Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

“Seorang wanita dengan Apendisitis”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO
KOTA SEMARANG
HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :
Riska Diene Pratiwi
30101307064

Pembimbing :
dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
PERIODE 15 JANUARI – 10 FEBRUARI 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Riska Diene Pratiwi


NIM : 30101307064
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung
Bagian : Ilmu Radiologi
Judul Laporan Kasus : Seorang wanita dengan Apendisitis
Diajukan : 30 Januari 2018
Pembimbing : dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

Telah diperiksa dan disahkan tanggal: ...........................................

Mengetahui,
Pembimbing Ketua SMF

dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Seorang wanita dengan Apendisitis” guna memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung Semarang di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Kota Semarang periode 15 Januari – 10 Februari 2018.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus ini.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad
2. dr. Oktina Rachmi Dachliana, Sp.Rad
3. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad
4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang
5. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu Radiologi.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan segala pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.

Semarang, 30 Januari 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks................................................... 3
2.2 Definisi .......................................................................................... 7
2.3 Epidemiologi ................................................................................. 8
2.4 Etiologi .......................................................................................... 8
2.5 Patofisiologi .................................................................................. 10
2.6 Manifestasi Klinis ......................................................................... 11
2.7 Klasifikasi Apendiksitis ................................................................ 13
2.8 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 14
2.9 Pemeriksaan Penunjang................................................................. 16
2.10 Penatalaksanaan ............................................................................ 21
2.11 Prognosis ....................................................................................... 22
2.12 Komplikasi .................................................................................... 23
2.13 Diagnosis Banding ........................................................................ 23
BAB III LAPORAN KASUS........................................................................... 25
3.1 Identitas Penderita ......................................................................... 25
3.2 Anamnesis ..................................................................................... 25
3.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 18/01/2018) ..................................... 26
3.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................. 29
3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding................................................. 34
3.6 Penatalaksanaan ............................................................................ 34
3.7 Prognosis ....................................................................................... 34
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis


akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.1
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat,
angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur.2
Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis.
Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun dan jarang ditemukan pada
anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis menurun,
tapi apendisitis bisa terjadi pada setiap umur individu. Pada remaja dan dewasa
muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia
25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi
seimbang antara laki-laki dan perempuan.3
Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi
lumen apendiks vermiformis. Fekalit adalah penyebab utama terjadinya obstruksi
apendiks vermiformis.4 Disamping hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks
vermiformis, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Erosi mukosa
apendiks vermiformis akibat parasit E.histolytica merupakan penyebab lain yang
dapat menimbulkan apendisitis.5 Diagnosis apendisitis akut kadang-kadang sulit.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang
paling penting dalam mendiagnosis apendisitis. Semua kasus apendisitis
memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks yang terinflamasi, baik dengan
laparotomi maupun dengan laparoskopi.6
Pasien apendisitis dilakukan evaluasi awal mencakup pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium yaitu leukosit darah, urinalisis. Pemeriksaan lain yaitu
diagnosis pencitraan meliputi barium usus buntu (Appendicogram), pemeriksaan

1
USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dalam menegakkan adanya
peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul.7
Pada penyajian kasus ini akan disampaikan seorang perempuan dengan
apendisitis, dengan harapan dapat menambah informasi mengenai imaging
apendisitis untuk membantu diagnosis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens
apendisitis pada usia itu.8
Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi
duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks,
kolon asendens, dan ½ sampai ¾ bagian oral kolon transversum.
Premordium sekum dan apendiks vermiformis mulai tumbuh pada umur 6
minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi antimesenterium lengkung
midgut bagian kaudal. Selama perkembangan antenatal dan postnatal,
kecepatan pertumbuhan sekum melebihi kecepatan pertumbuhan apendiks,
sehingga menggeser apendiks ke arah medial di depan katup ileosekal.
Apendiks mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama
kehamilan. Selama masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan
bagian kanan-depan sekum, akibatnya apendiks mengalami rotasi ke arah
postero-medial dan menetap pada posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah
katup ileosekal, sehingga pangkal apendiks di sisi medial.9
Jaringan limfoid apendiks mulai tampak setelah usia 2 minggu
setelah lahir. Jumlah folikel limfoid akan meningkat secara bertahap hingga
mencapai puncaknya yaitu sekitar 200 folikel pada usia 12 – 20 tahun.
Setelah umur 30 tahun folikel limfoid ini akan berkurang setengahnya dan
kemudian akan menghilang atau tinggal sisa-sisanya pada umur 60 tahun
(Crawford, 2007).10
Apendiks merupakan derivat dan evolusi dari caecum. Apendiks
merupakan organ berbentuk tabung, panjang kira-kira 10-20cm cm dan

