Anda di halaman 1dari 51

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219021 / Oktober 2020


** Pembimbing / dr. Andi Hutarius, Sp.An

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN LAPARATOMI

APPENDIKTOMI ATAS INDIKASI APPENDISITIS PERFORASI

Disusun Oleh:

Mutiara Rizki

G1A219021

Dosen Pembimbing:

dr. Andi Hutarius, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN LAPARATOMI

APPENDIKTOMI ATAS INDIKASI APPENDISITIS PERFORASI

Disusun Oleh :
Mutiara Rizki
G1A219021

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Oktober 2020

Pembimbing

dr. Andi Hutarius, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session (CRS) ini dengan judul “General Anestesi Pada Tindakan
Laparatomi Appendiktomi Atas Indikasi Appendisitis Perforasi “.
Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Andi Hutarius, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Oktober 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS.......................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 14
3.1 Appendisitis............................................................................................ 14
3.1.1Anatomi dan Fisiologi................................................................. 14
3.1.2Etiologi dan Epidemiologi............................................................. 14
3.1.3Patofisiologi.................................................................................. 15
3.1.4Diagnosis...................................................................................... 16
3.1.5Tatalaksana.................................................................................. 18
3.2 Anestesi ................................................................................................. 19
3.2.1Keuntungan dan kerugian anestesi umum..................................... 19
3.2.2Stadium-stadium Anestesi............................................................. 20
3.2.3 Penilaian pra-anestesi................................................................... 21
3.2.4 Premedikasi.................................................................................. 24
3.2.5 Persiapan induksi anestesi............................................................. 25
3.2.6 Jenis-jenis anestesi umum............................................................ 25
3.2.7 Macam-macam obat Keseimbangan anestesi................................ 31
3.2.8 Rumatan anestesi.......................................................................... 35
BAB IV ANALISA KASUS .......................................................................... 39
BAB V KESIMPULAN................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 46

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang sering


dikeluhkan dan menjadi alasan utama pasien datang ke dokter. Tetapi, nyeri
abdomen yang dijadikan sebagai keluhan utama masih memberikan banyak
kemungkinan diagnosis karena nyeri dapat berasal baik dari organ dalam
abdomen (nyeri viseral) maupun dari lapisan dinding abdomennya (nyeri
somatik). Nyeri akut abdomen yang timbul bisa tiba-tiba atau sudah berlangsung
lama. Namun, penentuan lokasi dari nyeri abdomen mampu membantu dokter
untuk mengarahkan lokasi pada organ yang menyebabkan nyeri tersebut,
walaupun nyeri yang dirasakan mungkin akibat dari penjalaran organ lain. Salah
satu lokasi nyeri abdomen yang paling sering terjadi yaitu pada titik Mc Burney.1
Nyeri pada titik ini mengarah pada infeksi di apendiks (apendisitis).
Apendisitis adalah penyakit pada bedah mayor yang paling sering terjadi dan
biasanya sebagian besar dialami oleh para remaja dan dewasa muda. Dalam kasus
ringan, apendisitis dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi atau laparoskopi dengan penyingkiran apendiks yang
terinfeksi.1,2
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama
cabang kedokteran lain serta anggota masyarakat ikut aktif mengelola bidang
kedokteran gawat darurat.3

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu
praanestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan
anestesi,menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap

1
penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks. Bila diagnosis sudah
pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif, yang disebut
apendiktomi. Penundaan operasi dapat menimbulkan bahaya, antara lain abses
atau perforasi. Berdasarkan latar belakang diatas menjadi dasar penulis untuk
mengulas lebih dalam mengenai general anestesi pada tindakan laparatomi
appendiktomi pada pasien appendisitis perforasi.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 56 Tahun
NO RM : 953475
Alamat : Komp. Kejora, Kel Suka Karya, Kec.Kota Baru, Jambi
Ruangan : Kelas I
Diagnosis : Appendisitis Perforasi
Tindakan : Laparatomi Apendiktomi
Masuk RS : 15 Oktober 2020
B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI
1. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Nyeri perut yang sejak 7 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RS Baiturrahim dengan keluhan nyeri perut
sejak ± 7 hari SMRS.
± 7 hari SMRS, pasien merasakan nyeri di ulu hati, kemudian berpindah
diperut kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul dan menjalar, nyeri
dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan dirasakan makin lama semakin
memberat. Nyeri dirasakan memberat saat perut ditekan dan pasien bergerak,
sehingga pasien susah beraktivitas.
± 5 hari SMRS, pasien mengeluh tidak nafsu makan, mual, muntah
sebanyak tiga kali, berisi apa yang dimakan, darah (-), lendir (-) selain itu
pasien juga merasa perut terasa kembung, demam (+).

