Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

“Seorang Perempuan dengan Kolesistitis”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :
Shinta Retensi Kurniasari
30101407328

Pembimbing :
dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
PERIODE 14 JANUARI – 8 FEBRUARI 2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Shinta Retensi Kurniasari


NIM : 30101407328
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung
Bagian : Ilmu Radiologi
Judul Laporan Kasus : Seorang Perempuan dengan Kolesistitis
Diajukan : Februari 2019
Pembimbing : dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

Telah diperiksa dan disahkan tanggal: ...........................................

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Seorang
Perempuan dengan Kolesistitis” guna memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung Semarang di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang periode 14 Januari – 8 Februari 2019.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus
ini.Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad
2. dr. Oktina Rachmi Dachliana, Sp.Rad
3. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad
4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang
5. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu Radiologi.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan.Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan segala pihak yang telah membantu.Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.

Semarang, Februari 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1. Anatomi Kandung Empedu ............................................................. 3
2.2. Fisiologi Kandung Empedu ............................................................. 6
2.3. Kolesistitis ....................................................................................... 8
2.3.1. Definisi .................................................................................. 8
2.3.2. Patogenesis ............................................................................ 8
2.3.3. Diagnosis Banding ................................................................. 10
2.3.4. Diagnosis ............................................................................... 10
2.3.5. Komplikasi............................................................................. 14
2.3.6. Penatalaksanaan ..................................................................... 14
2.3.7. Prognosis ............................................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................. 18
3.1. Identitas Pasien ................................................................................ 18
3.2. Anamnesis ....................................................................................... 18
3.3. Pemeriksaan Fisik ........................................................................... 18
3.4. Pemeriksaan Penunjang................................................................... 21
3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding................................................... 24
3.6. Penatalaksanaan .............................................................................. 24
3.7. Prognosis ......................................................................................... 25
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 27

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu dengan/atau tanpa


adanya batu, akibat infeksi bacterial. Faktor yang mempengaruhi terjadinya
kolesistitis akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding
kandung empedu. Kuman yang tersering menyebabnya kolesistitis akut yaitu
E.coli, strep. Fecalis, klebsiella, anaerob (bacteroides dan clostridia), kuman akan
mendekonjugasi garam empedu sehingga menghasilkan asam empedu toksik yang
merusak mukosa. Di Amerika 10-20% penduduknya menderita kolelitiasis (batu
empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada
wanita, terutama pada wanita-wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-obatan
hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan
hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan stasis
aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis
penduduk, insidensi kolesistitis dan kolelithiasis relatif lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara barat1,2,3.
Gejala dari kolesistitis diantaranya nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah pundak sampai scapula kanan dan disertai demam.
Penjalaran dapat ke sisi kiri sehingga menstimulasi angina pektoris. Nyeri timbul
dipresipitasi oleh makanan berlemak dan palpasi abdomen. Pasien juga mengalami
anoreksia dan sering mual4.
Pada kasus ini akan dibahas mengenai seorang perempuan dengan kolesistitis
dengan harapan dapat menambah informasi tentang imejing kolesistitis sehingga
dapat membantu dalam mendiagnosisnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kandung Empedu

Gambar 1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier7


Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus
kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung
empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih
kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat
longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan
kandung empedu dengan hati. Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus
hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar
bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke
duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung
empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah
2
duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki
panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal
pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri8.

Gambar 2. Anatomi kandung empedu9


Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan
bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian besar menempel dan
tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari
kandung empedu10,11.
Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi
infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan
peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan
oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut
kantong Hartmann12.

3
Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan
diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral
yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan
empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat
menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan
duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis10,12.
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri.
Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki
panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam
duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus koledokus berjalan
di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum
membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum.
Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran
empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara
ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papila vater, tetapi
dapat juga terpisah10,12.
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang
berasal dari arteri hepatikus kanan.Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap
tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan. Aliran vena pada
kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-
vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung
dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena
portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya.
Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika
dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan
limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu
diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama

4
dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf
parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus9.

Gambar 3. Vaskularisasi kandung empedu (a) arteri hepatika kanan


(b) arteri koledokus kanan (c) arteri retroduodenal (d) cabang kiri arteri
hepatika (e) arteri hepatika (f) arteri koledokus kiri (g) arteri hepatika
komunis (h) arteri gasroduodenal10.

2.2. Fisiologi Kandung Empedu


Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari cairan
empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan
empedu dengan absorpsi air dan natrium11. Empedu diproduksi oleh sel
hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami
pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter

5
akan mengalami relaksasi kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum.
Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat disemprotkan secara intermiten karena
tekanan saluran empedu lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan
empedu diatur oleh tiga faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan dari sfingter koledokus10,12.
Menurut Guyton & Hall13 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk
akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh
sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu
juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari
sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan
empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap
perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah
lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong
secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam. Garam empedu, lesitin, dan
kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya
adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah

6
steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan
produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan
sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan11.