3
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal.4
Apendiks terletak pada puncak sekum, pada pertemuan ke-3 taenia
koli yaitu :
 Taenia libra
 Taenia omentalis
 Taenia mesocolica
Secara histologis mempunyai 4 lapisan yaitu tunika :
 Mukosa
 Submukosa (banyak terdapat limfoid)
 Muskularis

Gambar 1. Anatomi Apendiks

4
Gambar 2. Histologi Apendiks
(Atlas Histologi Difiore, Edisi 11)
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya
berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks
ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang
berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak
tertutup oleh peritoneum viserale.8
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus.7
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis
pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.7

5
Gambar 3. Persarafan dan Perdarahan Apendiks
Appendiks memiliki topografi yaitu pangkal appendiks terletak pada
titik Mc.Burney.
 Garis Monroe : Garis antara umbilicus dengan SIAS dekstra
 Titik Mc Burney : 1/3 bagian dari SIAS dekstra pada garis
Monroe
 Titik Lanz : 1/6 bagian dari SIAS dekstra pada garis antara SIAS
dekstra dan SIAS sinistra
 Garis Munro : Pertemuan antara garis Monroe dengan garis
parasagital dari pertengahan SIAS dekstra dengan simfisis.

6
Gambar 4. Posisi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh.7

2.2 Definisi
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua
lapisan dinding organ tersebut.4

7
2.3 Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi daripada negara
berkembang. Namun, dalam 3-4 dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
jarang pada anak < 1 tahun jarang dilaporkan. Insidan tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.6

2.4 Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
apendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya
terjadi infeksi. Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.
Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan
pada sekitar 20% kasus dengan apendisitis. Penyebab lain dari obstruksi
apendiks meliputi: 11
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,
diantaranya: 12
a. Faktor Sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi
disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35%
karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang
disebabkan oleh fekalit dapat ditemui pada bermacam-macam
apendisitis akut diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus
sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur
dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.12

8
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalit dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan
perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.12
c. Faktor Konstipasi dan Pemakaian Laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan
pertumbuhan kuman flora kolon biasa sehingga mempermudah
timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif yang terus menerus
dan berlebihan memberikan efek merubah suasana flora usus dan
menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan
dari proses inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis
akan merangsang peristaltic dan merupakan predisposisi terjadinya
perforasi dan peritonitis.12
d. Kecenderungan Familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang
herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalit dan
mengakibatkan obstruksi lumen.12
e. Faktor Ras dan Diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya
banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit

9
putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat.
Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang
lebih tinggi.6
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa apendiks karena terdapat parasit seperti E.
histolytica.13 Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan
penyakit ini. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
apendisitis yaitu:
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan Apendisitis
adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Berbagai
jenis spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis
yaitu:6
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans  Peptostreptococcus micros
streptococci  Bilophila species
 Pseudomonas  Lactobacillus species
aeruginosa
 Enterococcus

2.5 Patofisiologi
Hiperplasi jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks, dan parasit
seperti cacing askaris atau E. Histolytica dapat menjadi salah satu penyebab
obstruksi lumen apendiks. Obstruksi pada bagian proksimal apendiks akan
menyebabkan terjadinya stasis pada bagian distal apendiks dan produksi
mukus apendiks terakumulasi di dalam lumen, sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal serta memicu proses translokasi bakteri di
dalam lumen apendiks. Kondisi ini akan memudahkan bakteri menginvasi
lumen menembus mukosa sehingga menyebabkan ulserasi mukosa
apendiks. Obstruksi yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan tekanan
intraluminal semakin tinggi dan terjadi gangguan sirkulasi vaskuler.
Keadaan ini akan menyebabkan edema semakin berat, iskemia, dan

10
meningkatkan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi penumpukan
pus yang disebut apendisitis akut supuratif. Dalam keadaan yang lebih lanjut
akan terjadi edema yang lebih berat dan peningkatan tekanan intraluminal
semakin tinggi menyebabkan gangguan sirkulasi arterial, sehingga terjadi
apensisitis gangrenosa.14
Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses peradangan ini
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikuler. Di dalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Apendiks
yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk
jaringan parut yang melengket di sekitarnya, sehingga menimbulkan
keluhan berulang di perut kanan bawah.11

Gambar 5. Patofisiologi Appendicitis

2.6 Manifestasi Klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis
ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan

11
kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan
itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.7
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya
terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi
kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor
yang menegang dari dorsal.7
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.7
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal yang
penting adalah:2
1. Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa
waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah
2. Muntah oleh karena nyeri viseral.
3. Demam
4. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan,
penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah
perut.