± 2 hari SMRS nyeri perut kanan semakin memberat, nyeri dirasakan


hilang timbul kemudian menjadi terus menerus, keluhan membaik jika pasien
membungkuk dan memburuk jika pasien banyak melakukan aktivitas. Pasien

3
tidak BAB selama 5 hari , tidak flatus, BAK normal. Pola makan pasien tidak
teratur dan jarang mengkonsumsi serat.
± 12 jam SMRS pasien mengeluh muntah sebanyak 10 kali,
muntah berisi apa yang dimakan. Pasien juga mengeluh mual(+), nyeri ulu
hati (+), Nyeri seluruh lapangan perut (+).
Pasien direncanakan dilakukan tindakan laparatomi apendiktomi pada
tanggal 15 Oktober 2020 di OKE RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Diabetes Melitus : (-)
- Riwayat Batuk Lama : (-)
- Riwayat Gastritis : (-)
- Riwayat Asma : (-)
- Riwayat Operasi : (-)
- Riwayat Sakit jantung : (-)
- Riwayat Alergi Obat : (-)

Riwayat penyakit keluarga:


- Riwayat dengan keluhan yang sama : (-)
Riwayat Kebiasaan:
- Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


- Keadaan umum : Tampak sakit berat
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : E4V5M6 = 15
- Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg

4
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ºC
- Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
reflek cahaya (+), pupil isokor

- THT : Perdarahan (-), gigi palsu, mallampati I


- Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

-
Thorax
Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,skar (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus taktil
kanan dan kiri sama

- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru


- Auskultasi : Vesikuler(+/+), Ronkhi(-/-), Wheezing(-/-)

Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis teraba di ICS V linea
Midclavicularis Sinistra
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea
Midclavicula Sinistra
- Perkusi : Batas jantung dbn
- Auskultasi : BJ I dan II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri tekan
kanan bawah (+), mc. Burney’s (+)

5
- Perkusi : Hipertimpani

Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)
- Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium
Darah Rutin
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
WBC 4,12 4,0 – 10,0 m /mm
3 3
10 m3/mm3
RBC 4,84 4,0 – 5,0 10 m6/mm3
HGB 14,4 11,0 – 16,5 g/dL
HCT 44,1 34,5 – 54 %
PLT 252 150 – 450 103/mm3
Kesan : Dalam batas normal

Faal Ginjal
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
Ureum 19 15 - 39 mg/dL
Kreatinin 1,1 0,55 – 1,3 mg/dL
Kesan : Dalam batas normal

Faal Hati
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
SGOT 27 15 - 37 u/l
SGPT 39 14 - 63 u/l
Albumin 3,6 3,4 – 5,0 g/dl
Kesan : Dalam batas normal

Gula Darah Sewaktu


Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
GDS 111 < 200 mg/dL
Kesan : Dalam batas normal

Elektrolit
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
Natrium 138,3 136 - 146 mmol/L

6
Kalium 3,77 3,34 – 5,10 mmol/L
Chlorida 103,5 98 – 106 mmol/L
Kesan : Dalam batas normal

Hasil Rapid Tes SARS - CoV 2 Antibodi


Jenis Pemeriksaan Hasil

SARS – CoV – 2 antibodi Non Reactive

b. Pencitraan
X-Ray Thoraks :
Cor dan Pulmo dalam batas normal
4. PRA ANESTESI
Status Fisik ASA I/ II / III / IV / V / E
Persiapan pra anastesi :
a. Pasien telah diberikan Informed Consent
b. Persiapan operasi :
- Puasa 8 jam pre op
- Surat persetujuan tindakan operasi
- Surat persetujuan anestesi

