laporan refrat ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Tidak lupa shalawat dan salam kepada junjungan dan teladan kita
nabi Muhammad SAW.
Refrat dengan judul “Fisiologi Respirasi” dibuat sebagai salah satu syarat pada
kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setingi-tingginya saya
berikan kepada dr. Andy Hutarius, Sp. An selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis saat mengikuti kepaniteraan klinik senior
di Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa refrat ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dapat diharapakan untuk kesempurnaan di masa yang akan datang. Saya berharap
semoga refrat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Jambi, Oktober 2020

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepentingan dari fisiologi sistem respirasi terhadap praktek anestesi sudah cukup
jelas. Salah satunya adalah anestesi agen inhalasi yang sangat bergantung kepada
kemampuan uptake dan eliminasi oleh paru. Selain itu, efek samping yang paling
umum dari anestesi umum (GA, general anestesi) adalah gangguan pada sistem
respirasi. Efek lain dari tindakan anestesi seperti paralisis otot, perubahan posisi pada
operasi, dan penggunaan teknik anestesi tertentu (eg. one-lung anesthesia, dan
cardiopulmonal bypass) dapat merubah fisiologi respirasi normal. 1
Sistem respirasi adalah suatu sistem yang sangat luas karena mencakup seluruh
sel tubuh yang bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang
karbon dioksida. Berdasarkan fungsinya, pernafasan dijalankan oleh dua sistem organ
utama, yaitu paru-paru dan kardiovaskular. Kedua sistem ini saling bekerja sama
dalam menjaga semua sistem dalam tubuh agar tetap berjalan dengan baik. Oleh
karena itu sistem pernafasan tidak dapat dipisahkan dengan sistem sirkulasi.
Sistem pernafasan juga berperan dalam keseimbangan asam basa. Peningkatan
CO2 akan menyebabkan peningkatan konsentrasi ion hydrogen dan menurunkan pH
darah. Jika pH darah lebih rendah dari nilai normal, tubuh akan berusaha
memperbaikinya dengan meningkatkan eliminasi CO 2 melalui hiperventilasi. Begitu
pentingnya fungsi kedua sistem ini maka harus benar-benar dipahami fisiologinya
agar dapat diketahui apabila sistem ini terganggu atau tidak berjalan semestinya. Hal
ini penting untuk diketahui terutama dalam aplikasinya terhadap ilmu anestesi agar
dapat menjamin keselamatan pasien selama melakukan tindakan anestesi. 2
Praktik anestesi sangat berhubungan erat dengan sistem respirasi. Oleh karena
itu, makalah ini membahas mengenai fisiologi respirasi terhadap anestesi untuk
membantu meningkatkan pemahaman dokter muda dan meningkatkan
kemampuannya dalam praktek anestesi.

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Respirasi


2.1.1 Anatomi Respirasi Fungsional
2.1.1.1 Dinding thorax dan otot respirasi1
Dinding thorax berisi dua paru, yang masing-masingnya dilapisi oleh pleura.
Bagian apeks dari rongga dada berukuran kecil, dan memberikan ruang untuk
trakea, pembuluh darah dan esofagus, sedangkan bagian basal dari rongga dada
dibatasi diafragma.
Diafragma adalah otot pernapasan yang terpenting. Kontraksi dari diafragma
akan menurunkan dasar dari dinding dada hingga 1.5 – 7 cm, dan memberikan
ruang untuk paru mengembang. Perubahan dari diafragma mempengaruhi hingga
75% perubahan pada volume rongga dada. Otot pernapasan aksesoris juga ikut
andil dalam meningkatkan volume dada dan ekspansi dari paru , melalui kerja
mereka terhadap tulang costae. Proses ini dibantu dengan kontraksi otot aksesoris
respiratorik yang mengembangkan dada keatas dan keluar. Otot – otot tersebut
antara lain ialah; intercostal muscle (internal dan external), abdominal muscle,
cervical strap muscle, sternocleidomastoid muscle, pectoralis muscle dan
intervertebral muscle of shoulder girdle. Walaupun tidak selalu dianggap sebagai
otot pernafasan, beberapa otot faring juga berfungsi dalam mempertahankan
patensi jalan nafas. Tonus dan aktivitas refleks saat inspirasi pada otot
genioglossus menjaga lidah jauh dari dinding faring posterior. Aktivitas tonus dari
otot levator palatina, tensor palatina, palatofaringeus dan palatoglossus mencegah
soft palate terjatuh ke belakang ke arah dinding faring posterior, terutama saat
posisi supine.3

v
Gambar 2.1 Otor Pernafasan

2.1.1.2 Trakeobronkial Tree1


Tracheobronchial tree mempunyai fungsi untuk menyediakan gas dari dan
untuk alveoli. Trakea dimulai dari cricoid cartilage sampai titik carina dengan
panjang kurang lebih 10-13 cm dan pada karina trakea akan terbagi dua menjadi
bronkus kiri dan kanan (tracheal bifurcation). Pembagian ini terletak disekitar
angulus ludovici. Bronkus kanan memiliki sudut yang lebih tajam dibandingkan
dengan bronkus kiri (manifestasi klinisnya ialah lebih sering terjadi penyumbatan
pada paru kanan dibandingkan kiri). Selanjutnya bronkus kanan akan terbagi
menjadi tiga sesuai dengan jumlah lobus di paru kanan sedangkan bronkus kiri
akan terbagi menjadi dua sesuai dengan jumlah lobus di paru kiri.4

Gambar 2.2 Divisi dari percabangan trakeabronkial

vi
Dalam prosesnya membekali masing – masing paru, trakea bercabang sampai
dengan alveoli menurut hukum dichotomous division, dimana setiap ranting
bercabang menjadi dua cabang baru hingga mencapai 23 divisi . Selain
percabangan yang semakin banyak, terjadi juga perubahan struktur dari saluran
pernafasan. Yang awalnya berupa sel kolumnar bersilia lalu berubah menjadi
kuboid dan sel epithelium pada respiratory bronchioles (divisi ke 17-19). Sel
epithelium yang datar ini memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Dinding dari
bronkus juga akan kehilangan struktur cartilage dan otot polos yang awalnya
dimilikinya sehingga cabang saluran pernapasan yang kecil menjadi elastis dan
diameternya bergantung pada volume paru. Dinding dari saluran nafas juga
berangsur-angsur akan kehilangan kartilagonya (bronkiolus) kemudian otot
polosnya. Hilangnya kartilago akan menyebabkan patensi dari jalan nafas kecil
menjadi sangat begantung terhadap traksi radial dan kemampuan recoil elastik
dari jaringan sekitarnya. Diameter jalan nafas menjadi sangat dipengaruhi oleh
jumlah total volume paru.

2.1.1.3 Alveoli1
Besar alveoli kurang lebih 0.05 – 0.33 m yang dipengaruhi oleh gravitasi
(terbesar pada apeks dan terkecil pada dasar paru) dan volume paru. Setiap alveoli
berdekatan dengan jaringan kapiler pulmoner. Pada bagian yang tipis akan terjadi
pertukaran gas melalui endotel kapiler dan epitel alveoli yang hanya dilapisi oleh
lapisal tipis sel dan membrane basal. Pada bagian yang tebal terdapat pertukaran
cairan dan solute melalui epitel alveoli dan endotel kapiler yang dilapisi oleh
ruang interstitial pulmoner yang terbentuk oleh elastin, kolage, dan serabut saraf.
Terdapat dua tipe epitel pulmoner yaitu ; pneumocyte type I dan pneumocyte
type II. Pneumocyte type I terdapat dalam jumlah lebih dikit dan membentuk tight
junction (1 mm) satu dengan yang lain untuk mencegah masuknya molekul besar
seperti albumin kedalam alveoli. Pneumocyte type II terdapat dalam jumlah yang
lebih banyak dan merupakan round cell yang berisi surfaktan. Pneumocyte type II
juga mampu untuk berdivisi dan menghasilkan pneumocyte type I serta resisten
terhadap toksisitas oksigen.