12
2.7 Klasifikasi Apendiksitis
a. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang
didasari oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda
setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
Gajala apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik
McBurney. Dimana nyeri dirasakan akan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.6
- Appendicitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen
appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal,
edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di
daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam
ringan.6
- Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding
appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini
memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi kedalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum local seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler

13
dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.6
- Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan ganggren. Selain
didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami
gangrene pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis
akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulent.6
b. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik,
serta keluhan menghilang pasca apendektomi. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa dan ada nya sel inflamasi kronik. Insiden
apendisitis kronik antara 1-5%.11

2.8 Pemeriksaan Fisik


Pada Apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara
klinis, dikenal beberapa cara untuk mendiagnosa apendisitis : 2
1. Rovsing’s Sign
Dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.

14
2. Psoas Sign

Dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi
pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah apendiks yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat
dilakukan cara ini.

3. Obturator Sign

Dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan


endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada m.obturatorius di rongga pelvis. Perlu
diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi
apendiks yang telah mengalami radang atau perforasi. Dasar anatomis
terjadinya obturator sign adalah apendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat
dilakukan cara ini.

15
4. Blumberg’s Sign
Nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ)
5. Defence Musculare
Bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak apendiks
6. Nyeri pada pemeriksaan colok dubur.

Skor Alvarado
Skor Alvarado dibuat untuk membantu menegakkan diagnosis.
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Keterangan :
0-4 : bukan diagnosis apendisitis
5-6 : kemungkinan apendisitis kecil
7-8 : kemungkinan besar apendisitis
9-10 : hampir pasti menderita apendisitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6
maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90%
anak dengan apendisitis akut. Jumlah leukosit pada penderita
apendisitis berkisar antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan
persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
16
leukosit menunjang diagnosis klinis apendisitis. Jumlah leukosit yang
normal jarang ditemukan pada pasien dengan apendisitis.2
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan
untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
apendisitis. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis adalah
apendiks dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih,
didapatkan suatu apendikolit, adanya cairan atau massa periapendiks.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder apendiks
sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False
negatif juga dapat muncul karena letak apendiks yang retroseka atau
rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi apendiks.2

Gambar 5. USG Apendiksitis disertai cairan disekitarnya


(Atlas Ultrasonografi, edisi ke 3)

17
Gambar 6. USG Apendiksitis Akut
(Differential Diagnosis Ultrasound, 2006)

Gambar 7. USG Apendiks normal

18
Gambar 8. USG Potongan transversal

Gambar 9. USG Doppler Apendiksitis Akut

3. CT-Scan
CT-scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.
Sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Diagnosis
apendisitis dengan CT-scan ditegakkan jika apendiks dilatasi lebih
dari 6 mm pada diameternya.2

19
Gambar 10. CT Scan Apendiksitis

4. Barium Enema (Appendicogram)


Adalah suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium
ke kolon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
komplikasi dari apendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Foto barium enema yang dilakukan
perlahan pada apendisitis akut memperlihatkan tidak adanya pengisian
apendiks dan efek massa pada tepi medial serta inferior dari sekum,
pengisisan lengkap dari apendiks menyingkirkan apendisitis.14

Gambar 11. Appendicogram

20
2.10 Penatalaksanaan
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka
tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan apendiktomi.
Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara
laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa
periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah
pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini
merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob.
Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendiktomi
dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya
abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu
kemudian dilakukan apendiktomi. Namun, apabila ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan
terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.14
Prosedur Insisi Apendektomi Post Operasi Apendektomi. Pada
apendektomi, untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara
tehnik operatif mempunyai keuntungan dan kerugian :13
a. Insisi menurut Mc Burney (Grid incisionataumuscle splitting
incision).
Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis
yang menghubungkan SIAS (Spina Iliaka Anterior Superior) dengan
umbilicus pada batas sepertiga lateral (titik Mc Burney). Sayatan ini
mengenai kutis, subkutis, dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah
secara tumpul menurut arah serabutnya, setelah itu akantampak
peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)
yangdisayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari
ukurannya yang lebih besar, mengkilat, lebih kelabu/putih, dan tidak
mempunyai haustrae dan taenia koli. Basis apendiks dicari pada
pertemuan ketiga taenia koli. Tehnik inilah yang paling sering