7
LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 15 Oktober 2020


A. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : Apendisitis Perforasi
2. Tindakan bedah : Laparatomi Apendiktomi
3. Status fisik ASA : II E
4. Jenis / tindakan anestes : General Anestesi
Pramedikasi
- Metode : General Anestesi
- Premedikasi : Ondansetron 4 mg (IV)
Dexametasone 10 mg (IV)
Ketorolac 30 mg (IV)
- Medikasi :
Analgetik : Fentanyl 100 mcg
Induksi : Propofol 150 mg
Relaksasi : Atracurium 30 mg
Maintenance : Sevoflurans + N2O + O2

- Persiapan alat : STATICS


Scope : Stetoskop dan Laringoskop dewasa
Tube : ETT no 7
Airway : Goodle No 3
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrain
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 12
- Intubasi : Insersi ETT no.7
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2

8
Posisi Pasien : Supine
Infus : Ringer Laktat
Induksi Mulai : 18.45 WIB
Operasi Mulai : 19.15
Operasi Selesai : 20.45
Berat Badan Pasien: 65 kg
Durasi Operasi : 1 jam 30 menit
Pasien Puasa : 8 jam

B. Keadaan Selama Operasi


- Letak Penderita : Terlentang (Supine)
- Intubasi : (+)
- Penyulit Intubasi : Tidak ada
- Penyulit : Tidak ada
- Lama Anestesi : 1 Jam 40 Menit
-

Kebutuhan Cairan Pasien :


Terapi Cairan (BB 65kg, usia 65th)
Kebutuhan Cairan Pre operatif
a) Sepuluh kilogram pertama : 4 ml/kg/jam ( 10 kg x 4 = 40
ml/jam)
b) Sepuluh kilogram kedua : 2 ml/kg/jam (10 kg x 2 = 20 ml/jam)
c) Sisa berat badan : 1 ml/kg/jam (45 kg x 1 = 45 ml/jam)
Total kebutuhan cairan rumatan untuk pasien ini adalah 105 ml/jam
Kebutuhan Cairan Intra operatif
Maintenance: (M)
= 2 cc/KgBB/jam
= 2cc x 65 kg/jam
= 130cc/jam

9
Pengganti puasa: (PP)
= puasa x maintenance
= 4 jam x 130cc/jam
=520 cc
Stress operasi : (O)
= 8 cc/KgBB/jam (operasi berat)
= 8 cc x 65kg/jam
= 520 cc/jam

EBV : 75 X BB = 4875 cc
EBV : 75 x 65 4875 cc
EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 4875 cc 975 cc

Kebutuhan cairan selama Operasi


 Jam I: ½ PP + O + M = cc

½ (520 cc) + 520 cc + 130 cc = 910 cc


 Jam II : ¼ PP + O + M
¼ (520 cc) + 520 cc + 130 cc = 780 cc
TOTAL : 1690 cc

C. Monitoring
Jam TD Nadi RR SpO2 Keterangan
19.15 120/80 80 20 100%  Pasien masuk ke kamar operasi, dan
dipindahkan ke meja operasi
 Pemasangan alat monitoring, tekanan darah,
saturasi, nadi, oksigen 2L
 Diberikan cairan RL dan obat
premedikasi
(ondansentron 4 mg, dan dexamethason 5
mg)

10
19:20 120/70 70 22 100%  Pasien dipersiapkan untuk induksi
 Pasien di berikan analgesik fentanil 100
mcg, induksi dengan propofol 150 mg, cek
refleks bulu mata. Kemudian pasien
dipasangkan sungkup dan mulai di
bagging, lalu diberikan relaksan yaitu
atracurium 30 mg.

19.25 110/75 70 20 100%  Setelah di bagging selama 5 menit pasien di


intubasi dengan ETT no. 7,0.
 Dilakukan auskultasi di kedua lapang paru
untuk mengetahui apakah ETT terpasang
dengan benar.
 ETT di hubungkan dengan ventilator.
 ETT difiksasi dengan plester.
 Diberikan maintenance yaitu sevoflurans
2% dan N2O 2L
19.30 110/70 70 20 100%  Pasien dipasangkan kateter urine
 Urine bag dikosongkan
 Pasien diposisikan supine
 Operasi dimulai
19.45 110/85 68 18 100%  Kondisi terkontrol
 Diberikan cairan RL kolf ke II
20.00 120/80 70 18 100%  Appendix berhasil di potong dan
dikeluarkan
 Dilakukan penjahitan untuk menutup luka
bekas insisi
 Operasi Selesai
20.15 120/80 72 18 100%
 Pasien napas spontan
 Dilakukan suction
 Refleks batuk ada