vii
Gambar 2.3. Ruangan pulmonari interstisial

2.1.1.4 Sirkulasi Pulmonal dan Sirkulasi Limfatik1


Paru diperdarahi oleh dua sirkulasi yaitu sirkulasi pulmoner dan sirkulasi
bronchial. Sirkulasi bronkial berasal dari jantung kiri dan berfungsi untuk
membawa kebuttuhan metabolisme untuk tracheobronchial tree. Percabangan
dari arteri bronkial akan memperdarahi dinding dari bronkus hingga ke terminal
bronkiol. Dalam perjalanannya, pembuluh darah bronkial akan beranastomosis
dengan sirkulasi arteri pulmoner dan terus berlanjut hingga duktus alveolus.
Sirkulasi pulmoner mendapatkan suplai darah dari jantung kanan melalui
arteri pulmoner, yang terbagi menjadi dua untuk memperdarahi paru kanan dan
kiri. Darah yang belum teroksigenasi akan mengalir melalui kapiler pulmoner.4

2.1.1.4 Inervasi1
Otot diafragma di inervasi oleh phrenic nerve (yang berasal dari C3 – C5)
dan lesi unilateral dapat menyebabkan penurunan fungsi sebanyak 25%,
sedangkan lesi bilateral dapat menyebabkan penurunan fungsi yang lebih berat
walau dapat dikompensasi melalui penggunaan otot respiratorik aksesoris.
Intercostal muscle di inervasi oleh intercostal thoracic nerve root. Implikasi
klinisnya ialah lesi pada vertebra C5 keatas dapat menyebabkan depresi

viii
pernafasan berat karena mengenai persarafan phrenic dan intercostal thoracic
nerve root.
Vagus nerve menginervasi sensorik terhadap tracheobronchial tree dan
menyebabkan bronkokonstriksi serta peningkatan sekresi mukus melalui
muscarinic receptors. Tracheobronchial tree juga dipersarafi oleh persarafan
simpatik dan parasimpatetik. Persarafan simpatik dari T1 – T4 memediai
bronkodilasi serta mengurangi sekresi melalui β-2 receptor. Persarafan simpatik
memberikan efek signifikan terhadap sistem respirasi diantaranya adalah α-1
(vasokonstriksi) dan β-2 (vasodilasi). Persarafan parasimpatetik yang memberikan
efek vasodilasi kebanyakan di mediasi oleh pelepasan nitric oxide.

2.2 Mekanisme Pernafasan1


Untuk menghasilkan pertukaran gas pada paru, harus terjadi ventilasi dari dan
menuju alveoli, difusi melalui kapiler alveoli dan sirkulasi atau perfusi dari
kapiler pulmonal. Ventilasi spontan timbul karena adanya perubahan tekanan
internal rongga dada. Ventilasi mekanik timbul karena adanya tekanan intermiten
positif pada saluran nafas atas.4

2.2.1 Ventilasi Spontan1


Tekanan di dalam alveoli selalu lebih besar daripada tekanan disekitarnya
(tekanan intrathorax) kecuali jika alveoli kolaps. Tekanan alveoli sama dengan
tekanan atmosfer (0 mmHg) saat akhir inspirasi dan akhir ekspirasi. Tekanan di
jalan nafas (tekanan transpulmonal) dapat dihitung dengan rumus :
Ptranspulmonal = P alveolar – P intrapleural
Pada akhir ekspirasi, tekanan intrapleural normalnya sekitar -5 cmH2O, dan
karena pada akhir ekspirasi tekanan alveolar adalah 0 (tidak ada aliran), maka
tekanan transpulmonal adalah +5 cmH2O. Diafragma dan otot interkostal aktif
saat inspirasi untuk mengembangkan rongga dada dan akan menurunkan tekanan
intrapleura dari -5 cmH2O menjadi -8 s/d -9 cmH2O. Akibatnya, tekanan alveolar
juga ikut menurun (antara -3 s/d -4 cmH2O) dan udara akan mengalir dari saluran
nafas atas menuju ke alveoli. Pada akhir inspirasi (ketika aliran udarah sudah

ix
berhenti), tekanan alveolar kembali menjadi 0, namun tekanan intrapleura tetap
rendah (karena paru masih mengembang) dan adanya tekanan transpulmonal (5
cmH2O) membantu mempertahankan ekspansi paru.
Saat ekspirasi, relaksasi diafragma mengembalikan tekanan intrapleura
menjadi -5 cmH2O. Pada saat ini, tekanan transpulmonal yang baru tidak dapat
membantu mempertahankan ekspansi paru dan daya rekoil dari paru
menyebabkan udara mengalir keluar dari alveoli dan volume paru akan
berkurang.4

2.2.2 Ventilasi Mekanik1


Kebanyakan ventilasi mekanik secara intermiten memberikan tekanan
positif terhadap saluran nafas atas. Saat inspirasi, aliran gas akan menuju ke
alveoli sampai tekanan alveoli sama dengan tekanan pada saluran nafas atas. Saat
ekspirasi, tekanan positif pada ventilator akan hilang/berkurang, sehingga
gradiennya berbalik dan gas akan mengalir keluar dari alveoli.

Gambar 2.4 Perubahan intrapleural dan tekanan alveolar selama respirasi normal

x
2.2.3 Distribusi Ventilasi1
Ventilasi alveolar tidak menyebar sama rata di seluruh lapang paru dan
dipengaruhi oleh posisi tubuh. Paru kanan mendapatkan ventilasi lebih banyak
dan area paru bawah juga lebih terventilasi dibandingkan paru bagian atas karena
pengaruh gravitasi yang mengakibatkan perbedaan tekanan transpulmonary
menjadi lebih besar.
Tekanan intrapleura akan semakin menjadi positif untuk setiap penurunan
tinggi paru (lokasi paru yang semakin keatas). Karena tekanan transpulmonary
yang tinggi, alveoli pada paru bagian atas cenderung sudah mengembang dengan
maksimal dan hanya dapat mengembang lagi lebih sedikit saat terjadi inspirasi.
Sedangkan alveoli pada area paru bawah memiliki tekanan transpulmonary yang
lebih rendah sehingga lebih mudah mengembang saat inspirasi.5

2.3 Tekanan yang Mempengaruhi Keluar Masuknya Udara di Paru1


Paru merupakan struktur elastis yang memiliki kecenderungan untuk kolaps
seperti balon dan mengeluarkan udara keluar menuju trakea jika tidak ada tekanan
yang menjaganya tetap mengembang. Selain itu paru juga tidak menempel pada
dinding dada, melainkan mengambang seperti hanya di tempelkan ke dada. Hal ini
dapat terjadi karena disekitar paru terdapat cairan pleura. Cairan pleura tersebut
secara terus-menerus akan dihisap oleh jaringan limfatik. Hisapan tersebut yang
mengakibatkan paru tetap dapat menempel pada dinding dada karena
menghasilkan tekanan negatif.

2.3.1 Pleural Pressure


Pleural pressure adalah tekanan diruang intrapleural ( antara pleura viseral
dan pleura parietal ) yang berasal dari hisapan yang kecil jaringan limfatik
terhadap cairan pleura didalamnya. Pleural pressure memiliki tekanan yang
negatif. Pada saat inspirasi pengembangan paru dan pengangkatan tulang iga
kearah luar akan semakin membuat tekanan menjadi negatif. Tekanan yang
negatif ini akan meningkatkan volume paru.

xi
2.3.2 Alveolar Pressure
Alveolar pressure adalah tekanan yang berasal dari udara didalam alveoli.
Saat glottis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir dari dan ke paru, tekanan
pada seluruh saluran pernasan respirastorik sama dengan tekanan atmosfer – dan
disebut sebagai zero reference pressure. Untuk menarik udara masuk ke alveoli
saat inspirasi, tekanan di alveoli harus turun menjadi sedikit dibawah tekanan
atmosfer. Begitu juga saat ekspirasi tekanan di alveoli harus naik diatas tekanan
atmosfer.

2.3.3 Transpulmonary Pressure


Transpulmonary pressure adalah perbedaan antara tekanan di alveoli dengan
tekanan pleura. Perbedaan tekanan ini merupakan ukuran untuk mengetahui
dorongan elastis paru untuk kolaps pada setiap kali respirasi, yang disebut “recoil
pressure”.6

2.4. Mekanik Sistem Respirasi1


Pergerakan paru bersifat pasif dan bergantung kepada resistensi elastik
jaringan, hubungan gas-liquid, dan resistensi aliran udara. Resistensi elastik
berpengaruh terhadap volume paru dan berhubungan dengan tekanan pada kondisi
statis (tidak ada aliran udara). Resistensi terhadap aliran udara berhubungan
dengan resistensi friksional terhadap aliran udara dan deformasi jaringan.