21
digunakan karena keuntungannya tidak mungkinterjadi benjolan dan
tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum padaalat-alat
tubuh, dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena
penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi
terbatas, sulitdiperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan
operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.13
b. Insisi menurut Roux ( Muscle cutting incision).
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya
sayatannya langsung menembus dinding otot perut tanpa
memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum.
Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas,
sederhana, dan mudah. Kerugiannya bahwa diagnosis harus tepat
sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan
pembuluh darah sehingga pendarahan lebih banyak,masa istirahat
pasca operasi lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu
pasien, nyeri pasca operasi lebih sering, kadang-kadang ada
hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama.13
c. Laparoskopi
Laparoskopi appendektomi pertama kali dilakukan pada tahun
1983 oleh ilmuan German. Saat ini laparoskopi appendektomi di
klaim lebih aman dan memiliki komplikasi post-op yang lebih kecil,
meskipun begitu sampai saat ini belum terdapat kesepakatan tentang
penggunaan laparoskopi dalam terjadinya kasus appendisitis akut.13

2.11 Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan
tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan
tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut.
Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung
dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta

22
misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya
sembuh antara 10 sampai 28 hari.14
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis
di dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi
perlu dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang
terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis
dibiarkan dan tidak diobati secara benar.2

2.12 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik
perforasi bebas atau perforasi yang mengalami pendindingan sehingga
berupa massa periapendikuler dimana massa apendiks terjadi bila
apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum dan/atau
usus halus, pembentukan dinding yang belum sempurna dapat menyebabkan
penyebaran pus ke rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis
generalisata.11
.
2.13 Diagnosis Banding
Terdapat banyak penyakit yang memiliki gejala klinis hampir sama
dengan apendisitis sehingga sering disalah artikan sebagai sebagai
apendisitis. Yang paling sering adalah :
1. Gastroenteritis akut
Adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada
kelainan ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan leukosit akan
meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul.
Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-pindah. Hiperperistaltik
merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung
akut, suatu observasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis.
2. Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim

23
dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah
pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan
vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum Douglas.

Gambar 12. Letak Apendiks pada Wanita Hamil

3. Adenitis Mesenterium
Penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik
dengan apendisitis. Penyakit ini lebih sering pada anak-anak, biasanya
didahului infeksi saluran nafas. Lokasi nyeri diperut kanan bawah
tidak konstan dan menetap.8

24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : Ny. O
Usia : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sidokumpul RT/RW 04/03 Guntur, Demak.
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Rawat Inap
Ruang : Nakula 2
Tanggal masuk : 18 Januari 2018
No.RM : 424***

3.2 Anamnesis
Anamnesis pada pasien dilakukan pada tanggal 18 Januari 2018,
pukul 13.00 WIB di Instalasi Gawat Darurat RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Kota Semarang dan didukung dengan catatan medis.
 Keluhan Utama :
Nyeri perut bagian tengah sampai kanan bawah.
 Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
pada tanggal 18 Januari 2018 pukul 12.00 WIB dengan keluhan nyeri
perut bagian tengah sampai kanan bawah yang dirasakan kurang lebih 3
hari yang lalu namun hilang timbul. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-
tusuk dan menjalar dari pusar ke kanan bawah. Nyeri semakin menetap
di kanan bawah dan memberat 1 hari SMRS. Keluhan di awali dengan
demam terlebih dahulu kemudian mual (+), muntah (+) sebanyak 3 kali.
Pasien juga mengeluhkan mudah lelah. BAB dan BAK dalam batas
normal.
25
 Riwayat penyakit Dahulu:
- Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat keluhan serupa : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat sosioekonomi :
Pasien memiliki 1 orang anak, suaminya bekerja sebagai perawat
sedangkan pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, pasien periksa
menggunakan BPJS.