11
20.30 120/75 72 18 100%  Pasien di ekstubasi
 Diberikan oksigen kemudian cek saturasi.
20.45 110/80 68 18 100% Pasien sadar

21.00 125/70 72 18 100%  Pelepasan alat monitoring


 Pasien di pindahkan keruang pemulihan

D. Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 21.00 WIB
Keadaan Umum :
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : 15
Tanda vital :
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 81 x/menit
- RR : 20 x/menit
- SpO2 : 99%

Pernafasan : Baik
Scoring Aldrete:
1. Aktifitas :2
2. Pernafasan :2
3. Sirkulasi :2
4. Kesadaran :2
5. Warna :2
Jumlah : 10
Instruksi Post Operasi

• Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit selama 24 jam


• Posisi tidur tanpa bantal sampai sadar penuh
• Puasa sampai sadar penuh
• Terapi selanjutnya disesuaikan dengan operator : dr. Dennison, Sp.B

12
• Diagnosa Post-op
Post. op Laparatomi ec Appendisitis perforasi

Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam

Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam

Quo ad Sanationam : Ad bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Appendisitis
3.1.1 Anatomi dan Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Apendiks terletak di ileosekum dan
merupakan pertemuan ketiga tinea koli.4
3.1.2 Etiologi dan Epidemiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Faktor-faktor yang dapat menjadi
pencetus apendisitis:5

1. Obsruksi lumen apendiks : Obstruksi ini akan menyebabkan distensi pada


apendiks karena terkumpulnya cairan intraluminal. Obstruksi ini dapat
disebabkan oleh :
- Masuknya fekalit
- Kerusakan mukosa dan adanya tumor
- Terdapat bekuan darah
- Sumbatan oleh cacing ascaris
- Pengendapan barium di pemeriksaan x-ray sebelumnya..
2. Konstipasi dan pemakaian laksatif
Flora usus normal apatogen menjadi patogen.
3. Fokal infeksi dari tempat lain yang manjalar secara hematogen.
Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir
menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Pria
lebih banyak daripada wanita, sedang bayi dan anak sampai berumur 2
tahun terdapat 1% atau kurang.5

14
3.1.3 Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.6
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup
yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga
menjadi gangrene atau terjadi
perforasi.6,7

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami


hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding appendiks).
Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. 6,7

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks
supuratif akut. 6,7
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.

15
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 6,7
Proses inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum
parietale pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah.
Pada distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih
menderita sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular
dan infark dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut
tidak selalu terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.1
3.1.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.5 b. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan suhu
jarang lebih dari 1°C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari 1°C, nadi
normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok menunjukkan
terjadinya komplikasi atau diagnosa lain.5
Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan pergerakan
sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah terlihat waktu
penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan bawah. Penderita

16
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.5
Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defence muscular menunjukan adanya tanda rangsangan peritoneum
parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai peritoneum. Palpasi
dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas, kuadran
kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan bawah.6,7
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai appendisitis,
tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif pada semua kasus
karena seringkali tergantung dari letak appendiks.
a. Mc. Burney’s Sign
Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan
positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b. Blumbeg’s Sign
Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara
tibatiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c. Rovsing’s Sign
Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan
penekanan di daerah kuadran kiri bawah. 5,6
d. Tenhorn Sign
Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul nyeri
sebab testis ada hubungan dengan peritoneum. 5,6

e. Psoas Sign (untuk appendisitis retroperitoneal)


Bila appendiks berdekatan dengan M. psoas, gerakan M. psoas akan
menimbulkan nyeri. Tes dilakukan dengan rangsangan M. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif.5,6

f. Obturator Sign
Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika dilakukan
dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke atas,

17
pemeriksa mamutar sendi panggul ke dalam (endorotasi) untuk meregangkan
M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks berarti positif. 5,6