2.4.1 Resistensi Elastik


Kedua paru dan dinding dada memiliki kemampuan elastis. Dinding dada
memiliki kecenderungan untuk mengembang keluar dimana paru memiliki
kencenderungan untuk kolaps. Ketika dada terekspos pada tekanan atmosfer
(pneumothorax terbuka), rongga dada cenderung mengembang sedangkan paru
cenderung kolaps dan udara yang berada didalam paru akan terdorong keluar.
Kemampuan rekoil dari dinding dada akibat adanya tonus otot dinding dada dan,

xii
sedangkan kemampuan rekoid paru akibat banyaknya jaringan elastin dan
surfaktan.7

2.4.2 Surface Tension dan Surfaktan


Prinsip dari surface tension adalah seperti tetesan air. Saat air bertemu
dengan udara, molekul air yang ada di permukaan tersebut akan berikatan dengan
lebih kuat satu sama lain. Sebagai hasilnya, permukaan air tersebut akan
cenderung berkontraksi. Inilah yang mengakibatkan tetesan air dapat tetap
menyatu ; karena adanya kontraktil dari membran yang sangat kuat dari molekul
air yang menyusun seluruh permukaannya.
Permukaan dalam alveoli juga tersusun dari lapisan air. Lapisan air ini juga
berkontraksi dan akan mendorong udara di alveoli keluar melewati bronkial
sehingga alveoli memiliki kecenderungan untuk kolaps. Ini menyebabkan tekanan
kontraktil elastis diseluruh paru yang disebut “surface tension elastic force”.
Surfactant merupakan agen yang dapat menurunkan tekanan permukaan dari
air. Surfactant disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II, yang membentuk 10% dari
area permukaan alveoli. Surfactant bekerja menurunkan tekanan permukaan air
dengan larut sebagian di ke permukaan alveolar, dan sebagian lainnya tetap
berada menyebar diseluruh permukaan air di alveoli. Molekul yang tetap berada di
permukaan air alveolar akan menurunkan tekanannya setengah hingga seperdua
belas tekanan permukaan air normal.8

2.4.3 Compliance
Paru-paru dapat kempes seperti balon karet sehingga dibutuhkan tekanan
tertentu untuk menjaganya tetap mengembang. Tekanan yang dibutuhkan untuk
menjaga paru tetap mengembang pada volume gas tertentu adalah tekanan pleural
minus tekanan alveolar, atau yang disebut “transpulmonary pressure” (Ptp).

Compliance adalah kemampuan paru untuk mengembang. Compliance dapat


dirumuskan sebagai perubahan dari volume paru dibagi dengan perubahan dari

xiii
tekanan yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume (atau penurunan tekanan
yang diikuti oleh penurunan volume). Compliance paru normal sebesar 0.2 hingga
0.3 L/cmH2O. Peningkatan volume paru akan menurunkan compliance.

Dinding dada juga memiliki kemampuan untuk mengembang dan tidak


terdeteksi saat pernafasan spontan. Compliance dinding dada dapat dirumuskan
sebagai perubahan volume paru dibagi dengan perubahan dari tekanan pleural .
Compliance dari dinding dada memiliki angka yang sama dengan paru yaitu
sekitar 200 mL/cmH2O.

2.5 Volume Paru1,2,3


2.5.1 Kapasitas Paru Total dan Subdivisinya
Terdapat empat jenis volume di paru yang jika digabungkan akan menjadi
volume maksimum paru dapat mengembang :
a. Volume tidal adalah volume udara yang dapat diinspirasi atau diekspirasi
untuk setiap pernafasan normal. Jumlahnya sekitar 500 ml pada laki-laki
dewasa.
b. Inspiratory reserve volume adalah volume udara ekstra yang masih dapat
di inspirasi dengan inspirasi kuat, diluar volume tidal. Volumenya sebesar
3000 ml.
c. Expiratory reserve volume adalah volume udara ekstra yang masih bisa di
ekspirasikan dengan ekspirasi kuat, diluar dari volume tidal. Volumenya
sebesar 1100 ml.
d. Residual volume (RV) adalah udara yang tersisa di paru setelah ekspirasi
maksimum. Jumlahnya sekitar 2-2.5 L. Hal ini dapat terjadi karena saluran
pernafasan distal yang memiliki diameter kurang dari 2 mm akan menutup
sebelum alveoli kolaps. Gas yang terperangkap didalamnya akan

xiv
mencegah alveoli kosong dan kempes. Yang kedua, karena dinding dada,
tulang kosta, dan diafragma tidak dapat terdistorsi hingga seluruh gas di
paru dapat keluar.
Kapasitas paru adalah kombinasi dari dua atau lebih volume paru. Terdapat 4
kapasitas paru yaitu :
a. Inspiratory capacity adalah volume udara yang dapat diinspirasi oleh paru
secara maksimal. Kapasitas ini merupakan volume tidal ditambah
inspiratory reserve volume yang jumlahnya 3500 ml.
b. Functional residual capacity adalah jumlah udara yang tersisa di paru
setelah ekspirasi normal. Kapasitas ini merupakan expiratory reserve
volume ditambah residual volume dengan besar volumenya 2300 ml.
c. Vital capacity adalah volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan
dari paru setelah sebelumnya paru diisi udara hingga maksimum lalu
dilanjutkan ekspirasi maksimum. Kapasitas ini merupakan inspiratory
reserve volume ditambah tidal volume dan besarnya adalah 4600 ml atau
60-70 mL/kg.
d. Total lung capacity (TLC) adalah volume maksimum yang bisa
mengakibatkan paru mengembang maksimal dengan usaha inspirasi
maksimal. Kapasitas ini merupakan vital capacity ditambah residual
volume. Jumlahnya sekitar 6-8 L. TLC dapat meningkat pada pasien
dengan COPD karena ekspansi berlebihan atau hiperinflasi dari alveoli
normal, atau kerusakan dari dinding alveoli sehingga kehilangan
elastisitasnya seperti pada emfisema. 9

xv
Tabel 2.1 Volume dan Kapasitas Paru

Gambar 2.5 Hubungan antara kapasitas residual fungsional

xvi
Gambar 2.6 Usaha pernafasan dan komponen selama inspirasi
Minute respiratory volume adalah volume udara baru yang masuk ke saluran
pernapasan setiap menitnya. Ini merupakan tidal volume dikali frekuensi
pernapasan per menit. Minure respiratory volume besarnya 6 L/menit.1

2.5.2 Functional Residual Capacity (FRC)


Functional residual capacity (FRC) adalah jumlah udara yang tersisa di paru
setelah ekspirasi pasif. Jumlahnya kurang lebih 3-4 L dan bergantung pada jenis
kelamin, umur, tinggi badan dan berat badan. FRC meningkat pada orang yang
tinggi dan usia tua, serta turun pada orang yang gemuk dan pendek.
Volume dari FRC dipengaruhi oleh tekanan kedalam oleh paru dan tekanan
keluar oleh dinding dada. Tekanan kedalam oleh paru atau “elastic recoil”
dipengaruhi oleh jaringan paru yang elastis, tekanan kontraksi dari otot-otot polos
pernapasan, dan tekanan permukaan dari alveoli. Sedangkan tekanan keluar oleh
dinding dada dipengaruhi oleh tulang kosta, sendi, dan otot.10
Terdapat dua alasan mengapa masih ada gas yang tersisa setelah ekspirasi.
Yang pertama, jika alveoli sepenuhnya kolaps saat terjadi ekspirasi, lebih banyak
usaha yang dibutuhkan untuk mengembangkannya lagi dibandingkan jika pada

xvii
pernapasan normal dimana alveoli tidak kolaps karena masih tersisa gas
didalamnya. Alasan yang kedua, udara yang terinspirasi akan bercampur dengan
gas yang tersisa di paru, sehingga akan menyamakan konsentrasi O 2 dan CO2
didalam paru yang awalnya berbeda selama terjadi siklus respirasi. Jika hanya ada
sedikit udara di paru, konsentrasi gas di alveoli akan menjadi lebih besar dan akan
juga mempengaruhi PaO2 dan PaCO2 di darah.
Pada peningkatan ventilasi, seperti saat aktivitas fisik, VT (volume tidal)
juga akan meningkat sehingga FRC menurun hingga 0,5 L. namun jika terdapat
obstruksi pernapasan, seperti asma, ekspirasi akan melambat sehingga level
ekspirasi akhir akan meningkat. Hal ini disebut “air trapping” dan berfungsi
untuk menurunkan resistensi aliran udara pada jalan pernapasan yang menyempit.