3.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 18/01/2018)


STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Tampak Sakit
- Kesadaran : Composmentis
- Status Gizi : Normoweight

STATUS ANTROPOMETRIK
- TB : 162 cm
- BB : 55 kg
- IMT : BB(kg)/TB²(m²)
: 55 kg/(1,62 m)²
: 20,9 (Normal)
26
TANDA VITAL
- Tekanan Darah : 104/52 mmHg
- HR (Nadi) : 80x/ Menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Napas) : 20x/ Menit, reguler
- Suhu : 36,2 °C

STATUS INTERNUS
- Kepala : Bentuk normocephale, tidak teraba benjolan.
- Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
- Mata :
- Bola mata : tidak terdapat eksoftalmus
- Konjungtiva : anemis -/-, perdarahan -/-,
- Sklera : ikterus -/-
- Palpebra : oedema -/-
- Pupil : bulat, isokor 3 mm/ 3mm, reflek cahaya +/+
- Hidung :
- Deformitas (-)
- Nafas cuping hidung (-/-),
- Tidak tampak adanya sekret atau perdarahan
- Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang : normal, discharge (-/-)
- Pendengaran : normal
- Perdarahan : tidak ada
- Mulut :
- Bibir : tidak ada kelainan kongenital, sianosis (-), oedem
(-)
- Lidah : ukuran normal, tidak kotor, tidak tremor
- Gigi : perawatan gigi kurang
- Mukosa : hiperemi (-), stomatitis (-)

27
- Leher :
- Deviasi trakea : - (posisi trakea simetris)
- Kaku kuduk : - (negatif)
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : tidak ada peningkatan JVP
- KGB : tidak ada pembesaran
- PF Thoraks :
a. Paru :
1. Inspeksi : laju nafas 20x/menit, pola nafas regular, simetris,
ketertinggalan gerak (-/-), retraksi (-/-), pergerakan
otot bantu pernafasan (-/-)
2. Palpasi : fremitus vokal normal, nyeri tekan (-), gerakan dada
simetris, tidak ada ketertinggalan gerak.
3. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
4. Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-)
b. Jantung :
5. Inspeksi : pulsasi ictus cordis tampak kuat angkat
6. Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V linea mid
clavicularis sinistra
7. Perkusi : kardiomegali (-)
8. Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-), gallop (-)
- PF Abdomen :
1. Inspeksi : permukaan perut datar, pelebaran pembuluh darah(-),
sikatrik (-), massa (-), tanda peradangan (-), caput medusa (-),
sikatrik (-), striae (-), hiperpigmentasi (-)
2. Auskultasi : bising usus menurun, tidak ada bising pembuluh darah.
3. Palpasi :
 Superfisial  Nyeri tekan kuadran kanan bawah (+), Massa
(-), defence muscular (-)
 Dalam  Nyeri tekan kuadran kanan bawah (+)

28
 Organ  Hepar tidak teraba membesar, tepi tajam, permukaan
halus, konsistensi kenyal, lien schuffner (0), ginjal dextra et
sinistra tak teraba membesar
 Murphy’s Sign (-)
 Tes undulasi (-)
 Psoas sign (+)
 Rovsing sign (+)
4. Perkusi :
 Perkusi 4 regio  timpani
 Hepar  pekak (+), liver span dextra 12 cm, sinistra 6 cm
 Lien  traube space (+)
 Ginjal  nyeri ketok (-)
 Pekak sisi dan pekak ahli (-)
- PF Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, Oedema +/+, capillary refill <2 detik
- Inferior : Akral hangat, Oedema +/+, capillary refill <2 detik

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 18 Januari 2018
Pemeriksaan Lab Hasil
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,9 g/ dL
Hematokrit 36,10
Jumlah leukosit 2,6 /µL (L)
Jumlah Trombosit 248 /µL
APT
Pasien 10.0 detik (L)
Kontrol 10.5 detik
INR 0.87
PTTK/APTT
Pasien 30,2 detik
Kontrol 24.0 detik
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 107 mg/dL
29
Ureum 16,8 mg/dL (L)
Creatinin 0,5 mg/dL
SGOT 17 U/L
SGPT 12 U/L
Natrium 133,0 mmol/L (L)
Kalium 3,00 mmol/L
Calsium 1,21 mmol/L
IMUNOLOGI
HBsAg Negatif