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Sistem skoring digunakan
untuk meningkatkan akurasi dari diagnostik appendicitis akut. Sistem scoring
yang banyak dilakukan adalah sistem Alvarado score. Berikut ini adalah beberapa
kriteria dalam Alvarado score untuk menegakkan diagnosis Appendicitis:5
Yang dinilai Skor

Gejala Nyeri fossa iliaca dextra 1


Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri tekan iliaca dextra 2
Nyeri lepas iliaca dextra 1
Kenaikan suhu 1
Laboratorium
Leukositosis 2
Neutrofil bergeser ke kiri 1
Interpretasi:
Skor 1-4 : Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6 : Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi segera
Skor 7-8 : Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10 : Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan tindakan
bedah

3.1.5 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satusatunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis
gangrenosa atau appendisitis perforata. Apendektomi bisa dilakukan seacra
terbuka atau laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling
banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas,
sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila

18
tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat
segera menentukan akan dilakukan operasi
atau tidak.5,6,7

3.2 Anestesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran
juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir
sama dan dapat dikontrol. Obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena.8

3.2.1 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum

Keuntungan Anestesi Umum8

1. Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif


2. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
3. Memfasilitasi kontrol saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi
4. Dapat digunakan dalam kasus-kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
5. Dapat diberikan tanpa menggerakkan pasien dari posisi terlentang
6. Dapat menyesuaikan untuk prosedur operasi dengan durasi tak terduga
7. Dapat diberikan dengan cepat dan reversible

Kerugian Anestesia Umum8


1. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran.

19
4. Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar.
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

3.2.2 Stadium-stadium Anestesi


Stadium anestesi dibuat berdasar efek eter. Eter merupakan zat anestetik
volatil yang poten dan digunakan luas pada zamannya. Selama masa penggunaan
eter yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai
anestesi yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Emest Guedel pada
tahun 1937, meliputi:9

- Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak


masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antar lain
ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata. 9
- Stadium 2 : disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul
eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat terjadi pasien
menahan nafas. Tejadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari,
seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan
jalan nafas. Pada stadium ini aritmia jantung pun dapat terjadi. Pupil
dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium ini adalah
stadium yang beresiko tinggi. 9
- Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana,
yaitu :
Plana 1 : Mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : Refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : Dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal. Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks,
pernafasan menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
- Stadium 4 merupakan stadium overdosis obat anestesi. Anestesi menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang
otak. Stadium ini letal. Potensi bahaya yang begitu besar mendorong
usaha-usaha untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern kini

20
berkembang menjadi prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien.
Obat induksi masa kini bekerja cepat dan melampaui stadium 2, sekarang
hanya dikenal tiga stadium dalam anestesia umum, yaitu induksi, rumatan
dan emergensi. 8,9

3.2.3 Penilaian Pra Anestesi11


Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan
penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat
yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat
anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi,
endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.11

Pemeriksaan Fisik12

1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan,keadaan gizi : malnutrisi atau


obesitas.
2. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

21
3. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
4. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan
mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal
dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Penilaiannya yaitu:
Mallampati I : Palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
Mallampati II : Palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
uvula
Mallampati III : Palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV : Palatum durum saja
5. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
6. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
7. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
8. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain12

• Pemeriksaan lab. Darah


• Urine : protein, sedimen, reduksi
• Foto rongten ( thoraks )
• EKG

22
Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus 4. Fungsi ginjal pada hipertensi
5. AGD, elektrolit.

Klasifikasi Status Fisik


Untuk menentukan status fisik seseorang digunakan klasifikasi The American
Society of Anesthesiologists (ASA) yaitu:13
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas
2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan


sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas


harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,


tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi
fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi


hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko

23
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi.14
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.14

3.2.4 Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan14

24
3.2.5 Persiapan Induksi Anestesi
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:3,8

S : Scope, Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Laringoskop. Pilih bilah atau dan yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukuop terang.
T : Tube, pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan >5 tahun dengan balon (cuffed)
A : Airway, pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung
faring (naso tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer, Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S : Suction, penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
3.2.6 Jenis Jenis Anestesi Umum42,15

3.2.6.1 Anestesi Inhalasi


Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan
berupa gas.Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan
diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-
paru (alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi
gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat
anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar,
koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.15

a. N2O. Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan
tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak

25
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% :
50%.15
b. Halotan: Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada
nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.12
c. Enfluran: Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan
halotan.Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan
aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan
halotan.
d. Isofluran: Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga
banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan
curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
15

e. Sevofluran: Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi


lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan

26
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama
seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum
ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia. 15

3.2.6.2 Induksi Intravena


Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.8,16
a. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat
pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan
nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap
2,16
katekolamin.

b. Propofol: Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat


dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide
telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi7. Propofol memiliki kecepatan onset yang sama
dengan barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan
pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu,
secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena

27
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan
baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan
kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan
terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan
infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau
anestetik
inhalasi lain. 18

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup


berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan
gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati
yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah
ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal. Propofol merupakan obat induksi
anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat.
Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan
menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat
dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.

28
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
c. Ketamin: Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadangkadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula kerja
30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,
tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu
paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5
menit.6 Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).16
d. Opioid: Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin: yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk
medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi
konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional.
Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan
tidur, mengurangi, cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah

29
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada
SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.
1.) Midazolam: Obat induksi jangka pendek atau premedikasi,
pemeliharaan anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi
metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5
mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak
pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM.
Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam
menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam,
penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi
0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb
IV.17
2.) Diazepam: obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver.
Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan
sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan
kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya
ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan
penyakit kardiovaskular.Diazepam juga digunakan untuk medikasi
preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan
penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak
berefek analgesik.9 Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6
mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa
dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala.
Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit,
karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe. 18 3.)

30
3.2.7 Macam-Macam Obat Keseimbangan Anestesi
a. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan
nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus). 18
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann
reseptor morfin.Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya
tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di
otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem
aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai
pula di pleksus saraf usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah
(kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular.Penggolongan
lain menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin,
dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil,
sufentanil dan remifentanil).
a. Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid
lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut: 1. Petidin
lebih larut dalam lemak, morfin lebih larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.

31
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa,
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi.Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg
BB.
c. Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x
morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya
secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru
ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.18,19

d. Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih
cepat dari fentanil.Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya
0,10,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya
sangat besar.Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.

32
f. Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan
kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

b. Efek Relaksasi Otot


Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja
pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat
dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan
singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau
aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I
depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.20
A. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang
diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin
(diasetilkolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin
dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi
suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan
karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 20
1. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian
besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action
akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,

33
seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya
level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati,
gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan
gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang. 20
2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat
pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial
cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens).
Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi
memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat
pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil
mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile.
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi'
atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma
yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi
obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat
ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena. 20
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.

34
Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus
disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa).

3.2.8 Rumatan Anestesia


Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah
anestesi yang adekuat.Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap
indikatorindikator kedalaman anestesi.21
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena
inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur
ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2
atau N20+O2.21 Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan
O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4

35
vol% atau sovofluran 24 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted) atau

dikendalikan (controlled).2,4

3.2.11 Indikasi, Kontraindikasi dan Penyulit Intubasi Trakea21


Intubasi
Indikasi intubasi trakea, meliputi:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Kontraindikasi intubasi trakea, meliputi:
1. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Penyulit intubasi trakea, meliputi:


1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.

Komplikasi intubasi
Selama intubasi,
meliputi: a. Trauma
gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi , laring
c. Merangsang saraf simpatis

36
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus

Selama Ekstubasi, meliputi:


a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glotis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, dan trakea

Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- Adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan
cairan lainnya.

3.2.10 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk.8
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :


a. Pra operasi

37
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %. b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran. c.
Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.2.11 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.15
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak,
tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.15

38
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien, Ny.A usia 56 tahun dengan diagnosa Appendisitis


perforasi. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien diatas direncanakan
menjalani operasi laparotomi appendiktomi dengan general anestesi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien, tidak ada riwayat penyakit
saluran pernapasan, riwayat penyakit kardiovaskular, dan tidak ada riwayat alergi
obat/makanan. Pasien dalam keadaan stabil.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pasien di konsulkan ke bidang
anestesi diperoleh hasil pemeriksaan didapatkan pasien dalam kategori ASA II E,
dengan malampati I. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan, dipuasakan 8 jam
sebelum operasi dan mempersiapkan SIO.