2.5.3 Closing Capacity


Saluran nafas kecil tidak memiliki kartilago untuk menjaganya agar tidak
kolaps. Patensi pada saluran nafas kecil ini, terutama pada bagian basal paru,
sangat bergantung pada volume paru. Volume paru dimana jalan nafas mulai
kolaps/tertutup disebut closing capacity. Pada volume paru yang lebih rendah,
alveoli pada area jalan nafas yang sudah kolaps ini tetap akan terjadi perfusi
namun tidak lagi timbul ventilasi, sehingga dapat timbul intrapulmonal shunting
yaitu keadaan dimana darah melewati alveoli yang tidak memiliki supply oksigen.
Keadaan intrapulmonal shunting dapat menyebabkan hipoksemia.
Closing capacity normalnya berjumlah dibawah FRC, namun berangsur-
angsur meningkat dengan usia. Peningkatan ini kemungkinan berperan terhadap
penurunan normal yang berkaitan usia pada tekanan O2 arteri. Pada usia 44 tahun,
closing capacity berjumlah sama dengan FRC pada posisi supine. Pada usia 66
tahun, closing capacity sama dengan atau melebihi FRC pada posisi berdiri.
Berbeda dengan FRC, closing capacity tidak dipengaruhi oleh postur tubuh. 11

2.5.4 Dead Space dan Ventilasi Alveolar


Pernafasan tidal (ekspirasi dan inspirasi ) yang normal pada manusia dewasa
umumnya sekitar 0.5 – 0.6 L dengan frekuensi napas sekitar 16 kali/menit.

xviii
Sehingga ventilasi udara yang terjadi sebanyak 7 – 8 L/menit. Seluruh udara yang
diinspirasi tidak sepenuhya mencapai alveoli. 100-150 ml dari udara tidak ikut
mengalami pertukaran dan tetap tinggal di saluran pernapasan. Hal ini, yang
disebut “dead space” menyumbang 30% dari volume tidal (sehingga VDS/VT
sebesar 0.3). Dead space adalah komposisi gas yang terdapat di saluran
pernafasan nonrespirasi dimana tidak terjadi pertukaran gas (anatomic dead
space) dan alveoli yang mengalami gangguan sehingga tidak mendapatkan perfusi
(alveolar dead space). Gabungan dari kedua komponen tersebut disebut
“physiologic dead space”. Volume tidal adalah jumlah udara di volume paru
yang akan mengalami pertukaran saat inspirasi dan ekspirasi. Udara yang tersisa
akan mencapai alveoli dan respiratory bronkiol. Jumlah ventilasi alveolar sekitar
5L/menit, sama dengan jumlah cadiac output.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan jumlah ventilasi per menit adalah
aktivitas fisik, penurunan jumlah konsenstrasi oksigen yang diinspirasi,
peningkatan ventilasi dead space, dan asidosis metabolik. Jika terjadi peningkatan
pada dead space, ventilasi harus ditingkatkan untuk menutup kehilangan udara
ventilasi yang terjadi dan untuk menjaga PaCO2 tetap normal. Dead space
umumnya meningkat jika ventilasi terjadi melalu alat bantu seperti gudel, atau
facemask. Ini disebut “apparatus dead space” dan besarnya sekitar 25 hingga
beberapa ratus mililiter, dibandingkan dengan 100-150 ml dead space dari
pernapasan biasa “ anatomic dead space”.
Peningkatan dead space yang lebih besar bisa disebabkan oleh ventilasi dari
alveoli yang tidak mengalami perfusi, seperti pada emboli paru yang
menyebabkan aliran darah menuju paru tersumbat ( “alveolar dead space “).
Pasien yang menderita emboli pulmoner akan memiliki rasio VDS/VT yang tinggi
yaitu 0.7 – 0.8, sehingga untuk menaga ventilasi alveolar tetap 5 L/menit, ventilasi
harus ditingkatkan dari yang normalnya 7-8 L/menit menjadi 20 L/menit.
Pasien lainnya yang akan mengalami peningkatan dead space adalah pasien
dengan penyakit paru obstruktif seperti asma, bronchitis kronik, dan emfisema.
Pada penyakit ini, beberapa daerah tidak dapat diventilasi dengan baik karena
obstruksi pernapasan, sehingga daerah tersebut akan mengalami penurunan

xix
ventilasi dengan perfusi yang tetap ada. Keadaan ini disebut ventilation-perfusion
mismatch (VA/Q mismatch, dengan rasio VA/Q yang rendah). Kondisi ini
menyebabkan udara yang terinspirasi masuk ke daerah yang lain sehingga daerah
tersebut mengalami ventilasi yang berlebihan dibandingkan dengan perfusinya.

Gambar 2.7 Dead space

2.6 Distribusi Gas1,2,3,4


Udara yang terinspirasi tidak akan terdistribusi sama besar ke seluruh
lapangan paru. Pada pernafasan biasa, sebagian besar gas akan menuju ke daerah
yang lebih dibawah dan lebih tertekan – basal paru, area diafragma, dalam posisi
berdiri tegak atau duduk, serta daerah dorsal pada posisi supine.
Distribusi gas mengikuti gaya gravitasi. Selain itu distribusi gas juga
dipengaruhi oleh hubungan tekanan-volume paru dan peningkatan tekanan pleura
pada paru bagian bawah. Pada hubungan tekanan-volume, dengan meningkatnya
volume paru, lebih banyak tekanan yang akan dibutuhkan untuk menjaga paru
tetap mengembang. Pada peningkatan tekanan pleura, dengan tekanan alveolar
yang konstan pada seluruh lapang paru, menyebabkan tekanan transpulmonary
menurun mulai dari bagian atas hingga bagian bawah paru. Pada posisi berdiri,
apeks paru memiliki tekanan transpulmonar yang lebih tinggi dibandingkan
dengan basal paru yang lebih tertekan. Ventilasi lebih banyak terjadi pada basal
paru.
Yang mempengaruhi gradien tekanan pleura adalah berat dari paru sendiri,
dengan berat yang lebih ringan akan menghasilkan tekanan pleura yang lebih kecil

xx
pada daerah yang lebih tinggi pada rongga dada dibandingkan dengan daerah yang
lebih rendah. Jika paru menjadi lebih berat, seperti edema, maka tekanan pleura
akan meningkat. Jika berat dikurangi maka tekanan pleura akan menurun.
Saluran pernapasan akan menjadi lebih sempit saat ekspirasi. Jika dilakukan
ekspirasi yang cukup kuat, saluran pernapasan pada daerah yang tertekan akan
menutup. Volume diatas RV saat saluran pernapasan mulai menutup disebut
closing volume (CV). CV ditambah dengan RV akan menghasilkan closing
capacity (CC). penutupan saluran pernapasan merupakan fenomena fisiologi yang
normal sebagai dampak dari meningkatnya tekanan pleura saat ekspirasi. Tekanan
dari luar saluran pernapasan yang lebih besar akan mengkompresi saluran
pernapasan hingga menutupnya. Karena tekanan pleura lebih tinggi pada daerah
yang tertekan ( bagian basal paru) maka saluran pernapasan menutup mulai dari
bagian bawah paru.