2.3. Kolesistitis
2.3.1. Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan
etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung


empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut
pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan
inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat
erat hubungannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal
dan tidak menonjol4.

2.3.2 Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut


adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung
empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%)
yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu,
sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu
empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus
oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya
aliran darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa

7
dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan
cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi14.

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan


susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan
batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu
kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang
belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau
keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu14.

Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas,


beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya
penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan
peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih
mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat
demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam
jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya
rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu,
kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari tertahannya
empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan
puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung

8
empedu, sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding
kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam,
dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis
akalkulus14.

Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan


kemampuan endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan,
penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai
dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons
kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis
kandung empedu14.

2.3.3 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba-tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, Angina pektoris, infark miokard
akut, apendisitis akut, retrosaekal, tukak peptic perforasi, pankreatitis akut,
obstruksi intestinal1.
.
2.3.4 Diagnosis

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen


bagian atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka
mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien
kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan
adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada
beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang
nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran
kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik,
nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada
kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas.

9
Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi
mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul4.

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran


kanan atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi
kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman
yang berat yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut
sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan
demam4.

Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat


ditemukan leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan
fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi
dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan
perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan4.

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah


ultrasonografi (USG), computed tomography scanning (CT-scan), skintigrafi
dan magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) saluran empedu.
Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu
(>3mm), adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak
antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90-95%15.

10
Gambar 4. Kiri : gambaran vesika felea normal. Kanan : gambaran kolesistitis15

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi


mampu memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang
mungkin tidak terlihat dengan pemeriksaan USG15.

Gambar 5. Pemeriksaan CT scan pada kolesistitis15.

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA


atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang
lebih rendah daripada USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya
gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada
pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis
akut15

11
Gambar 6. Koleskintigram normal ( )

Gambar 7. Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya


pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus15
12
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Cholangiopancreatography
(MRCP) lebih berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan saluran
empedu yang terdilatasi15.

2.3.5 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kolesistitis:


 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan
ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema
kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik
menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum
terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil
gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering
pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya
insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi
darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis1.

2.3.6 Penatalaksanaan
A. Terapi Konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk
kolesistitis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di
rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat
total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan,
koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti pemberian petidin dan
antispasmodic. Pemberian antibiotic pada fase awal sangat pentig untuk

13
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan
ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan
kuman-kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep.
Faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negative, lebih ianjurkan pemberian
antibiotic kombinasi4.
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram/6 jam, IV, cephalosporin generasi ketiga atau
metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg/6 jam, IV.
Pada kasus-kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500mg/6 jam,
IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti emetic atau dipasang
NGT. Pasien-pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak
dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda-tanda vital yang
stabil, tidak terdapat tanda-tanda bstruksi pada hasil laboratorium dan USG,
penyakit-penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotic yang sesuai seperti
Levofloxacin 1x500mg PO dan Metronidazole 2x500mg PO, anti emetic dan
analgesic yang sesuai4.
B. Terapi Bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50%
kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangrene dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dan
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan
biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini
akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik
operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut di sekitar duktus akan
mengaburkan anatomi16.
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi

14
klesistitis akut nonkomplikata, hampir 30% pasien tidak berespons terhadap
terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi
menyebabkan operasi perlu dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani
kolesistektomi dibi dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan
intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang
kondidi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi
segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan 16

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:

 Resiko tinggi untuk anestesi umum


 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses,
peritonitis, atau fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati
yang berat1.
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan,
drainase perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase
kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan
antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu
terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis
akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini1.

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi.


Metode endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan
endoscopic retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan
anatomi kandung empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan
mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic ultrasound-guided
transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan cukup baik dalam
terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada

15
penelitian tentang endoscopic gallbladder drainage yang dilakukan oleh
Mutignani et al, pada 35 pasien kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan
terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada 24
pasien1.