Pembahasan:

a. Pra Anestesi
Di ketahui bahwa pasien usia 56 tahun mengalami appendisitis perforasi,
penatalaksanaan yang dilakukakan adalah tindakan laparotomi yang dilakukan
pada tanggal 15 Oktober 2020. Sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan,
sehari sebelumnya pada tanggal 15 Oktober 2020 telah dilakukan kunjungan pra
anestesi. Berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan preoperative tersebut dan
berdasarkan pemeriksaan status anestesi pasien, pasien digolongkan pada ASA II
E sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society
of Anesthesiologist.

b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :
 Jam I: ½ PP + O + M = cc

½ (520 cc) + 520 cc + 130 cc = 910 cc


 Jam II : ¼ PP + O + M

39
¼ (520 cc) + 520 cc + 130 cc = 780 cc
TOTAL : 1690 cc
Total kebutuhan cairan selama operasi 1 jam 40menit 1690 ml
Selama operasi jumlah carian yang diberikan adalah
Input : RL 2 Kolf 1000 ml
Output : Urin = ± 150 cc
Perdarahan = ± 70 cc
Kebutuhan cairan pada pasien ini sudah tercukupi.

c. Tindakan premedikasi
Lima belas menit sebelum di lakukan induksi anestesi, pasien diberikan obat
ondansentron 4 mg (IV), dan dexamethason 10 mg (IV). Tujuan pemberian
ondansteron diberikan untuk mengurangi rasa mual muntah pasca bedah.
Deksametason diberikan untuk mengurangi histamin release, sehingga dapat
mengurangi alergi pada pasien.

d. Tindakan induksi anestesi


Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien
yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena. Obat
induksi yang dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik.
Sebagai obat premedikasi pada pasien ini yaitu: Ondansetron 4 mg (IV),
Dexametason 10 mg (IV), dan Ketorolac 30 mg (IV). Ondansetron 4 mg (Golongan
Antiemetik) diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa mual muntah pasca
pembedahan, mekanisme kerja obat ondansetron adalah mengantagonisasi reseptor
5HT-2 yang terdapat pada Chemoreseptor Triger Zone di area postrema otak dan
pada aferen vagal saluran cerna. Dexametason 10 mg diberikan untuk mengurangi
histamin release, sehingga dapat mengurangi alergi pada pasien. Ketorolac 30 mg
(Golongan NSAID) diberikan untuk meredakan nyeri dan peradangan pada pasien

40
sebelum dilakukan operasi. Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15
menit sebelum dilakukan operasi. Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu
pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk meredakan kecemasan dan
ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca
bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks
yang membahayakan.
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Fentanil 100 mcg, Propofol 150
mg, dan atrakurium 30mg, serta pemasangan ETT no 7 dengan dosis pemeliharaan
menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental,
propofol dan ketamin. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang
didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis
bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 412
mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping
propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme,
dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah
penyuntikan dapat terjadi nyeri. Pada pasien ini dosis propofol sudah tepat.4

Pada pasien ini diberikan fentanil 100 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah
tepat.4

41
e. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena, atau dengan
inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini rumatan anestesi
diberikan secara inhalasi sevoflurans + N2O : O2.
Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik
lemah tetapi analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi
dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian
dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh.

f. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada kasus
ini, atracurium di berikan sebanyak 30 mg. Dosis atracurium berdasarkan berat
badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV pada pasien ini yaitu 25-30 mg. Atracurium
besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari
tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular secara bermakna.
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit. Pada
pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak
pendek, gigi depan tidak menonjol, dan mallampati I karena terlihat sebagian
uvula, palatum mole, serta arkus faring).

42
g. Pemantauan selama operasi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan dan didapatkan hasil
sebagai berikut.

Jam TD Nadi RR SpO2


19.15 120/80 80 20 100%
19:20 120/70 70 22 100%
19.25 110/75 70 20 100%
19.30 110/70 70 20 100%
19.45 110/85 68 18 100%
20.00 120/80 70 18 100%
20.15 120/80 72 18 100%
20.30 120/75 72 18 100%

20.45 110/80 68 18 100%

21.00 120/70 70 18 100%

h. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien.
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya
dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi
spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari
sekret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan
dimana ekstubasi dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah
mulai bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.

i. Ruang Pemulihan (RR)


Pasien masuk ke ruangan pemulihan pada Jam 21.00 WIB dengan Keadaan
Umum cukup, Kesadaran CM, GCS:15 TD: 120/80 mmHg, N: 70x/I, RR: 22 x/I
Pernafasan tidak sesak. Selama pemantauan pasien dalam keadaan stabil.