2.7 Difusi Gas1,2,3,4


2.7.1 Partial Pressure
Setelah terjadi ventilasi di alveoli, selanjutnya terjadi proses respirasi yaitu
difusi oksigen dari alveoli ke kapiler pulmoner. Gas akan bergerak dari area yang
berkonsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi gas yang rendah. Tekanan suatu
gas berbanding lurus dengan konsentrasi dari gas tersebut dalam suatu campuran
gas. Tekanan sendiri berasal dari molekul-molekul gas yang mengenai permukaan
saluran pernapasan.
Pada fisiologi respirasi, tiga gas yang berpengaruh dalam campuran udara
adalah oksigen, nitrogen dan karbon dioksida. Kecepatan difusi gas tersebut
berbanding lurus dengan tekananyang dimilik masing-masing gas disebut, yang
disebut partial pressure.
Pada udara komposisi nitrogen sebesar 79% dan oksigen sebesar 21%. Total
pressure dari udara sendiri sebesar 760 mmHg. Maka partial pressure dari

xxi
nitrogen adalah (79 x 760) 600 mmHg sedangkan partial pressure dari oksigen
sebesar (21 x 760) 160 mmHg. Total pressure adalah gabungan dari masing-
masing partial pressure gas yang membentuk udara.
Partial pressure suatu gas tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasinya
namun juga oleh solubility coefficient sesuai dengan Henry’s Law :

Beberapa gas seperti karbon dioksida sangat mudah larut dalam air dan
disebut memiliki solubility coefficient yang tinggi, sehingga karbon dioksida dapat
berdifusi dengan sangat mudah 20 kali lebih cepat dibandingkan oksigen. Untuk
gas lain yang tidak memiliki solubility coefficient yang besar, partial pressure
mereka akan meningkat sehingga mereka tetap dapat berdifusi.
Saat udara yang belum dihumidifikasi melalui saluran pernapasan, air yang
berada di permukaan saluran pernafasan akan menguap dan melembabkan udara
yang baru masuk. Air memiliki kecenderungan untuk berpindah ke gas. Partial
pressure yang dibutuhkan molekul air untuk berpindah ke gas disebut vapor
pressure. Nilai dari vapor pressure setelah gas sepenuhnya terhumidifikasi dan
keduanya dalam keadaan ekuilibrium adalah 47 mmHg.
Beberapa faktor yang mempengaruhi difusi gas adalah ; 1) perbedaan partial
pressure, 2) cross-sectional area dari cairan , 3) jarak yang harus dilalui gas untuk
berdifusi, 4) berat molekular gas, 5) temperatur dari cairan. Temperatur umumnya
konstan dan tidak terlalu diperhitungkan. Semakin besar solubilitas gas, semakin
banyak molekul yang akan berdifusi. Semakin besar cross-sectional area dari area
difusi, semakin banyak jumlah molekul yang berdifusi. Semakin jauh jarak yang
harus ditemuh molekul untuk berdifusi semakin lama waktu yang dibutuhkan
untuk difusi.

2.7.2 Difusi pada saluran pernafasan dan alveoli


Luas permukaan saluran pernafasan akan bertambah dari trakea hingga
alveoli. Luar pemukaan yang bertambah akan mengakibatkan kecepatan aliran gas

xxii
yang melewati saluran pernapasan melambat. Sehingga gas lebih cepat melakukan
transport melalui difusi antara alveoli dengan kapiler periferal.
Jika dimensi pada alveolar bertambah seperti pada penyakit emfisema, jarak
untuk berdifusi akan bertambah jauh sehingga pencampura udara yang diinspirasi
dengan udara di alveolar akan menjadi sulit.12
Udara alveolar tidak memiliki konsentrasi yang sama dengan gas di udara
atmosfer karena 1) udara alveolar hanya tergantikan sebagian oleh udara atmosfer
setiap kali kita bernafas, 2) oksigen secara konstan diabsorbsi oleh darah
pulmoner dari udara alveolar, 3) karbon dioksida secara konstan akan berdifusi
dari darah pulmoner ke alveoli, 4) udara atmosfer yang memasuki saluran
pernafasan akan dihumidifikasi sebelum mencapai alveoli.
Udara atmosfer yang masuk ke saluran pernafasan akan terekspos dengan air
yang melapisi permukaan saluran pernafsan sehingga udara akan terhumidifikasi.
Air, dengan kecenderungan vapor pressurenya akan mengencerkan seluruh gas
dari udara inspirasi sehingga partial pressure gas seperti oksigen akan berubah
dari 159 mmHg menjadi 149 mmHg, serta partial pressure nitrogen juga berubah
dari 597 mmHg menjadi 563 mmHg.

2.7.3 Konsentrasi dan Partial Pressure Oksigen di Alveoli


Konsentrasi dan partial pressure oksigen di alveoli dipengaruhi oleh dua hal
yaitu ; 1) kecepatan absorbsi oksigen oleh darah pulmoner, 2) kecepatan oksigen
yang baru memasuki paru melalui ventilasi. Po2 di alveolar adalah 104 mmHg
karena udara bercampur dengan udara yang sebelumnya sudah ada di alveoli.

2.7.4 Konsentrasi dan Partial Pressure Karbon Dioksida di Alveoli


Pco2 pada alveoli sebesar 40 mmHg. Dan sama seperti oksigen, partial
pressure nya dipengaruhi oleh konsentrasi gas tersebut didalam alveoli.

2.7.5 Difusi Antara Alveolar – Membran Kapiler


Oksigen berdifusi secara pasif dari alveoli ke plasma untuk berikatan
dengan sel darah merah terutama dengan hemoglobin. Karbon dioksida berdifusi

xxiii
dari plasma ke alveoli. Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah gas yang
mengalami difusi : 1) luas permukaan, 2) ketebalan membrane, 3) perbedaan
tekanan parsial gas antar membran, 4) berat molecular dari gas, 5) solubilitas gas.
Semakin kecil luas permukaan, semakin sedikit jumlah gas yang dapat
berdifusi. Semakin tebal membran, akan semakin jauh jarak untuk gas berdifusi
sehinga kapasitas difusi juga akan menurun. Sebagai contoh pada fibrosis paru,
solubilitas O2 dan CO2 akan menurun.
Untuk perbedaan gradient tekanan, semakin besar perbedaan tekanan gas
antara alveolus dan plasma kapiler, difusi akan terjadi semakin cepat. Sebagai
contoh Po2 di kapiler sebesar 40 mmHg dan Po2 di alveolar sebesar 100 mmHg
sehingga perbedaannya 60 mmHg dan oksigen akan berdifusi dari alveoli ke
kapiler dengan mudah.
Sedangkan untuk berat molekular, difusi berbanding terbalik dengan berat
molekular dari gas. Sehingga, semakin besar berat molekular suatu gas, difusi
akan semakin sulit. Untuk solubilitas gas, difusi berbanding linear dengan
solubilitas suatu gas di jaringan. CO2 walaupun memiliki berat molekul yang lebih
besar dari O2 tetapi memiliki solubilitas 30 kali lebih besar dibandingkan O2 di air.
Sehingga kemampuan difusi CO2 20 kali lebih besar dibandingkan O2.

2.8 Ventilasi / Hubungan Perfusi


2.8.1 Ventilasi
Ventilasi biasanya diukur sebagai jumlah dari semua volume gas yang
dihembuskan dalam 1 menit (ventilasi per menit, atau V).
Ventilasi per menit = Respiratory Rate × Tidal Volume
Untuk dewasa rata-rata saat istirahat, ventilasi per menit adalah sekitar 5
L/menit. Tidak semua dari campuran gas terinspirasi mencapai alveoli; beberapa
tetap di saluran udara dan dihembuskan tanpa ditukar dengan gas alveolar. Bagian
dari VT tidak berpartisipasi dalam pertukaran gas alveolar dikenal sebagai dead
space (VD). Ventilasi alveolar (VA) adalah volume gas terinspirasi benar-benar
mengambil bagian dalam pertukaran gas dalam 1 menit.
VA = Respiratory Rate × VT - VD

xxiv
Dead space sebenarnya terdiri dari gas di saluran udara nonrespiratory
(anatomic dead space) dan alveoli yang tidak perfusi (alveolar dead space).
Jumlah dari dua komponen disebut physiological dead space. Dalam posisi tegak,
dead space biasanya sekitar 150 mL untuk kebanyakan orang dewasa (sekitar 2
mL/kg) dan hampir semua anatomi. Berat individu dalam pound kira-kira setara
dengan dead space dalam mililiter. Dead space dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor
Tabel 2.2 Faktor yang mempengaruhi dead space

2.8.2 Distribusi Ventilasi


Terlepas dari posisi tubuh, ventilasi alveolar tidak merata di paru-paru. Paru
kanan menerima lebih ventilasi dari paru-paru kiri (53% vs 47%), dan rendah
daerah (tergantung) dari kedua paru-paru cenderung lebih baik berventilasi
daripada daerah atas karena gradien gravitasi diinduksi tekanan intrapleural
(tekanan transpulmonal). Tekanan pleura menurun sekitar 1 cm H2O (menjadi
kurang negatif) per penurunan 3 cm paru. Perbedaan ini menempatkan alveoli dari
daerah yang berbeda di berbagai titik pada kurva compliant pulmonal (Gambar

xxv
23-14). Karena tekanan transpulmonal lebih tinggi, alveoli di daerah paru bagian
atas, maksimal meningkat dan relatif noncompliant, dan mereka mengalami
sedikit ekspansi selama inspirasi. Sebaliknya, alveoli kecil di daerah bawah
memiliki tekanan transpulmonal lebih rendah, lebih compliant, dan mengalami
ekspansi yang lebih besar selama inspirasi.