2.3.7 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun


kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak
berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang
kolesistitis akut berkembang menjadi gangren, empiema dan perforasi
kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini
dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan.
Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis
yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah4.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Penderita


Nama : Ny. S
Usia : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pondok Majapahit I Blok B No. 3
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Rawat Inap
Ruang : Arimbi
Tanggal masuk : 12 Januari 2019
No.RM : 460***
3.2. Anamnesis
Anamnesis pada pasien dilakukan pada tanggal 15 Januari 2019, pukul 15.00
WIB di kamar rawat inap Ruang Arimbi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang dan didukung dengan catatan medis.
 Keluhan Utama :
Demam dan nyeri ulu hati
 Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota


Semarang pada tanggal 12 Januari 2019 pukul 17.00 WIB dengan
keluhan demam yang naik turun sejak 7 hari SMRS. Keluhan tersebut
disertai nyeri perut bagian ulu hati, mual dan muntah berisi cairan
sebanyak 5x. Pasien juga mengeluhkan sering merasa mudah lelah dan
badan terasa lemas. Pasien mengeluhkan nyeri pada perutnya dan terasa
penuh. Pasien mengakui sering konsumsi makanan yang manis,
berminyak serta bersantan, contohnya seperti sering minum teh dan
diselingi dengan makan gorengan. Pola makan pasien sehari-hari juga

17
tidak terkontrol. Kegiatan pasien sehari-hari adalah dirumah, melakukan
aktifitas ringan seperti membersihkan rumah, pasien juga mengakui
jarang melakukan olahraga. BAB dan BAK dalam batas normal.

 Riwayat penyakit Dahulu:


- Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Diakui
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat keluhan serupa : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Diakui
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat sosioekonomi :
Kesan perekonomian pasien adalah cukup. Pasien tinggal bersama
suami dan anak nya. Pasien periksa menggunakan BPJS.

3.3. Pemeriksaan Fisik (Tanggal 15/1/2019)


STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Tampak lemah
- Kesadaran : Composmentis
STATUS ANTROPOMETRIK
- TB : 155 cm
- BB : 55 kg
- IMT = BB(kg)/TB²(m²)
= 55 kg/(1,55 m)²

18
= 22.8 kg/m2(Normoweight)
TANDA VITAL
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg
- HR (Nadi) : 89x/ Menit , reguler,isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Napas) : 20x/ Menit , reguler
- Suhu : 36,6°C

STATUS INTERNUS
- Kepala : Bentuk normocephale, tidak teraba benjolan.
- Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusimerata
- Mata :
- Bola mata : tidak terdapat eksoftalmus
- Konjungtiva : anemis -/-, perdarahan -/-,
- Sklera : ikterus -/-
- Palpebra : oedema -/-
- Pupil : bulat, isokor 3 mm/ 3mm, reflek cahaya +/+
- Hidung :
- Deformitas (-)
- Nafas cuping hidung (-/-),
- Tidak tampak adanya sekret atau perdarahan
- Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang : normal, discharge (-/-)
- Pendengaran : normal
- Perdarahan : tidak ada
- Mulut :
- Bibir : tidak ada kelainan kongenital, sianosis (-), oedem (-)
- Lidah : ukuran normal, tidak kotor, tidak tremor
- Gigi : perawatan gigi kurang
- Mukosa : hiperemi (-), stomatitis (-)

19
- Leher :
- Deviasi trakea : - (posisi trakea simetris)
- Kaku kuduk : - (negatif)
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : tidak ada peningkatan JVP
- KGB : tidak ada pembesaran

- PF Thoraks:
a. Paru :
1. Inspeksi : laju nafas 20x/menit, pola nafas regular, simetris,
ketertinggalan gerak (-/-), retraksi (-/-), pergerakan otot bantu
pernafasan (-/-)
2. Palpasi : fremitus vokal normal,nyeri tekan (-), gerakan dada
simetris, tidak ada ketertinggalan gerak.
3. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
4. Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-)
b. Jantung :
1. Inspeksi : pulsasi ictus cordis tampak kuat angkat
2. Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V linea
mid clavicularis sinistra
3. Perkusi : kardiomegali (-)
4. Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-),
gallop (-)

- PF Abdomen :
1. Inspeksi : permukaan perut datar, pelebaran pembuluh darah(-),
sikatrik (-), massa (-), tanda peradangan (-), caput medusa (-),sikatrik
(-), striae (-),hiperpigmentasi (-)

20
2. Auskultasi: bunyi peristaltik usus normal, tidak ada bising usus, tidak
ada bising pembuluh darah.
3. Palpasi :
 Superfisial Nyeri tekan abdomen regio epigastrium (+),
Massa (-), defence muscular (-)
 Dalam  Nyeri tekan dalam (-)
 Organ  Hepar tidak teraba membesar, tepi tajam, permukaan
halus, konsistensi kenyal,lien schuffner (0), ginjal dextra et
sinistra tak teraba membesar
 Murphy’s Sign (+)
 Tes undulasi (-)
4. Perkusi :
 Perkusi 4 regio  timpani
 Hepar  pekak (+), liver span dextra 12 cm, sinistra 6 cm
 Lien  traube space (+)
 Ginjal  nyeri ketok ginjal (-)
 Pekak sisi dan pekak ahli (-)
- PF Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik
- Inferior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik

3.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 15 Januari 2019
Pemeriksaan Lab Hasil
Hematologi
Hemoglobin 12.3 g/ dL
Hematokrit 36,40
Jumlah leukosit 3.5 /µL (L)
Jumlah Trombosit 196 /µL
Kimia Klinik