43
Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien ini diberi obat
tambahan yaitu ketorolac 30 mg, tramadol 100 mg di dalam RL 500 ml bertujuan
sebagai analgetik.

Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete lebih dari 8.
Skoring Alderate pada pasien ini
Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang perawatan bangsal bedah dengan


instruksi anestesi diantaranya, observasi keadaan umum, vital sign, dan
perdarahan tiap 15 menit, tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x24 jam, puasa
sampai sadar penuh, bising usus (+), terapi selanjutnya disesuaikan dengan dr.
Dennison, Sp.B.

44
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
laparatomi apendiktomi pada pasien Wanita, usia 65 tahun, status fisik ASA II
Emergency dengan diagnosis appendicitis akut dan menggunakan teknik anestesi
umum dengan ETT no 7. Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya
permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan
timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik
meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu


Bedah. Jakarta: EGC; 2007.
2. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern
surgical practice. Edisi ke 18; 2007.
3. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed. New
York: Lange; 2013.
4. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014
5. Saunders, An Imprint of Elsevier Price, S. A. dan Wilson, L. M.
Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Edisi 6, Volume 1.
Jakarta: EGC; 2006.
6. Guyton A.C. and J.E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 13.
Jakarta: EGC; 2016.
7. Bhangu, A., Søreide, K., Di Saverio, S., Assarsson, J. H., & Drake, F. T.
Acute appendicitis: modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and
management. The Lancet; 2015.
8. Soenarto, R.F. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta; 2012. Hal : 197-205.
9. Yu, H., & Wu, D. Effects of different methods of general anesthesia on
intraoperative awareness in surgical patients. Medicine; 2017.
10. Adam, C. General Anesthesia. Medscape; 2018
11. Staff. General anesthesia. NHS (serial online) ; 2019.
12. Mangku Gde, Senapathi Tjokorda Gde Agung Senapathi. Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reaminasi. Bagian Obat Anestetika. Macanan Jaya
Cemerlang. Jakarta; 2010. Hal 24-36
13. Daniel, J. Emily, H. American Society of Anesthesiologists Classification
(ASA Class). NCBI; 2019.
14. Palmer, J. Premedication. Anaesthesia & Intensive Care Medicine, 16(11);
2015. Hal. 548–50.
15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 29-69
16. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams
& Wilkins; 2009.
17. Mahmoud, M., & Mason, K. P. Recent advances in intravenous anesthesia
and anesthetics; 2018.
18. International Journal of Anesthesiology & Pain Medicine. MedPub; 2015.
19. Serreira, J. P., Dzikit, T. B., Zeiler, G. E., Buck, R., Nevill, B., Gummow,
B., & Bester, L. Anaesthetic induction and recovery characteristics of a
diazepamketamine combination compared with propofol in dogs. Journal of
the South African Veterinary Association; 2015.

46
20. Bellini, L., & De Benedictis, G. M. Neuromuscular blockade of atracurium
in permissive hypercapnic versus normocapnic swine undergoing
laparoscopy; 2018.
21. Tsim, P. Howatson, A. Basic science breathing systems in anesthesia.
World Federation of Society of Anaesthesiologists; 2016.
22. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal; 2015.
23. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 – 40
24. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah
Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39.
25. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third
Edition 2002;23;522 – 24
26. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal
Anaesthesia in Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and
Meta – Analysis. International Anesthesia Research Society
2006;103;3;682 - 87
27. Thangavelu, R. Laparoscopy and anesthesia: A clinical review. Department
of Anaesthesiology, Pondicherry Institute of Medical Sciences, Puducherry,
India; 2018.
28. Kulshrestha, K. Anaesthesia for laparoscopic surgery: General vs regional
anaesthesia. Department of Anaesthesiology and Intensive Care, Gian Sagar
Medical College and Hospital, Patiala, Punjab, India; 2016.

47

Anda mungkin juga menyukai