Gambar 2.8 Efek gravitasi terhadap komplians alveoli saat posisi berdiri

Resistensi saluran napas dapat juga berkontribusi terhadap perbedaan


regional dalam ventilasi paru. Akhir volume inspirasi alveolar semata-mata
tergantung pada compliance hanya jika waktu inspirasi tak terbatas. Pada
kenyataannya, waktu inspirasi yang selalu dibatasi oleh frekuensi pernapasan dan
waktu yang diperlukan untuk ekpirasi; akibatnya, waktu inspirasi terlalu singkat
akan mencegah alveoli mencapai perubahan yang diharapkan dalam volume.
Selain itu, mengisi alveolar berikut fungsi eksponensial yang bergantung pada
compliance dan resistensi saluran napas. Oleh karena itu, bahkan dengan waktu
inspirasi normal, kelainan baik compliance atau resistensi dapat mencegah
pengisian alveolar lengkap.

xxvi
2.8.3 Konstanta Waktu
Inflasi paru-paru dapat digambarkan secara matematis oleh konstanta waktu, τ.
τ = Total Compliance × Airway Resistance
Variasi regional dalam resistensi atau compliance tidak hanya mengganggu
pengisian alveolar tetapi dapat menyebabkan asynchrony dalam pengisian
alveolar selama inspirasi; beberapa unit alveolar dapat terus mengisi bagian
kosong lain.
Variasi konstanta waktu dalam paru-paru normal dapat ditunjukkan pada
individu normal bernapas secara spontan selama frekuensi pernapasan abnormal
tinggi. Pernapasan cepat dan dangkal membalikkan distribusi normal ventilasi,
secara istimewa mendukung daerah atas (nondependent) paru-paru di atas area
yang lebih rendah.

2.8.4 Perfusi Pulmonal


Dari sekitar 5 L/menit dari darah yang mengalir melalui paru-paru, hanya
sekitar 70-100 mL pada satu waktu berada dalam kapiler paru mengalami
pertukaran gas. Pada membran alveolar-kapiler, volume kecil ini membentuk 50-
100 m2 lembaran darah sekitar satu sel darah merah tebal. Selain itu, untuk
memastikan pertukaran gas yang optimal, setiap perfusi kapiler lebih dari satu
alveolus.
Meskipun volume kapiler tetap relatif konstan, volume total darah paru
dapat bervariasi antara 500 mL dan 1000 mL. Peningkatan besar baik cardiac
output atau volume darah ditoleransi dengan sedikit perubahan dalam tekanan
sebagai akibat dari pelebaran pasif pembuluh darah terbuka dan mungkin
beberapa pengerahan kolaps pembuluh darah pulmonal. Peningkatan kecil volume
darah paru biasanya terjadi selama sistol jantung dan dengan masing-masing
inspirasi normal (spontan).
Faktor lokal lebih penting dari pada sistem otonom dalam mempengaruhi
tonus pembuluh darah paru. Hipoksia adalah stimulus yang kuat untuk
vasokonstriksi paru (kebalikan dari efek sistemiknya). Kedua arteri pulmonalis

xxvii
(campuran vena) dan hipoksia alveolar menginduksi vasokonstriksi, tetapi yang
terakhir adalah stimulus yang lebih kuat. Tanggapan ini tampaknya baik karena
efek langsung dari hipoksia pada pembuluh darah paru atau peningkatan produksi
leukotrien relatif terhadap prostaglandin vasodilator. Penghambatan produksi
oksida nitrat juga mungkin memainkan peran. Vasokonstriksi paru hipoksia
merupakan mekanisme fisiologis penting dalam mengurangi shunting
intrapulmonal dan mencegah hipoksemia. Hyperoxia memiliki sedikit efek pada
sirkulasi paru-paru pada individu normal. Hiperkapnia dan asidosis memiliki efek
pembatas, sedangkan hipokapnia menyebabkan vasodilatasi paru, kebalikan dari
apa yang terjadi dalam sirkulasi sistemik.

2.8.5 Distribusi Perfusi Pulmonal


Aliran darah paru juga tidak seragam. Terlepas dari posisi tubuh, daerah
paru-paru yang lebih rendah (dependent) menerima aliran darah lebih besar dari
daerah atas (nondependent). Pola ini merupakan hasil dari gradien gravitasi dari 1
cm H2O/cm tinggi paru. Tekanan biasanya rendah dalam sirkulasi paru
memungkinkan gravitasi untuk mengerahkan pengaruh yang signifikan pada
aliran darah. Juga, in vivo perfusi scanning pada individu normal menunjukkan
distribusi "onion-like" layering perfusi, dengan mengurangi aliran di pinggiran
paru-paru dan meningkatkan perfusi ke arah hilus.1

2.8.6 Ventilasi / Ratio Perfusi


Karena ventilasi alveolar (VA) biasanya sekitar 4 L/menit, dan perfusi
kapiler paru (Q) adalah 5 L/menit, secara keseluruhan rasio V/Q adalah sekitar
0,8. V/Q untuk unit paru individual (masing-masing alveolus dan kapiler) dapat
berkisar dari 0 (tidak ada ventilasi) hingga tak terbatas (tidak ada perfusi);
sebelumnya disebut sebagai shunt intrapulmonal, sedangkan yang terakhir
merupakan dead space alveolar. V/Q biasanya berkisar antara 0,3 dan 3,0;
mayoritas daerah paru-paru, namun, yang dekat mencapai 1,0. Karena kenaikan
perfusi pada tingkat yang lebih besar dari ventilasi, daerah nondependent (apikal)
cenderung memiliki rasio V/Q lebih tinggi dari pada daerah dependent (basal).

xxviii
2.8.7 Shunt
Shunting menunjukkan proses dimana desaturatasi, campuran darah vena
dari jantung kanan kembali ke jantung kiri tanpa resaturasi dengan O2 di paru-
paru. Efek keseluruhan dari shunting adalah untuk menurunkan konten O2 arteri;
jenis shunt ini disebut sebagai right-to-left. Left-to-right shunt (tanpa adanya
kongesti paru), bagaimanapun, tidak menghasilkan hipoksemia.
Shunt intrapulmonal sering diklasifikasikan sebagai absolut atau relatif.
Absolute shunt mengacu pada shunt anatomi dan unit paru di mana V/Q adalah
nol. Sebuah relative shunt merupakan daerah paru-paru dengan rasio V/Q rendah.
Klinisnya, hipoksemia dari relative shunt biasanya sebagian dapat diperbaiki
dengan meningkatkan konsentrasi O2 yang terinspirasi; hipoksemia yang
disebabkan oleh absolute shunt tidak bisa diperbaiki.

Gambar 2.8 Pertukarang gas di paru

2.8.8 Venous Admixture

xxix
Venous admixture mengacu pada konsep dari pada entitas fisiologis yang
sebenarnya. Vena admixture merupakan jumlah darah vena campuran yang harus
dicampur dengan darah kapiler paru untuk memperhitungkan perbedaan dalam
tekanan O2 antara arteri dan darah kapiler paru. Darah kapiler paru dianggap
memiliki konsentrasi yang sama seperti gas alveolar.