21
Glukosa Darah Sewaktu 424 mg/dL (H)
Ureum 17,3 mg/dL
Creatinin 0,5 mg/dL

b. Pemeriksaan USG Abdomen

22
Pembacaan Hasil USG Abdomen

Tanggal : 15 Januari 2019 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang


DESKRIPSI:

- HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, ekogenitas


normal, tepi rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V.Porta dan V. Hepatika
tak melebar. Duktus biliaris intra-ekstrahepatal tak melebar.
- VESIKA FELEA tak membesar, dinding tampak menebal (5,2 mm),
tampak pericholecystic fluid, tak tampak batu, tak tampak sludge.
- LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tak melebar, tak
tampak nodul.
- PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tak
melebar.
- GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas,
PCS tak tampak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa

23
- GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS
tak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa
- AORTA tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi paraaorta.
- VESIKA URINARIA dinding tak menebal, permukaan regular, tak tampak
batu/massa.
- UTERUS ukuran normal, parenkim homogen, tak tampak massa,
endometrial line baik.
- tak tampak efusi pleura. Tak tampak cairan bebas intraabdomen.

KESAN :
- Moderate fatty liver
- Gambaran kolesistitis akut

3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding

- DIAGNOSIS KERJA :
Kolesistitis akut

- DIAGNOSIS BANDING :
1. Ulkus Peptikum
2. Kolelitiasis
3. Pankreatitis akut

3.6. Penatalaksanaan
- Infus RL 500ml 30 tpm
- Nasal canul O2 3 lpm
- Injeksi omeprazole 2x1 ampul IV
- Isosorbit dinitrat 2x5 mg
- Injeksi Ondansetron 2x4 mg IV

24
3.7. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pasien dengan keluhan demam yang naik turun
sejak 7 hari SMRS. Keluhan tersebut disertai nyeri perut bagian ulu hati, mual dan
muntah berisi cairan sebanyak 5x. Pasien juga mengeluhkan sering merasa mudah
lelah dan badan terasa lemas. Pasien mengeluhkan nyeri pada perutnya dan terasa
penuh. Pasien mengakui sering konsumsi makanan yang manis, berminyak serta
bersantan, contohnya seperti sering minum teh dan diselingi dengan makan
gorengan. Pola makan pasien sehari-hari juga tidak terkontrol. Kegiatan pasien
sehari-hari adalah dirumah, melakukan aktifitas ringan seperti membersihkan
rumah, pasien juga mengakui jarang melakukan olahraga. BAB dan BAK dalam
batas normal.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan demam, nyeri pada


epigastrium dan Murphy sign positif.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, ditemukan :

1. Pemeriksaan Lab Darah


Kesan : Leukosit menurun, gula darah sewaktu meningkat.
2. USG abdomen
Kesan :
- Moderate fatty liver
- Gambaran kolesistitis akut

Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukosit menurun serta


didapatkan peningkatan ada gula darah sewaktu, dan pada pemeriksaan USG
didapatkan dinding tampak menebal (5,2 mm), tampak pericholecystic fluid dari
hasil tersebut sesuai dengan gambaran kolesistitis.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherlock S, Dooley J. Gallstones and Benign Biliary Disease. In: Dooley J, Lok
A Burroughs A Heathcote E. Diseases of the Liver and biliary System. 12’h ed.
UK: Blackwell Science. P257-293
2. Lambou SG,Heller SJ.Lithogenesis and Bile Metabolism in :Surgical Clinics of
North American .Elsevier Saunders 2008 Volume 88 :1175-1194
3. Nurhadi.Analisa Batu Kandung Empedu.2012.Bandung
4. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta.2009.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS). 2013. (cited 2018 july 12) available from :
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.
pdf
6. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi
Umum dan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
7. Avunduk, C. 2002. Manual of Gastroenterology: Diagnosis and Therapy.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 505 p
8. Welling,T.H. dan Simeone, D.M., 2009. Gallbladder and Biliary Tract:
Anatomy and Structural Anomalies. Edisi ke-5. USA: Wiley-Blackwell.
9. Greenberger NJ, Paumgartner G.2011. Diseases of the gallbladder and bile
duct. Dalam: Fauci AS, Kosper DL, Longo D, Braunwald E, Hauser SL,
Loscalzo J, et al (eds). Harrison’s principle of internal medicine. 18th edition.
New York: Mc Graw-Hill
10. Hunter JG, Oddsdettir M. 2014. Gallbladder and extrahepatic billiary system.
Eighth edition. New York: Mc Graw-Hill.
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2010. 570-9.
12. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC

27
13. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 1
Juni 2011]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
14. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta : Balai Pustaka.
15. Wilson E, Gurusamy K, Gluud CC, Davidson BR. Cost-utility and value of
information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2);210-9.

28

Anda mungkin juga menyukai