b. Pemeriksaan USG Abdomen

30
31
32
Pembacaan Hasil USG Abdomen
Tanggal : 18 Januari 2017 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang
DESKRIPSI:
- HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen,
ekogenitas normal, tepi rata, sudut tajam, tak tampak nodul,
V.Porta dan V. Hepatika tak melebar.
Duktus billiaris intra-ekstrahepatal tak melebar
- VESIKA FELEA tak membesar, dinding tak menebal, tak tampak
batu, tak tampak sludge.
- LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tak melebar,
tak tampak nodul.
- PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus
pankreatikus tak melebar.
- GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas
kortikomeduler jelas, PCS tak melebar, tak tampak batu, tak
tampak massa.
- GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler
jelas, PCS tak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
- AORTA tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi
paraaorta.
- VESIKA URINARIA dinding tak menebal, permukaan regular,
tak tampak batu/massa. Tak tampak efusi pleura, Tampak cairan
bebas di paravesika.
- Pada region Mc Burney, dengan teknik gradual kompresi
tampak struktur tubuler blind-end non-compressible yang
membentuk target sign (diameter 10,5 mm)
KESAN :
- Struktur tubuler blind-end non-compressible yang membentuk
target sign (diameter 10,5 mm)  gambaran apendisitis
- Ascites (Paravesica)

33
3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
- DIAGNOSIS KERJA :
Appendisitis
- DIAGNOSIS BANDING :
Gastroenteritis
Chron’s Disease
Kolelitiasis

3.6 Penatalaksanaan
o Infus RL 0,9% 20 tpm
o Injeksi Ceftriaxone 3x1 gr
o Injeksi Ketorolac 3x1 amp
o PCT 3x500 mg
o Appendiktomi segera

3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad sanactionam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam

34
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan data epidemiologi insiden apendisitis di negara maju lebih


tinggi dari pada negara berkembang. Namun, dalam 3-4 dasawarsa terakhir
kejadiannya menurun bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur,
hanya jarang pada anak < 1 tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Apendisitis disebabkan karena
adanya obstruksi pada lumen apendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik
nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi
bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolit. Fecolit ditemukan
pada sekitar 20% kasus. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
Burney.
Pada pasien mengeluh adanya nyeri perut bagian tengah sampai kanan
bawah disertai mual dan muntah. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan nyeri
tekan pada kuadran kanan bawah, psoas sign (+) dan rovsing sign (+). Pada
pemeriksaan USG pada pasien ini tampak sturktur tubuler blind end
noncompresible ukuran 10,55 mm menunjukkan gambaran appendicitis.
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala apendisitis. Gambaran USG
yang merupakan kriteria diagnosis adalah apendiks dengan diameter lebih dari 6
mm, didapatkan suatu apendikolit, adanya cairan atau massa periapendiks. Bila
dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua
cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui
setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus
dilakukan adalah pemberian terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita.

35
DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. EGC: Jakarta. 2010. hlm.80-82.
2. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., “Bedah
Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan
Kelima. Media Aesculapius, Jakarta, 2005. hlm.307-313
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11
edition. Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003/ hlm.92-
98.
4. Irwanto I. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:
Sjamsuhidajat R, Karnadiharjo W, Prasetyono T. . Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 2010. Hal: 755-762
5. Castro SM, Unlu C, Steller EP, et al., Evaluation of the Appendicitis
Inflammatory Response Score for Patients with Acute Appendicitis
(online), World Journal Surgery, Department of Surgery, St. Lucas
Andreas Hospital, Amsterdam. 2012. Hlm.203-210.
6. Berger, H., David., 2011., “The Appendix”, dalam Schwartz’s Principle of
Surgery, Edisi Delapan. 2011. Hlm.101-122.
7. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D.,“Usus Halus, Apendiks, Kolon Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005.
hlm.639-645
8. Soybel D. Appendix. In: Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, et al..
Surgery Basic Science and Clinical Evidence. 2nd Ed. New York: Springer.
2008. Hlm 230-237.
9. Craig S, Brenner BE, Appendicitis, Department of Emergency Medicine,
University of North Carolina at Chapel Hill School of Medicine. 2013.
Hlm 20-25.
10. Crawford MJ. Buku Ajar Patologi. Edisi VII. Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 2007. Hal: 660-661

36
11. George F. Longstreth, MD., Appendicitis in Department of
Gastroenterology, Kaiser Permanente Medical Care Program, San Diego,
California. 2013. Hlm 9-10.
12. Lindseth GN. Gangguan Usus Halus. In:. Price et al., Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit Ed 6. Vol 1. Jakarta: EGC, 2005. Hal: 448-
449
13. Irwanto I. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:
Sjamsuhidajat R, Karnadiharjo W, Prasetyono T, et al., Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 2010. Hal: 755-
762
14. Robertson S, Jones J. Liver. Radiopedia.org [Internet]. 2015 [cited 2018
Jan 17]. Available from: https://radiopaedia.org/articles/Appendix

37

Anda mungkin juga menyukai