2.9 Transport Gas Respirasi di dalam Darah


2.9.1 Transport Oksigen dari Paru ke Jaringan Tubuh
Oksigen berdifusi dari alveoli ke darah kapiler pulmoner karena Po 2 di
alveoli lebih besar dari Po2 di kapiler pulmoner. Po2 pada alveoli sebesar 104
mmHg sedangkan Po2 arteri pulmoner yang mengandung darah vena sebesar 40
mmHg. Perbedaan tekanan yang besar ini (64 mmHg) menyebabkan oksigen
berdifusi dari alveolar ke darah.
Pada darah shunt, PO2 yang dimiliki sama dengan Po2 pada darah vena
sistemik yaitu 40 mmHg. Setelah bercampur dengan darah yang sudah
teroksigenasi dan menjadi venous admixture, Po2 akan berubah menjadi 95
mmHg. Ini adalah tekanan Po2 yang dipompakan ke aorta.
Po 2 pada darah arteri sebesar 95 mmHg sedangkan Po 2 pada jaringan sebesar
40 mmHg sehingga akan terjadi difusi O2 dari arteri ke jaringan interstisium. Lalu
darah yang meninggalkan jaringan menuju vena sistemik akan memiliki kadar Po 2
sebesar 40 mmHg.

2.9.2 Peran Hemoglobin


Sebesar 97% transport oksigen dari paru ke jaringan dibawa dalam bentuk
kombinasi dengan hemoglobin di sel darah merah. 3% sisanya ditransport melalui
pelarutan dengan air yang ada di plasma dan sel darah. Oksigen terutama akan
berikatan dengan heme. Jika Po2 tinggi, seperti pada darah di kapiler pulmoner,
oksigen akan berikatan dengan hemoglobin. Namun jika Po2 rendah seperti pada
kapiler jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari hemoglobin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengikatan oksigen dengan
hemoglobin adalah ; 1) Po2, 2) kadar CO2, 3) pH, 4) temperatur , 5) BPG (2.3-

xxx
biphosphoglycerate). Peningkatan dari Po2, kadar CO2, temperatur, BPG, serta
penurunan dari pH menyebabkan peningkatan antara oksigen-hemoglobin.

2.9.3 Transport Karbon Dioksida ke Jaringan


CO 2 paling banyak ditransport dalam bentuk ion bikarbonat (70%). Ion
bikarbonat merupakan hasil dari reaksi CO2 dengan air didalam sel darah, yang
dengan bantuan enzim carbonic anhydrase akan merubah CO2 menjadi carbonic
acid. Lalu carbonic acid yang berada didalam sel darah merah akan berdisosiasi
menjadi hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen sebagian besar akan
bergabung dengan hemoglobin di sel darah merah sedangkan bikarbonat akan
berdifusi dari sel darah merah menuju plasma, dan ion klorida akan berdifusi ke
dalam sel darah merah untuk menggantikan tempat ion bikarbonat.
Selain bereaksi dengan air, CO 2 juga bereaksi dengan hemoglobin
membentuk carbaminohemoglobin. Ikatan dengan hemoglobin ini longgar
sehingga CO2 dapat dengan mudah di lepaskan ke alveoli, dimana Pco 2 lebih
rendah dibandingkan dengan yang di kapiler pulmoner.
Jika CO 2 meningkat didalam darah akan menyebabkan O2 terlepas dari
hemoglobin (the Bohr effect) demikian juga sebaliknya jika O2 berikatan dengan
hemoblogin maka hemoglobin akan cenderung melepaskan CO2 dari darah ke
alveoli (Haldan effect).

2.10 Efek Anestesi pada Mekanisme Pulmonal


Efek anestesi pada pernapasan yang kompleks dan berhubungan dengan
perubahan baik dalam posisi dan agen anestesi.3 Anastesia menyebabkan
gangguan pada fungsi paru, baik pada pasien yang bernapas spontan maupun
dengan ventilasi mekanik. Gangguan Oksegenasi darah terjadi pada sebagian
orang yang menjalani anestesia, oleh karena itu pemberian O2 rutin dilakukan
dengan fraksi O2 terjaga sekitar 0,3 sampai 0,4.4
Hipoksemia ringan sampai sedang (saturasi O2 antara 85% sampai 90%)
tetap dapat terjadi pada hampir setengah pasien yang menjalani pembedahan

xxxi
berencana dan menetap mulai dari beberapa detik sampai 30 menit walau sudah
dilakukan penambahan FiO2.4,13
Akibat pertama karena pengaruh anestesia adalah hilangnya tonus otot yang
menyebabkan perubahan keseimbangan antara gaya keluar (otot-otot pernapasan)
dan gaya ke dalam (jaringan elastis paru) sehingga kapasitas residu fungsional
(FRC) akan turun. Peristiwa ini akan menyebabkan penurunan komplians dan
peningkatan resistensi pernafasan.4,5
Pemberian opioid seperti morfin atau fentanyl dapat dapat mendepresi
respon pusat pernafasan terhadap hiperkarbia. Efek ini dapat dinetralisasi dengan
pemberian antagonis opioid, yaitu nalokson. Obat anastetik inhalasi juga dapat
mendepresi pusat pernafasan dan menyebabkan perubahan pada aliran darah di
paru, sehingga menyebabkan mismatch ventilasi/perfusi dan penurunan
oksigenasi.3

2.10.1 Efek Pada Volume Paru Dan Komplien


Perubahan dalam mekanika paru akibat anestesi umum terjadi tak lama
setelah induksi. Posisi terlentang mengurangi FRC oleh 0,8-1,0 L, dan induksi
anestesi umum lebih lanjut mengurangi FRC oleh 0,4-0,5 pengurangan L. FRC
merupakan konsekuensi dari kolaps alveolar dan kompresi atelektasis karena
hilangnya tonus otot inspirasi, perubahan dinding dada kekakuan, dan pergeseran
ke atas diafragma. Mekanisme mungkin lebih kompleks; misalnya, hanya
bergantung (dorsal) bagian dari diafragma dalam posisi terlentang bergerak
cephalad. Faktor-faktor lain yang mungkin disebabkan oleh perubahan volume
toraks intra sekunder untuk meningkatkan volume darah dalam paru-paru dan
perubahan bentuk dinding dada. Posisi yang lebih tinggi dari diafragma dorsal dan
perubahan dalam rongga dada sendiri menurunkan volume paru-paru. Penurunan
FRC ini tidak terkait dengan kedalaman anestesi dan dapat bertahan selama
beberapa jam atau hari setelah anestesi. Curam kepala di bawah (Trendelenburg)
posisi (>30°) dapat mengurangi FRC lebih jauh sebagai volume darah intra
meningkat toraks. Sebaliknya, induksi anestesi dalam posisi duduk tampaknya

xxxii
memiliki sedikit efek pada FRC. kelumpuhan otot tampaknya tidak mengubah
FRC menandakan cantly ketika pasien sudah dibius.
Efek anestesi pada kapasitas penutupan lebih bervariasi. Kedua FRC dan
menutup kapasitas, bagaimanapun, umumnya berkurang pada tingkat yang sama
di bawah anestesi. Dengan demikian, risiko meningkat shunting intrapulmonary
bawah anestesi adalah mirip dengan yang di negara sadar; itu adalah terbesar pada
orang tua, pada pasien obesitas, dan pada mereka dengan penyakit paru yang
mendasarinya.14

2.10.2 Efek pada Resistensi Jalan Napas


Penurunan FRC terkait dengan anestesi umum akan diharapkan untuk
meningkatkan resistensi saluran napas. Peningkatan resistensi saluran napas
biasanya tidak diamati, namun karena sifat bronkodilatasi dari anestesi inhalasi
volatile. resistensi saluran napas meningkat lebih umum karena faktor patologis
(perpindahan posterior lidah, spasme laring, bronkokonstriksi, atau sekresi, darah,
atau tumor di saluran napas) atau masalah peralatan (tabung trakea kecil atau
konektor, kerusakan katup, atau obstruksi bernapas sirkuit).3

2.10.3 Efek pada Usaha Bernapas


Peningkatan kerja pernapasan bawah anestesi yang paling sering sekunder
untuk mengurangi paru-paru dan dinding dada kepatuhan, dan, kurang umum,
peningkatan resistensi saluran napas. Masalah peningkatan kerja pernapasan
biasanya dielakkan oleh ventilasi mekanis dikendalikan.

2.10.4 Efek pada Patensi Pernapasan


Terlepas dari agen yang digunakan, anestesi ringan sering mengakibatkan
pola pernapasan tidak teratur; holding napas umum. Napas menjadi biasa dengan
level yang lebih anestesi. agen inhalasi umumnya menghasilkan cepat, napas
dangkal, sedangkan nitrous-opioid teknik menghasilkan lambat, napas dalam-
dalam.3

2.10.5 Pengaruh Anestesi tentang Pengendalian Pernapasan

xxxiii
Efek yang paling penting dari semua anestesi umum pada pernapasan adalah
kecenderungan untuk mendorong hipoventilasi. Mekanisme ini mungkin ganda:
depresi sentral dari kemoreseptor dan depresi dari aktivitas otot interkostal
eksternal. Besarnya hipoventilasi yang umumnya sebanding dengan kedalaman
anestesi. Dengan meningkatnya kedalaman anestesi, kemiringan kurva PaCO2 /
menit ventilasi berkurang, dan meningkatkan ambang apnea. Efek ini setidaknya
sebagian terbalik dengan stimulasi bedah.
Respon perifer hipoksemia bahkan lebih sensitif terhadap anestesi dari
respon CO2 pusat dan hampir dihapuskan oleh bahkan dosis subanesthetic dari
kebanyakan agen inhalasi (termasuk nitrous oxide) dan banyak agen intravena.

2.11 Faktor yang Mempengaruhi Respirasi Saat Anestesi15


2.11.1 Spontaneous Breathing
FRC diketahui menurun dalam pengaruh anestesi tanpa memperhatikan
relaksan otot digunakan atau tidak. Namun atelektasis juga terjadi dalam derajat
yang sama pada pasien dalam pengaruh anestesi dengan bernafas spontan dan
pasien yang dalam pengaruh relaksan otot. Juga, pergerakan diafragma kearah
servikal juga dinilai sama pada pasien dalam pengaruh anestes maupun relaksan
otot. Pengaruh anestesi juga dinilai meningkatkan V/Q missmatch dan shunting.

2.11.2 Peningkatn Oxygen Fraction (FiO2)


Peningkatan FiO2 ditemukan untuk menyebabkan peningkatan shunting
yang mungkin dapat dijelaskan dengan peredaman fungsi HPV.

2.11.3 Posisi Tubuh


Pergantian posisi tubuh dari tegak menjadi berbaring menurunkan FRC.
Dengan catatan bahwa kebanyakan operasi dilakukan pada posisi tersebut,
setidaknya operasi dengan posisi berbaring akan menyebabkan penurunan pada

xxxiv
FRC. Ini juga dapat memberikan wawasan bahwa perbedaan posisi dapat
mempengaruhi FRC pasien.

2.11.4 Usia
Oksigenasi arteri menurun dengan peningkatan umur. Penjelasan untuk
hal ini bukan berasal dari atelektasis dan shunting karena mereka tidak berubah
dengan pergantian umur. Akan tetapi mekanisme yang dapat menjelaskan hal
tersebut ialah peningkatan pada V/Q mismatch dan peningkatan perfusi pada
daerah dengan rendah V/Q (relative shunting).

2.11.5 Obesitas
Obesitas memperburuk oksigenasi dari darah, penurunan FRC, dan
peningkatan airway closure dibandingkan dengan non-obesitas. Namun, juga
pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi akan meningkatkan kecenderungan
untuk airway closure. Penanganan yang dapat dilakukan adalah melalui
pemberian CPAP untuk menurunkan insiden airway closure. Juga penentuan
posisi dapat mempengaruhi hal tersebut.

2.11.6 Kelainan Paru


Pengidap penyakit paru dan perokok mempunyai pertukaran gas yang
lebih buruk pada saat terbangun. Akan tetapi, cukup menarik bahwa dalam
pengaruh anestesi, pasien tersebut memiliki lebih sedikit kemungkinan untuk
terjadinya shunting serta atelektasis.
Mekanisme yang dapat menjelaskan hal ini mungkin dikarenakan oleh
kondisi hiperinflasi paru pada pasien tersebut yang mungkin dapat
menyebabkan lebih susah untuk kolaps. Akan tetapi V/Q mismatch lebih berat
dan permasalahan pada oksigenasi arteri ditemukan pada pasien tersebut.

2.11.7 Regional Anesthesia


Dengan anestesi regional, bila terjadi blok secara ekstensif yang
mengikutsertakan semua dari bagian toraks dan lumbar maka dapat dilihat

xxxv
penurunan fungsi inspiratorik sebanyak 20% dan ERV dapat mendekati 0.
Fungsi diafragma pada umumnya terselamatkan karena akar sarafnya yang
berasal dari segmen servikal, akan tetapi bila terjadinya blok, maka akan
berakibat fatal. Oksigenasi arteri dan CO 2 dipertahankan dengan baik pada
anestesi regional.

BAB III

KESIMPULAN

Sistem pernafasan atau disebut juga sistem respirasi yang berarti “bernafas
lagi”. Mempunyai peran atau fungsi menyediakan oksigen serta mengeluarkan
gas karbon dioksida dari tubuh. Secara fungsional (faali) sistem respirasi dibagi
menjadi 2 yaitu pars konduktoria (saluran napas) dan pars respiratoria. Pars
konduktoria berfungsi menghantarkan udara napas dari lingkungan sekitar masuk
ke saluran napas. Pars konduktoria terdiri dari cavum nasi, faring, trachea,
bronchus primer, bronchus secunder, bronchus tertier, bronkhiolus dan alveolus di
bronchiolus terminalis. Pars respiratoria adalah bagian sistem respirasi yang
mampu melakukan proses difusi O2-CO2 di mulai dari bronkhiolus respiratorius,
ductus alveolaris, saccus alveolaris, atrium dan berakhir di alveolus.
Pentingnya fisiologi paru untuk praktek anestesi sangatlah jelas. Anestesi
yang paling umum digunakan, agen inhalasi, tergantung pada paru-paru untuk
penyerapan dan eliminasi. Efek samping yang paling penting dari anestesi inhalasi
dan intravena terutama adalah pernapasan. Selain itu, kelumpuhan otot, posisi
yang tidak biasa selama operasi, dan teknik seperti anestesi satu paru dan
cardiopulmonary bypass secara mendalam mengubah fisiologi paru normal. Hal
ini penting untuk diketahui terutama dalam aplikasinya terhadap ilmu anestesi
agar dapat menjamin keselamatan pasien selama melakukan tindakan anestesi.

xxxvi
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 6 th Ed; 2018.
2. Sukmono RB, Madjid AS. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI/RSCM; 2012
3. Snell, Richard S.,M.D,PhD. Anatomi Klinis :Berdasarkan Sistem . Jakarta:
EGC;2012
4. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 13. EGC; 2019.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2010.
6. Artusio. Yao. Anesthesiology problem oriented patient management 7 th ed;
2012.
7. Marino PI, Sutin KM. Analgesia and sedation. In:The ICU book.3th
ed.Philladelphia:Lippincot William&Walkins; 2014.
8. Ganong, W. F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 24. Jakarta: EGC; 2012.
9. Bigatello, L., & Pesenti, A. Respiratory Physiology for the Anesthesiologist.
Anesthesiology; 2019.
10. Apeksh, P. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia; 2015.
11. Ochiai, R. What Should We Know about Respiratory Physiology for the
Optimal Anesthesia Management?. Europe PMC; 2016.
12. Andrew, L. Nunn's Applied Respiratory Physiology. 8th Edition. Elsevier;
2016.
13. Zoltan, R. Maintaining spontaneous ventilation during surgery—a review
article. Journal of emergency and critical care; 2020.

xxxvii
14. McDonell, W. N., & Kerr, C. L. Physiology, Pathophysiology, and Anesthetic
Management of Patients with Respiratory Disease. Veterinary Anesthesia and
Analgesia; 2017.
15. Ntima, N. O., & Lumb, A. B. Pulmonary function tests in anaesthetic practice.
BJA Education; 2019.

xxxviii

Anda mungkin juga menyukai